• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses Perubahan Kebijakan dalam Pola Hubungan Stakeholder

Dalam dokumen V. HASIL DAN PEMBAHASAN (Halaman 49-58)

C. Hubungan Fungsional Pola Penganggaran dengan Kinerja Pembangunan untuk Indeks Laju Pertumbuhan Ekonomi

5.4.4. Proses Perubahan Kebijakan dalam Pola Hubungan Stakeholder

Hubungan (Relationship) antar stakehoder di Kabupaten Sumbawa Barat mengantisipasi kehidupan pascatambang sehubungan dengan habisnya tambang Tembaga dan Emas Proyek Batu Hijau PTNNT tahun 2027 dan upaya menghindari suasana Kabupaten hantu (ghost regency) pada masa pascatambang.

Narasi Kebijakan: Kilas Balik 42 Tahun Pertambangan Indonesia

Wacana dominan yang berkembang dan menjadi narasi kebijakan kelompok kepentingan pertambangan di Indonesia yang didominasi oleh pengusaha pertambangan adalah: Pertama kebijakan eksploitasi sumberdaya mineral oleh industri pertambangan di Indonesia pada era orde baru dimulai sejak 1967 melalui undang-undang No. 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan dan UU No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Kedua UU tersebut berlandaskan pada pasal 33 UUD 45 yang memberikan hak penguasaan pada negara (HPN) yang bermakna mengatur, mengurus dan menguasai atas sumberdaya alam (Saleng, 2004). Bahwa pertambangan adalah kebijakan yang diputuskan di tingkat nasional, disetujui atau tidaknya pertambangan untuk mineral dengan katagori strategis dan vital –menurut undang-undang- tersebut tergantung pada kebijakan pemerintah pusat. Bahkan pasal 3 UU 11/1967 secara tegas memberikan penggolangan atas bahan-bahan galian yakni strategis (golongan a), vital (golongan b) dan tidak termasuk golongan a dan b. Dengan demikian menjadi jelas bahwa bahan galian strategis dan vital pengelolaan dan perizinannya dikeluarkan oleh

pemerintah pusat sedangkan bahan galian non strategis dan non vital perizinannya dikeluarkan oleh pemerintah propinsi berdasarkan SIPD (Surat Izin Pertambangan Daerah) dimuat dalam PP No. 32 tahun 1969. Dengan demikan karakteristik pertambangan untuk golongan srategis dan vital bercorak sentralistik, sektoral dan top down karena merupakan wewenang penuh dari pemerintah pusat yang sangat dominan terhadap bahan galian tersebut. Untuk golongan bahan galian strategis dan vital dalam pengelolaan sumberdaya mineral, merupakan kesepakatan antara pemerintah Republik Indonesia dengan pihak investor yang tertuang kontrak karya pertambangan (KKP). Karena KKP landasan hukumnya UUPP dan UUPMA mengakibatkan perumusan KKP hanya mengatur kepentingan dua pihak saja yakni pemerintah pusat yang mewakili negara dan kepentingan investor. Hal ini mengakibatkan kesepakatan-kesepakatan dalam KKP tidak memberikan ruang partisipasi bagi pemerintah propinsi, kabupaten dan masyarakat lokal yang tinggal dekat dengan sumberdaya mineral. Undang-undang pertambangan tidak menyebutkan partisipasi dari pemerintah lokal dan masyarakat setempat dalam negosiasi-negosiasi kesepakatan kontrak antara pemerintah dan pihak investor. Kurang terakomodasinya kepentingan daerah dan masyarakat setempat dalam peraturan perundang-undangan menyebabkan investasi pertambangan selama 40 tahun berdiri diatas pondasi yang rapuh (Agenda 21, 2001). Sebagai konsekuensi dari situasi tersebut ketika perusahaan pertambangan memasuki tahap eksplorasi dan eksploitasi sering terjadinya konflik antara pemerintah daerah, masyarakat lokal dan perusahaan pertambangan. Tidak dilibatkannya pemda dan masyarakat dalam perumusan kontrak karya pertambangan membuat ruang gerak dan pilihan-pilihan masyarakat untuk melakukan inovasi kebijakan menjadi terbatas. Karakter KKP yang demikian itu berlaku seragam bagi kebijakan sumberdaya mineral dengan katagori vital dan strategis selama 42 tahun perjalanan industri pertambangan di Indonesia. Karakter KKP yang demikian itu, terlihat pula pada kontrak karya Proyek Batu Hijau antara pemerintah RI dengan PT. Newmont Nusa Tenggara (PTNNT) yang ditandatangani 2 Desember 1987. PTNNT sebagai pemegang KKP di satu sisi dan pemerintah daerah dengan sistem perundang-undangan Pemda di sisi lain. Kedua, faktor yang juga turut mendominasi narasi kebijakan nasional industri pertambangan di Indonesia adalah argumentasi yang menekankan pentingnya investasi asing langsung

