• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ada dua landasan normatif yang menjadi acuan proses perencanaan dan penganggaran APBD secara nasional yaitu Uundang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Implementasi kedua undang-undang tersebut belum sepenuhnya dilaksanakan di Kabupaten Donggala maupun di Kota Palu. Gambaran pelaksanaannya dapat dilihat pada gambar 17

proses Output

Gambar 17 Alur Perencanaan dan Penganggaran di Kabupaten Donggala dan Kota Palu.

Sejak rezim di negara ini berubah, paradigma pembangunan juga ikut berubah. Kini masyarakat diposisikan sebagai pelaku utama pembangunan. Sementara peran pemerintah tidak lagi sebagai pelaksana melainkan sebagai fasilitator dalam pembangunan. Dengan peran dan posisi yang sangat sentral tersebut, rakyat berhak untuk terlibat, memberi masukan dan keputusan khususnya di perencanaan sampai pelaksanaan. Pemenuhan hak-hak dasar itu terimplementasi dalam forum publik yang disebut Musyawarah Perencanaan Pembangunan (MUSRENBANG), yang juga merupakan forum pendidikan warga agar menjadi bagian aktif dari tata pemerintahan dan pembangunan.

Musrenbang Kelurahan Musrenbang Kecamatan Musrenbang Kota/Kabupaten Penajaman Usulan kegiatan setiap dinas Rencana Anggaran SKPD Pembahasan Rencana Anggaran oleh Tim Asistensi

Penetapan RKPD Pengajuan RAPBD kepada DPRD

Penyusunan dan Penetapan KUA dan PPAS

Tahun fiskal dimulai 1 Januari sampai dengan 31 Desember dengan formulasi anggaran yang terdiri dari dua komponen yaitu proses perencanaan yang bersifat bottom up dan proses penganggaran yang bersifat top down. Dengan demikian, musrenbang dapat pula disebut sebagai model pembangunan yang partisipatif, karena secara konseptual pembangunan partisipatif itu sering disebut sebagai model pembangunan yang menerapkan konsep partisipatif dengan melibatkan semua pihak dalam proses pembangunan.

Pelaksanaan musrenbang difasilitasi oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah yang targetnya adalah memberi ruang kepada rakyat untuk menyalurkan aspirasi, memaparkan masalah dan kebutuhannya dimulai dari tingkat kelurahan/desa sampai pada tingkat provinsi. Dalam pelaksanaan musrenbang, ada tiga masalah yang dihadapi yaitu masalah input, proses dan output. Berdasarkan temuan di lapangan yaitu di Kabupaten Donggala dan di Kota Palu, masalah input di Kota Palu adalah masih sangat minimnya keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan musrenbang khususnya di tingkat kelurahan/desa. Masalah ini diakibatkan minimnya sosialisasi akan pentingnya keterlibatan masyarakat dalam proses pelaksanaan musrenbang karena kurang dipahaminya peran sentral masyarakat dalam proses pengambilan keputusan di tingkat kelurahan/desa. Selain itu, di masyarakat sendiri juga dihadapkan pada masalah kurangnya peran tokoh masyarakat khususnya di tingkat kelurahan. Jikapun pada kelurahan terdapat banyak potensi generasi mudanya, namun kesempatan berkiprah dalam musrenbang jarang memberikan kesempatan pada mereka. Bappeda hanya mengundang para wakil masyarakat yang telah mereka kenal. Akibatnya terjadi marginalisasi anggota masyarakat. Sosialisasi pra musrenbang pada setiap tingkat Rukun Warga dapat menemukan anggota masyarakat yang dapat dipercaya dan amanah dalam mewakili masyarakat dalam musrenbang. Pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri dapat direplikasi agar pelaksanaan musrenbang benar- benar berjalan sebagaimana mestinya. Masalah lainnya adalah keterbatasan kemampuan untuk menggali akar masalah, merumuskan masalah prioritas, menyusun strategi pemecahan masalah dan rencana aksi, serta rencana jangka menengah yang masih banyak di masyarakat. Bappeda Kota Palu seharusnya tidak mengalami kesulitan, karena sejak 2003 semua kelurahan di Kecamatan yang ada di Kota Palu telah mempunyai Badan Keswadayaan Masyarakat melalui PNPM Perkotaan di mana para anggotanya terpilih langsung oleh masyarakat sesuai kriteria jujur, amanah, dapat dipercaya dan mereka menjadi relawan tanpa pamrih. Masalahnya terletak pada minimnya peran pegawai Bappeda dan pegawai Kelurahan untuk menjadi fasilitator pada musrenbang. Hal ini dapat diatasi melalui penggunaan aktivis

Civil Society Organization dan Non Government Organization. Namun, aparat Bappeda ini juga harus mampu melakukan fasilitasi setelah melalui pelatihan.

