• Tidak ada hasil yang ditemukan

g Kadar Karbohidrat by difference (Winarno 1992)

A. PROSES PENGOLAHAN BERAS PRATANAK

Gabah yang diperoleh dari petani masih bercampur dengan jerami kering, gabah hampa dan kotoran lainnya sehingga perlu dilakukan pembersihan. Oleh karena itu pengolahan beras pratanak dimulai dengan pembersihan gabah menggunakan precleaner. Alat ini berfungsi untuk memisahkan gabah dari kotoran serta gabah hampa. Setelah dibersihkan, berat keseluruhan gabah mengalami penyusutan hingga 5%.

Gabah yang telah bersih disiapkan untuk proses perendaman. Gabah ditimbang dan dimasukkan ke dalam karung dengan tujuan untuk mempermudah saat gabah dimasukkan dan dikeluarkan dari drum perendaman. Kadar air awal gabah sebelum direndam berkisar antara 13-15%. Suhu air dalam drum dipertahankan berkisar antara 60-70 oC dengan cara menambahkan air panas jika suhu terukur mengalami penurunan. Perendaman gabah dengan suhu berkisar antara 60-70 oC dimaksudkan untuk meningkatkan kadar air gabah hingga mencapai sekitar 30% basis basah. Menurut Ali dan Ojha (1976) pada kadar air tersebut proses gelatinisasi pati dalam gabah dapat berlangsung. Namun demikian, pada saat perendaman dihentikan kadar air yang terukur hanya berkisar antara 24- 26%. Hal ini kemungkinan terjadi karena penggunaan karung yang dapat memperlambat peresapan air ke dalam gabah sehingga dalam waktu 4 jam perendaman belum cukup untuk meningkatkan kadar air 30%.

Selama pengukusan, suhu steam yang digunakan mengalami perkembangan. Setelah gabah dipindahkan ke dalam tangki pengukusan, suhu steam dalam tangki pengukusan yang pada awalnya telah disiapkan berkisar antara 80 oC hingga 90 oC mengalami penurunan kemudian dengan perlahan meningkat hingga mencapai hampir 100 oC. Pada Gambar 5 dan Gambar 6 ditunjukkan profil suhu gabah saat pengukusan 20 menit. Gambar 5 menjelaskan penyebaran suhu yang diambil secara horizontal. Suhu gabah bagian atas (Tha) terlihat lebih rendah dibanding suhu bagian tengah (Tht) dan suhu bagian bawah (Thb). Kemungkinan besar hal ini dapat terjadi karena pada saat pengukusan, tangki pengukusan tidak ditutup. Sedangkan suhu pada Tht dan Thb menunjukkan penyebaran suhu yang merata dan sesuai dengan target yaitu mencapai 80 oC.

Gambar 5. Distribusi suhu gabah secara horizontal pada pengukusan 20 menit 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 0 5 10 15 20 25 S uh u ( oC) Waktu (menit)

Suhu bagian atas Suhu bagian tengah Suhu bagian bawah

19 Pada Gambar 6 ditunjukkan penyebaran suhu gabah yang diukur secara vertikal. Suhu yang terukur pada bagian dalam (Tvi) lebih tinggi dibanding dengan suhu bagian luar (Tvo). Hal ini dapat disebabkan Tvi berada lebih dekat dengan pipa pengeluaran uap yang memungkinkan suhu gabah masih sama seperti suhu uap yang dihasilkan. Tidak meratanya distribusi suhu ini dapat menyebabkan ketidakseragaman kualitas beras hasil pratanak.

Gambar 6. Distribusi suhu gabah secara vertikal pada pengukusan 20 menit

Pada Gambar 7 ditunjukkan grafik penyebaran suhu dalam tangki untuk lama pengukusan 30 menit. Sama seperti pada pengukusan 20 menit, karena adanya penghentian suplai steam, suhu steam

pada menit ke-0 masih berkisar antara 40 oC hingga 50 oC dan mengalami peningkatan pada menit selanjutnya. Pada grafik terlihat suhu gabah di bagian tengah (Tht) dapat mencapai suhu pengukusan yang diinginkan yaitu 80 oC. Sedangkan suhu gabah bagian atas (Tha) dan suhu bagian bawah (Thb) masih dibawah 80 oC. Pada bagian atas kemungkinan karena tangki pengukusan tetap terbuka saat pengukusan dan bagian bawah karena telah berada jauh dari sumber steam.