(foreign direct invesment) (Todaro, 2006) yaitu (1) FDI pertambangan bertujuan untuk

transfer pengetahuan dan teknologi. Perusahaan-perusahaan multinasional akan membawa pengetahuan dan teknologi yang paling canggih mengenai proses produksi sekaligus memperkenalkan mesin-mesin dan peralatan modern kepada negara-negara dunia ketiga (2) FDI sektor pertambangan mendorong pembangunan bagi negara tuan rumah (host

penghasil (4) FDI menjadi sumber tumbuhnya teknologi, proses, produk sistem organisasi dan keterampilan managemen yang baru bagi perusahaan, fasilitas produksi yang lebih murah dan akses pada teknologi, produk, keterampilan dan pendanaan yang baru (5) memberikan kontribusi pada ukuran-ukuran ekonomi lokal seperti peningkatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan PAD. Narasi kebijakan ini mendominasi FDI sektor tambang secara nasional dan juga bagi daerah penghasil. Ketiga, untuk konteks pembangunan daerah wacana yang berkembang tentang pentingnya pertambangan adalah pemerintah daerah akan menerima berbagai bentuk pendapatan dalam bentuk pajak dan non pajak (royalty). Selain itu pertambangan akan menyerap tenaga kerja bagi masyarakat setempat, membuka lapangan usaha, memberikan dampak pengganda (multiplier effect) bagi masyarakat dan dibangunnya infrastruktur di daerah. Keempat, beberapa hasil riset membuktikan bahwa isu-isu lokal pertambangan masih terkooptasi dan belum menjadi mainstrem oleh dominannya narasi global tentang tambang yang telah disebutkan pada point sebelumnya. Isu–isu lokal yang belum terangkat kepermukaan adalah hilangnya aksessibilitas masyarakat setempat terhadap sumberdaya alam, tingginya kebocoran regional, rendahnya dampak pengganda (multiplier effect), rendahnya penyerapan tenaga kerja lokal. Perspektif jangka panjang tentang pertambangan yang mempunyai umur tertentu dan suatu saat akan habis seolah hilang oleh pola pikir rabun dekat (myopic) pengambil kebijakan dan stakeholder karena terlena oleh keuntungan yang sifatnya sesaat dan jangka pendek.

Diskripsi narasi global dan nasional tentang pertambangan hingga saat ini masih berlangsung, menjadi mainstrem, sudah mendapat tempat dan keyakinan, menyederhanakan kompleksitas situasi, terpisah dari diskursus sesungguhnya yang berkembang dilapangan. Dalam kasus pertambangan terlihat bahwa perdebatan global ikut bermain dalam konteks kebijakan lokal, sebaliknya aktifitas lokal termarginalisasi dalam narasi global yang dominan (IDS, 2006).