Temuan yang berbeda didapatkan di lapangan, dari sisi input proses Musrenbang yang dilakukan di Kabupaten Donggala sudah berjalan sesuai dengan standard operational prosedure yang diharapkan dalam menggali aspirasi dan kebutuhan masyarakat pada tingkat desa/kelurahan. Saat musrenbang kecamatan, semua unsur perencana yang ada di Bappeda bertindak sebagai fasilitator di kelurahan/desa yang menampung aspirasi masyarakat sehingga saat musrenbang kabupaten yang ada hanyalah penajaman dari program/kegiatan yang telah disinkronkan dengan program kegiatan SKPD. Sebelum dilakukan musrenbang kabupaten, pihak Bappeda telah memperlihatkan draft hasil musrenbang kecamatan yang menjadi kebutuhan dan menjadi prioritas untuk mendukung visi misi bupati. Saat pengajuan kebutuhan masyarakat telah berpedoman pada draft yang telah ada sehingga masukan dari masyarakat sudah terarah. Hal ini ditunjang juga oleh peran DPRD daerah pemilihan yang pada musrenbang kecamatan, mereka menghadirinya. Pada saat reses, mereka juga telah menjaring aspirasi masyarakat sehingga semua dapat sinkron dan apa yang menjadi kemauan masyarakat tetap dikawal anggota DPRD tersebut sampai pada saat musrenbang kabupaten. Tetapi, masih ada kekurangan dari proses musrenbang di Kabupaten Donggala yang masih

diusahakan untuk dimaksimalkan yaitu keterwakilan tokoh di masyarakat. Para tokoh masyarakat ini diharapkan dapat menyampaikan aspirasi masyarakat yang masih sangat minim. Hal ini disebabkan oleh kriteria pilihan tokoh masyarakat hanya bersifat subyektif hanya karena ditokohkan sesuai usia.

Masalah proses dalam musrenbang di Kota Palu, karena dibatasi oleh waktu pelaksanaan yang sangat singkat terkadang waktu pelaksanaan musrenbang ditempuh dengan cara-cara di luar jalur atau koridor yang semestinya dilakukan. Misalnya mengadopsi secara utuh model perencanaan secara top down. Masyarakat hanya mendengarkan sejumlah program yang telah didesain sebelumnya dari pihak SKPD terkait sehingga mengakibatkan model-model pembangunan yang partisipatif yang sesungguhnya menjadi substansi musrenbang itu terabaikan. Pelaksanaan musrenbang sendiri terkesan hanya sekedar untuk memenuhi kepentingan pihak tertentu sehingga proses pelaksanaannya hanya formalitas saja. Di sinilah mind set aparat harus diubah karena sebelum melakukan fasilitasi pra musrenbang, para aparat Bappeda ini harus terlatih memfasilitasi.

Waktu pelaksanaan yang sangat singkat mengakibatkan tidak terekamnya secara utuh akar permasalahan yang ada di masyarakat sehingga usulan warga dalam proses musrenbang semakin mengecil saat sudah sampai di tingkat yang lebih tinggi, karena pada tingkat yang lebih tinggi akan berhadapan dengan sejumlah daftar belanja dari tiap SKPD yang urgensinya terkadang masih dipertanyakan dan tidak mempunyai hubungan dengan kepentingan masyarakat. Jika semua masalah dalam pelaksanaan musrenbang itu masih ada, tidak akan melahirkan sejumlah program dan kegiatan yang dapat menjawab kebutuhan masyarakat. Dari akar permasalahan inilah sehingga musrenbang yang ada di Kota Palu sulit bersinergi dengan pelaksanaan musrenbang di tingkat yang lebih tinggi yaitu di Provinsi Sulawesi Tengah, sehingga pemerintah provinsi sulit menghadapi Pemerintah Kabupaten/Kota yang masih banyak menghadapi persoalan-persoalan dasar dan sulit disinergikan akibat pertarungan kepentingan.

