• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

B. Psychological Well-Being

Pada bagian ini psychological well-being dijelaskan dalam dua sub-bagian, yakni pengertian psychological well-being dan Ryff psychological

1. Pengertian Psychological Well-Being

Kualitas well-being mengaju pada pengoptimalan fungsi psikologis dan pengalaman hidup. Ilmu psikologi menjelaskan

well-being melalui dua perspektif, yaitu perspektif hedonic (kesenangan

hidup) dan perspektif eudaimonic (hidup bermakna; Waterman, 1993). Perspektif hedonic dapat dimengerti sebagai pengalaman subjektif dari individu, di mana individu meyakini bahwa segala hal penting yang didapatkan selama hidup berupa kesenangan (Kraut, 1979 dalam Waterman, 1993). Dalam hal ini, kesenangan merupakan kegembiraan tunggal tanpa memperdulikan penyebab dari kesenangan (Tatarkiewicz, 1976 dalam Waterman, 1993). Dalam perspektif

hedonic, Diener (1984 dalam Gallagher, Lopez, Preacher, 2009)

menegaskan subjektif well-being sebagai evaluasi pengalaman hidup mengenai perasaan (emosi dan suasana hati) positif dan negatif serta kepuasaan hidup. Pada penelitian Diener, subjektif well-being bersinonim dengan hedonic well-being (Kahneman, Diener, & Schwart, 1999 dalam Gallagher, Lopez, Preacher, 2009). Waterman (1993) mengartikan well-being sebagai pencapaian kebahagiaan yang diukur melalui keseimbangan antara pengalaman hidup positif dan negatif. Berdasarkan penelitian-penelitian di atas, perspektif hedonic menggambarkan well-being sebagai pencapaian kebahagiaan,

keseimbangan antara pengalaman hidup positif dan negatif, serta kepuasan hidup secara menyeluruh.

Di sisi lain, perspektif eudaimonic dijelaskan sebagai ekspresi personal dari individu, di mana individu berusaha hidup sesuai dengan potensi diri, mampu mewujudkan potensi diri (self-realization), dan hal tersebut membantu individu menemukan makna dan tujuan hidupnya (Waterman, 1993). Perspektif eudemonic diwakili oleh Carol Ryff (1989) yang membangun teori Psychological Well-Being (PWB) ke dalam ringkasan yang lebih sederhana. Ryff dan Keyes (1995) menunjukkan well-being sebagai pencapaian diri yang sempurna berupa realisasi potensi diri yang dimiliki oleh individu. Dengan kata lain, well-being dinilai melalui seberapa baik individu hidup berdasarkan potensi yang dimilikinya. Ryff dan Singer (1998) menambahkan bahwa well-being bukan sekedar pencapaian kebahagiaan, tetapi buah kehidupan yang dihayati. Berdasarkan PWB yang dibangun oleh Ryff (1989), perspektif eudemonic menegaskan

well-being sebagai individu yang berusaha untuk berfungsi

sepenuhnya (function fully) dan mewujudkan talenta unik (potensi diri) yang dimilikinya. Untuk menjelaskan well-being, ilmu psikologi lebih mengacu pada psychological well-being (perspektif eudemonic) daripada subjektif well-being (perspektif hedonic; Abbott et al., 2006). 2. Ryff Psychological Well-Being

Penelitian ini memilih psychological well-being menurut Carol Ryff (1989), yaitu Ryff Psychological Well-Being (RPWB) sebagai landasan teori. Alasan pemilihan RPWB adalah RPWB dibangun

berdasarkan perkembangan semasa hidup dan mencoba mendefinisikan hidup yang baik (Becker, 1992 dalam Dierendonck, Díaz, Rodríguez-Carvajal, Blanco, & Moreno-Jiménez, 2008). Selain itu, RPWB tidak hanya memiliki kesamaan bahkan melengkapi kriteria fungsi psikologis yang positif. Pada kenyataannya, perspektif ini membangun pandangan baru mengenai sehat secara mental. Pandangan bahwa sehat bukan diartikan sebagai ketidakadaanya suatu gangguan tetapi kemampuan menghadirkan sesuatu yang positif (WHO, 1948; Ryff & Singer 1998 dalam Dierendonck, Díaz, Rodríguez-Carvajal, Blanco, & Moreno-Jiménez, 2008).

Ryff (1989) membangun PWB berdasarkan penelitian di area kesehatan mental, perkembangan masa hidup manusia, dan psikologi klinis. Bidang kesehatan mental memberikan konsep berupa kriteria positif kesehatan mental dan tipe-tipe negatif dari psikologis negatif (Jahoda, 1958). Perkembangan masa hidup manusia menyumbangkan teori perkembangan psikososial (Erikson, 1959), tendensi dasar hidup dan fulfillment (Buhler & Massarik, 1968), serta konsep perubahan kepribadian (Neugarten, 1973). Psikologi klinis memberikan konsep individu yang beraktualisasi diri (Maslow, 1968), individu yang matang (Allport, 1961), individu yang berfungsi sepenuhnya (Roger, 1961), dan individu yang terindividuasi (Jung, 1933).

