• Tidak ada hasil yang ditemukan

SAJIAN DATA DAN ANALISIS SEMIOTIK

B. PROSES SEMIOSIS BANGUNAN, MIHRAB, MIMBAR, DAN GAPURA MASJID AGUNG SURAKARTA

1. Proses Semiosis Bangunan Masjid Agung Surakarta

Seperti yang telah dipaparkan di atas bahwa teori semiotika komunikasi Peirce dalam penelitian ini adalah sistem penandaan Charles Sanders Peirce ( Fiske, 1990 : 68-70 ) digunakan sebagai dasar pijakan penelitian, yang bertumpu pada tiga konsep penting ( trikotomi ) yang saling berhubungan yaitu tanda ( sign ), acuan ( referent ), dan interpretan ( interpretant ). Acuan dapat berupa benda konkret, dapat pula berupa konsep atau konstruk. Untuk memahami analisis semiotik dengan baik khususnya pertalian antara tanda acuan perlu kehadiran hal ketiga yaitu interpretan. Oleh karenanya interpretan pada dasarnya merupakan tanda baru hasil pemaknaan antara tanda asli ( sign ) dengan acuan ( referent ).

Bangunan utama Masjid Agung Surakarta berupa ruang shalat yang berdenah bujur sangkar. Atap ruang utama ditopang oleh 4 (empat) soko guru

Gambar 2. Masjid Demak dan Masjid Agung Surakarta

Pada pemaknaan tataran pertama yang menjadi tanda adalah gambar desain bangunan yang berbentuk tajuk dengan atap bersusun 3 ( tiga). Sebagai acuannya adalah fisik bangunan tajuk bersusun 3 (tiga). Hubungan antara tanda dan acuan berupa ikon yaitu tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat bersamaan bentuk alamiah atau dengan kata lain adanya modus kemiripan di antara keduanya. Interpretan dari acuan itu adalah konsep bangunan tajuk bersusun 3 (tiga). Menurut A. Basit Adnan ( 1996 : 9 ), bahwa secara konseptual tajuk atap Masjid Agung Surakarta bersusun 3 (tiga) yang lebih mengacu pendapat para wali ditafsirkan sebagai pokok-pokok dasar ( root images ) tuntunan Islam yaitu : (1), Iman, dilambangkan pada atap pertama paling atas. Dimaksudkan jika seseorang telah menyatakan sebagai seorang yang beragama Islam, maka yang bersangkutan harus percaya adanya tatanan tatanan keimanan . Yaitu adanya keimanan terhadap Allah, keimanan terhadap para malaikat, iman kepada kitab-kitab suci, iman kepada pesuruh Allah ( rasul), percaya adanya hari

akhir (qiamat ), dan kepastian tentang ketentuan yang telah ditetapkan Allah/takdir, (2) Islam, yaitu bahwa syariat/ajaran Islam yang wajib dijalani ialah ; mengucapkan dua kalimah syahadat, mendirikan shalat, menunaikan ibadah shaum/puasa di bulan Ramadlan, zakat dan melaksanakan ibadah haji ke Makkah Al Mukarramah dan Madinatul Munawaroh bagi yang sudah mampu, (3), Ihsan yaitu bahwa setiap orang Islam wajib berbuat baik kepada Allah SWT dan kepada semua umat manusia di mana saja dan kapan saja..