Hasil musrenbang desa/kelurahan, kecamatan tidak dimanfaatkan oleh SKPD terkait karena mereka telah memiliki program/kegiatan sendiri. Kecenderungan lainnya adalah masalah yang ada di masyarakat umumnya tidak terdokumentasi dengan baik sehingga tidak terdistribusi dengan baik ke instansi tekhnis dan menjadi alasan dari SKPD mengapa usulan- usulan masyarakat tersebut tidak dapat dilaksanakan. Masalah lainnya adalah kurangnya umpan balik kepada masyarakat tentang hasil musrenbang. Hal ini dikarenakan minimnya sistem transparansi sehingga banyak usulan masyarakat tidak terpenuhi. Akibatnya, hal ini menjadikan rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap urgensi pelaksanaan musrenbang itu sendiri. Musrenbang terkesan hanya sebagai alat untuk melegitimasi bahwa penyusunan dokumen perencanaan telah dilaksanakan secara partisipatif dengan segenap sistematika urutannya.

Dalam proses perencanaan di Kota Palu, yang memfasilitasi proses perencanaan di tingkat kelurahan dan kecamatan didominasi personil yang berasal dari lembaga swadaya masyarakat. Personil BAPPEDA Kota Palu hanya menjalankan tugas-tugas administratif tanpa mempunyai kemampuan memfasilitasi. Bappeda Kota Palu memfasilitasi proses perencanaan hanya pada tingkat Musrenbang Kota. Sebaliknya, di Kabupaten Donggala, proses fasilitasi perecanaan dilakukan oleh personil Bappeda Kabupaten Donggala sejak dari musrenbang kelurahan, musrenbang kecamatan dan kabupaten.

Dalam proses perencanaan di Kota Palu, dokumen musrenbang tahun lalu seringkali terpisah dan belum dijadikan acuan bagi musrenbang berikutnya, utamanya usulan-usulan yang belum terealisir. Di Kabupaten Donggala, dokumen musrenbang tahun sebelumnya dijadikan acuan bagi musrenbang berikutnya utamanya usulan-usulan yang belum terealisir dikonfirmasikan ke tingkat kelurahan dan kecamatan lalu direalisasikan dalam rencana kerja satuan kerja pemerintah daerah. Dalam penyusunan Renja SKPD, di Kota Palu ada SKPD

tertentu yang tidak mempunyai dokumen renstra. Bilapun ada, renstra SKPD hanya disusun apa adanya berdasarkan daftar keinginan SKPD. Bahkan dalam penyusunan Renja SKPD, RPJMD Kota Palu dan Renstra SKPD belum dijadikan acuan. Sebaliknya, di Kabupaten Donggala, ada rangkaian yang jelas dalam penyusunan dokumen perencanaan sejak dari RPJMD Kabupaten Donggala, Renstra SKPD dan Renja SKPD.

Masalah output dalam musrenbang di Kota Palu, dari semua jenjang musrenbang masih sulit menghilangkan paradigma lama dari para penentu kebijakan. Musrenbang itu sendiri masih sering disebut sebagai arena untuk berlomba menyusun daftar belanja dari tiap SKPD. Daftar belanja dari tiap SKPD tersebut disusun sebanyak mungkin tanpa mempertimbangkan skala kebutuhan dari masyarakat. Akibatnya dapat diduga, program-program yang terlahir bukannya program yang berasal dari masyarakat, tetapi hanyalah program SKPD itu sendiri yang setiap tahunnya tidak berubah termasuk besaran anggarannya. Hal ini menjadi temuan anggota DPRD dalam setiap pembahasan baik di tingkat sidang Komisi bersama SKPD maupun di tingkat paripurna. Hal yang berbeda di dapatkan di Kabupaten Donggala dalam penajaman usulan kegiatan SKPD, rencana anggaran SKPD, sampai pada pembahasan rencana anggaraan oleh tim asistensi telah berjalan dengan baik. Tim Asistensi Pembangunan Daerah yang terdiri dari Bappeda, Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Aset Daerah, serta SKPD lainnya telah berfungsi baik, walaupun masih didominasi oleh peran Bappeda dan Dispenda dan Aset Daerah. Berjalan baiknya mekanisme perencanaan bottom up di Kabupaten Donggala ditunjang oleh staf yang handal dari segi kemampuan administratif dan koordinatif serta fasilitasi dalam menjalankan visi misi bupati. Di samping itu, team work

yang sangat solid mencakup para pemangku kepentingan karena social capital yang ada antar SKPD berjalan dengan baik. Namun, masih ada juga aparat SKPD yang terkendala kesehatan dan sikap mental yang masih berorientasi proyek sesaat. Adanya kontrak kerja antara bupati dan kepala SKPD bagi pencapaian kinerja yang efisien dan maksimal, walaupun sebagian kecil Kepala SKPD masih lemah di sisi akademik, tetapi karena solidnya team work dan kuatnya peran Bappeda, maka hal ini dapat teratasi. Satu hal yang menjadi masalah dalam melakukan monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh Bappeda yaitu sering terjadi dalam kegiatan SKPD masih dibiayai oleh dana APBD serta dibiayai juga oleh dana dekonsentrasi.