Posisi riset ini yang akan dijadikan arusutama (mainstrem) dan debat kebijakan adalah terkait dengan judul penelitian adalah model pembangunan daerah berkelanjutan melalui transformasi struktur ekonomi berbasis sumberdaya pertambangan ke sumberdaya lokal terbarukan (Studi kasus tambang tembaga dan emas proyek batu hijau PTNNT di Sumbawa Barat NTB) dengan mengacu pada tujuan penelitian.

Dari hasil wawancara menunjukan bahwa pemangku kepentingan (stakeholder) di Sumbawa Barat yakni pemerintah KSB, DPRD Sumbawa Barat, PTNNT, NGO, lembaga riset, tokoh masyarakat hingga DESDM belum mengarah pada perdebatan (diskursus) dan naratif menghadapi habisnya tambang dan kehidupan pascatambang. Perdebatan tentang pentingnya transformasi struktur ekonomi dari tambang ke sumberdaya lokal terbarukan

belum menjadi arusutama (mainstrem) perdebatan masing-masing pemangku kepentingan

(stakeholder), meskipun secara internal institusi sangat mendukung dikembangkannya

perdebatan dan wacana perlunya transformasi sumberdaya lokal selain tambang. Misalnya para pejabat Pemda Sumbawa Barat yang diwawancarai sependapat jika perlu kebijakan antisipasi habisnya tambang dan menghadapi pasca tambang dengan mengembangkan sumberdaya lokal (pertanian) yang ada didaerah tersebut. Namun wacana tersebut belum menjadi perdebatan (diskursus) dan narasi kebijakan antar pemangku kepentingan bahkan belum adanya sinergi stakeholder utama pembangunan yakni pemda Sumbawa Barat dan PTNNT. Kebijakan kedua institusi ini masih cenderung berjalan sendiri-sendiri bahkan berlawanan, hal ini terlihat belum adanya strategi bersama menghadapi habisnya tambang dan antisipasi kehidupan pascatambang. Hubungan antar stakeholder dalam diskursus dan naratif kebijakan mengantisipasi habisnya tambang dan kehidupan pasca tambang sebagai upaya menghindari Kabupaten hantu (ghost regency) ditunjukan pada Tabel 55.

Tabel 55. Hasil analisis diskursus dan naratif kebijakan mengantisipasi kehidupan pascatambang sehubungan dengan habisnya tambang Tembaga dan Emas Proyek Batu Hijau PTNNT tahun 2027 dalam menghindari suasana Kabupaten hantu (ghost regency)

Institusi Pemkab Sumbawa Barat DPRD Sumbawa Barat PT. Newmont Nusa Tenggara NGO Lembaga Riset Tokoh Masyarakat DESDM Pemkab Sumbawa Barat KMI KBT KTA KBT KBT KBT KLT DPRD Sumbawa Barat

KMI KTA KBT KTA KBT KLT

PT.Newmont Nusa Tenggara

KMI KBT KTA KTA KBT

NGO

KMI KBT KBT KTA

Lembaga Riset KMI KBT KTA

Tokoh Masyarakat

KMI KTA

DESDM KMI

Sumber : hasil analisis, 2008

Keterangan :

KMI = Kebijakan masih bersifat internal institusi

KBT = Kebijakan belum tersosialisasikan / sebatas wacana KLT = Kebijakan belum terkait

Kesulitan dan peluang arah transformasi struktur ekonomi untuk aspek diskursus dan narasi adalah:

ƒ Kesulitan:

1. Transformasi struktur ekonomi berbasis pertambangan ke sumberdaya lokal terbarukan, alokasi belanja pembangunan pada sektor-sektor non tambang dan kesiapan kebijakan belum menjadi diskursus dan naratif pemangku kepentingan

(stakeholder) di Sumbawa Barat mengantisipasi habisnya pertambangan

2. kekhawatiran Sumbawa Barat menjadi kabupaten hantu (ghost regency) pasca tambang belum dianggap sebagai suatu yang membahayakan bagi masa depan Sumbawa Barat oleh pemangku kepentingan (stakeholder) ketika tambang habis. Bahkan stakeholder kunci pembangunan yakni Pemkab. Sumbawa Barat dan PT. Newmont Nusa Tenggara masih berjalan sendiri

