• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI

B. Puisi

1. Pengertian Puisi

Secara etimologis, kata puisi dalam bahasa Yunani berasal dari poesis

yang artinya berati penciptaan. Dalam bahasa Inggris, padanan kata puisi ini adalah poetry yang erat dengan kata -poet dan -poem. Mengenai kata poet, Coulter dalam Tarigan menjelaskan bahwa “kata poet berasal dari Yunani yang berarti membuat atau mencipta.”2

Dalam bahasa Yunani sendiri, kata

poet berarti orang yang mencipta melalui imajinasinya, orang yang hampir-hampir menyerupai dewa atau yang amat suka kepada dewa-dewa. Dia adalah orang yang berpenglihatan tajam, orang suci, yang sekaligus merupakan filsuf, negarawan, guru, orang yang dapat menebak kebenaran yang tersembunyi.

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, puisi memiliki tiga varian pengertian, yaitu sebagai berikut.

“(1) Ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait. (2) Gubahan dalam bahasa yang bentuknya dipilih dan ditata secara cermat sehingga mempertajam kesadaran orang akan pengalaman hidup dan membangkitkan tanggapan khusus lewat penataan bunyi, irama, dan makna kusus. (3) Sajak.”3

Sementara itu, Sapardi Djoko Damono menyebut puisi sebagai “hasil upaya manusia untuk menciptakan dunia kecil dan „sepele’ dalam kata, yang bisa dimanfaatkan untuk membayangkan, memahami, dan menghayati dunia yang lebih besar dan lebih dalam.”4

Jacques Maritain (1977) seperti dikutip Bakdi Soemanto menyebut bahwa puisi adalah “the secret life of each and all

of the arts, another name for what Plato called mousikĕ atau puisi adalah inti dari setiap seni dan semua seni yang oleh Plato disebut mousikĕ.”5

2

Henry Guntur Tarigan, Prinsip-prinsip Dasar Sastra, (Bandung: Penerbit Angkasa, 1986), h. 4.

3

Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), Edisi ke-4, h. 1112.

4

Bakdi Soemanto, Sapardi Djok o Damono: Karya dan Dunianya, (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2006), h. 50.

5

Pengertian puisi menurut para ahli, terutama para penyair romantik Inggris, telah dikumpulkan oleh Shahnon Ahmad yang kemudian dikutip Pradopo sebagai berikut.6

a. Samuel Taylor Coleridge, puisi adalah kata-kata yang terindah dalam susunan terindah. Penyair memilih kata-kata yang setepatnya dan disusun secara sebaik-baiknya, misalnya seimbang, simetris, antara satu unsur dengan unsur lain sangat erat berhubungannya, dan sebagainya.

b. Carlyle, puisi merupakan pemikiran yang bersifat musikal. Penyair menciptakan puisi itu memikirkan bunyi-bunyi yang merdu seperti musik dalam puisinya, kata-kata disusun begitu rupa hingga yang menonjol adalah rangkaian bunyinya yang merdu seperti musik, yaitu dengan mempergunakan orkestra bunyi.

c. Wordsworth, puisi adalah pernyataan perasaan yang imajinatif, yaitu perasaan yang direkakan atau diangankan.

d. Auden, puisi itu lebih merupakan pernyataan perasaan yang bercampur-baur.

e. Dunton, puisi itu merupakan pemikiran manusia secara konkret dan artistik dalam bahasa emosional serta berirama. Misalnya, dengan kiasan, dengan citra-citra, dan disusun secara artistik (misalnya selaras, simetris, pemilihan kata-katanya tepat, dan sebagainya), dan bahasanya penuh perasaan, serta berirama seperti musik (pergantian bunyi kata-katanya berturu-turut secara teratur). f. Shelley, puisi adalah rekaman detik-detik yang paling indah dalam hidup. Misalnya saja peristiwa-peristiwa yang sangat mengesankan dan menimbulkan keharuan yang kuat seperti kebahagiaan, kegembiraan yang memuncak, percintaan, bahkan kesedihan karena kematian orang yang sangat dicintai. Semuanya merupakan detik-detik yang paling indah untuk direkam.

