• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses Produksi Pengolahan Pupuk NPK Granular

Dalam dokumen SKRIPSI YUMAIDA DEPOK JUNI 2011 (Halaman 64-103)

2. LANDASAN TEORI

3.1 Profil Pabrik

3.1.4 Proses Produksi Pengolahan Pupuk NPK Granular

3.1.4 Proses Produksi Pengolahan Pupuk NPK Granul

Gambar 3.1 Proses Produksi Pengolahan Pupuk NPK Granular

Proses produksi pupuk NPK Granular terdiri dari : pengumpanan material, granulasi, pengeringan, pendinginan, screen (pengayakan), crushing (pemecahan), recycle, coating (pelapisan) dan sesi bagging (pengantongan).

1. Proses Pengumpanan Material

DAP Granule akan dihancurkan (di-crush) dan ditimbang kemudian masuk sesi pengumpanan (feeding). Untuk bubuk DAP atau MAP tidak memerlukan penghancuran tetapi ditimbang langsung dan masuk pengumpanan. Ada 2 metode pengumpanan urea :

a. Padatan urea akan dihancurkan dan ditimbang kemudian masuk pengumpanan.

Material yang diumpankan adalah padatan urea.

b. Solid (padatan) urea tidak perlu penghancuran akan segera langsung dan dikirim ke tangki urin kemudian urine dipompakan ke granulator. Material yang diumpankan adalah urea cair atau larutan urea. Material padat yang lain akan ditimbang secara langsung dan masuk ke feeding (pengumpanan). Weigher conveyor yang digunakan adalah sistim penimbang dinamis dan dikontrol secara otomatis. Material akan diumpankan ke granulator sesuai dengan proporsi formula.

2. Proses Granulasi

Proses granulasi terjadi di granulator material padat yang telah ditimbang dan material recycle masuk ke granulator dengan steam, air dan urea solution (larutan urea). Material dalam granulator akan tergranulasi, menjadi material granule basah dengan diameter 1 mm, 2-4 mm dan lebih besar dari 5 mm. Material ini kemudian akan masuk ke dryer.

3. Proses Pengeringan

Gas alam atau diesel oil (minyak diesel) digunakan sebagai sumber panas untuk menyuplai udara panas ke dryer. Material granule dari granulator akan dikeringkan oleh udara panas di dalam dryer. Suhu dan kapasitas alir udara panas akan dikontrol secara otomatis oleh furnace controller. Agar efisiensi pengeringan naik, bagian dryer yang diangkat dipasang pada bagian dalam dryer dan knocker dipasang di luar dryer untuk anti kerak di dalam drum. Pada sesi ini, akan dipasang

separator (pemisah) dryer cyclone dan section fan. Untuk menghisap udara basah dan debu, sehingga kelembaban dan debu pada semi-produk akan berkurang saat masuk cooler. Udara buang (tail gas) dryer akan di-treatment di sistem de-duster.

4. Proses Pendinginan

Di dalam cooler, material dari dryer akan dikontakkan denggan udara pendingin dehumidifikasi untuk menurunkan suhu. Untuk menaikkan efisiensi pendinginan, bagian yang diangkat dipasang di dalam cooler. Pada sesi ini akan dipasang cooler cyclone separator dan suction fan untuk menghisap udara basah dan debu sehingga semi-produk tidak berdebu dan kelembaban pada material lebih jauh akan dikurangi kemudian masuk sesi pengayakan (screening). Material setelah proses pendinginan tidak hanya untuk screen tapi juga sesuai untuk disimpan dan dapat mencegah caking (penggumpalan) saat transportasi. Gas buang pada cooler akan di-treatment oleh sistim de-duster.

5. Proses Recycle Crushing dan Screen

Ada 2 jenis vibrating screen (over size dan under size) yang akan dipasang pada sesi ini dan setiap jenis ayakan (screen) akan disusun ganda untuk menambah kapasitas. Semi-produk dari cooler akan ditransfer ke vibrating screen untuk memisahkan material under size (ukuran kecil) dan over size (ukuran besar). Butiran over size (≥4 mm) akan dihancurkan oleh recycle crusher dan kembali ke sirkulasi belt conveyor dan akan dikirim ke granulator untuk re-sirkulasi belt conveyor untuk re-granulasi. Sehingga pabrik akan beroperasi dengan sistim sirkulasi. Semi-produk yang diperbolehkan (ukuran 2-4 mm) akan dikirim ke coater untuk pelapisan (coating).

