BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.6 Proses Pengolahan Rotan
Pengolahan rotan lanjutan adalah proses pengolahan yang dilakukan rotan mentah yang telah dipungut dari hutan atau kebin menjadi rotan setengah jadi atau barang jadi. Tujuan pengolahan rotan asalan antara lain untuk menghilangkan kotoran dan selaput silika yang masih melekat pada batang rotan, mendapatkan bahan baku rotan yang tahan terhadap hama dan penyakit, menghasilkan bahan baku rotan bulat
(amplas dan serut), kulit dan hati rotan yang diinginkan sesuai dengan tujuan penggunaannya, dan meningkatkan nilai tambah, keindahan, hasil guna bahan baku rotan.
Industri pengolahan rotan dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan tingkat pengolahan dan hasil produksinya (Subiyanto 1986, dalam Widodo 1993), yaitu: a. Industri yang menghasilkan rotan bulat W & S (Washed and Sulphurized).
Kelompok ini merupakan usaha pengawetan rotan bulat sebagai bahan baku
b. Industri yang menghasilkan bahan baku siap pakai atau barang-barang setengah jadi. Kelompok ini mengolah rotan bulat menjadi bentuk barang-barang setengah jadi yang disesuaikan dengan sifat dan keperluannya (rotan polished, peel/bark core).
c. Industri yang menghasilkan barang-barang jadi dan barang-barang kerajinan. Kelompok ini mengolah bahan baku siap pakai atau barang setengah jadi menjadi barang jadi dan barang-barang kerajinan (furniture/alat-alat rumah tangga, lampit, anyaman, kap lampu, keranjang, dan lain-lain).
Tahap-tahap pengolahan rotan asalan (W dan S) yang baru dipungut dari hutan, sebagai berikut:
a. Pemotongan Rotan
Kegiatan ini dilakukan untuk membagi panjang rotan menjadi beberapa bagian sesuai ukuran standar dalam perdagangan rotan. Biasanya rotan dipotong sepanjang 5-6 m dan dilipat menjadi dua bagian. Pemotongan dilakukan sebelum peruntian atau sebelum sortasi kualitas.
b. Perendaman dalam Air
Rotan yang telah dipotong sesuai ukuran akan diikat rapi. Kemudian rotan direndam dalam air mengalir. Lama perendaman sekitar 1-7 hari dan selalu diawasi agar jangan terjadi perubahan warna akibat kesalahan perendaman. Pada saat direndam warna rotan umumnya kuning kehitam-hitaman. Perendaman dilakukan jika peruntian tidak dapat dilakukan secepatnya. Jika perendaman tidak segera dilakukan maka rotan mudah terserang oleh jamur perusak yang menyebabkan perubahan warna rotan.
c. Pencucian dan Penggosokan
kegiatan ini bertujuan untuk menghilangkan kotoran yang terdapat pada batang rotan. Warna cahaya atau kilap rotan akan meningkat setelah dilakukan pencucian. Pencucian rotan dilakukan sambil menggosok batang dengan serabut kelapa, kain yang agak tebal atau memakai pasir yang digenggam.
d. Peruntian
Bertujuan untuk menghilangkan epidermis di bagian dalam seludang daun yang masih melekat pada batang rotan, sekaligus menghilangkan epidermis di bagian luar batang rotan yang mengandung silika.
e. Pengikisan
Bertujuan untuk mengikis atau meratakan tulang rotan bagian luar yang tidak rata dengan ruasnya. Pengikisan tergantung pada jenis rotan yang diolah, diameter rotan, pesanan konsumen, dan keperluan penggunaannya.
f. Penjemuran/pengeringan
Merupakan proses yang sangat penting karena secara langsung mempengaruhi kualitas rotan yang dihasilkan. Tujuan pengeringan adalah untuk mengeluarkan air dari batang rotan agar warna rotan tidak berubah, sekaligus mencegah noda-noda hitam akibat serangan jamur pada batang rotan. Pengeringan yang baik adalah di tempat-tempat teduh tapi terbuka agar batang rotan yang dikeringkan tidak mengerut. Pengeringan dapat juga dilakukan dengan menggunakan terik matahari. Lama penjemuran 1-3 hari, dan tergantung pada kondisi cuaca dan iklim. Pengeringan rotan baru selesai apabila warna hijau telah berubah menjadi kuning keemasan.