6

Rachmat Djoko Pradopo, Pengk ajian Puisi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1997), h. 6.

Dari definisi-definisi di atas tentang puisi dapat disimpulkan bahwa puisi adalah salah satu ragam sastra yang terdiri atas kata-kata yang tersusun secara artistik, yang timbul atas perasaan (emosi), penghayatan, dan ekspresi penulisnya.

2. Unsur Pembentuk Puisi

Secara sederhana, batang tubuh puisi terbentuk dari beberapa unsur, yaitu kata, larik, bait, bunyi, dan makna. Kelima unsur ini saling mempengaruhi keutuhan sebuah puisi. Berikut penjelasan mengenai lima unsur puisi tersebut.

a. Kata. Kata adalah unsur utama terbentuknya sebuah puisi. Pemilihan kata (diksi) yang tepat sangat menentukan kesatuan dan keutuhan unsur-unsur yang lain. Kata-kata yang dipilih diformulasi menjadi sebuah larik. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, kata memiliki beberapa arti, yaitu sebagai berikut.

“(1) unsur bahasa yang diucapkan atau dituliskan yang merupakan perwujudan kesatuan perasaan dan pikiran yang dapat digunakan dalam berbahasa. (2) Ujar, bicara. (3) Morfem atau kombinasi morfem yang oleh bahasawan dianggap sebagai satuan terkecil yang dapat diujarkan sebagai bentuk yang bebas.”7

b. Larik. Larik atau baris mempunyai pengertian berbeda dengan kalimat dalam prosa. Larik bisa berupa satu kata saja, bisa frase, bisa pula seperti sebuah kalimat. Pada puisi lama, jumlah kata dalam sebuah larik biasanya empat buah, tapi pada puisi baru tak ada batasan.

c. Bait. Bait merupakan kumpulan larik yang tersusun harmonis. Pada bait inilah biasanya ada kesatuan makna. Pada puisi lama, jumlah larik dalam sebuah bait biasanya empat buah, tetapi pada puisi baru tidak dibatasi.

7

d. Bunyi. Bunyi dibentuk oleh rima dan irama. Rima (persajakan) adalah bunyi-bunyi yang ditimbulkan oleh huruf atau kata-kata dalam larik dan bait, sedangkan irama (ritme) adalah pergantian tinggi rendah, panjang pendek, dan keras lembut ucapan bunyi. Timbulnya irama disebabkan oleh perulangan bunyi secara berturut-turut dan bervariasi (misalnya karena adanya rima, perulangan kata, perulangan bait), tekanan-tekanan kata yang bergantian keras lemahnya (karena sifat-sifat konsonan dan vokal), atau panjang pendek kata.

Dari sini dapat dipahami bahwa rima adalah salah satu unsur pembentuk irama, namun irama tidak hanya dibentuk oleh rima. Baik rima maupun irama inilah yang menciptakan efek musikalisasi pada puisi, yang membuat puisi menjadi indah dan enak didengar meskipun tanpa dilagukan.

e. Makna. Makna adalah unsur tujuan dari pemilihan kata, pembentukan larik dan bait. Makna bisa menjadi isi dan pesan dari puisi tersebut. Melalui makna inilah misi penulis puisi disampaikan.

Di samping lima unsur yang sudah dijelaskan di atas, yaitu kata, larik , bait, bunyi, dan makna, puisi dibangun pula atas enam fondasi, yaitu diksi, imaji, kata konkret, majas, versifikasi, dan tipografi.

a. Diksi. Secara harfiah, diksi sering dipadupadankan dengan “pilihan kata”. Tidak salah memang, tapi persoalan pilihan kata itu tidak berhenti pada apa yang tersirat pada kata “pilihan” dan “kata”,

namun jauh lebih luas dari itu. Gorys Keraf misalnya, menyatakan bahwa “istilah diksi bukan saja dipergunakan untuk menyatakan kata-kata mana yang dipakai untuk mengungkapkan suatu ide (gagasan), tetapi juga meliputi persoalan fraseologi, gaya bahasa,

dan ungkapan.”8 8

Gorys Keraf, Dik si dan Gaya Bahasa, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), Cetakan XVII, h. 24.