6. Proses Coating (pelapisan)

Ukuran produk akhir yang diperbolehkan (2-4 mm) akan dikirim ke coater untuk pelapisan untuk mencegah penggumpalan (caking) jika penyimpanan lama dalam karung. Volume total tangki minyak pelapis adalah 2 m3 untuk kebutuhan konsumsi selama 1,5 hari.

7. Proses Pengantongan

Pengontrol sistem yang digunakan pada sesi pengantongan adalah fully otomatis. Mesin penjahit karung yang digunakan adalah tipe Newlong. Data yang terhitung pada pengantongan akan ditransmisikan ke sistem PLC control system yang terletak pada control room.

8. Proses Pre-Treatment Bahan Baku

Untuk produksi NPK yang berbasis urea, TSP akan diamoniasi untuk menghilangkan asam bebas selama pencampuran urea dengan TSP. Pada sesi ini, TSP masih berbentuk granule akan dihancurkan. Bubuk TSP akan bereaksi dengan asam ammonium karbonat dalam mixer dan akan disimpan selama 24 jam agar teramoniasi sempurna.

9. Proses Treatment Gas

Ada dua jenis gas buang yang akan di-treatment :

a. Gas buang dari dryer, gas buang cooler, gas buang dust point

b. Gas buang granulator, urea solution system dan pre-treatment ammonia Gas-gas tersebut akan di-treatment dengan metode yang berbeda,seperti :

a. Gas buang dryer dan cooler : 1 stage 2 tube cyclone + tube washer + pond type impulse wet scrub

b. Gas buang dust point : 1 stage 1 tube cyclone + tube washer + pond type impulse wet scrub

c. Gas buang granulator, sistem urea solution, pre-treatment amonia : tube washer + pond type impulse wet scrub

Gas-gas buang tersebut akan di-blow oleh fan.

3.1.5 RKAP (Rencana Komite Anggaran Produksi)

PT Pupuk Kujang memproduksi harus berdasarkan jumlah yang ditetapkan oleh pemerintah yang tertuang dalam RKAP (Rencana Komite Anggaran Produksi) setiap tahunnya. Untuk itulah RKAP merupakan suatu gol bagi PT Pupuk Kujang.

Pada tabel 3.1 dapat dilihat RKAP pupuk NPK Granular untuk tahun 2010.

Tabel 3.1 RKAP Pupuk NPK Granular tahun 2010

Jenis NPK

Target TONASE

15-15-6-4Mg 10,000 Ton 12-12-17-2Mg 20,000 Ton 15-10-20-0.5TE 35,232 Ton 14-10-18-2Mg 34,768 Ton Total 100,000 Ton

Sumber : Process Engineering PT Pupuk Kujang Cikampek

Total target produksi tahunan : 100.000 ton/tahun Total target produksi bulanan : 8.333 ton/bulan Total target produksi harian : 303 ton/hari

3.2 Pengumpulan Data Penelitian

Pengumpulan data dalam penelitian adalah salah satu fase yang sangat penting dalam penyusunan skripsi ini, karena tahap ini merupakan langkah awal dalam membuat analisa mengenai keadaan dan mengambil kesimpulan, dimana tahap pengumpulan data ini merupakan pengumpulan data untuk pengolahan data menggunakan metode FMEA ( Failure Mode Effect Analysis) dan pengolahan data menggunakan FTA ( Fault Tree Analysis).

Adapun data-data yang di peroleh dari perusahaanan aadalah data sebagai berikut :

• Data hitoris

Data historis yang dimasukkan ke dalam pengolahan data ini adalah data historis yang ada di pabrik tersebut, yang mana data historis dalam penelitian ini adalah data down time dan data kegagalan spare part.