Interpretan yang berupa konsep desain atap dapat menjadi tanda baru bagi trikotomi pada tataran kedua . Tanda ini beracuan dengan tajuk tiga dapat dilihat sebagai indeks yang mewakili konsep yang berkenaan dengan konsep tingkat-tingkat pencapaian keagamaan dalam agama Hindu . Sedyawati ( dalam E.K.M.Masinambow, 2001 :140), berpendapat bahwa susunan atap tiga tingkat mengacu kosmologi agama Hindu yang membagi alam semesta ke dalam tiga tingkatan vertikal, yaitu dari bawah ke atas : bhurloka, bhuwarloka, dan swarloka . Dalam bangunan candi Hindu, terdapat tiga bagian penting, yaitu kaki candi, tubuh candi, dan atap candi. Kaki candi atau bhurloka merupakan bangunan bagian bawah candi yang memiliki simbol sebagai dunia bawah. Bentuknya berupa bujur sangkar yang dilengkapi dengan jenjang pada salah satu sisinya. Pada kaki candi terdapat suatu tangga untuk menuju ke tubuh candi. Tubuh candi atau bhuwarloka merupakan bagian tubuh candi yang berada di bagian tengah candi yang berbentuk kubus yang dianggap sebagai dunia antara atau bhuwarloka. Atap candi atau swarloka merupakan bangunan bagian atas candi yang menjadi simbol dunia atas atau swarloka. Atap candi terdiri tiga tingkatan yang semakin

atas akan semakin kecil ukurannya. Lebih jelasnya konsep kosmologi agama Hindu di atas dapat dijelaskan sebagai berikut : Dalam kepercayaan agama Hindu, bangunan candi dibagi atas 3 bagian secara vertikal yaitu ,kaki, tubuh, dan kepala/atap. Kaki candi menggambarkan dunia bawah/bhurloka. Tempat ini dihuni oleh para manusia yang masih diliputi oleh hawa nafsu. Untuk dunia tengah/bhuwarloka menggambarkan manusia yang telah meninggalkan keduniawian. Dunia atas/swarloka adalah tempat para dewa bersemayam ( Tim Unit Taman Wisata Candi Prambanan, 2007 : 2 ).

Sebuah kitab prosa jawa Kuna, Udyagaparwa, menyebut ketiga tingkatan alam itu sebagai nagaloka ( alam ular ), manusaloka ( alam kehidupan manusia ), dan dewaloka ( alam tempat para dewa ). Desain tajuk bersusun tiga tingkat pada bangunan Masjid Agung Surakarta dapat pula dilihat sebagai ikon yang mewakili konsep-konsep yang mewakili yang berkenaan dengan tingkat-tingkat pencapaian keagamaan, seperti yang dinyatakan dalam konsep marga, bh mi, ataupun paramita dalam kepercayaan agama Buddha Mah yana. Aktualisasi konsep marga, bh mi dan paramita ini diwujudkan dalam bangunan candi Buddha dengan marga/bagian kaki candi( kamadhatu ). Artinya bagian alam kehidupan manusia yang masih dikuasai pleh hawa nafsu rendah. Manusia belum dapat melepaskan nafsu jahat dan buruk. Bh mi/badan candi ( rupadhatu ) ialah bagian kehidupan manusia yang sudah meninggalkan nafsurendah dan jahat. Manusia sudah menggunakan keinginan luhur, akan tetapi masih tetap dengan sifat kemanusiannya. Sedangkan konsep paramita/puncak candi ( arupadhatu ) ialah bagian kehidupan yang sudah meninggalkan sifat keduniawian. Alam di sini

merupakan alam bathin atau alam spiritual. Tak ada lagi nafsu dan bentuk ( Aiaz Rajasa, 2007 : 25-26 ).

J.G. de Casparis dalam kajiannya mengenai prasasti-prasasti masa Jawa Tengah telah menunjukkan dikenalnya konsep-konsep tingkatan tersebut, yang harus dilalui oleh para bodhisattwa. Bahkan ia menunjukkan pula bahwa para raja pada waktu itu diidentikkan dengan para bodhisattwa. Selanjutnya ia menafsirkan bahwa unsur-unsur ajaran Buddha Mah yana itu bersesuaian dengan pemujaan cikal bakal raja. Konsep yang mempertemukan keduanya ini adalah gotra, yang di satu pihak berarti benih kebuddhaan yang membentangkan diri tingkat demi tingkat , dan di pihak lain berarti kelompok cikal bakal raja-raja. Interpretan ini dapat berkembang lagi pemaknaannya lebih luas lagi.