ƒ Peluang dan Kesempatan

Peluang dan kesempatan kearah transformasi struktur ekonomi, alokasi belanja pembangunan pada sektor-sektor non tambang dan kesiapan kebijakan, baru sebatas wacana secara internal institusi masing-masing stakeholder, khususnya bagi Pemkab. Sumbawa Barat dan PT. Newmont Nusa Tenggara sehingga perlu sebuah forum bersama yang melibatkan pemangku kepentingan (stakeholder) untuk mendiskusikan secara terbuka masa depan Sumbawa Barat pasca tambang

Jaringan Kerja Aktor

Dalam investasi pertambangan sedikitnya terdapat empat pihak yang berkepentingan, yaitu pemerintah republik Indonesia yang mewakili kepentingan negara, pemerintah daerah yang mewakili kepentingan daerah dimana investasi pertambangan berada, investor dan masyarakat setempat (Agenda 21, 2001). Selama 42 tahun lebih UU No. 11/1967 digunakan sebagai sumber pengaturan perizinan investasi pertambangan dalam negeri, sedang Kontrak Karya berisi pengaturan hak dan kewajiban investor dan Pemerintah Indonesia dalam proses investasi dan operasi pertambangan asing. Kedua sumber hukum investasi pertambangan ini dapat dikatakan tidak saling berkaitan, baik secara substansial maupun secara hukum. Ketentuan-ketentuan dalam Kontrak Karya dapat dikatakan berdiri sendiri dalam arti tidak bersumber dari UU No. 11/1967. (Agenda 21, 2001).

Meskipun kedua sumber hukum pertambangan ini tidak saling berkaitan, tetapi keduanya mempunyai ciri–ciri yang sama. Kesamaan pertama adalah bahwa keduanya sebagian besar berisikan pengaturan prosedur perizinan dalam aspek teknis dan ekonomis. Dengan perkataan lain kedua sumber hukum pertambangan ini tidak mengatur interaksi

antara pertambangan dengan masyarakat dan pemerintah daerah. Kesamaan lain, keduanya lebih berorientasi pada usaha pertambangan dan bukan pada pengelolaan sumberdaya mineral (mineral resources management) (Agenda 21, 2001).

Memaknai UU 11/67 dalam konteks jaringan kerja aktor, menempatkan tujuh

(stakeholder) berada pada posisi diametral yakni pemerintah pusat dan investor di satu sisi

versus pemerintah daerah dan masyarakat di sisi lain sehingga pertimbangan-pertimbangan lokal dan kepentingan daerah dalam industri pertambangan di Indonesia kurang diperhatikan. Dengan demikian ruang gerak pemerintah daerah menjadi terbatas dengan UU 11/67. Kebijakan transformasi sumberdaya mineral di Sumbawa Barat atas Proyek Batu Hijau PT. Newmont Nusa Tenggara dalam jangka menengah dan panjang adalah pertarungan konflik kepentingan antara eksekutif, legeslatif, perusahaan, ilmuwan, LSM dan pandangan masyarakat setempat. Transformasi mineral ke sumberdaya lain sulit diterima oleh kelompok yang berpandangan rabun dekat (miopic).

Dari hasil wawancara menunjukkan jaringan kerja aktor belum bekerja dengan baik bahkan berjalan sendiri-sendiri, saling melemahkan atau berlawanan, terkecuali pada internal masing-masing institusi. Jaringan kerja aktor mengantisipasi habisnya tambang dan kehidupan pasca tambang sebagai upaya menghindari Kabupaten hantu (ghost

regency) ditunjukan pada Tabel 56.