Table 3.2 Rekapitulasi Data Masalah Terjadinya Down Time Tahun

Penggantian dan Pengantian Spare Part 311,3

Kekurangan Bahan Baku 38,21

Sirkulasi Material 11

Cleaning All Area 40

Pembersihan Alat 5,68

Other 10.46

Total 416,65

2 Januari

Penggantian dan Pengantian Spare Part 219

Kekurangan Bahan Baku 19

Sirkulasi Material 299

Cleaning All Area 131

Pembersihan Alat 8

Total 676

3 Februari

Penggantian dan Pengantian Spare Part 284

Sirkulasi Material 165

Cleaning All Area 64

Kekurangan Bahan Baku 8

Total 521

4 Maret

Penggantian dan Pengantian Spare Part 373

Sirkulasi Material 32

Cleaning All Area 52

Pembersihan Alat 12

Other 23

Total 492

5 April

Penggantian dan Pengantian Spare Part 210,95

Sirkulasi Material 45

Cleaning All Area 480

Pembersihan Alat 25,16

Other 8,25

Total 769,36

6 Mei

Penggantian dan Pengantian Spare Part 113,41

Kekurangan Bahan Baku 81,5

Cleaning All Area 16,5

Other 5,8

Total 217,21

Total Keseluruhan 3.092,22

Sumber : Laporan Performa Pupuk NPK Granul

Table 3.3 Rekapitulasi DataTeknis Kegagalan Spare Part Tahun 2009-2010

Sumber: Laporan Kerusakan Spare Part Pupuk NPK Granul

• Data wawancara

Penulis melakukan wawancara dengan pihak-pihak yang dianggap expert di divisi Operation & Maintenance pada pabrik pengolahan pupuk NPK granular mengenai masalah-masalah yang sering terjadi selama kegiatan pemeliharaan. Kegiatan pemeliharaan didefinisikan sebagai seluruh aktivitas atau kegiatan yang dilakukan pada saat kegiatan operasional dan pemeliharaan. Pihak-pihak yang menjadi responden dalam wawancara ini adalah General Manager Operation

& Maintenance, Manager Operation & Maintenance, Supervisor Share Service, dan Area Maintenance Officer.

No Jenis Spare Part Waktu Penggantian & Perbaikan (Jam)

1 Rantai 326

Dari hasil wawancara, penulis mendapatkan beberapa item risiko yang pernah terjadi dalam kegiatan pemeliharaan, yaitu:

Kerusakan spare part mayor

Spare part mayor didefinisikan sebagai spare part yang berhubungan erat dengan kegiatan operasional pabrik. Artinya, jika spare part-spare part ini rusak maka akan kegiatan operasional akan terganggu baik secara langsung maupun tidak langsung. Yang termasuk dalam kategori spare part mayor adalah Rantai, Bearing, Rubber Sheet, Belt comveyor, V belt, Roller Lower, Cover stock.

Adapun fungsi spare part tersebut adalah: Rantai berfungsi sebagai pemutar alat-alat ( conveyor), memindah kan material dari screen ke coater. Bearing berfungsi untuk menahan alat-alat ( conveyor). Rubber sheet berfungsi untuk menahan rubber scrupper agae tidak bergesekan dengan belt conveyor. Belt conveyor berfungsi untuk menggerakkan conveyor. V belt berfungsi untuk memutar alat. Roller lower berfungsi untuk meredam getaran yang terjadi pada conveyor.

Cover stock berfungsi untuk melindungi sambungan belt conveyor.

Kerusakan spare part minor

Spare part minor didefinisikan sebagai spare part yang ketika rusak tidak akan mempengaruhi kegiatan operasional baik secara langsung atau tidak. Yang termasuk dalam kategori ini adalah looper pada bagian bagging, block slinder bagian compresi udara.

Kecelakaan personil Mesin mati

Ketidaktersediaan spare part

Ketidaktersediaan informasi progress maintenace

Lamanya proses perbaikan

Ketidaktersediaannya bahan bakar Motor mesin terbakar

Ketidaktersediaan bahan baku Material menumpuk

Sirkulasi material Cleaning all area

Kinerja mekanis kurang baik Pembersihan alat-alat

3.3 Pengolahan data Penelitian

3.3.1 Pengolahan Data Menggunakan Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) Pengolahan data menggunakan metode FMEA bertujuan untuk mendapatkan risiko kritis yang merupakan risiko-risiko yang akan dianalisis lebih lanjut. Risiko kritis tersebut diperoleh setelah dilakukan perhitungan Risk Priority Number (RPN) untuk setiap risiko yang telah teridentifikasi. Berikut adalah langkah penentuan risiko kritis menggunakan metode FMEA.

