• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Proses Produksi Biodiesel

Biodiesel dapat diproduksi dengan bantuan katalis atau secara katalitik dan tanpa bantuan katalis atau secara non-katalik. Katalis yang bisa digunakan dalam reaksi dapat digolongkan kedalam tiga jenis yaitu katalis enzim, katalis asam, dan katalis basa. Contoh dari katalis basa yang biasa digunakan adalah natrium hidroksida (NaOH) atau kalium hidroksida (KOH), contoh katalis asam adalah asam sulfat (H2SO4) atau asam fosfat (H3PO4), contoh katalis enzim adalah lipase. Jenis katalis yang digunakan tergantung dari kandungan FFA (Free Fatty Acid)

dalam minyak/lemak. Katalis basa biasa digunakan untuk minyak/lemak dengan kandungan FFA 5 %, sedangkan katalis asam untuk minyak/lemak dengan kandungan FFA lebih dari 5 % (Joelianingsih et al., 2007).

Dalam pembuatan biodiesel dengan katalis, alkohol dengan jumlah atom karbon lebih banyak membutuhkan suhu yang lebih tinggi agar dapat dicapai konversi optimum (Freedman et al., 1984 di dalam Knothe, 2004). Molar rasio antara minyak dengan metanol tergantung dari katalis yang digunakan. Stokiometri reaksi menunjukkan jumlah metanol yang dibutuhkan adalah tiga mol per satu mol trigliserida (TG). Agar reaksi dapat bergeser ke kanan maka digunakan metanol yang berlebih, karena proses reaksi antara TG dengan metanol berlangsung secara bolak-balik.

Proses pembuatan biodiesel dengan katalis dimulai dengan reaksi transesterifikasi, pengembalian metanol yang tidak bereaksi, pemurnian metil ester dari katalis, pemisahan gliserol yang merupakan produk sampingan. Pemurnian menggunakan air dengan cara pencucian berulang, sehingga proses ini lebih boros air. Reaksi pembuatan biodiesel dengan katalis mempunyai kelebihan reaksi dapat berjalan lebih cepat sedangkan kekurangannya adalah diperlukannya proses yang panjang untuk memurnikan produk dan perlu pengadukan yang kuat dalam dalam reaksi karena metanol susah larut dalam minyak (Kusdiana dan Saka, 2001).

Reaksi kimia yang terjadi dalam pembuatan biodiesel merupakan transesterifikasi dan esterifikasi. Reaksi transesterifikasi adalah proses yang

mereaksikan trigliserida dalam minyak dengan alkohol (metanol) dan menghasilkan fatty acid metil ester (FAME) yang sering disebut dengan istilah biodiesel dan gliserol. Pers. reaksi transesterifikasi diperlihatkan secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 1, dimana R1 , R2, R3 : hidrokarbon rantai panjang dari asam lemak. Ada tiga tahapan yang terjadi pada reaksi transesterifikasi sebelum terbentuknya GL. Tahapan pertama adalah TG bereaksi dengan metanol akan membentuk digliserida (DG) dan FAME seperti yang ditunjukan pada Pers. (1.2), kemudian DG bereaksi kembali dengan metanol menghasilkan monogliserida dan FAME seperti yang ditunjukkan Pers. (1.3), dan selanjutnya MG bereaksi dengan metanol menghasilkan GL dan FAME, sehingga Persamaan reaksi keseluruhan ditunjukkan pada Pers. (1.1). Sedangkan esterifikasi adalah proses yang mereaksikan asam lemak bebas (FFA) dengan alkohol rantai pendek (metanol atau etanol) menghasilkan FAME dan air. Persamaan reaksi esterifikasi diperlihatkan pada Gambar 2, dimana R merupakan hidrokarbon rantai panjang asam lemak.

O O ║ ║

CH2 -O- C-R1 CH3 -O- C-R1 | O O CH2-OH | ║ ║ |

CH-O - C-R2 + 3 CH3OH CH3-O-C-R2 + CH-OH | O O |

| ║ ║ CH2-OH CH2 - O-C-R3 CH3 –O-C-R3

TG 3 MeOH 3FAME GL ...(1.1) Gambar 1 Persamaan reaksi transesterifikasi

TG + CH3OH ↔ DG + CH3COOR1 …..………. …(1.2)

MG + CH3OH ↔ GL + CH3COOR3 ………(1.4)

Proses esterifikasi dengan katalis asam diperlukan jika nabati mengandung FFA di atas 5 %. Jika minyak berkadar FFA tinggi (> 5 %) langsung ditransesterifikasi dengan katalis basa maka FFA akan bereaksi dengan katalis membentuk sabun, seperti yang diperlihatkan Persamaan reaksi pada Gambar 3.