Fraseologi melingkupi masalah kata-kata dalam pengelompokan dan susunannya, atau yang menyangkut cara-cara khusus membentuk pelbagai ungkapan. Gaya bahasa sebagai konstituen dari diksi berhubungan akrab dengan istilah-istilah individual atau yang menjadi karakteristik sesorang dalam mengungkapkan pikirannya melalui bahasa tulis, atau yang memiliki nilai artistik tinggi.

Berkaitan dengan ungkapan, apakah ungkapan yang dibuat, atau setidaknya pilihan kata yang disuguhkan itu dapat diterima atau tidak oleh pembaca, atau malah diksi itu justru membuat suasana yang ada menjadi inkondusif. Dengan kata lain, pilihan kata atau diksi melingkupi pemilihan makna kata-kata yang dipakai untuk menyampaikan suatu ide, dengan memerhatikan pembentukan kelompok kata (frasa), gaya bahasa paling sesuai dan baik, serta ungkapan-ungkapan yang tepat sehingga kompatibel dengan segala situasi.

Diksi dalam literatur kebahasaan ada dua, yaitu denotatif dan konotatif. Denotatif secara etimologis diartikan sebagai

“makna sebenarnya”,9

sedangkan konotatif dimaknai sebagai makna asosiatif yang timbul sebagai konsekuensi dari sikap kolektif masyarakat, pribadi, atau predikat tambahan yang disematkan pada suatu kata tertentu. Dengan demikian, konotatif sangat dipengaruhi oleh konteks atau lingkungan di mana kata tersebut ada.

b. Imaji. Imaji atau pengimajian pada dasarnya merupakan pencitraan, di mana kata-kata yang disajikan mampu mewakili keadaan yang sebenarnya, sehingga pembaca merasakan betul keadaan yang digambarkan itu, seolah-olah dia melihatnya. Hal ini memang bukan barang mudah, akan tetapi penggunaan kata-kata

9

yang besinonim, berantonim, metafora, atau personifikasi akan membantu mewujudkan hal itu.

c. Kata Konkret. Yang dimaksud kata konkret ialah kata yang sebenarnya menggambarkan situasi suatu peristiwa. Dengan kata konkret, pembaca diajak untuk empati dengan apa yang dilukiskan dalam puisi.

d. Majas. Majas dalam hal ini dikenal juga sebagai bahasa figuratif, yaitu bahasa yang digunakan untuk menyatakan sesuatu dengan cara yang tidak lazim. Maksudnya, bahwa bahasa yang dipakai itu tidak langsung menunjuk pada makna aslinya. Hal ini bertujuan agar puisi yang terbentuk menjadi lebih indah, lebih ambigu, yang berarti kaya akan makna. Majas yang biasanya dipakai untuk memperindah puisi itu ialah metafora, personifikasi, metonimi, sinekdoke, simile, hiperbola, metonimia, dan ironi.

e. Versifikasi. Rima, ritme, dan metrum biasa disebut sebagai versifikasi.