3.3.1.1 Identifikasi Risiko

Identifikasi risiko merupakan proses dalam menentukan apa, kenapa dan bagaimana suatu risiko dapat terjadi. Tujuan dari proses ini adalah untuk mengenali risiko yang mungkin terjadi lebih awal sehingga dapat mengurangi atau mengeliminir keterkejutan akibat dari risiko tersebut. Output yang diharapkan dari proses identifikasi ini adalah daftar atau list risiko yang nantinya akan masuk dalam tahap penilaian risiko.

Identifikasi risiko dilakukan dalam kegiatan dan divisi Operation &

Maintenance pabrik pupuk NPK Granul. Penulis melakukan beberapa tahapan dalam mengidentifikasi risiko.

• Mengumpulkan dan mempelajari kegiatan operasional dan kegiatan maintenance.

• Mencari dan mengumpulkan data historis tentang kegagalan pada alat-alat produksi.

• Melakukan wawancara dan brainstorming untuk mengumpulkan informasi mengenai masalah-masalah yang sering terjadi selama kegiatan pemeliharaan.

• Menentukan standar rating severity, occurance, dan detection.

• Membuat kuisoner mengenai risiko

• Menyebarkan kuisioner kepada respon

• Pengumpulan kuisioner.

Semua item kegagalan dan masalah-masalah yang sering terjadi pada saat melalakukan pemeliharaan yang diperoleh dari hasil wawancara, brainstorming dan historical problem, disusun dalam suatu diagram Cause Failure Mode Effect (CFME) yang dapat dilihat pada gambar 3.2. Metode ini digunakan sebelum pembuatan Failure Mode and Effect Analysis (FMEA). Hasil CFME akan mempermudah pembuatan FMEA dalam hal pengidentifikasian efek, modus kegagalan, dan akar penyebab permasalahan. Daftar Risiko, Kemungkinan Penyebab, dan Kemungkinan Efeknya dapat dilihat pada tabel 3.2

Gambar 3.2 Diagram Cause Failure Mode Effect (CFME)

Dari hasil CFME terdapat beberapa akar penyebab permasalahan yang menjadi sumber terjadinya penurunan produktivitas. Akar penyebabnya adalah sebagai berikut :

1. Perawatan mesin produksi tidak maksimal sehingga alat-alat kurang pelumasan dan menyebabkan terkorosi.

2. Mesin rusak dan usia mesin sudah tua mengakibatkan mesin mati 3. Hasil dari settingan mesin perlu dibuat prosedur standar agar setting

yang terbaik dapat terdokumentasi, akan tetapi karena perbedaan mesin, maka setting mesin pun berubah, untuk itu diperlukan operator yang berpengalaman

4. Tidak ada pelatihan berstruktur dan terencana dengan baik akibatnya proses produksi khususnya setting mesin kurang dapat dilakukan dengan baik.

5. Terlalu seringnya material menumpuk, akibat nya sering terjadi sirkulasi material, dikarenakan material tidak sesuai spek dan komposisi mixer tidak sesuai.

6. Material tidak dapat dicrusher dan prosedur standar proses pengcrusheran material kurang maksimal, akibatnya temperature mesin tinggi sehingga menyebabkan spare part rusak.

7. Kapasitas produksi melebihi kekuatan mesin produksi, sehingga bahan material pada mesin terlalu berat, akibatnya mesin motor terbakar.

