• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI

A. Deskrips i Teori

3. Puisi

a. Hakikat Puisi

Puisi sebagai salah satu karya seni sastra dapat dikaji dari bermacam-macam aspeknya. Puisi dapat dikaji struktur dan unsur-unsurnya, mengingat bahwa puisi itu adalah struktur yang tersusun dari bermacam-macam unsur dan sarana-sarana kepuitisan. Shahnon Ahmad (via Pradopo, 2014: 6) mengambil definisi-definisi

puisi dari para penyair romantic Inggris antara lain yaitu Samuel Taylor Coleridge, Carlyle, Wordsworth, Dunton, dan Shelley. Samuel berpendapat puisi sebagai kata-kata terindah dalam susunan terindah. Carlyle dengan pendapatnya puisi itu pemikiran yang bersifat musikal. Wordsworth mengemukakan puisi itu pengungkapan perasaan yang imajinatif. Dunton juga memiliki pendapat bahwa puisi tersebut merupakan pemikiran manusia secara konkret dan artistik dalam bahasa emosional serta berirama. Pendapat Shelley tentang puisi adalah rekaman detik-detik yang paling indah dalam hidup kita (Pradopo, 2014: 6). Menurut Sayuti (1985: 12), puisi merupakan hasil kreativitas manusia yang diwujudkan lewat susunan kata yang mempunyai makna.

Jadi, jika dilihat dari definisi-definisi tentang puisi tersebut terlihat perbedaan-perbedaan dalam setiap pendapat mereka yang bisa dipadukan unsur-unsurnya menjadi satu kesatuan mengenai puisi tersebut. Unsur-unsur itu berupa imajinasi, ide, emosi, pemikiran, nada, irama, kesan pancaindera, susunan kata, kiasan, serta perasaan. Dapat disimpulkan bahwa puisi itu merupakan pengekspresian pemikiran yang membangkitkan sebuah perasaan yang merangsang imajinasi dalam bentuk susunan kata yang indah.

b. Struktur Puisi

Waluyo (Jabrohim 2009: 34), berpendapat bahwa struktur fisik puisi terdiri dari baris-baris puisi yang bersama-sama membangun bait-bait puisi. bait-bait puisi itu membangun kesatuan makna di dalam keseluruhan puisi sebagai sebuah wacana. Struktur puisi dibagi menjadi dua, yakni struktur fisik dan struktur batin puisi.

1) Struktur Fisik Puisi

Unsur-unsur bentuk atau struktur fisik puisi dapat diuraikan dalam metode puisi, yakni unsure estetik yang membangun struktur luar dari puisi. Unsur-unsur itu dapat ditelaah satu persatu, tetapi unsur-unsur itu merupakan kesatuan yang utuh. Unsur-unsur itu meliputi diksi, pengimajian, kata konkret, bahasa figuratif (majas), versifikasi, dan tata wajah puisi (Waluyo, 1995: 71).

a) Diksi

Diksi adalah pilihan kata yang tepat dan sesuai dengan gagasan yang ingin disampaikan dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar. Hendaknya disadari bahwa kata-kata dalam puisi bersifat konotatif artinya memiliki kemungkinan makna yang lebih dari satu. Kata-kata juga dipilih yang puitis artinya memiliki efek keindahan dan berbeda dari kata-kata yang kita pakai dalam kehidupan sehari-hari.