“Rima merupakan pengulangan bunyi untuk membentuk unsur musik (musikalitas) dalam puisi. Ritme berhubungan pula dengan pengulangan bunyi, tapi ia lebih luas, karena mencakup kata, frasa, dan kalimat. Ritme dikenal juga dengan irama, yaitu pergantian naik-turun, panjang-pendek, dan keras-lembut ucapan bunyi bahasa dengan teratur. Sementara itu, metrum atau matra ialah irama yang tetap pada puisi. Maksudnya, pergantian iramanya sudah ditentukan menurut pola tertentu. Hal tersebut disebabkan oleh jumlah suku kata yang tetap, tekanan yang tetap, serta alunan suara menaik-menurun yang tetap pula. Dengan demikian, sifat metrum itu statis.”10

f. Tipografi. Pada puisi tertentu, sering dijumpai puisi itu memiliki bentuk yang unik. Bentuk unik puisi itu bukan tidak disengaja, karena dalam dunia perpuisian dikenal tipografi. Tipografi atau ukiran bentuk itu ialah tatanan larik, bait, kalimat, frase, kata, dan bunyi sehingga menghasilkan bentuk fisik puisi tertentu yang

10

mampu mendukung isi, rasa, dan suasana. Dengan begitu, jelas bahwa fungsi tipografi ialah untuk keindahan indrawi serta pendukung makna.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa unsur pembentuk puisi secara sederhana dibentuk oleh lima unsur pokok, yaitu kata, larik, bait, bunyi, dan makna. Di samping itu, puisi dibangun pula atas fondasi lain, diksi, imaji, kata konkret, majas, versifikasi, dan tipografi.

3. Jenis-jenis Puisi

Secara umum, puisi Indonesia terbagi ke dalam dua kategori, yaitu puisi lama dan puisi baru. Puisi lama atau puisi klasik yang termasyhur dengan aturan ketat dalam penulisannya seperti pantun, syair, dan gurindam.

a. Pantun. Pantun dikenal sebagai karya sastra yang memiliki karakteristik dengan kriteria: (1) terdiri atas empat larik (baris); (2) tiap larik terdiri dari delapan sampai sepuluh suku kata; (3) dua larik pertama disebut sampiran, dua larik berikutnya disebut isi; dan (4) bersajak akhir (rima) silang a-b-a-b. Persajakan akhir model ini, dalam pantun disebut abjad atau abab. Maksudnya bahwa bunyi akhir baris pertama sama dengan bunyi akhir baris ketiga, dan bunyi baris kedua sama dengan bunyi akhir baris keempat. Perhatikan contoh pantun berikut.

Berakit-rakit ke hulu Berenang-renang ke tepian Bersakit-sakit dahulu

Bersenang-senang kemudian

b. Syair. Sebagai jenis puisi klasik, syair tentunya memiliki aturan yang ketat, yaitu setiap bait terdiri atas empat larik yang bersajak sama, isinya dapat berupa kisahan yang mengandung unsur mitos

maupun sejarah, atau merupakan ajaran agama. Contohnya ialah sebagaimana di bawah ini.

Rahman dan Rahim keduanya sifat Membawa suka menguraikan nikmat Melengkapi sekalian laut dan darat Besar dan kecil dunia akhirat

c. Gurindam. Gurindam adalah puisi lama yang dalam setiap bait terdiri dari dua baris. Baris pertama menyatakan perbuatan, baris kedua menyatakan akibat. Isinya berkutat pada nasihat, yang tentu saja dialamatkan bagi pembacanya. Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji merupakan salah satu gurindam paling familier. Berikut di antara cuplikannya.

...

Kalau terpelihara kuping Kabar yang jahat tiada damping Awal diingat akhir tidak

Alamat badan akan rusak Apabila orang mudah mencacat Pekerjaan itu membuat sesat Barang siapa meninggalkan salat Tiadalah hartanya beroleh berkat Kurang pikir kurang siasat Tentu dirimu kelak tersesat ...