Gambar 7. Distribusi suhu gabah secara horizontal pada pengukusan 30 menit 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 0 5 10 15 20 25 S uh u ( oC) Waktu (menit) Suhu bagian luar Suhu bagian dalam

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 0 5 10 15 20 25 30 35 S uh u ( oC) Waktu (menit)

Suhu bagian atas Suhu bagian tengah Suhu bagian bawah

20 Grafik yang ditunjukkan pada Gambar 8 menjelaskan profil suhu pada pengukusan 30 menit. Pada grafik terlihat suhu yang terukur pada bagian luar (Tvo) lebih rendah dibanding suhu bagian dalam (Tvi). Sama seperti pada pengukusan 20 menit, hal ini dapat terjadi karena Tvi terletak dekat di pipa pengeluaran uap. Karena alasan ini suhu gabah pada bagian dalam masih relatif sama dengan suhu uap yang dihasilkan dari boiler dan sesuai dengan suhu pengukusan yang diharapkan. Agar penyebaran suhu gabah merata saat pengukusan berlangsung, tangki pengukusan diupayakan tertutup dan dilakukan penambahan pipa saluran steam ke dalam tangki.

Gambar 8. Distribusi suhu gabah secara vertikal pada pengukusan 30 menit

Setelah pengukusan berlangsung dengan lama 20 menit atau 30 menit, proses selanjutnya adalah pengeringan. Pengeringan ditujukan untuk menurunkan kadar air gabah hingga mencapai kadar air GKG yaitu antara 13- 14%. Pada kadar air ini gabah siap untuk digiling atau aman untuk disimpan dalam waktu yang lama. Metode pengeringan yang digunakan pada penelitian ini adalah penjemuran dengan memanfaatkan panas sinar matahari. Penjemuran dilakukan dengan menggunakan alas berupa lantai jemur. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah bercampurnya kotoran, kehilangan butiran gabah, memudahkan pengumpulan gabah dan menghasilkan penyebaran panas yang merata.

Gabah hasil pengeringan yang telah mencapai kadar air GKG tersebut selanjutnya digiling. Penggilingan gabah dilakukan di penggilingan padi milik petani di daerah Situ Gede. Penggilingan merupakan proses untuk mengubah gabah menjadi beras. Penggilingan gabah dimulai dengan pemecahan kulit yang bertujuan untuk melepaskan kulit gabah dengan kerusakan yang sekecil mungkin pada butiran beras. Setelah pemecahan kulit, beras pecah kulit masih berwarna gelap kecoklatan dan tidak bercahaya sehingga dilakukan tahap selanjutnya yaitu penyosohan. Menurut Patiwiri (2006) disamping penampakannya yang kurang menarik, adanya bekatul pada beras juga membuat rasa nasi kurang enak meskipun bekatul memiliki nilai gizi yang tinggi. Proses penggilingan gabah ini mengalami 2 kali pecah kulit dan 2 kali penyosohan. Hal penting yang harus diperhatikan sebelum proses penggilingan adalah kondisi fisik gabah antara ketiga perlakuan harus sama, seperti umur simpan setelah proses pengeringan dan kadar air gabah. Hal ini dimaksudkan agar tidak terdapat perbedaan lain antara gabah yang digiling kecuali beda perlakuan lama pengukusan.

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 0 5 10 15 20 25 30 35 S uh u ( oC) Waktu (menit) Suhu bagian luar Suhu bagian dalam

21

B.

PENGARUH LAMA PENGUKUSAN TERHADAP MUTU FISIK BERAS

PRATANAK

1.