Tabel 3.4 Daftar Risiko, Kemungkinan Penyebab, dan Kemungkinan Efeknya

ID

Risk Daftar Risiko Kemungkinan

penyebab Kemungkinan efek risiko

1 Kerusakan spre part mayor

Pengaruh usia spare part, konsleting

Delay kegiatan operasional pabrik

2 Kerusakan spare part minor

Pengaruh usia spare

part, konsleting Mesin tidak berfungsi

3 Kecelakaan personil Kelalaian personil Kecelakaan personil dalam pelaksanaan pemeliharaan

4 Mesin mati Tidak berfungsi spre part

Kegiatan operasiomal pabrik terganggu

5 Ketidaktersediaan spare part

Keterlambatan

pengadaan spre part Delay proses perbaikan

6

Kegiatan operasional pabrik berhenti

8 Ketidaktersediaannya bahan bakar

Keterlambatan

pengadaan bahan bakar Delay proses produksi

9 Motor mesin terbakar Konsleting, beban

material terlalu berat Spare part harus diganti

10 Ketidaktersediaan bahan baku

Keterlambatan

pengadaan bahan baku Delay proses produksi

11 Material menumpuk Kerusakan mesin Proses produksi tidak maksimal

12 Sirkulasi material Kerusakan spre part Proses produksi tidak maksimal

13 Cleaning all area Banyaknya sisa material

yang tumpah Delay proses produksi

14 Kinerja mekanis kurang baik

Keterbatasan keahlian personil

Machine problem dan spare part problem

15 Pembersihan alat-alat Sisa material reject Kegiatan operasional pabrik terganggu

Khusus untuk kerusakan spare part mayor, penulis menggunakan pareto chart untuk memilih spare part mayor apa yang akan masuk dalam tahap penilaian.

Pemilihan ini perlu dilakukan untuk mempermudah responden dalam menilai tingkatan dampak ketika tahap penilaian (mengingat tingkatan dampak yang dihasilkan dari setiap spare part berbeda satu sama lain). Frekuensi terjadinya kerusakan spare part mayor diperoleh dari data temuan masalah kegiatan pemeliharaan mulai dari bulan Desember 2009 sampai dengan Mei 2010. Berikut tabel dan pareto chart untuk kerusakan spare part mayor:

Tabel 3.5 Spare part

No Spare Part Jumlah Jumlah Kumulatif Persenase

Persentase

7 Cover Stock 23 949 2.38% 98.34%

8 Other 16 965 1.66% 100.00%

Total 965 100%

Gambar 3.3 Pareto Chart Kerusakan Spare Part Mayor

Berdasarkan prinsip pareto 80-20, dimana 80 % masalah terjadi karena 20%

penyebab, maka untuk kerusakan mayor yang dipilih untuk masuk penilaian risiko adalah spare part Rantai dan Bearing

Untuk spare part minor tidak dilakukan pemilihan. Hal ini disebabkan karena dampak yang dihasilkan oleh setiap spare part minor sama. Dengan adanya kesamaan dampak ini, penulis berasumsi bahwa responden tidak akan mengalami kesulitan saat tahap penilaian nantinya.

Sebelum masuk pada penilaian risiko, penulis terlebih dahulu mengkonfirmasikan daftar risiko tersebut kepada pihak perusahaan untuk memastikan bahwa daftar risiko telah mencakup semua risiko yang mungkin terjadi dalam divisi maupun kegiatan pemeliharaan (maintenance). Dari hasil konsultasi tersebut, pihak perusahaan merasa bahwa daftar risiko yang telah dibuat telah mencakup semua risiko sehingga tidak perlu diadakan penambahan item risiko.

0.00%

3.3.1.2 Penentuan Rating Occurrence, Severity, dan Detection

Setelah diperoleh item risiko maka langkah berikutnya adalah penentuan rating probabilitas terjadinya risiko (occurrence), dampak akibat risiko (severity), dan deteksi risiko (detection). Penentuan ketiga rating tersebut akan sangat menentukan proses memprioritaskan daftar risiko / penentuan risiko kritis. Penentuan rating didapatkan melalui proses brainstorming dengan para expert yang disesuaikan dengan kondisi perusahaan. Rating dari occurrence merupakan kuantifikasi dari kemungkinan terjadinya risiko. Skala yang digunakan mulai dari rentang 1 – 10, yang mana skala 1 menyatakan probabilitas terjadinya risiko sangat rendah dan skala 10 menyatakan probabilitas terjadinya risiko sangat tinggi, tabel dapat dilihat pada tabel 3.6.

Rating dari severity adalah kuantifikasi dari tingkat dampak akibat terjadinya risiko. Skala yang digunakan mulai dari rentang 1 - 10, yang mana skala 1 menyatakan bahwa risiko tidak memberikan efek terhadap sistem maupun servis dan skala 10 menyatakan bahwa terjadinya risiko akan memberikan dampak berupa gangguan terhadap sistem secara keseluruhan, tabel dapat dilihat pada tabel 3.7.