g. Pelurusan
Kegiatan ini dilakukan pada rotan berdiameter besar yang tidak lurus. Kemudian dilakukan pemotongan yang bertujuan untuk menyeragamkan ukuran rotan secara keseluruhan sesuai dengan syarat dan kualitas yang ditentukan.
h. Pengawetan/pemutihan
Bertujuan untuk mengurangi kerusakan dan kemunduran kualitas akibat senyawa berbagai organisme perusak. Pengawetan rotan dapat dilakukan dengan tiga cara
yaitu perendaman dengan air mengalir, perendaman dengan larutan pengawet (kaporit) yang bersifat racun untuk menghilangkan getah rotan, membunuh bibit penyakit, dan memperbaiki warna rotan, perebusan dalam larutan bahan pengawet (minyak kelapa dicampur solar dengan perbandingan 1:3, atau dengan minyak tanah). Perebusan dalam larutan bahan pengawet dapat meningkatkan kekuatan rotan, dan mempercepat pengeringan. Perebusan dengan bahan pengwet ini dilakukan hanya untuk rotan yang berdiameter besar.
i. Pengasapan
Bertujuan untuk memasukkan asap belerang ke dalam pori-pori rotan unuk membunuh dan membasmi serangan hama penyakit bila rotan disimpan dalam waktu lama, sekaligus untuk meningkatkan warna mutu rotan. Lama pengasapan kurang lebih 12-24 jam.
j. Sortasi kualitas
Bertujuan untuk menentukan kelas dan kualitas rotan sesuai standar yang berlaku.
2.6.2 Pengolahan rotan setengah jadi
Rotan asalan yang telah diolah masih harus diolah lebih lanjut agar dapat digunakan untuk bahan anyaman yang memiliki nilai estetika tinggi. Tahap-tahap pengolahan lanjutan tersebut, antara lain:
a. Pengolahan rotan amplas
Dilakukan hanya untuk rotan yang berdiameter besar karena biasanya rotan tersebut memiliki bentuk batang yang agak kasar dan bentuk buku menonjol. Kegiatan ini bertujuan untuk membentuk permukaan rotan menjadi halus dengan menggunakan mesin amplas rotan atau kertas amplas. Olahan rotan amplas akan menghasilkan dua macam bentuk rotan, yaitu rotan bulat dengan kulit yang sudah dipoles halus, dan rotan bulat tanpa kulit yang sudah dipoles halus.
b. Pengolahan kulit, hati rotan, dan flitrit secara tradisional atau secara semi mekanis Secara tradisional, pengidaran rotan dapat dilakukan dengan pisau khusus. Pengolahan rotan secara manual akan memakan waktu yang cukup lama dengan bentuk dan ukuran yang beragam. Sedangkan secara semi mekanis, rotan bulat
akan dimasukkan ke dalam mesin pengolah rotan. Kemudian kulit rotan yang telah dibelah atau dikupas menggunakan mesin pembelah akan ditipiskan lagi dengan menggunakan mesin penipis kulit, dan hati rotan yang telah dikupas dimasukkan dalam mesin pemecah hati rotan (Coring machine) untuk dipecah sesuai keinginan (Januminro 2000).