O O ║ ║

R-C-O-H + CH3OH R-C-O-CH3 + H2O FFA Metanol Metil Ester air

Gambar 2 Persamaan reaksi esterifikasi

O O ║ ║

R-C-O-H + NaOH R - C-O- Na+ + H2O FFA Natrium Hidroksida Sabun air

Gambar 3 Persamaan reaksi saponifikasi/pembentukan sabun

Katalis NaOH yang digunakan sebagai katalisator pada proses produksi biodiesel secara katalitik akan terbentuk kembali pada saat terjadi proses pencucian seperti yang ditunjukkan Gambar 4. Akan tetapi, pada kenyataannya NaOH 100 % tidak kembali kebentuk semula, hal ini disebabkan adanya proses reaksi pembentukan sabun seperti yang ditunjukkan Gambar 3. FFA yang dikandung minyak akan bereaksi dengan NAOH akan menghasilkan sabun dan air.

Gambar 4 Persamaan reaksi proses pembentukan NaOH

Dalam reaksinya, metanol akan menggantikan asam lemak dari trigliserida untuk membentuk FAME. Pertukaran ester dapat terjadi dengan atau tanpa katalis, tergantung suhu. Pada suhu 250 ºC atau lebih reaksi dapat terjadi tanpa katalis. Transesterifikasi membutuhkan kondisi yang bebas air karena adanya air dapat menyebabkan reaksi berubah menjadi hidrolisis (Joelianingsih et al., 2007).

Proses pembuatan biodiesel secara non-katalitik mempunyai beberapa kelebihan diantaranya adalah tidak memerlukan penghilangan FFA dengan cara

refining atau pra-esterifikasi. Reaksi esterifikasi dan transesterifikasi dapat berlangsung dalam satu reaktor sehingga minyak dengan kadar FFA tinggi dapat langsung digunakan (Joelianingsih et al., 2007). Selain itu karena tanpa menggunakan katalis, proses pemisahan dan pemurnian produk menjadi lebih sederhana dan ramah lingkungan. Namun proses non-katalitik biasanya menggunakan metanol sangat berlebih dengan suhu dan tekanan operasi lebih tinggi bila dibandingkan dengan proses katalitik bahkan beberapa peneliti melakukan percobaan pada kondisi superkritik metanol (350 – 500o C, 19 – 105 MPa). Dasari, et al., (2003) mempelajari kinetika reaksi non-katalitik dari minyak kedelai menggunakan reaktor logam yang permukaan/ dinding dalamnya bersifat

katalitik pada suhu moderat (120-180o C) namun yield metil ester yang dihasilkan sangat kecil yaitu 12,41% pada 180o C dengan waktu reaksi 32 jam.

Kusdiana dan Saka, (2001) melakukan pembuatan biodiesel dengan bahan baku minyak rapeseed dimana metanol berada dalam kondisi superkritik, hasil terbaik diperoleh dalam kondisi produksi biodiesel pada suhu 350 oC dan molar ratio metanol terhadap minyak 42. Penelitian lain tentang pembuatan biodiesel secara non-katalitik dengan metanol superkritis juga dilakukan oleh Diasakou et al., (1998), Demirbas (2001), Dasari et al., (2003), Warabi et al., (2004), Han et al., (2005).

Penggunaan reaktor bertekanan tinggi selain memerlukan investasi (harga reaktor) dan biaya produksi tinggi juga beresiko membahayakan keamanan dan keselamatan karena menjadi lebih mudah meledak (eksplosif), sehingga untuk diterapkan pada skala komersial masih perlu dipertimbangkan. Untuk itu perlu dikembangkan proses non-katalitik yang lebih murah dan aman, sehingga dibutuhkan alternatif lain dalam proses biodiesel yaitu dengan menggunakan reaktor kolom gelembung (bubble column reactor). Reaktor ini digunakan untuk reaksi antara gas-liquid. Kelebihan dari reaktor tipe ini adalah konstruksi sederhana, biaya operasi murah, efisiensi energi tinggi, pindah panas dan pindah massa terjadi dengan baik (Mouza et al., 2004).

Yamazaki, et al., (2007) mempelajari proses pembuatan biodiesl non– katalitik dari minyak bunga matahari menggunakan reaktor kolom gelembung (bubble column reactor) yang dilengkapi pengaduk. Reaktor ini beroperasi secara

semi-batch dengan cara mengalirkan gas metanol ke dalam reaktor yang berisi minyak nabati dalam jumlah tertentu. Penelitian ini mempelajari pengaruh suhu reaksi ( 250, 270, 290, 310, 340o C ), laju alir umpan metanol ( 0,6 ; 0,9 ; 5 mL/menit ), tekanan operasi ( 0,1 ; 0,5 ; 1 ; 3 ; 5 Mpa ), kecepatan pengadukan ( 300, 700, 1000 rpm ) dan volume awal minyak (150, 200, 250 mL) terhadap laju alir massa (g/menit) metil ester dalam produk gas keluar reaktor. Hasil penelitian menunjukkan kondisi optimum diperoleh pada suhu reaksi 290oC dan tekanan 0,1 MPa (1 bar). Semakin besar laju alir metanol dan volume awal minyak serta makin kecil kecepatan pengadukan akan memperbesar laju alir massa metil ester pada produk gas keluar reaktor. Interface (bidang antar permukaan) antara