SKPD di Kabupaten Donggala dalam membuat rencana kerja SKPD telah berpedoman pada RENSTRA masing-masing SKPD yang merupakan penjabaran detail dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Donggala. Renstra tersebut disusun oleh masing-masing SKPD dengan alasan mereka yang paling mengetahui kondisi kabupatennya. Hal ini menunjukkan pula bahwa pemangku kepentingan di masing-masing SKPD telah menjadikan RPJMD Kabupaten Donggala sebagai rujukan awal dalam penyusunan program kegiatan SKPD sehingga Rencana Kerja SKPD tidak menyimpang dari RPJMD. Hal ini beralasan karena Bappeda selalu mensosialisasikan semangat perencanaan pada pemangku kepentingan SKPD hingga di tingkat bawah. Karena adanya sosialisasi yang tiada henti, maka walaupun terjadi perpindahan vertikal berupa promosi jabatan maupun perpindahan horizontal, pemerintah Kabupaten Donggala tidak akan kesulitan memulai dari awal. Di samping itu, Bappeda sebagai muara semua kegiatan perencanaan, pelaporan, administratif dan monitoring dan evaluasi, maka semua dokumen perencanaan dengan mudah dapat diperoleh di Bappeda. Adapun pekerjaan yang tersisa di Bappeda Donggala saat ini hanyalah mengupdate data-data tersebut dalam website Bappeda sendiri dan website Kabupaten Donggala sebagai wujud semangat transparansi dan akuntabilitas pemda. Hal ini terlihat konkrit pada Kantor Pelayanan Terpadu. Walaupun secara struktural KPT hanya setingkat Kantor, namun Kantor Pelayanan Terpadu telah diberikan wewenang sepenuhnya oleh Bupati untuk melaksanakan semua yang menjadi tupoksinya. Semua kewenangan adminstratif pelayanan dalam memungut pendapatan/restribusi daerah yang tadinya berada pada SKPD tehnis telah berada di KPT. Hal ini karena pertama, adanya kepercayaan dan niat baik SKPD

tehnis untuk ikhlas menyerahkan tupoksi adminsitratif ini. Kedua, Bupati Donggala berkomitmen dan memerintah semua Kepala SKPD untuk menyerahkan kewenangan adminstratif tadi. Ketiga, hubungan antara pemangku kepentingan di tiap SKPD dapatlah dikatakan berjalan harmonis karena kuatnya modal sosial dan seringnya mereka bertemu dalam rapat-rapat koordinasi dalam gedung perkantoran pemerintah Donggala termasuk DPRD berada dalam satu lokasi yang sama serta forum SKPD telah berjalan rutin. Konsekuensinya, SKPD tehnis tidak lagi menjadi lembaga pengumpul pendapatan dan retribusi daerah. SKPD tehnis justru lebih berkonsentrasi pada dua kewenangan utamanya yaitu pengendalian dan pengawasan di lapangan. Namun, masih ada juga kekurangannya yaitu belum semua kewenangan tersebut dapat dilaksanakan oleh KPT, tetapi pada dasarnya sudah dapat berjalan sebagaimana mestinya. Salah satu kelebihan lainnya yang dimiliki oleh pemangku kepentingan di kantor ini adalah semua staf sudah diharuskan memperoleh sertifikat pelayanan dasar terpadu yang diikuti oleh staf melalui pelatihan dan adanya ketentuan bahwa staf ini tidak akan dipindahkan dari KPT terkecuali karena alasan adanya promosi jabatan.