Tabel 56. Jaringan kerja aktor mengantisipasi kehidupan pascatambang sehubungan dengan habisnya tambang Tembaga dan Emas Proyek Batu Hijau PTNNT tahun 2027 dalam menghindari suasana Kabupaten hantu (ghost regency)

Institusi Pemkab Sumbawa Barat DPRD Sumbawa Barat PT. Newmont Nusa Tenggara NGO Lembaga Riset Tokoh Masyarakat DESDM Pemkab Sumbawa Barat RI RL BR TR TR TR RL DPRD Sumbawa Barat RI RL RL RL RL RL PT.Newmont Nusa Tenggara RI RL KL RL RI NGO RI RL RL BR Lembaga Riset RI RL RL Tokoh Masyarakat RI RL DESDM RI

Keterangan :

RI = Relasi internal institusi, RL = Relasi lemah, BR = Berlawanan, TR = Tidak ada relasi

Kesulitan dan peluang arah transformasi struktur ekonomi untuk aspek jaringan kerja aktor adalah:

ƒ Kesulitan:

Jaringan kerja aktor pembangunan mengantisipasi habisnya pertambangan belum terbentuk

ƒ Peluang dan Kesempatan:

Interaksi masing-masing pemangku kepentingan (stakeholder) sebenarnya relatif intensif namun relasi aktor kearah kerjasama masih belum terarah dalam melihat masa depan Sumbawa Barat pasca tambang

Politik dan Kepentingan

Apa yang harus dilakukan untuk menghindari penyakit Belanda (ducth deases), kabupaten hantu (ghost regency) atau bencana pertambangan untuk mendesain pembangunan berkelanjutan bagi kabupaten Sumbawa Barat? dengan kata lain, apa yang salah dan bagaimana mengoreksinya. Sehingga diperlukan kebijakan transformasi pertambangan ke sektor-sektor selain tambang dengan basis sumberdaya alam terbarukan

(renewable resources) didaerah setempat untuk pembangunan berkelanjutan di Sumbawa

Barat NTB. Politik/kepentingan yang dikembangkan adalah :

a. Memberikan kesadaran pada pemerintah daerah dan masyarakat bahwa pertambangan adalah sumberdaya yang tidak terbarukan (unrenewable resources), suatu saat pasti akan habis. Perolehan hasil dari tambang yang dinikmati oleh pemerintah daerah saat ini baik dalam bentuk royalty, pajak dan PAD hanya bersifat sementara dan jangka pendek. Untuk itu pemda dan masyarakat tidak perlu terlena dengan pertambangan karena sangat riskan jika menggantungkan masa depan pada pertambangan

b. Bagaimana mempengaruhi pemangku kepentingan (stakeholder) di kabupaten Sumbawa barat agar bersedia merumuskan kebijakan transformasi sumberdaya mineral ke sumberdaya lokal terbarukan

Untuk merumuskan politik kepentingan dalam transformasi sumberdaya mineral maka harus dirumuskan terlebih dahulu siapa yang paling berkepentingan terhadap

transformasi tersebut. Pihak-pihak yang berkepentingan: 1) Masyarakat berkepentingan untuk hidup sejahtera dan layak pasca tambang 2) Pemerintah daerah berkepentingan terhadap keberlanjutan pembangunan wilayah dan menyediaan sumber-sumber ekonomi potensial bagi rakyatnya 3) PT. Newmont Nusa Tenggara sebagai perusahaan multinasional berkepentingan meninggalkan nama baik di daerah tempat operasi. Meminimalisir stigma sebagai perusahaan yang penguras sumberdaya alam dan merusak lingkungan. Memandu proses tersebut, pemahaman pada politik, birokrasi dan kekuasaan dan kepentingan yang melatarbelakangi kebijakan.