Jenis kedua selain puisi lama ialah puisi baru. Puisi ini tidak terikat aturan ketat alias bebas. Puisi baru ini sering disebut sebagai puisi modern, dan ragamnya pun banyak, di antaranya ada puisi berpola, puisi dramatik, puisi gelap, puisi prismatis, puisi diaphan, puisi kanak-kanak, puisi bebas, puisi mbeling, dan puisi prosais.

a. Puisi Berpola. Abdul Rozak Zaidin, dkk., dalam Kamus Istilah Sastra mendefinisikan puisi berpola sebagai “puisi yang pengaturan lariknya membentuk gambar tertentu sesuai dengan judul tema dan pesannya. Larik sajak dapat berupa sepatah kata atau beberapa kata yang mendukung gagasan tertentu.”11

Puisi berpola dikenal juga sebagai puisi konkret. Sesuai

namanya, “berpola”, puisi ini memang memiliki pola-pola khusus dalam menyusun lariknya sehingga berbentuk geometris yang umum dikenal, yaitu belah ketupat, jajaran genjang, bulat telur, tanda tanya, tanda seru, atau bentuk lain yang geometris. Implikasinya, penggunaan bahasa sangat dibatasi, karena yang diperhatikan dalam pembuatan puisi ini ialah kedecakkaguman atau keutuhan visual yang bertujuan untuk mencuri perhatian pembaca.

Dengan demikian, banyak puisi berpola yang secara konvensional sulit untuk dibaca. Hal ini disebabkan karena puisi tersebut dikonstruksi dari satu kata atau frasa yang urutan hurufnya diubah-ubah secara sistematis guna membentuk suatu pola tertentu. Bahkan ada juga yang hanya terdiri dari potongan kata, suku kata yang tak bermakna, huruf yang berdiri sendiri, angka, atau tanda baca.

b. Puisi Dramatik. Dalam puisi ini, yang ditekankan ialah tikaian emosional atau situasi yang tegang, sehingga lahir suatu atmosfir yang dramatik. Lazimnya puisi dramatik, disertakan dialog,

11

Abdul Rozak Zaidin, dkk., Kamus Istilah Sastra, (Jakarta: Balai Pustaka, 2004), Cetakan IV, h. 160.

monolog, dengan menggunakan diksi yang kuat, atau awarima untuk memperoleh kualitas kedramatikan yang diharapkan.

c. Puisi Gelap. Disebut “gelap” karena pada jenis puisi ini, penulis

puisi (penyair) menggarap karyanya dengan sedemikian rupa, sehingga tercipta suatu karya yang memperlihatkan ketidakrelevanan antara satu kata dan kata lainnya, antara satu baris dan baris lainnya. Penciptaan yang demikian melahirkan kesukaran yang dalam bagi pembaca. Jangankan untuk menikmatinya dengan cara ingin mengetahui maksudnya apa, untuk sekedar pembacaannya saja, pembaca sudah dibuatkan pening, disebabkan tidak ada korelasi yang jelas antarkata, antarbaris dalam puisi tersebut. Maka sangat tepat bila kemudian

predikat “puisi gelap” disematkan pada jenis puisi ini.

d. Puisi Prismatis. Sama seperti puisi gelap, puisi prismatis juga sukar untuk dipahami oleh pembacanya. Jika puisi gelap sulit dimengerti karena tiadanya korelasi antarkata, antarbaris, maka dalam puisi prismatis, dominansi penggunaan kata-kata kias, lambang atau simbol, dan kata berkonotasilah yang menyebabkannya mumet untuk pembaca. Terangnya, puisi prismatis dibangun oleh pengarangnya dengan menggunakan kata-kata yang penuh dengan kias, lambang atau simbol tertentu, atau dari kata-kata konotatif yang tingkat penggunaannya relatif intens.

e. Puisi Diaphan. Tidak seperti puisi prismatis yang mendayu-dayu dengan kata kias dan lain sebagainya, puisi diaphan justru memperlihatkan keluguan asli bahasanya. Ibarat ikan, prismatis itu arwana, sedangkan diaphan ialah mujair. Itu artinya, bahasa yang digunakan dalam puisi diaphan ialah bahasa sehari-hari yang sering dipergunakan dalam pergaulan sosial. Oleh sebab itu, puisi diaphan sering dikategorikan sebagai puisi dengan penggunaan bahasa yang terbuka, sehingga memudahkan pembaca untuk memahami makna yang terkandung di dalamnya.