Pada penelitian ini, selain mengamati proses pelaksanaan musrenbang, juga diamati dan dilakukan analisis terhadap prinsip-prinsip penyusunan anggaran. Dalam penyusunan anggaran terdapat sejumlah prinsip yang harus diperhatikan agar anggaran yang disusun sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan dalam pengelolaannya memperhatikan prinsip- prinsip manajemen anggaran yang baik. Sesuai dengan PP Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, maka prinsip-prinsip yang harus dipenuhi meliputi:

a. Disiplin anggaran b. Prioritas anggaran c. Efisiensi anggaran

d. Efektifitas pengelolaan anggaran e. Akuntabilitas anggaran

f. Transparansi anggaran

Dari semua prinsip-prinsip tersebut setelah dilakukan pengolahan data dengan Chi-Square diperoleh hasil sebagai berikut :

Tabel 7 Prioritas anggaran di Kabupaten Donggala dan Kota Palu

Daerah Jawaban responden Total Responden

Ya Tidak

Donggala 14 26 40

Palu 21 17 38

Pearson Chi-Square 0,072 (Asymp sig α= 5% 2-sided) Sumber: Data olahan

Pada Tabel 7, dari indikator prioritas anggaran. Pertanyaan yang diajukan adalah dalam mengalokasikan anggaran, apakah muncul alokasi baru di luar prioritas sehingga dapat mengurangi alokasi pos anggaran lain yang telah direncanakan. Hasilnya dengan uji Chi- Square nilainya 0,072 yang berarti bahwa ada hubungan antara alokasi anggaran baru dengan pos anggaran lainnya. Kabupaten Donggala 26 responden atau sekitar 65 persen responden menjawab tidak ada alokasi baru di luar prioritas, dibandingkan Kota Palu responden yang menjawab tidak ada alokasi anggaran baru di luar prioritas hanya sebanyak 17 responden atau sekitar 44,7 persen.

Di lain pihak, setelah dilakukan wawancara yang lebih mendalam terhadap responden dari kalangan akademisi, diperoleh fakta bahwa di Kota Palu, dalam pelaksanaan pengurangan pos anggaran memang dapat ditolerir hanya saja pengurangan itu untuk

kepentingan SKPD dan bukan untuk masyarakat. Inilah konsekuensi dari Kota Palu dengan beberapa aparat pemerintah Kota Palu khususnya kepala SKPD yang cenderung menghabis- habiskan anggaran bagi perjalanan dinas terutama ke Jakarta dan keluar negeri, dll. Di tingkat bawahnya, beberapa staf SKPD cenderung memanfaatkan alokasi anggaran SKPD bagi kebutuhan Bimbingan Teknis yang mengada-ada sebagai perjalanan dinas. Bila semua SKPD berbuat demikian, maka alokasi anggaran SKPD cenderung hanya digunakan untuk mensejahterakan aparat Kota Palu daripada masyarakatnya.

Selanjutnya, responden di Kota Palu menjelaskan bahwa dalam tahun anggaran, masih ada Sisa Lebih Penggunaan Anggaran. Hal ini menunjukkan bahwa belum semua program dan kegiatan dapat terlaksana tepat pada waktunya sehingga masih menyisahkan anggaran lebih yang nantinya akan dikembalikan ke kas daerah. SILPA masih dapat dihindari jika dalam penetapan alokasi anggaran menggunakan analisis manfaat biaya melalui studi kelayakan yang difasilitasi oleh para akademisi yang kredibel. Tetapi, kenyataannya di Kota Palu dalam penetapan alokasi anggaran, prosedur yang dijalankan adalah SKPD menyusun rencana program kegiatan beserta estimasi anggarannya yang dibingkai dengan pagu anggaran berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah daerah yang telah ditetapkan oleh Bappeda, selanjutnya dituangkan dalan KUA dan PPAS kemudian dibahas di DPRD. Dalam pembahasan anggaran, masih banyak kepala SKPD hanya diwakilkan saja oleh staf atau sekretaris.

Bappeda Kota Palu belum melaksanakan tupoksinya dengan efektif, karena selama ini fungsi koordinatif kurang berjalan baik. Bappeda tidak lebih menjalankan tugas-tugas administratif layaknya Satuan Kerja Perangkat Daerah tekhnis lainnya. Di Kota Palu, Bappeda harus diberikan penyadaran kritis bahwa mereka harus menangani perencanaan dan koordinasi. Selama ini Bappeda sama dengan SKPD lain yaitu sebagai pelaksana kegiatan. Dari perspektif perencanaan, Bappeda Kota Palu menjadi titik kritis dalam reformasi birokrasi. Alasannya, Bappeda merupakan hulu segala macam program kegiatan SKPD tehnis. Bappeda inilah yang berperan dalam proses musrenbang, monitoring dan evaluasi maupun fasilitator di lapangan. Selama ini, proses fasilitasi di lapangan termasuk pelaksanaan musrenbang dominan difasilitasi oleh para aktivis lembaga swadaya masyarakat.