Rendemen Giling

Rendemen giling beras pratanak dihitung berdasarkan perbandingan antara berat beras hasil giling dengan berat awal gabah yang digiling. Hasil perhitungan untuk rendemen giling beras pratanak menunjukkan adanya peningkatan jika dibandingkan dengan kontrol meskipun secara statistik tidak berbeda nyata. Hasil perhitungan rendemen penggilingan dapat dilihat pada Lampiran 4. Besarnya peningkatan rendemen giling berkisar antara 2.76% - 2.94%. Melalui Gambar 9 dapat dilihat bahwa rendemen giling terbesar berdasarkan lama pengukusan adalah beras pratanak dengan pengukusan selama 30 menit. Pada histogram terlihat rendemen giling beras biasa sebesar 66.61%, sedangkan rendemen giling beras pratanak berturut-turut meningkat menjadi 69.37% dan 69.55%. Peningkatan rendemen giling ini disebabkan ikatan sel-sel beras lebih kompak dan kuat akibatnya pada proses penggilingan lebih tahan terhadap gesekan saat pengupasan dan penyosohan (Burhanuddin 1981).

Gambar 9. Rendemen giling beras pratanak

Berdasarkan analisis sidik ragam, perlakuan lama pengukusan tidak berpengaruh nyata terhadap rendemen giling beras pratanak. Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa lama pengukusan 20 menit tidak berbeda nyata dengan pengukusan selama 30 menit dan kontrol. Analisis sidik ragam dapat dilihat pada Lampiran 13.

2.

Mutu Giling

Menurut aturan SNI 01-6128 : 2008, beras adalah hasil utama yang diperoleh dari proses penggilingan gabah hasil tanaman padi (Oryza sativa L.) yang seluruh lapisan sekamnya terkelupas dan seluruh atau sebagian lembaga dan lapisan bekatulnya telah dipisahkan. Beras pratanak hasil penelitian ini telah memenuhi persyaratan umum sesuai dengan standar SNI 01-6128 : 2008. Pengamatan yang dilakukan secara visual dan penciuman menerangkan bahwa beras pratanak ini a) bebas hama dan penyakit. b) bebas bau apek, asam, atau bau asing lainnya. c) bebas dari campuran dedak dan bekatul. d) bebas dari bahan kimia yang membahayakan konsumen. Sedangkan pengamatan yang dilakukan untuk mengetahui tingkat mutu pada persyaratan khusus atau syarat kualitatif beras pratanak dapat dilihat pada Tabel 7.

69.37 69.55 66.61 60 65 70 75 80 R en de m en G il in g (%) Lama pengukusan 20 menit 30 menit kontrol

22 Beras pratanak memiliki tingkat derajat sosoh yang rendah. Pemanasan yang lama menyebabkan pigmen sekam yang larut dalam air perendaman menembus endosperm sebagai akibat panas yang diberikan sehingga warna beras berubah menjadi berwarna kekuning-kuningan. Perubahan warna yang terjadi pada beras pratanak disebabkan oleh adanya reaksi beberapa asam amino bebas dengan monosakarida pada proses pratanak, sehingga berpengaruh pada derajat sosoh beras pratanak (Gariboldi 1974). Berdasarkan hasil analisa sidik ragam menyatakan bahwa lama pengukusan berpengaruh terhadap tingkat derajat sosoh beras pratanak. Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa beras pratanak dengan pengukusan 20 menit dan 30 menit berbeda nyata dengan beras yang dijadikan kontrol.

Menurut Widowati et al. (2009) kandungan air dalam bahan pangan juga ikut menentukan daya terima, kesegaran dan daya tahan produk. Kadar air yang rendah dapat memperpanjang umur simpan beras. Hal tersebut dikarenakan mikroba sulit tumbuh pada kondisi kering. Berdasarkan analisis sidik ragam, perlakuan lama pengukusan tidak mempengaruhi kadar air akhir beras setelah penggilingan. Kadar air dari beras hasil penggilingan dipengaruhi oleh proses pengeringan. Pada pengolahan beras pratanak ini gabah hasil pengukusan dikeringkan dengan metode penjemuran di bawah sinar matahari langsung, begitu juga dengan gabah yang dijadikan kontrol.