Interpretan di atas dapat menjadi tanda baru pada trikotomi tataran ketiga

yang acuannya adalah masjid payung agung. Hubungan antara tanda dan acuan berdasar konvensi berupa simbol. Interpretannya adalah konsep masjid payung agung . Masjid payung agung menurut R. Musnandar K, ( 2001 : 158 ) adalah satu bentuk bangunan masjid yang bertingkat lebih dari tiga atau lima, ada yang menyebutnya sebagai Bentuk Meru. Pada bentuk ini , untuk tingkat kedua masih disangga oleh tiang utama. Pada zaman lampau banyaknya bentuk tingkatan akan menentukan tentang siapa mereka yang memiliki, misalnya bangunan bersusun tiga adalah merepresentasikan bahwa bangunan tersebut yang memiliki dari kelompok rakyat biasa; bangunan bersusun lima menandakan bahwa bangunan tersebut yang memiliki adalah mereka para abdi dalem raja. Adapun bangunan

yang bersusun tujuh adalah bangunan yang dimiliki para pangeran. Susunan sebelas menandakan bahwa rajalah yang memiliki bangunan tersebut.

Konsep tersebut di atas dapat dikembangkan lagi pemaknaannya pada

tataran keempat dengan acuan bangunan gunungan yang didesain maupun dikonstruksi bangunan dengan pola semakin ke atas bentuk bangunannya semakin mengecil ( mengerucut ). Hubungan antara tanda dan acuan yang berdasar konvensi berupa simbol. Interpretan dari acuan tersebut adalah konsep bangunan gunungan.

Gambar 3. Candi Plaosan Lor

Sedyawati ( dalam Christomy, 2004 : 170 ) mencatat bahwa dalam ajaran Hindu dan Buddha alam semesta itu berbentuk pipih seperti cakram , dengan pusatnya adalah Mahameru. Landasan kosmologis itulah yang menjadikan dasar pemikiran dalam mendirikan bangunan-bangunan suci. Jika diperhatikan dengan cermat, adanya tiga lapis pagar keliling pada candi Sambisari, Plaosan Lor ,dan Prambanan dapat kiranya dikembalikan pada konsepsi kosmologi. Pagar-pagar

keliling percandian tersebut dapat dianggap sebagai simbol dari tujuh lapisan pegunungan yang mengelilingi Mahameru, candinya sendiri dianggap sebagai simbol Mahameru.. Candi Jawi, Singasari, dan Jabung di Jawa Timur juga dapat dikembalikan pada bentuk Mahameru , apalagi Candi Jawi yang jelas dikelilingi oleh parit buatan di sekitar pelataran tempat candi itu berdiri. Petirtaan Tikus lebih memperlihatkan lagi simbol Mahameru dengan keempat puncaknya dan berdiri di atas batus sebagai Jambhudwipa , lalu batur itu dikelilingi air kolam, dinding kolam dibuat tegak meninggi sebagai simbol Chakrawan. Masih bangunan suci lainnya yang sangat mungkin konsep pembangunannya didasarkan pada ajaran kosmologis Hindu Buddha. Dengan kata lain pusat alam semesta yang berbentuk gunung itu direpresentasikan oleh masyarakat Jawa Kuna ke dalam karya arsitektur keagamaan.

Menurut R. Ismunandar ( 2001 : 97 ), bahwa bangunan gunungan lebih mengacu pada masyarakat Jawa, gunungan atau kayon dianggap lambang jagad raya dengan puncak gunungnya yang meupakan lambang keagungan dan ke-Esaan Tuhan. Pada bagian tengah-tengah gunungan dari hujan dan panas . Dari apa yang nampak tersebut dapat disimpulkan bahwa bangunan bentuk gunungan yang semakin atas semakin mengerucut tersebut diharapkan mendapat ketentraman lahir dan bathin, serta selalu berlindung dan tertuju kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Lebih lanjut, menurut Bram Setiadi ( 2001 : 268 ) bahwa bentuk atap masjid bersusun ganjil seperti bangunan sakral kuno lainnya, mengandung arti transendental, yakni hirarki menuju ke dunia atas. Dalam kebatinan Jawa, masjid

merupakan lambang kiblat keselamatan. Bentuk bangunan yang mengerucut tersebut tidak hanya terdapat di dalam bentuk bangunan masjid saja akan tetapi dapat kita lihat di setiap bangunan tempat-tempat ibadah lainnya.