Bappeda Kota Palu seharusnya lebih berkonsentrasi pada fungsi koordinatifnya melalui fasilitasi lintas SKPD. Bappeda Kota Palu sebagai critical point dalam pelaksanaan reformasi birokrasi di bidang perencanaan. Bila ingin membumikan kembali perencanaan, saatnya sekarang mengaktualisasinya dengan memanfaatkan potensi yang ada di setiap aparat SKPD yang dapat berkiprah dalam pembangunan Kota Palu dengan memberikan keleluasaan dan ruang bagi mereka berkiprah dan berkarya. Ketidakmampuan Bappeda dalam koordinasi dengan SKPD serta tim kerja yang ada di Bappeda tidak berjalan maksimal sehingga sulit diharapkan adanya kesinambungan program antar SKPD. Selain itu, banyak ditemui SKPD yang mengsubkontrakan pembuatan dokumen-dokumen perencanaan pada pihak tertentu akibat pertarungan kepentingan dan lebih disayangkan lagi pihak SKPD tidak ikut dalam tim penyusunan tersebut sehingga dalam menjalankan tugasnya anggota SKPD tidak mengerti apa esensi dan tupoksinya.

Dari pengamatan dan diskusi di tingkat SKPD, sebenarnya Pemerintah Kota Palu mempunyai begitu banyak aparat di tingkat bawah khususnya staf bagian perencanaan dan program yang potensial baik dari sisi kapasitas akademik, kemampuan analisis sekarang dan akan datang, usia muda, serta ide melimpah. Mereka inilah yang dapat difasilitasi oleh Bappeda dalam penyusunan program terpadu sesuai misi visi Walikota. Di samping itu, sekretaris di setiap SKPD dapat dioptimalkan agar mereka tidak saja bertindak sebagai administrator lembaga. Sementara, Kepala SKPD dapat lebih fokus kepada implementasi kebijakan. Masih terdapat kelemahan internal yaitu adanya Kepala SKPD yang hanya mewakilkan kepada sekretaris dalam setiap rapat koordinasi, Rapat Dengar Pendapat dengan

DPRD Kota Palu. Sementara mereka hanya menghadiri acara seremonial dan sebagainya. Akibatnya, ketika berhadapan dalam pengambilan keputusan, mekanismenya menjadi lambat. Kepala SKPD lebih berkonsentrasi pada tataran kebijakan bahkan termasuk sosialisasi/update

setiap informasi yang datangnya dari pusat.

Di Kota Palu, SKPD yang juga mempunyai masalah adalah Badan Perizinan dan Pelayanan Terpadu. Pemerintah Kota Palu harus bercermin dari kabupaten lain yang melalui kekuasaan tunggal Walikota, perizinan terpadu terpusat pada BP2T sebagai layanan satu pintu. Selain komitmen Walikota, BP2T harus didukung oleh aparat yang cakap. Sayangnya, bila aparatnya sudah cakap, justru pelayanannya terganggu karena mutasi horizontal. Jika promosi vertikal, tentu masyarakat awam akan paham karena aparat pemangku kepentingan butuh juga promosi dan kenaikan pangkat sebagai reward. Di samping itu, anggaran bagi dukungan infrastruktur BP2T harus cukup dan peralatannya sesering mungkin harus menjalani kalibrasi. Karena bukan tidak mungkin, kecamatan dan kelurahan dapat menjadi ujung tombak BP2T dengan menempatkan aparatnya di sana untuk mendekatkan layanan dengan masyarakat di masa datang. Penguatan BP2T harus ada dan itu ditunjukkan oleh komitmen Walikota membackup sepenuhnya dari tindakan maupun regulasi yang tidak tumpang tindih utamanya antar perwali. Keluhan masyarakat atas lambatnya pengurusan izin mendirikan bangunan seperti termuat pada salah satu media lokal (Radar Sulteng, rabu, 8 agustus 2012) harus ditanggapi baik oleh pemerintah Kota Palu. Selama ini, untuk mengurus IMB, BP2T hanya pintu masuk pendaftaran, lalu menuju ke Dinas Penataan Ruang dan Perumahan, Sekot dan Walikota untuk mendapat pengesahan. Kelemahannya, tidak ada skema pelayanan yang jelas serta transparansi pembiayaan yang harus dipenuhi warga karena BP2T hanya menerima kwitansi pembayarannya saja dari instansi tehnis. Inilah buah pelimpahan yang tidak ikhlas dari pucuk pimpinan Kota Palu ke SKPDnya dan inilah

Dokumen terkait