gelembung metanol dan cairan (minyak) di sekitarnya sangat berpengaruh terhadap hasil reaksi. Hal ini menunjukkan bahwa makin besar interfacearea dan semakin lama waktu tinggal gelembung metanol dalam fase cair (minyak) akan memperbesar laju reaksi. Joelianingsih, et al., (2006), melaporkan tentang kinetika reaksi transesterifikasi non-katalitik dari minyak sawit pada tekanan atmosferik secara semi-batch. Pengaruh suhu reaksi ( 250, 270 dan 290o C) terhadap konstanta laju dan konversi reaksi transeseterifikasi diamati pada laju alir umpan metanol 4 gr/menit dengan massa minyak mula-mula 200 gram. Reaksi kimia berlangsung di bidang antar permukaan antara gelembung metanol dan minyak nabati. Produk reaksi dalam fase uap dikeluarkan dari atas dan dikondensasikan. Selanjutnya metanol yang tidak bereaksi diuapkan sehingga diperoleh biodiesel dan gliserol sebagai produk samping.

Waktu yang diperlukan untuk mencapai konversi sempurna (semua minyak bereaksi menjadi metil ester) adalah 7,25 jam pada suhu 290o C. Waktu reaksi ini 7 kali lebih besar dibandingkan dengan proses katalitik dengan katalis basa (1 jam pada suhu reaksi 60o C) dan sekitar 100 kali lebih besar dari proses non-katalitik pada kondisi superkritik metanol (Saka dan Kusdiana melaporkan waktu reaksi sempurna 4 menit pada 350 oC dan 43 Mpa). Lamanya waktu reaksi ini disebabkan karena nilai faktor frekuensi yang menunjukkan banyaknya tumbukan antara molekul minyak dan metanol masih kecil. Laju reaksi dikendalikan oleh perpindahan massa di bidang antar permukaan. Hal ini dapat diperbaiki dengan memperbesar luas antar permukaan minyak dan metanol dengan cara memperbanyak jumlah gelembung dan memperkecil diameter gelembung. Semakin luas bidang antar permukaan maka perpindahan massa semakin baik sehingga waktu reaksinya menjadi lebih pendek (Joelianingsih et al., 2007).

Perbandingan kelebihan dan kelemahan proses produksi secara katalitik dan non-katalitik dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Kelebihan dan kelemahan proses produksi biodiesel katalitik dan non- katalitik

Reaksi Kelebihan Kelemahan

Katalitik  Reaksi lebih cepat berjalan  Proses lebih panjang

 Diperlukan pengadukan yang kuat

 Lebih boros air Non-katalitik  FFA tidak perlu di hilangkan

 Proses pemurnian lebih sederhana

 Ramah lingkungan

 Penggunaan metanol lebihbanyak

 suhu dan tekanan lebih tinggi

Saat ini proses produksi biodiesel secara non-katalitik menggunakan bubble column reactor merupakan proses yang paling murah. Harga biodiesel berbahan baku minyak goreng bekas (waste frying oil)dengan menggunakan proses non- katalitik pada suhu 290o C dan tekanan 1 atm diperkirakan 39,9 Yen/L, sedangkan dengan katalis basa harga biodiesel diperkirakan 80,2 Yen/L. (Sagara, 2006). Namun demikian proses ini masih mempunyai beberapa masalah diantaranya kemurnian produk yang dihasilkan sekitar 90% m/m FAME dengan kandungan gliserol terikat (monogliserida, digliserida dan trigliserida) sekitar 10% m/m. Menurut standar di Indonesia maupun di Eropa, kandungan FAME dalam biodiesel minimun adalah 96,5% m/m, sehingga masih perlu dikembangkan dan disempurnakan.

Sedangkan penggunaan energi yang dibutuhkan untuk masing-masing proses produksi biodiesel baik secara katalitik ataupun non-katalitik berbeda. Hal ini disebabkan sistem proses yang berbeda dan suhu proses juga berbeda. Suhu proses produksi biodiesel secara non-katalitik 27 oC – 290 oC dengan suhu reaktor 290 oC. Sedangkan untuk sistem proses produksi biodiesel secara katalitik 27 oC – 120 oC dengan suhu reaktor 65 oC. Pada proses produksi biodiesel secara katalitik menghasilkan produk sampingan sabun selain GL, hal ini disebabkan katalis yang digunakan bereaksi dengan FFA yang terkandung di dalam minyak seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.

Sheehan et al., (1998) melaporkan bahwa untuk menghasilkan 1 MJ biodiesel dengan bahan baku soybean oil dibutuhkan energi sebesar 1,2414 MJ. Energi yang dibutuhkan ini adalah energi yang diperlukan dari mulai penanaman sampai

menjadi biodiesel, sehingga perbandingan energi Output dengan energi Input

adalah sebesar 0,8055 (≈ 0,81), sedangkan energi yang dibutuhkan untuk menghasilkan 1 MJ petroleum diesel adalah sebesar 1,1995 MJ, sehingga rasio energi adalah sebesar 0,8337 (≈ 0,83).

Dokumen terkait