Penyair dalam menciptakan karya puisinya harus memiliki perbendaharaan kata yang mumpuni untuk kekuatan ekspresi, juga menunjukkan ciri khas penyair. dalam memilih kata-kata, disamping penyair memilih berdasarkan makna yang akan disampaikan dan tingkat perasaan serta suasana batinnya, juga dilatarbelakangi oleh faktor sosial budaya penyair. Penyair selain harus memiliki perbendaharaan kata, juga harus memiliki urutan kata. Dalam puisi urutan kata bersifat beku artinya urutan itu tidak dapat dipindah-pindah tempatnya meskipun maknanya tidak berubah oleh perpindahan tempat itu. Penyair juga harus pandai mempertimbangkan daya sugesti kata-kata itu. sugesti itu ditimbulkan oleh makna kata yang dipandang sangat tepat mewakili perasaan penyair. Karena ketepatan

pemilihan dan ketepatan penempatannya, maka kata-kata itu seolah memancarkan daya gaib yang mampu memberikan sugesti kepada pembaca untuk ikut sedih, terharu, bersemangat, marah, dan sebagainya.

Pemilihan kata mempunyai peranan penting dan utama untuk mencapai keefektifan dalam penulisan suatu karya sastra. untuk mencapai diksi yang baik seorang penulis harus memahami secara lebih baik masalah kata dan maknanya, harus tahu memperluas dan mengaktifkan kosa kata, harus mampu memilih kata yang tepat, kata yang sesuai dengan situasi yang dihadapi, dan harus mengenali dengan baik macam corak gaya bahasa sesuai dengan tujuan penulisan.

b) Pengimajian

Pengimajian merupakan kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman sensoris, seperti pengelihatan, pendengaran, dan perasaan (Waluyo, 1995: 78). Baris atau bait puisi seolah mengandung gema suara (imaji auditif), benda yang nampak (imaji visual), atau sesuatu yang bisa kita rasakan, raba atau sentuh (imaji taktil).

Pengimajian ditandai dengan penggunaan kata yang konkret dan khas. Imaji yang ditimbulkan ada tiga macam yaitu imaji visual, imaji auditif, imaji taktil. Ketiganya digambarkan atas bayangan konkret apa yang dapat kita hayati secara nyata (Waluyo, 1995: 79).

c) Kata Konkret

Untuk membangkitkan imaji (daya bayangan) pembaca, maka kata-kata harus diperkonkret. Maksudnya, kata-kata itu dapat menyaran kepada arti yang menyeluruh. Seperti halnya pengimajian, kata konkret ini juga erat hubungannya

dengan penggunaan kiasan dan lambang. Jika penyair mahir memperkonkret kata-kata, maka pembaca seolah-olah melihat, mendengar, atau merasa apa yang dilukiskan oleh penyair (Waluyo, 1995: 81).

Waluyo (via Jabrohim 2001: 41) mengatakan bahwa dengan kata diperkonkret, pembaca dapat membayangkan secara jelas peristiwa yang dilukiskan oleh penyair. Sebagai contoh cara penyair melukiskan gadis yang benar-benar pengemis gembel. Penyair menggunakan kata-kata: gadis kecil kaleng kecil. Lukisan tersebut lebih konkret jika dibandingkan dengan: gadis peminta-minta.

d) Bahasa Figuratif

Penyair menggunakan bahasa yang bersusun-susun atau berpigura sehingga disebut bahasa figuratif. Bahasa figuratif menyebabkan puisi menjadi prismatis artinya memancarkan banyak makna atau kaya akan makna. Bahasa figurative ialah bahasa yang digunakan penyair untuk mengatakan sesuatu dengan cara yang tidak biasa, yakni secara tidak langsung mengungkapkan makna. Kata atau bahasanya bermakna kias atau makna lambang (Waluyo, 1995: 83).

Makna kias (gaya bahasa) mempunyai makna lebih luas dari gaya bahasa kiasan karena mewakili apa yang secara tradisional disebut gaya bahasa secara keseluruhan. Tujuan penggunaan kiasan ialah untu menciptakan efek lebih kaya, lebih efektif, lebih sugestif dalam bahasa puisi. Adapun bahasa kias yang akan dibahas meliputi metafora (kiasan langsung), persamaan (kiasan tidak langsung), personifikasi, hiperbola, euphemisme, sinekdoce, dan ironi (Waluyo, 1995: 84-90).