Tabel 7. Mutu giling beras pratanak dengan perlakuan lama pengukusan yang berbeda Komponen mutu

Perlakuan (lama pengukusan) 20 menit 30 menit kontrol

Derajat sosoh (%) 85±0 b 85±0 b 95±0 a Kadar air (%) 13.20±0.49 a 13.53±0.18 a 13.63±1.45 a Butir kepala (%) 61.67±3.28 b 67.94±1.79 a 71.35±0.82 a Butir patah (%) 34.34±0.56 a 27.94±1.66 b 26.19±0.09 b Butir menir (%) 3.99±0.05 a 4.12±0.13 a 2.45±0.73 b Butir merah (%) 0 0 0 Butir kuning/rusak (%) 0.41±0.30 a 0.42±0.02 a 0.44±0.24 a Butir mengapur (%) 0.14±0.03 a 0.26±0.18 a 0.28±0.01 a Benda asing (%) 0 0 0.02±0.01

Butir gabah (butir/100 g) 0 0 0

Rendemen (%) 69.37±1.03 a 69.55±0.64 a 66.61±2.05 a

Huruf yang sama menunjukkan bahwa perlakuan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05

Hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 16 menunjukkan bahwa perlakuan lama pengukusan memiliki pengaruh terhadap persentase butir kepala beras pratanak. Dengan uji lanjut dapat dilihat bahwa beras pratanak dengan pengukusan 30 menit dan kontrol berbeda nyata dengan beras pratanak pengukusan 20 menit. Pada Tabel 7 terlihat bahwa persentase terbesar butir kepala adalah pada kontrol dengan besar 71.35%, diikuti dengan perlakuan lama pengukusan 30 menit sebesar 67.94% dan terakhir sebesar 61.67% untuk lama pengukusan 20 menit. Namun demikian, berdasarkan mutu SNI 01-6128 : 2008 dengan hasil persentase butir kepala seperti yang telah disebutkan, ketiga perlakuan ini termasuk ke dalam mutu V.

23 Persentase butir patah paling besar terdapat pada perlakuan lama pengukusan 20 menit yaitu sebesar 34.34%, kemudian diikuti oleh perlakuan lama pengukusan 30 menit sebesar 27.94% dan terakhir perlakuan kontrol sebesar 26.19%. Banyaknya butir patah hasil giling ini disebabkan oleh tidak sempurnanya gelatinisasi pati yang terjadi saat perendaman. Berdasarkan analisis sidik ragam seperti pada Lampiran 17, perlakuan lama pengukusan berpengaruh terhadap persentase butir patah. Dengan uji lanjut dapat dilihat bahwa persentase butir patah pada perlakuan lama pengukusan 20 menit berbeda nyata dengan perlakuan pengukusan 30 menit dan kontrol.

Berdasarkan analisis sidik ragam seperti pada Lampiran 18, perlakuan lama pengukusan tidak berpengaruh nyata terhadap persentase butir menir (P>0.05). Dengan uji lanjut dapat dilihat bahwa persentase butir menir pada perlakuan lama pengukusan 20 menit dan 30 menit berbeda nyata dengan persentase butir menir pada perlakuan kontrol. Butir menir tertinggi seperti yang terlihat pada Tabel 7 dimiliki oleh beras pratanak dengan lama pengukusan 30 menit yaitu sebesar 4.12%, kemudian beras pratanak dengan lama pengukusan 20 menit yaitu sebesar 3.99% dan terakhir beras biasa atau kontrol sebanyak 2.45%. Namun, jika dilihat dari butir menir yang dihasilkan maka ketiga perlakuan ini termasuk ke dalam mutu V berdasarkan SNI 01-6128 : 2008.

Pada Tabel 7 terlihat bahwa persentase butir kuning/rusak terbesar berturut-turut adalah pada perlakuan kontrol yaitu sebesar 0.44%, pengukusan 30 menit sebesar 0.42%. dan pengukusan 20 menit sebesar 0.41%. Berdasarkan analisis sidik ragam, perlakuan lama pengukusan tidak berpengaruh nyata terhadap banyaknya butir kuning/rusak pada beras. Hasil analisis sidik ragam dapat dilihat pada Lampiran 19. Namun, jika dilihat dari butir kuning/rusak yang dihasilkan maka ketiga perlakuan ini termasuk ke dalam mutu II berdasarkan SNI 01-6128 : 2008. Penyebab utama butir kuning/rusak pada beras adalah adanya peragian, pembusukan, atau pertumbuhan jamur karena kurang sempurnanya proses pengeringan gabah setelah panen. Gabah dari hasil panen musim hujan yang tidak sempat segera dikeringkan akan banyak menghasilkan butir kuning (Damardjati dan Purwani 1991).