Menurut hasil wawancara, secara faktual dilapangan menunjukkan bahwa politik kepentingan masing-masing stakeholder masih berjalan sendiri-sendiri bahkan untuk stakeholder tertentu justru berlawanan dengan stakeholder lainnya dalam mengantisipasi habisnya tambang dan kehidupan pasca tambang sebagai upaya menghindari Kabupaten hantu (ghost regency) di Sumbawa Barat. Ringkasnya masing-masing stakeholder belum mempunyai kesamaan visi dan persepsi tentang masa depan Sumbawa Barat pascatambang. Hal ini dipridiksikan muncul akibat UU yang bersifat sektoral dalam pengelolaan sumberdaya alam sehingga terjadi bias kepentingan pada tataran implementasinya. Politik dan kepentingan masing-masing stakeholder dalam mengantisipasi habisnya tambang dan kehidupan pasca tambang sebagai upaya menghindari Kabupaten hantu (ghost regency) ditunjukan pada Tabel 57.

Tabel 57. Politik dan kepentingan mengantisipasi kehidupan pascatambang sehubungan dengan habisnya tambang Tembaga dan Emas Proyek Batu Hijau PTNNT tahun 2027 dalam menghindari suasana Kabupaten hantu (ghost regency)

Institusi Pemkab Sumbawa Barat DPRD Sumbawa Barat PT. Newmont Nusa Tenggara NGO Lembaga Riset Tokoh Masyarakat DESDM Pemkab Sumbawa Barat KK KL KB KL KL KL KB DPRD Sumbawa Barat KK KL KL KL KL KL PT.Newmont Nusa Tenggara KK KL KL KL KL NGO KK KK KK KK Lembaga Risett KK KK KK Tokoh Masyarakat KK KL DESDM KK

Sumber : hasil analisis, 2008 Keterangan :

KK = Kepentingan kuat, KL = Kepentingan lemah

Kesulitan dan peluang arah transformasi struktur ekonomi untuk aspek politik dan kepentingan adalah:

ƒ Kesulitan:

Kepentingan masing-masing aktor berbeda dalam melihat masa depan Sumbawa Barat. Transformasi struktur ekonomi belum menjadi kepentingan bersama

ƒ Peluang dan Kesempatan:

Forum-forum bersama, media masa dll perlu dimanfaatkan untuk mendiskusikan transformasi struktur dan kesiapan kelembagaan pasca tambang

Ruang Kebijakan

Selanjutnya bagaimana agenda sumberdaya mineral yang tidak terbarukan di Sumbawa Barat dengan umur tambang yang tinggal 18 tahun lagi (2009-2027) dapat melahirkan debat kebijakan transformasi struktur ekonomi ke sumberdaya terbarukan selain tambang dari suara-suara yang tersembunyi?. Bagaimana membuat ruang untuk ilmu pengetahuan, penggunaan media untuk mengekspresikan dan mempublikasikan keberatan-keberatan yang ada. Kebijakan transformasi sumberdaya mineral ke sektor lain belum menjadi mainstrem dalam kebijakan Pemda Sumbawa Barat dalam perumusan kebijakan APBD tahunan, Visi Misi Bupati, RPJMD dan RPJMP. Demikian juga perumusan program CSR PT. Newmont Nusa Tenggara masih perlu diarahlan untuk pembangunan berkelanjutan pasca tambang

Konflik kebijakan tidak diselesaikan dengan pilihan teknis dan rasional saja antara beragam alternatif. Pembuatan kebijakan tetap pada realisme politik dan masyarakat, dan dari pengetahuan dan kekuasaan. Kebijakan di bangun atas keberhasilan peran serta aktor-aktornya; ilmuan, donor, politisi, staf LSM, petani dan lainnya.

Ruang kebijakan untuk memilih penyelesain yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi lokal nampak tertutup oleh narasi dominan yang memarginalisasikan transformasi sumberdaya mineral ke sumberdaya pengganti berbasis lokal terbarukan untuk pembangunan berkelanjutan bagi daerah penghasil dengan kata kunci: bagaimana mempengaruhi aktor agar mau menjalankan kebijakan transformasi sumberdaya mineral atas tambang tembaga dan emas proyek batu hijau PT.Newmont Nusa Tenggara.

Dalam dokumen V. HASIL DAN PEMBAHASAN (Halaman 49-58)