(1) Metafora, kiasan langsung artinya benda yang dikiaskan itu tidak disebutkan. Jadi ungkapan itu langsung berupa kiasan. Contoh klasik : lintah darat, bunga bangsa, kambing hitam, bunga sedap malam, dan sebagainya.

Dalam “Surat Cinta”, Rendra mengiaskan diri kekasih sebagai putri

duyung.

Engkaulah Putri Duyung/ tawananku/ Putri Duyung dengan suara merdu/ lembut bagi angin laut/ mendesahlah bagiku.

(2) Perbandingan, kiasan tidak langsung disebut perbandingan atau simile. Benda yang dikiaskan kedua-duanya ada bersama pengiasnya dan digunakan kata-kata seperti laksana, bagai, bak, bagaikan, dan sebagainya. Perbandingan yang sudah lama ada misalnya: matanya bagai bintang timur, pipinya bak pauh dilayang, larinya bagai anak panah, dan sebagainya. Contoh dalam puisi modern misalnya: Jesus bagai domba kapas putih, langit bagai kain teteron biru, dan sebagainya (Rendra). (3) Personifikasi. Personifikasi yaitu benda mati dianggap sebagai manusia

atau persona, atau di”personifikasi”kan. Hal itu digunakan untuk memperjelas penggambaran peristiwa atau keadaan itu.

Dalam “Gadis Peminta-minya”, Toto Sudarto Bachtiar menuliskan personifikasi sebagai berikut: “kotaku jadi hilang tanpa jiwa”, “kotaku hidupnya tak lagi punya tanda”.

(4) Hiperbola. Hiperbola adalah kiasan yang berlebih-lebihan. Penyair merasa perlu melebih-lebihkan hal yang dibandingkan itu agar mendapat perhatian yang lebih atau seksama dari pembaca.

Untuk melebih-lebihkan pihak yang dikritik, Rendra membuat hiperbola sebagai berikut.

Politisi dan pegawai tinggi/ adalah caluk yang rapi/ konggres-konggres dan konperensi/ tak pernah berjalan tanpa kalian.

(“Bersatulah Pelacur-pelacur kota Jakarta) (5) Sinekdoce. Sinekdoce adalah menyebutkan sebagian untuk maksud

keseluruhan, atau menyebutkan keseluruhan untuk sebagian. Terbagi atas

part pro toto (menyebutkan sebagian untu keseluruhan) dan totem pro parte (menyebutkan keseluruhan untuk sebagian).

Untuk menyebutkan petani yang menderita, Rendra menulis seolah-olah petani menderita. Hal ini digunakan untuk mempertajam kritikannya.

Para petani bekerja/ berumah di gubug-gubug tanpa jendela/ menanam bibit di tanah yang subur/ memanen hasil yang melimpah dan makmur/ namun hidup mereka sendiri sengsara.

(“Sajak Burung-burung Kondor”, 1973)

Sedangkan totem pro parte digambarkan misalnya untuk melukiskan penderitaan gadis peminta-minta, Toto Sudarto Bachtiar menggunakan

contoh “Gadis berkaleng kecil”. Untuk melukiskan korban-korban

kekejaman Orde lama Taufiq Ismail melukiskan “Sebuah Jaket Berlumur Darah”.

(6) Ironi. Ironi yaitu kata-kata yang bersifat berlawanan untuk memberikan sindiran. Ironi dapat berubah menjadi sinisme atau sarkasme, yakni penggunaan kata-kata yang keras dan kasar untuk menyindir atau mengeritik.

Untuk menggambarkan secara sinis kemunduran dunia pendidikan, Rendra menulis :

Apakah gunanya pendidikan/ bila hanya membuat seseorang menjadi asing/ di tengah kenyataan persoalannya/ Apakah gunanya pendidikan/ bila hanya mendorong seseorang/ menjadi laying-layang di ibu kota/ kikuk pulang ke daerahnya?