Persentase butir mengapur untuk ketiga perlakuan berturut-turut adalah 0.28% untuk perlakuan kontrol, 0.26% untuk lama pengukusan 30 menit dan 0.14% untuk lama pengukusan 20 menit. Berdasarkan analisis sidik ragam pada Lampiran 20, ketiga perlakuan yang diujikan tidak berpengaruh nyata terhadap banyaknya butir mengapur pada beras. Menurut Damardjati dan Purwani (1991), butir mengapur dapat berasal dari biji yang masih muda atau karena pertumbuhan yang kurang sempurna. Butir mengapur ini juga dapat disebabkan karena adanya faktor genetik. Adanya butir hijau dan butir mengapur merupakan sifat varietas disamping pengaruh lingkungan dan pengelolaan.

Benda asing yang tidak tergolong beras dan gabah hanya ditemukan pada beras biasa atau perlakuan kontrol, yakni sebesar 0.02%. Sedangkan pada beras pratanak dengan perlakuan pengukusan 20 menit dan 30 menit tidak ditemukan adanya benda asing. Komponen mutu lain seperti butir merah dan butir gabah tidak ditemukan dari beras pratanak hasil percobaan ini.

C.

PENGARUH LAMA PENGUKUSAN TERHADAP KANDUNGAN GIZI

BERAS PRATANAK

Menurut Juliano (1972), lapisan aleuron pada beras banyak mengandung protein, lemak, vitamin dan mineral. Pada pengolahan gabah cara biasa, lapiran aleuron sebagai pembungkus endosperm yang disebut juga kulit ari banyak yang terkelupas akibat penyosohan dan gesekan antara butir-butir beras. Pada pengolahan cara pratanak, kandungan pada lapisan aleuron ini terserap ke dalam endosperm akibat proses gelatinisasi pati. Oleh karena itu, nilai gizi beras pratanak meningkat. Kandungan gizi beras pratanak dapat dilihat pada Tabel 8.

24 Tabel 8. Pengaruh lama pengukusan terhadap kandungan gizi beras pratanak

Komponen gizi

Perlakuan (lama pengukusan) 20 menit 30 menit Kontrol Kadar abu (% bk) 0.95±0.14 a 0.94±0.00 a 0.62±0.02 b Kadar lemak (% bk) 1.00±0.12 ab 1.44±0.17 a 0.67±0.23 b Kadar protein (% bk) 9.49±0.41 a 10.08±0.56 a 9.35±0.86 a Kadar karbohidrat (% bk) 88.35±0.43 a 89.11±0.95 a 87.97±1.35 a

Huruf yang sama menunjukkan bahwa perlakuan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05

Pada penelitian ini diperoleh kadar abu dan kadar lemak beras pratanak lebih tinggi dibandingkan dengan beras kontrol, namun lama pengukusan 20 menit dan 30 menit tidak berbeda nyata. Penerapan teknologi pengolahan beras pratanak dapat meningkatkan kadar abu sebesar 0.32%- 0.33%. Peningkatan ini terjadi karena selama proses pengolahan beras pratanak mineral-mineral yang terkandung dalam sekam dan bekatul terserap ke dalam beras pratanak. Berdasarkan analisis sidik ragam seperti terlihat pada Lampiran 21, perlakuan lama pengukusan berpengaruh nyata terhadap kandungan abu dalam beras pratanak. Dengan uji lanjut diperoleh adanya perbedaan nyata antara lama pengukusan 20 menit dan 30 menit dengan beras yang dijadikan sebagai kontrol seperti yang tertera pada Tabel 8 di atas.

Menurut Kunze dan Calderwood (2004) dalam Dewi (2009), beras dengan derajat sosoh yang tinggi lebih tahan dalam hal penyimpanan dibandingkan dengan beras derajat sosoh rendah, karena beras dengan derajat sosoh rendah mudah mengalami ketengikan karena masih memiliki lapisan dedak aleuron yang memiliki kandungan lemak tinggi. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan pengukusan selama 30 menit mampu meningkatkan kadar lemak beras pratanak. Dari uji lanjut diperoleh bahwa pengukusan 30 menit berbeda nyata dengan kontrol namun tidak berbeda nyata dengan pengukusan selama 20 menit.