2.6.3 Pengolahan rotan menjadi furniture
Pengolahan rotan asalan dan setengah jadi menjadi suatu produk sangat tergantung pada tujuan dan bentuk barang yang diinginkan. Sedangkan proses pembuatan produk sangat tergantung pada kreasi, imajinasi, dan keterampilan pembuatnya. Proses pembuatan barang jadi merupakan gabungan proses mekanik (pemotongan dan pengolahan rotan) dan pengerjaan seni tradisional (pembentukan produk jadi secara manual). Pengusahaan barang jadi rotan merupakan usaha yang padat karya atau menyerap banyak tenaga kerja manusia yang memiliki keterampilan. Proses pembuatan furniture secara umum terdiri dari beberapa tahap, antara lain: a. Persiapan bahan baku
Pada tahap ini bahan baku dipersiapkan mulai dari jenis rotan, dan ukuran rotan yang dipakai. Selain itu dipersiapkan juga bahan penolong seperti dempul, amplas,
sending sealer, top coat, pewarna, dan tinner. b. Pembentukan dan pembuatan tipe mebel
Pada tahap ini dilakukan pengukuran bahan baku dengan mempertimbangkan spilasi ukuran. Setelah itu dilakukan pemotongan bahan baku yang telah dibuat ukurannya. Dalam pemotongan akan dilakukan juga pembuatan sambungan antar rangka mebel. Setelah pemotongan selesai, kemudian dilakukan pembengkokan sesuai dengan model atau tipe yang direncanakan. Pembengkokan dapat dilakukan dengan cara dipanaskan dengan kompor semprot atau steaming oven.
c. Perakitan
Proses ini merupakan kegiatan merangkai komponen-komponen yang telah dibuat sebelumnya. Perakitan harus dilakukan oleh pekerja yang terampil dan
berpengalaman karena sangat menentukan bentuk, ukuran dimensi, dan proses selanjutnya.
d. Pre-finishing, Finishing, pengeringan, dan seleksi
Pre-finishing terdiri dari beberapa tahapan yaitu amplas dasar, dempul, dan pengomporan. Sedangkan pada kegiatan finishing terdiri dari pewarnaan, penyemprotan melamin sending sealer, amplas sending, penyemprotan melaine top coat.
2.7Biaya Produksi Furniture Rotan
Tujuan umum didirikannya suatu usaha atau industri adalah untuk memperoleh keuntungan. Selain itu memiliki tujuan yang bersifat sosial seperti menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat dan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan produk atau jasa tertentu. Dalam menjalankan kegiatan produksi, perusahaan atau industri akan berhadapan dengan masalah biaya produksi. Garrison (1997) mengelompokkan biaya produksi menjadi dua, yaitu :
1. Biaya Tetap, adalah biaya yang tetap tidak berubah dalam jumlah totalnya, tanpa mempedulikan perubahan tingkat kegiatan usaha. Saat tingkat kegiatan naik dan turun, jumlah total biaya tetap akan konstan.
2. Biaya Variabel, adalah biaya yang secara total berubah-ubah, berbanding lurus dengan perubahan tingkat kegiatan usaha. Dalam arti nilai uang total biaya tersebut naik dan turun seiring dengan naik dan turunnya kegiatan usaha.
Komponen dari biaya variabel industri mebel rotan pada penelitian Widodo (1993) adalah biaya bahan baku, upah langsung, listrik, pemeliharaan alat, perbaikan alat, biaya amplas mesin, biaya amplas tangan, dan biaya bahan bakar. Sedangkan komponen dari biaya tetap adalah biaya penyusutan, bunga modal, upah tidak langsung, dan biaya overhead. Biaya bahan baku merupakan biaya terbesar yang dikeluarkan dalam melakukan proses produksi sekitar 63,80% dari biaya total produksi per bulan. Besarnya biaya produksi per unit Rp. 38.830 dan besarnya keuntungan Rp. 9.880/unit.