(“Sajak Seonggok Jagung”, 1975)

Pelambangan digunakan penyair untuk memperjelas makna dan membuat nada dan suasana sajak menjadi lebih jelas, sehingga dapat menggugah hati pembaca. Lambang perlu digunakan penyair karena dengan lambang atau simbolisasi makna akan lebih hidup, jelas, dan lebih mudah dibayangkan oleh pembaca. Macam-macam lambang dapat ditentukan oleh keadaan atau peristiwa apa yang digunakan oleh penyair untuk mengganti keadaan atau peristiwa itu.

(1) Lambang Warna. Warna memiliki karakteristik watak tertentu. Banyak puisi yang menggunakan lambang warna untuk mengungkapkan perasaan penyair. judul-judul puisi: “Sajak Putih”, “Serenada Biru”, “Ciliwung yang Coklat”, dan sebagainya.

(2) Lambang Benda. Pelambangan juga dapat dilakukan dengan nama benda untuk menggantikan sesuatu yang ingin diucapkan. Untuk melambangkan penguasa yang kejam, serakah yang gendut Rendra menggantinya dengan

“mastodon”, sedangkan untuk rakyat jelata yang sengsra dan miskin, Rendra melambangkan “burung kondor”. Tuhan yang sering mempermain

-mainkan nasib manusia, dilambangkan dengan “burung yang bercakar”

oleh Amir Hamzah.

(3) Lambang Bunyi. Bunyi yang diciptakan penyair juga melambangkan perasaan tertentu. Penggunaan bunyi sebagai lambang erat hubungannya dengan rima. Disamping itu lambang bunyi juga erat hubungannya dengan

diksi. Waktu memilih kata-kata, salah satu yang diperhatikan adalah faktor bunyi yang padu.

Untuk mendiptakan suasana duka, Chairil Anwar dalam “Senja di Pelabuhan Kecil” menggunakan bunyi-bunyi /i/ yang dipadu dengan /a/.

peranan /i/ kadang-kadang diganti /u/. Bunyi desis seperti /s/, /f/, dan /v/

hampir tidak ada karena bunyi-bunyi tersebut mengurangi kedukaan. Sebaliknya konsonan /r/ dan /l/ dipandang dapat menambah suasana duka itu.

Ini kali tidak ada yang mencari cinta/ di antara gudang, rumah tua pada cerita/ tiang serta temali/ kapal, perahu tiada berlaut/ mengehmbus diri dalam mempercaya mau berpaut.

(“Senja di Pelabuhan Kecil”, 1948)

(4) Lambang Suasana. Suasana dapat dilambangkan pula dengan suasana lain yang dipandang lebih konkret. Untuk melambangkan suasana peperangan,

yang penuh dengan kehancuran, maka digunakan lambang “bharata yudha”. Untuk menggambarkan suasana penuh gelisah, maka digunakan lambang “hatinya gemetar bagai permata gemerlap”. Untuk

menggambarkan suasana kacau dan derita panjang, digunakan lambang

“kiamat”.

Demikianlah lambang dan kiasan, bersama-sama bertujuan untuk membentuk bahasa figuratif, yakni bahasa yang seolah-olah mempunyai pigura. Bahasa figuratif tidak dapat langsung ditangkap maknanya. Dengan bahasa figuratif sebuah puisi menjadi kaya akan makna.

e) Versifikasi (Rima, Ritma, dan Metrum)

Bunyi dalam puisi menghasilkan rima dan ritma. Rima adalah pengulangan bunyi dalam puisi untuk membentuk musikalitas atau orkestrasi. Kata rima digunakan untuk mengganti istilah persajakan pada sistem lama karena diharapkan penempatan bunyi dan pengulangannya tidak hanya di akhir setiap baris, namun juga untuk keseluruhan baris dan bait (Waluyo, 1995: 90).