Tataran kelima adalah beracuan rumah Tuhan. Antara tanda dan acuan

terjadi hubungan simbol. Interpretannya adalah konsep rumah Tuhan ( Baitullah ). Yususf Al Qaradhawi ( 2000 : 7 ), masjid adalah rumah, seperti

makna yang tersirat dalam firman Allah,

“ Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan pada waktu petang, laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak pula oleh jual beli dari mengingat Allah, dan dari mendirikan shalat, dan dari membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang di hari itu hati dan penglihatan menjadi goncang.” ( Q.S an Nuur : 36 – 37 ).

Dengan demikian, masjid adalah rumah Allah SWT, yang dibangun agar umat mengingat , mensyukuri dan menyembah-Nya dengan baik. Ibadah yang terpenting dilakukan di masjid adalah shalat yang merupakan tiang-tiang agama Islam dan kewajiban ritual sehari yang memungkinkan seorang muslim berjumpa dengan Tuhan-Nya lima kali dalam sehari semalam, sehingga bisa dimisalkan dengan kolam-kolam spiritual yang menjadi tempat pembersihan dari segala macam dosa, noda, dan bekas-bekas kelengahannya, setiap hari lima kali. Dengan kata lain ibadah shalat wajib lima waktu yang dilakukan umat Islam dapat membersihkan dirinya dari segala dosa yang telah dilakukan.

Karena masjid adalah rumah Allah ( Baitullah ), maka orang yang

memasukinya disunahkan mengerjakan shalat Tahyatul Masjid ( menghormati masjid ) dua rakaat . Kata masjid ( bentuk mufrad atau tunggal )

dan masajid ( bentuk jamak ) banyak terdapat di dalam Al- Qur’an, antara lain dalam ayat-ayat berikut : “ Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap memasuki masjid…”( QS .7 : 31 ), “ Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah di dalam masjid-masjid-Nya dan berusaha untuk merobohkannya?…”( QS.2 : 114 ) ; “ Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian , serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan tidak takut ( kepada siapa pun ) selain kepada Allah…” ( QS.9 : 18 ); “ Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah . Maka janganlah kamu menyembah seseorang pun di dalamnya di samping ( menyembah ) Allah “ ( QS.72 : 18 ).

Dalam sejarah Islam, bangunan masjid yang pertama didirikan oleh Nabi Muhammad SAW di Madinah pada tahun 622 ( bulan Rabiulawal tahun pertama Hijriah ) pada masa permulaan Nabi Muhammad SAW menetap di kota itu. Masjid itu terkenal dengan nama Masjid Madinah atau Masjid Nabawi, masjid utama ketiga setelah Masjidilharam dan Masjidilaqsa.

Dalam Ensiklopedi Islam 3 ( 2001 : 169 ) disebutkan bahwa sejarah perkembangan bangunan masjid erat kaitannya dengan perluasan wilayah Islam dan pembangunan kota-kota baru. Sejarah mencatat bahwa pada masa permulaan perkembangan Islam ke berbagai negeri, bila umat Islam menetap di suatu

daerah baru , maka salah satu sarana untuk kepentingan umum yang mereka buat adalah masjid. Masjid merupakan salah satu karya budaya umat Islam di bidang teknologi konstruksi yang telah dirintis sejak masa permulaannya dan menjadi ciri khas dari suatu negeri atau kota Islam. Masjid juga merupakan salah satu corak dan perwujudan perkembangan kesenian Islam dan dipandang sebagai salah satu kebudayaan Islam terpenting. Perwujudan bangunan masjid juga merupakan lambang dan cermin kecintaan umat Islam kepada Tuhannya dan menjadi bukti tingkat perkembangan kebudayaan Islam.