f. Puisi Kanak-kanak. Berdasarkan namanya, dapat diketahui bahwa objek atau sasaran dari puisi ini ialah kanak-kanak. Maka tak perlu mengernyitkan dahi (heran) jika diketahui bahwa isi puisi ini merupakan soal berhitung, permainan, teka-teki, dan yang bersifat mendidik. Perlu dikemukakan pula bahwa jenis puisi yang terdiri dari beberapa larik ini lazim dibacakan atau dinyanyikan kepada anak-anak, sehingga dalam pengklasifikasiannya, puisi ini tergolong ke tradisi lisan dalam kesusastraan.

g. Puisi Bebas. Puisi bebas tidak lebih dari puisi yang semau-maunya. Kemunculannya pun tidak lepas dari respon atas rival kuat pada masanya, yaitu puisi terikat. Puisi terikat, atau puisi lama, terbelenggu oleh bait, baris, rima, dan irama. Maka dengan adanya puisi bebas ini, puisi menjadi tidak terbelenggu lagi oleh aturan-aturan yang kaku tersebut. Dengan kata lain, puisi bebas adalah puisi yang tidak terikat oleh aturan rima, jumlah larik dalam setiap bait, dan jumlah suku kata dalam setiap lariknya.

h. Puisi Mbeling. Puisi mbeling sering dijuluki sebagai puisi main-main atau puisi lugu. Secara, puisi mbeling merupakan puisi ringan yang dibuat dengan maksud membebaskan rasa tertekan, gelisah, dan tegang yang dirasakan pengarangnya. Tak ayal jika kemudian puisi ini mengundang decak tawa dari pembacanya.

Hal ini tidak terlepas dari keringanan bahasa yang digunakan, juga pembawaan dari puisi mbeling sendiri yang selalu menginginkan pembacanya untuk berkelakar, tanpa maksud lain yang disembunyikan. Kekelakaran yang ditimbulkan dalam puisi ini lahir berkat kepiawaian penulisnya dalam meracik kata-kata, juga arti, bunyi, dan tifografinya. Kata “mbeling” sendiri terambil

dari bahasa Jawa, yang artinya lebih kurang: nakal, sukar diatur, suka berontak, agak kurang ajar. Tak mengherankan bila dalam praktiknya, puisi mbeling merefresentasikan arti katanya itu.

Dalam puisi mbeling, apapun dapat dijadikan bahan penulisan puisi, dengan bahasa yang bagaimanapun: terserah. Hal inilah yang menjadikan puisi mbeling berbeda dengan puisi jenis lainnya.

Sungguhpun begitu, puisi mbeling dalam sejarahnya meupakan bagian dari gerakan mbeling yang dicetuskan oleh Remy Sylado, suatu gerakan yang dimaksudkan untuk mendobrak sikap rezim Orde Baru yang dianggap feodal dan munafik.12

i. Puisi Prosais. Seperti halnya prosa, puisi prosais disusun sedemikian panjang layaknya prosa biasa. Hanya saja, aturan dasar puisi, seperti adanya bait dan baris, tetap ada. Dengan demikian, wajahnya sebagai puisi prosais tetap masih bisa dibedakan dari karya prosa pada umumnya.

j. Puisi esai. Puisi esai adalah puisi yang ditulis berdasarkan fakta peristiwa tertentu dan dituangkan dalam bahasa komunikasi yang mudah dipahami. Puisi esai membedakan dirinya dengan puisi lirik yang memang lebih sering ditulis berdasarkan imajinasi, dan kerap menggunakan bahasa simbolik atau metafor-metafor yang sulit dipahami. Walaupun diangkat dari peristiwa faktual, puisi esai tetaplah fiksi. Fakta peristiwa hanya merupakan latar belakang dari cerita yang ingin dibangun oleh penulis puisi esai.

12

Remy Sylado, Puisi Mbeling, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2004), Cetakan I, dalam Sekapur Sirih, h. xi.

Dokumen terkait