Dalam rima terdapat onomatope, bentuk intern pola bunyi, dan pengulangan kata (Waluyo, 1995: 90-94). Onomatopeberarti tiruan terhadap bunyi-bunyi yang ada. Puisi Rendra juga banyak menggunakan onomatope misalnya, tralala, humpapa, dan sebagainya. Puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri menggunakan onomatope seperti: ngiau, huss, puss, wau, o, aduhai, haha, copot, taktiktaktik, ping, pong, was-was, hei, dan sebagainya.

Bentuk intern pola bunyi, menurut Boulton (via Waluyo, 1995: 92) yang dimaksud bentuk intern meliputi aliterasi, asonansi, persamaan akhir, persamaan awal, sajak berselang, sajak berparuh, sajak penuh, repetisi bunyi, dan sebagainya.

Contoh puisi Rendra “Ballada Terbunuhnya Atmo Karpo” bentuk intern pola

bunyi ini yang ditinjau adalah unsur pengulangan atau persamaan bunyi (konsonan dan vokal). Aliterasi dapat ditimbulkan dari dalam baris puisi Rendra.

Dengan kuku-kuku besi kuda menebah perut bumi

Bulan berkhianat gosok-gosokkan tubuhnya pada pucuk-pucuk para

Pada baris pertama ada persamaan suku kata (konsonan) awal /ku/ pada kuku,

kuku dan kuda. Baris kedua konsonan /b/ bulan dan berkhianat; /g/ pada gosok dengan gosokkan; dan /p/ pada kata pada dengan pucuk, pucuk, dan para.

Pengulangan kata/ ungkapan. Menurut Boulton (via Waluyo, 1995: 93) pengulangan bunyi/frasa/kata memberikan efek intelektualdan efek magis yang

murni. Dalam “Perempuan-perempuan Perkasa” terdaoat pengulangan ungkapan “dari manakah mereka”, “ke manakah mereka”, dan “siapakan mereka” yang

mengesankan efek analitik atau efek intelektual.

Ritma berhubungan erat dengan bunyi dan juga berhubungan dengan pengulangan bunyi, kata, farsa, dan kalimat. Ritma juga dapat dibayangkan seperti tembang mocopat dalam tembang Jawa. Dalam tembang irama berupa pemotongan tiap 4 suku kata pada baris-baris puisi sehingga menimbulkan gelombang yang teratur. Dalam situasi semacam ini irama disebut periodisitet yang berkorespondensi, yakni pemotongan frasa-frasa yang berulang. Ritma puisi berbeda dengan metrum (mantra). Metrum berupa tekanan kata yang tetap.

f) Tata Wajah (Tipografi)

Tipografi merupakan pembeda yang penting antara puisi dengan prosa dan drama. Larik-larik puisi tidak membentuk paragraf, namun membentuk bait. Baris puisi tidak bermula dari tepi kiri atau tepi kanan dari halaman yang memuat puisi belum tentu terpenuhi tulisan, hal mana tidak berlaku untuk prosa. Ciri demikian menunjukkan eksistensi sebuah puisi. Contoh puisi Armijn Pane puisi Angkatan Pujangga Baru sebagai berikut.

Hamba Buruh

Aku menimbang-nimbang mungkin, Kita berdua menjadi satu; Gaji dihitung-hitung,

Cukup tidak untuk berdua.

Hati ingin sempurna dengan engkau, Sama derita sama gembira;

Kepala pusing menimbang-nimbang, Menghitung-hitung uang bagi kita.

Aku ingin hidup damai tua, Mikir anak istri setia; Kalbu pecah merasa susah,

Hamba buruh apa dikata.

Larik yang menjorok ke tengah halaman memberikan jawaban kepada larik sebelumnya. Antara larik yang menepi dan menjorok memberikan hubungan kausal. Disamping itu, tata wajah yang diciptakan Arimjn Pane juga menyebabkan ritma puisi menjadi padu (Waluyo, 1995: 97-98).

Dokumen terkait