Pada beras, protein merupakan penyusun kedua setelah pati. Kadar protein pada beras umumnya ditentukan oleh faktor lingkungan tempat tumbuhnya padi seperti unsur nitrogen dalam tanah. Protein pada beras biasa atau beras giling yang dijadikan kontrol memiliki kadar protein sebesar 9.35%. Setelah dilakukan proses pratanak, kadar protein dalam beras secara statistik menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan (Lampiran 23). Proses pratanak yang diharapkan dapat meningkatkan kandungan gizi beras belum bisa meningkatkan kadar protein beras. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh tidak meratanya panas yang dterima gabah saat pengukusan sehingga gelatinisasi total tidak terjadi. Namun demikian, proses pratanak yang telah dicobakan tidak merusak atau menurunkan kadar protein beras pratanak.

Karbohidrat merupakan sumber kalori utama bagi manusia. Karbohidrat juga mempunyai peran penting dalam menentukan karakteristik bahan makanan, misalnya rasa, warna dan tekstur. Sedangkan dalam tubuh. karbohidrat berguna untuk mencegah timbulnya ketosis, pemecahan protein tubuh yang berlebihan, kehilangan mineral dan berguna untuk membantu metabolisme lemak dan protein (Winarno 1992). Berdasarkan analisis sidik ragam pada Lampiran 24, perlakuan lama pengukusan tidak berpengaruh nyata terhadap kadar karbohidrat beras pratanak. Namun demikian, jika dilihat dari hasil pengukuran terhadap kadar karbohidrat, persentase karbohidrat terbesar yaitu 89.11% terdapat pada perlakuan lama pengukusan 30 menit.

25 Selain peningkatan kandungan gizi berupa komposisi proksimat, kelebihan lain yang dimiliki oleh proses pratanak ditinjau dari sifat fungsionalnya adalah dapat menurunkan indeks glikemik. Dengan penurunan nilai indeks glikemik ini, dapat dikatakan bahwa beras pratanak sangat cocok untuk penderita diabetes. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Widowati et al. (2009), proses pratanak mampu menurunkan indeks glikemik beras dari 54.43-97.29 menjadi 44.22-76.32 karena terjadi peningkatan kadar amilosa dan serat pangan. Difusi dan peleketan komponen penyusun bekatul dan sebagian sekam berpengaruh nyata meningkatkan kandungan serat pangan, terutama serat pangan tidak larut.

D.

UJI ORGANOLEPTIK

1.

Aroma

Proses pratanak yang dilakukan pada gabah dapat memberikan pengaruh terhadap penampakan secara fisik beras pratanak tersebut. Sebagai contoh, melekatnya lapisan aleuron pada beras membuat warna beras menjadi kecoklatan. Oleh karena itu diperlukan pengujian organoleptik yang ditujukan untuk mengetahui tingkat penerimaan konsumen terhadap beras pratanak. Uji organoleptik terhadap suatu bahan pangan atau makanan merupakan penilaian dengan menggunakan alat indra yaitu indra penglihatan, pencicip, pembau dan pendengar.

Menurut Soekarto (1985) pembauan juga disebut pencicipan jarak jauh karena manusia dapat mengenal enaknya makanan yang belum terlihat hanya dengan mencium baunya dari jarak jauh. Indra pembau berfungsi untuk menilai bau-bauan dari suatu produk atau komoditi baik berupa makanan atau nonpangan. Bau-bauan lebih kompleks daripada cicip. Kepekaan pembauan lebih tinggi daripada pencicipan. Berikut ini ditampilkan histogram penilaian terhadap aroma beras pratanak (Gambar 10).

Gambar 10. Nilai aroma beras pratanak

Hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 25 menunjukkan bahwa perlakuan lama pengukusan berpengaruh nyata terhadap nilai aroma beras pratanak. Dengan uji lanjut seperti pada Tabel 9, diperoleh bahwa aroma beras pratanak dengan lama pengukusan 20 menit tidak jauh berbeda dengan aroma beras giling yang dijadikan kontrol. Akan tetapi beras pratanak pengukusan 30 menit memiliki aroma yang berbeda dengan kedua perlakuan sebelumnya.