Keindahan seni bangunan ( arsitektur ) yang tampak dalam banyak masjid di berbagai belahan dunia tidak terwujud begitu saja, tetapi melalui proses perkembangan tahap demi tahap. Mulai dari bentuk bangunannya yang sederhana, sampai pada bentuk yang dapat dikatakan sempurna yang dilakukan oleh generasi demi generasi.

Karena itu, bentuk, wujud, dan corak seni bangunan masjid sejak zaman Khulafaur Rasyidin sampai dewasa ini , berbeda antara satu dan lainnya. Namun semua didasari atas jiwa tauhid, cerminan mahabah ( perasaan kasih sayang ) kepada Allah SWT. Persamaan lain terletak pada komponen-komponen terpenting, seperti terdapat pada Masjid Nabawi yang diletakkan oleh Nabi Muhammad SAW, yaitu ; (1) lapangan luas terbuka yang disebut sahan; (2) sebagian dari sahanitu diperuntukkan sebagai tempat shalat yang disebut mushala atau al-haram ;(3) kiblat, petunjuk arah shalat ; (4) mihrab, tempat imam dalam memimpin shalat berjamaah; dan (5) mimbar, tempat khatibmenyampaikan khotbah yang terletak di sebelah kanan mihrab. Unsur-unsur yang diletakkan oleh

Nabi Muhammad SAW ini merupakan unsur-unsur penting yang harus dimiliki oleh sebuah masjid. Karena itu, masjid Nabi Muhammad Saw menjadi cikal bakal masjid-masjid di seluruh dunia.

2. Mihrab Masjid Agung Surakarta

Dalam sejarah perkembangan masjid, mihrab merupakan bagian pokok , terpenting, atau yang selalu harus ada dalam komponen bangunan masjid, meskipun tidak selalu beratap lengkung. Bahkan pada bangunan tempat beribadah untuk umat Islam yang lebih kecil seperti surau atau mushala, mihrab ini selalu ada.. Lebih dari itu banyak masjid yang menggunakan tiga mihrab, yakni sebelah kanan untuk mimbar khatbah, tengah sebagai tempat imam memimpin shalat berjamaah, dan sebelah kiri digunakan untuk tempat menyimpan Al-Qur’an ( Ensiklopedi Islam 3, 2001 : 232 ).

Gambar 4. Mihrab Masjid Agung Surakarta

Mihrab yang berada di Masjid Agung Surakarta ini mempunyai karakteristik yang khusus. Kekhususan ini terutama terletak pada posisi tempat mimbar yang terpisah. Hal ini lazim ditemui setiap mihrab masjid dalam kategori masjid tua atau kuno. Seperti halnya Masjid Agung Demak, Masjid Agung Cirebon, Masjid

Sultan Suriansyah di Banjarmasin posisi mihrab terpisah dengan posisi mimbar. Posisi mimbar ini berada di sebelah timur laut mihrab kira-kira berjarak 2-3 meter. Posisi mihrab ini dengan demikian berbeda atau dengan kata lain tidak seperti masjid-masjid lain yang biasanya mihrab berada sejajar dengan posisi mimbar .

Mihrab dalam perspektif sejarah, menurut pendapat lain menyebutkan bahwa pada masa pemerintahan Mu’awiyah bin Abu Sufyan sudah ditentukan peraturan bahwa bangunan mihrab harus ada dalam masjid.. Menurut al-Maqrizi ( 767-846 H/1364-1442 M ), seorang sejarahwan, Qurra’ bin Syarik, seorang gubernur pada masa pemerintahan Mu’wiyah, telah memerintahkan pembuatan mihrab dalam masjid di Mesir dengan bentuk atap lengkung ( mihrab mujawwaf ) . Pendapat lain mengemukakan bahwa yang pertama kali memperkenalkan mihrab lengkung adalah Maslama bin Mukhallad ( 667-682 ) atau Abdul Aziz bin Marwan ( 685-704 ).