Sedangkan rating dari detection adalah kuantifikasi dari kontrol atau prosedur atau strategi yang ada yang mengatur fungsi atau yang membuat suatu kegagalan dapat dideteksi. Fungsi deteksi disini adalah untuk melihat apakah risiko yang ada dapat diketahui sebelum terjadinya kegagalan dan juga apakah kontrol yang dimiliki dapat mengurangi risiko kegagalan yang dapat terjadi. Skala yang digunakan mulai dari rentang 1 - 10, yang mana semakin tinggi skala maka semakin rendah tingkat kontrol yang dimiliki untuk mendeteksi terjadinya kegagalan. Tabel dapat dilihat pada tabel 3.8.

Tabel 3.6 Probabilitas Terjadinya Risiko

Ranking Kejadian Kriteria Verbal Tingkat Kejadian Kegagalan

1 Hampir tidak

pernah

Risiko hampir tidak pernah terjadi

Probabilitas Terjadinya Risiko: >

12 Bulan

2 Remote Risiko jarang terjadi Probabilitas Terjadinya Risiko: >

10 Bulan – 12 Bulan 3 Sangat sedikit Resiko yang terjadi

sangat sedikit.

Probabilitas Terjadinya Risiko: > 8 Bulan – 10 Bulan

4 Sedikit Risiko yang terjadi sedikit

Probabilitas Terjadinya Risiko: > 6 Bulan – 8 Bulan

5 Rendah Risiko yang terjadi pada tingkat rendah.

Probabilitas Terjadinya Risiko: >

4 Bulan – 6 Bulan 6 Medium Risiko yang terjadi

pada tingkat medium

Probabilitas Terjadinya Risiko: > 2 Bulan - 4 Bulan

7 Agak tinggi Risiko yang terjadi agak tinggi.

Probabilitas Terjadinya Risiko: > 1 Bulan- 2 Bulan

8 Tinggi Risiko yang terjadi tinggi.

Probabilitas Terjadinya Risiko: > 1 Minggu - 1 Bulan

9 Sangat tinggi Risiko yang terjadi sangat tinggi

Probabilitas Terjadinya Risiko: > 1 Hari - 1 Minggu

10 Hampir selalu Risiko selalu terjadi. Probabilitas Terjadinya Risiko: 0- 1 Hari

Tabel 3.7 Dampak Akibat Terjadinya Risiko

Ranking Akibat/

Effect

Kriteria Verbal Akibat pada Produksi

1 Tidak ada

akibat

Tidak mengakibatkan apa-apa, tidak memerlukan penyesuaian.

Pabrik tetap beroperasi dengan aman, hanya terjadi sedikit gangguan per alatan yang tidak berarti.

Proses berada dalam

Pabrik tetap beroperasi dengan aman, hanya ada sedikit gangguan.

Proses telah berada diluar kendali, beberapa penye- suaian diperlukan 4 Akibat

minor

Pabrik tetap beroperasi dengan aman, namun terdapat gangguan kecil.

Kurang dari 30 menit Down- time atau tidak ada Down-time sama sekali

5 Akibat moderat

Pabrik tetap beroperasi normal, namun telah menimbulkan beberapa

kegagalan produk.

30-60 menit downtime

6 Akibat signifikan

Pabrik tetap beroperasi dengan aman, tetap menimbulkan kegagalan produk..

1-2 jam downtime.

7 Akibat major

Pabrik tetap beroperasi dengan aman, tetapi tidak dapat dijalan-kan secara penuh.

2-4 jam downtime

8 Akibat ekstrem

Pabrik tidak dapat beroperasi dan telah kehilangan fungsi utamanya.

4-8 jam downtime.

9 Akibat serius

Pabrik gagal beroperasi, serta tidak sesuai dengan peraturan keselamatan kerja.

Lebih besar dari 8 jam downtime

10 Akibat berbahaya

Pabrik tidak layak dioperasikan, karena dapat menimbulkan kecelakaan secara tiba-tiba, dan hal ini

bertentangan dengan peraturan keselamatan kerja..

Lebih besar dari 8 jam downtime.