Pada penelitian Rury (2007) dapat dilihat adanya hubungan kerjasama antara perusahaan dengan pengrajin, sehingga analisis biaya yang dihitung dibedakan atas analisis biaya pada pengrajin dan analisis biaya pada perusahaan. Pengrajin yang dipakai perusahaan dibedakan atas dua bagian, yaitu pengrajin rangka dan pengrajin anyaman. Biaya produksi yang dikeluarkan oleh pengrajin terdiri dari biaya variabel, seperti biaya bahan penolong, upah kerja, dan transportasi berupa pembelian BBM, sedangkan biaya tetapnya terdiri dari biaya depresiasi, bunga modal, pemeliharaan dan listrik. Biaya variabel merupakan pengeluaran terbesar pada pengrajin yaitu rata- rata Rp. 20.490/unit untuk pengrajin anyaman dan Rp. 42.470/unit untuk pengrajin rangka. Perbedaan biaya variabel yang jauh diantara dua pengrajin tersebut disebabkan karena pengrajin anyaman tidak membeli bahan baku. Sedangkan komponen biaya upah pada pengrajin anyaman lebih besar daripada pengrajin rangka karena waktu pengerjaan setiap unit produk lebih lama dan mahal. Besarnya keuntungan yang diperoleh pengrajin anyaman rotan rata-rata Rp. 6.200/unit sedangkan untuk pengrajin rangka Rp. 5.550/unit. Perbedaan keuntungan disebabkan karena pengrajin anyaman mengeluarkan biaya produksi yang tidak terlalu besar, sedangkan pengrajin rangka mengeluarkan biaya produksi yang lebih besar untuk membeli bahan baku. Jika dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh perusahaan rata-rata Rp. 47.090/unit maka keuntungan yang diperoleh pengrajin jauh lebih kecil. Hal ini terjadi karena pengrajin tidak memiliki kekuatan untuk menentukan harga jual produknya kepada perusahaan. Adanya persaingan diantara pengrajin dalam mendapatkan order membuat kecenderungan harga jual produk semakin turun.
2.8 Harga Pokok
Harga pokok adalah semua biaya yang dikeluarkan untuk produksi suatu barang atau jasa selama periode yang bersangkutan (Kuswadi 2005). Perusahaan harus mengetahui harga pokok dari barang yang dihasilkan untuk mengetahui nilai persediaan harga pokok penjualan dan profitabilitas. Konsep harga pokok dapat dibedakan atas harga pokok historis dan harga pokok normatif. Harga pokok historis
adalah jumlah biaya yang nyata-nyata dikeluarkan untuk memproduksi suatu barang ditambah biaya lainnya sehingga barang tersebut berada di pasar. Sedangkan harga pokok normatif adalah jumlah total biaya yang seharusnya dikeluarkan ditambah biaya lainnya sehingga barang tersebut berada di pasar. Dalam penetapan harga pokok suatu produk, perusahaan lebih cenderung menganut teori harga pokok normatif.
2.9 Analisis Break Even Point (BEP)
Dalam menjalankan usaha dibutuhkan perencanaan yang terkait erat dalam proses pengambilan keputusan. Banyak metode yang dapat digunakan untuk membantu proses pengambilan keputusan tersebut. Salah satu metode kuantitatif yang banyak digunakan adalah Break Even Analysis. Nugroho (2002) mendefenisikan
Break Even sebagai suatu kondisi dimana suatu usaha tidak memperoleh keuntungan tetapi juga tidak mengalami kerugian atau suatu kondisi yang impas/ seimbang antara penerimaan dan biaya-biaya. Dengan demikian konsep Break Even Point dapat diartikan sebagai suatu konsep untuk menganalisis suatu keputusan dengan pendekatan biaya sama (break even) atau titik impas (break even point).
2.10 Analisis Profitabilitas
Profitabilitas atau rentabilitas merupakan kemampuan perusahaan dalam memperoleh laba melalui semua kemampuan dan sumber daya yang ada, seperti penjualan, kas, modal, jumlah karyawan, jumlah cabang dan sebagainya. Kemampuan perusahaan dalam memperoleh laba dapat dilihat dari nilai ROI yang dihasilkan. Semakin besar nilai ROI, maka semakin besar pula laba bersih yang mampu dihasilkan oleh suatu perusahaan (Kuswadi 2005).
Batasan yang secara umum digunakan untuk menilai kelayakan suatu usaha adalah Benefit Cost Ratio (BCR), Internal Rate of Return (IRR), dan Net Present Value (NPV). Suatu usaha akan dianggap layak apabila memiliki nilai B/C ratio > 1, nilai NPV positif, dan IRR lebih besar dari tingkat suku bunga yang digunakan (Klemperer 1996).