Di Indonesia, yang arah kiblatnya ke barat agak miring ke sebelah utara. Hal ini disebabkan arah kiblat yang tidak lurus ke arah barat akan tetapi cenderung miring ke sebelah utara. Untuk mihrab Masjid Agung Surakarta arah kiblatnya lurus ke barat. Jadi tidak miring arahnya ke sebelah utara. Hal tersebut oleh para ta’mir khususnya bagian peribadatan/dakwah belum pernah dibahas dalam rapat pleno takmir Masjid Agung Surakarta mengapa arah kiblatnya lurus ke barat. Para ta’mir Masjid Agung Surakarta tidak bisa sesuka hati merubah arah mihrab miring ke sebelah utara mengingat setiap perubahan fisik Masjid Agung Surakarta harus berkonsultasi dengan dinas purbakala. Dengan kata lain keaslian/orisinalitas bentuk fisik Masjid Agung Surakarta berusaha untuk dipertahankan. Mengutip

tulisan Ahmad Zaenuri di surat pembaca Suara Merdeka mengupas tentang arah mihrab masjid sebagai berikut :

Dalam Al Sunnah Edisi 2 tahun XII menjelaskan , misal seseorang yang berada di sebelah utara Ka’bah, seperti kota Madinah maka kiblatnya adalah arah selatan yaitu antara timur dan barat. Tidak perlu menghitung derajad kemiringannya untuk mengarah ke Ka’bah. Seperti Rasulullah SAW bersabda : “ Antara timur dan barat adalah kiblat . “( HR Tirmidzi No 342. An- Nasa’i 4/172 Ibnu Majah No 1011 ). Demikian juga bagi kaum muslimin di Indonesia, karena berada di sebelah timur Ka’bah maka kiblatnya adalah arah barat. Tidak perlu menghitung derajad kemiringan ke arah utara atau beranggapan bahwa kiblat itu menghadap ke arah barat namun agak miring ke utara 26 derajad dan sebagainya. Hal ini dikhawatirkan termasuk ghuluw ( sikap melewati batas) dalam beragama. Selain itu akan membawa kebingungan umat. Misal masjid yang sekarang dibangun, seandainya diukur derajadnya dengan kompas ke arah kiblat ternyata dianggap kurang tepat, apakah harus dirombak, atau menghadap kiblatnya dimiringkan. Hal demikian akan membawa persoalan. Karena it, Imam Ibnu Rajab al Hambali berkata; “ Adapun ilmu astronomi , jika seseorang mempelajari darinya perkara yang dibutuhkan untuk petunjuk arah, mengetahui kiblat dan mengetahui jalan-jalan, hal itu boleh menurut jumhur ulama ( mayoritas ualam ). Sedangkan selebihnya maka dia tidak membutuhkan karena akan menyibukkannya dari perkara yang lebih penting. Dalam memperdalam ilmu astronomi, kemungkinan akan membawa

prasangka buruk kepada mihrab-mihrab kaum muslimin di kota mereka, seperti yang searing terjadi. Hal ini akan membawa kepada keyakinan, dengan anggapan ada kesalahan para sahabat dan tabi’in dalam shalat mereka. Sedangkan keyakinan yang demikian ini bathil/gugur ( Suara Merdeka, 2008 : Edisi 1 Juli).

Mihrab pada umumnya terletak di ujung barat tengah bangunan masjid, berseberangan dengan pintu masuk. Di sebelah kanannya terdapat mimbar. Di atasnya sering terdapat kaligrafi dengan berbagai macam model, di antaranya tulisan ayat Al-Qur’an, kalimah syahadat, kalimat thayyibah maupun ayat-ayat yang berkaitan dengan shalat.