4.01 3.47 4.31 0 1 2 3 4 5 6 7 N il ai A ro m a Lama pengukusan 20 menit 30 menit kontrol

26 Tabel 9. Pengaruh lama pengukusan terhadap aroma beras pratanak

Perlakuan Nilai aroma beras

Pengukusan 20 menit 4.01 a

Pengukusan 30 menit 3.47 b

Kontrol 4.31 a

Huruf yang sama menunjukkan bahwa perlakuan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05

2.

Warna

Menurut De Man (1997) dalam Akhyar (2009) warna penting bagi banyak makanan. baik bagi makanan yang tidak diproses maupun bagi yang dimanufaktur. Bersama-sama dengan bau, rasa, dan tesktur, warna memegang peranan penting dalam penerimaan makanan. Selain itu, warna dapat memberikan petunjuk mengenai perubahan kimia dalam makanan seperti pencoklatan dan pengkaramelan.

Warna merupakan sifat sensoris pertama yang bisa dinilai langsung oleh panelis. Suatu bahan makanan dinilai bergizi, enak, dan teksturnya sangat baik tidak akan dikonsumsi apabila memiliki warna yang tidak sedap dipandang atau memberi kesan telah menyimpang dari warna yang seharusnya. Pada penelitian ini, sebagian besar panelis lebih memilih beras tanpa perlakuan pratanak karena memiliki warna yang lebih putih dan lebih menarik. Seperti yang terlihat pada Gambar 11, warna beras pratanak yang kecoklatan membuat nilai organoleptiknya menjadi rendah. Nilai rata-rata uji organoleptik beras pratanak untuk lama pengukusan 20 menit dan 30 menit berturut-turut adalah 3.47 dan 4.01. Nilai ini mengindikasikan bahwa warna beras pratanak dapat diterima karena berada pada area netral. Namun, nilai warna beras pratanak pada pengukusan 20 menit lebih baik dibandingkan dengan pengukusan 30 menit.

Gambar 11. Nilai warna beras pratanak

Analisis sidik ragam pada Lampiran 26 menunjukkan bahwa perlakuan lama pengukusan mempunyai pengaruh nyata terhadap penilaian warna beras pratanak oleh panelis. Dari uji lanjut seperti pada Tabel 10, diperoleh nilai warna beras pratanak dengan perlakuan pengukusan 20 menit berbeda nyata dengan pengukusan 30 menit dan berbeda nyata dengan perlakuan kontrol.

4.01 3.47 5.03 0 1 2 3 4 5 6 7 N il ai W ar n a Lama pengukusan 20 menit 30 menit kontrol

27 Tabel 10. Pengaruh lama pengukusan terhadap warna beras pratanak

Perlakuan Nilai warna beras

Pengukusan 20 menit 4.01 b

Pengukusan 30 menit 3.47 c

Kontrol 5.03 a

Huruf yang sama menunjukkan bahwa perlakuan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05

3.

Penerimaan Secara Umum

Penampakan merupakan parameter organoleptik yang penting karena sifat sensoris yang pertama kali dilihat oleh konsumen. Pada umumnya konsumen memilih makanan yang memiliki penampakan yang menarik (Soekarto 1985). Perlakuan pengukusan selama 20 menit memiliki nilai diantara netral dan agak suka seperti pada Gambar 12. Namun tidak demikian dengan yang terjadi pada pengukusan 30 menit, rata-rata panelis memilih agak tidak suka terhadap penampakan umum beras pratanak tersebut. Jika dilihat dari uji organoleptik sebelumnya terhadap aroma dan warna, pengukusan 30 menit juga menunjukkan nilai yang rendah.

Gambar 12. Nilai penerimaan secara umum terhadap beras pratanak

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa proses pratanak dengan perlakuan lama pengukusan signifikan terhadap nilai penerimaan secara umum beras pratanak. Pilihan pertama panelis jatuh pada kontrol (Tabel 11) karena penampakan secara keseluruhan lebih menarik dibanding dengan beras yang diberi perlakuan pratanak atau beras pratanak. Sedangkan untuk beras hasil pratanak, penerimaan secara umum beras pratanak dengan lama pengukusan 20 menit lebih disukai

Dokumen terkait