Tabel 3.8 Deteksi Terhadap Risiko

Ranking Akibat Kriteria

1 Hampir Pasti Pasti terdeteksi

2 Sangat Tinggi Sangat mudah terdeteksi

3 Tinggi Mudah terdeteksi

4 Moderately High Dapat terdeteksi 5 Moderate Cukup mudah terdeteksi 6 Rendah Relatif jarang terdeteksi 7 Sangat Rendah Sangat jarang terdeteksi 8 Remote Relatif sulit terdeteksi 9 Very Remote Sulit terdeteksi 10 Non-Detectable Tidak dapat tereteksi

3.3.2 Pengolahan Data Menggunakan Fault Tree Analysis Diagram dari Risiko Kritis

Diagram FTA dibuat berdasarkan 5 risiko kritis dari total risiko, yang mana FTA ini merupakan sebuah model grafis yang terdiri dari beberapa kombinasi kesalahan (fault) secara paralel dan secara berurutan yang mungkin menyebabkan awal dari failure event yang sudah ditetapkan. Pada FTA yang dibuat, ditetapkan masing- masing risiko kritis sebagai top event. Pada akhirnya akan diperoleh basic event yang merupakan penyebab terjadinya top event (risiko kritis), sehingga langkah-langkah yang tepat dapat diambil untuk menyelesaikan permasalahan terjadinya risiko kritis tersebut.Basic event yang diperoleh telah memperhitungkan penyebab permasalahan dari berbagai sisi (personil, metode, dan mesin).

BAB IV ANALISA DATA

Bab keempat penelitian ini akan membahas mengenai analisis pengolahan data dengan menggunakan metode FMEA (Failure Mode and Effect Analysis) dan metode FTA (Fault Tree Analysis). Tahapan analisis ini akan akan memberikan usulan tindakan penanganan risiko kritis atau nilai RPN tertinggi.

4.1 Analisis Data FMEA

4.1.1 Penentuan Nilai Occurrence, Severity, Detection dan Perhitungan Risk Priority Number (RPN)

Setelah risiko teridentifikasi maka akan ditentukan nilai occurrence, severity, dan detection. Untuk menentukan nilai tersebut menggunakan kuesioner yang pengisiannya dilakukan melalui brainstorming dan melibatkan penulis sebagai pemandu pengisian kuesioner. Dari hasil brainstorming maka didapatkan nilai occurrence, severity, dan detection untuk tiap risiko dapat dilihat pada tabel 3.9.

Perhitungan RPN merupakan bagian penting dalam FMEA karena dari nilai RPN akan diketahui prioritas risiko yang termasuk risiko kritis. RPN dihitung menggunakan persamaan berikut :

RPN = Occurrence * Severity * Detection

Tabel 4.1 Nilai Occurrence, Severity, Detection, dan RPN untuk Tiap Risiko

Berdasarkan risiko yang telah terdaftar dan diketahui nilai RPN masing-masing, maka dapat ditentukan risiko kritis. Risiko kritis tersebut yang akan dianalisis lebih lanjut sebagai langkah awal dari tindakan penanganan risiko untuk mempertahankan kinerja pabrik pengolahan pupuk. Suatu risiko dikategorikan sebagai risiko kritis jika memiliki nilai RPN di atas nilai kritis. Nilai kritis RPN ditentukan dari rata-rata nilai RPN dari seluruh risiko.

Berdasarkan nilai kritis RPN dan atas persetujuan perusahaan maka diperoleh 5 risiko kritis. Nilai RPN dari kelima risiko tersebut berada di atas 139.73 yang merupakan nilai kritis RPN.

ID

6 Ketidaktersediaan informasi progress

maintenace 4 2 4 32

Tabel 4.2 Daftar Risiko Kritis

4.1.2 Usulan Tindakan Penanganan Risiko Kritis

Berdasarkan pengolahan data FMEA didapatkan risiko–risiko yang termasuk risiko kritis. Maka tahap berikutnya usulan tindakan penanganan untuk

Berdasarkan pengolahan data FMEA didapatkan risiko–risiko yang termasuk risiko kritis. Maka tahap berikutnya usulan tindakan penanganan untuk

Dalam dokumen SKRIPSI YUMAIDA DEPOK JUNI 2011 (Halaman 64-103)