Ryff (1989) menjelaskan PWB dengan enam model multidimensional, yaitu: 1. Penerimaan diri (self-acceptance), 2.

Hubungan positif dengan orang lain (positive relatianships with other), 3. Kemandirian (autonomy), 4. Penguasaan Situasi Hidup (environmental mastery), 5. Tujuan hidup (purpose in life), 6. Perkembangan diri (personal growth). Penjelasan mengenai enam model PWB sebagai berikut:

1. Penerimaan diri (self-acceptance)

Penerimaan diri (self-acceptance) dapat dipahami sebagai sikap mampu menerima diri apa adanya. Sikap ini ditandai dengan pandangan positif mengenai diri sendiri, menerima secara positif peristiwa-peristiwa masa lalu, dan mau mengakui kekuatan dan kelemahan diri sendiri. Pencapaian penerimaan diri dibangun melalui kesadaran akan kekuatan dan kelemahan diri, kejujuran atas evaluasi diri, kesadaran atas kesalahan dan keterbatasan diri, serta mencintai diri sendiri.

2. Hubungan positif dengan orang lain (positive relatianships with

other)

Hubungan positif dengan orang lain (positive relationships

with other) bercirikan interaksi yang hangat dan adanya

kepercayaan individu pada orang lain, mau memperhatikan kesejahteraan orang lain, dan memiliki keinginan untuk menunjukkan empati, afeksi dan keintiman. Ciri dari keberhasilan hubungan ini adalah individu mendapat penguatan, merasa nyaman

dan bahagia ketika berada dalam suatu hubungan yang akrab, intim, dan rasa cinta yang kuat.

3. Kemandirian (autonomy)

Kemandirian (autonomy) bercirikan individu yang tidak memerlukan afirmasi dari orang lain untuk mengevaluasi diri. Dengan kata lain, individu ini memiliki kemampuan mengevaluasi dirinya berdasarkan standar pribadi dan tidak mencari persetujuan dari orang lain untuk menentukan standar diri. Kemampuan ini ditandai dengan sikap mandiri dan kontrol diri. Kedua sikap tersebut berkaitan dengan kapasitas individu untuk mampu mengambil keputusan sendiri dan memiliki kontrol diri. Dengan kata lain, individu ini berani mengambil sikap mandiri dan menolak tekanan sosial untuk bertindak dan berpikir sesuai dengan standar diri. 4. Penguasaan Situasi Hidup (environmental mastery)

Penguasaan Situasi Hidup (environmental mastery) merupakan kemampuan individu mengatur secara efektif situasi hidupnya agar sesuai dengan kondisi psikisnya melalui perilaku dan upaya diri. Aspek ini digambarkan dengan kemampuan untuk mengatur dan mengontrol situasi yang kompleks. Dengan kata lain, penguasaan situasi hidup merupakan kemampuan individu untuk menguasai dan mengubah situasi di sekitarnya secara kreatif melalui aktivitas fisik ataupun mental.

5. Tujuan hidup (purpose in life)

Tujuan hidup (purpose in life) adalah sikap individu yang memiliki tujuan dan makna hidup. Sikap ini ditunjukkan dengan kemampuan untuk menjadi produktif, kreatif atau mencapai kestabilan emosi. Kemampuan ini akan makin membantu individu menemukan makna dan arah hidup melalui pengalaman pribadi. 6. Perkembangan diri (personal growth)

Perkembangan diri (personal growth) dapat digambarkan sebagai individu yang tidak hanya mencapai prioritas karakteristik diri, tetapi individu yang memiliki keinginan untuk mengembangkan potensi diri. Pengembangan potensi diri ini ditandai dengan keinginan membuka diri pada pengalaman baru (tantangan baru, tugas-tugas perkembangan semasa hidup), memaksimalkan potensi diri, keinginan memperbaiki diri dari kesalahan, dan mampu berubah sesuai dengan kemampuan diri.

Berdasarkan konsep RPWB, well-being diartikan sebagai proses multidimensional manusia yang meliputi pencapaian tujuan hidup, memaksimalkan potensi diri, membangun hubungan dengan orang lain, mampu mengatur situasi hidup, melatih sikap mandiri, dan menerima diri secara positif (Ryff & Singer, 1996 dalam Strauser, Lustig, & Çiftçi, 2008).

Penelitian ini hanya menggunakan tiga dari enam dimensi RPWB, yaitu: self-acceptance, autonomy, positive relationships with other. Pemilihan ini dikarenakan tiga dimensi tersebut merupakan aspek penting yang dibutuhkan untuk mencapai karakteristik personal konselor yang efektif (George & Christiani, 1995).

Dokumen terkait