Gambar 5. Mihrab Masjid Agung Demak

Seperti halnya masjid-masjid bersejarah di Jawa, di dalam ruang utama Masjid Agung Surakarta terdapat komponen pelengkap berupa mihrab ( tempat pengimaman ). Mihrab tersebut letaknya di sisi barat, berbentuk relung setengah lingkaran dengan lebar 1,60 m, denahnya menjorok ke barat dengan penampang berbentuk persegi panjang. Bagian depan mihrab terdapat bingkai berornamen yang terbuat dari kayu yang dipasang dengan teknik tempel.

Bagian-bagian pokok dari bingkai mihrab terdiri atas sepasang pilaster kayu begaya doria dengan kapitel di bagian atas dan bawah, dan bidang berbentuk lengkung yang menghubungkan kedua pilaster di bagian atasnya. Bingkai mihrab

ruang utama Masjid Agung Surakarta berwarna kuning, hijau tua, dan hijau muda. Kapitel pilaster dihias dengan motif geometris dan patra, demikian pula bagian bidang lengkungnya. Terdapat juga ornamen berbentuk bulat sabit tertelungkup yang berisi kaligrafi Arab dan hiasan kaca timah yang bermotif tumbuh-tumbuhan.

Gambar 6. Mihrab Masjid Agung Surakarta bagian atas

Tepatnya di lengkungan dinding bagian atas mihrab terdapat tulisan yang mengutip dari Al Hadits Riwayat Bukhari Muslim yang artinya “ Islam dibangun atas lima perkara, yaitu (1), kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah (2), mendirikan shalat (3), mengeluarkan zakat (4), puasa di bulan Ramadlan (5), menunaikan ibadah haji bila mampu. Poin-poin di atas dikenal dengan rukun Islam, artinya bahwa setiap orang Islam atau orang baru masuk Islam setelah bersyahadat maka mendirikan shalat dan seterusnya merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap muslim sesuai dengan tingkat kemampuan masing-masing.

Di mihrab bagian sebelah kanan, tulisan yang paling atas adalah Allah. Di bawahnya adalah tulisan yang menukil ayat suci Al Qur’an Surat Al Maidah ayat 2 yang artinya ……. Dan tolong menolonglah kamu dalam ( mengerjakan ) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Adapun tulisan di bawahnya adalah Shalawat nabi “ Allahumma shalli’alaa sayyidinaa Muhammad wa’ala aali Sayyidinaa Muhammad“.

Adapun di mihrab bagian sebelah kiri, berturut-turut bertuliskan Muhammad, kemudian tulisan Arab yang menukil dari Al Qur’an yang artinya datang pertolongan dari Allah yang sudah dekat, berbahagialah orang-orang mukmin, kemudian tulisan Shalawat nabi dan Khulafaur Rasyidin.

Mengacu dari semiotik Peirce, trikotomi pada tataran pertama yang dijadikan sebagai tanda adalah gambar mihrab. Mihrab di sini dijadikan patokan atau sebagai acuannya adalah fisik mihrab. Hubungan antara tanda dan acuan adalah berupa ikon yaitu adanya kemiripan bentuk antara tanda dan acuan. Adapun dalam tahap interpretan dari acuan adalah konsep tentang mihrab. Menurut Ahmad bin Ubaid ( dalam Yusuf Al Qaradhawi, 2000 : 81 ) bahwa secara konseptual, mihrab adalah tempat di bagian depan masjid yang dikhususkan sebagai tempat shalat imam. Mihrab ini merupakan tempat yang terhormat di dalam masjid , seperti halnya istana juga sering disebut sebagai mihrab karena hanya sang raja yang berhak tinggal. Pendapat lain tentang konsep mihrab dikemukakan oleh Burckhardt ( dalam Christomy dan Untung Wiyono, 2004 : 155 ) mihrab adalah kreasi seni yang sakral dan telah menjadi salah satu

Dokumen terkait