• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pukung Pahewan sebagai upaya pewarisan sistem nilai dari generasi ke generasi

PUKUNG PAHEWAN DALAM BUDAYA

2.3. Pukung Pahewan Perspektif Sosial Budaya

2.3.3. Pukung Pahewan sebagai upaya pewarisan sistem nilai dari generasi ke generasi

Masyarakat Dayak Ngaju di kawasan Taman Nasio- nal Sebangau (TNS) telah mempunyai aturan dalam pe-

17 6 17

6

kelembagaan adat Kedamangan. Mereka mempunyai tradisi dan warisan budaya yang sangat kuat dan erat dengan alam semesta (Awang, 2006). Dalam perjalanan sejarah peradaban masyarakat Dayak Ngaju sistem ke- lembagaan Kedamangan sudah dikenal sebelum bangsa Barat (Eropa) datang ke Kalimantan tanah Dayak. Kata

”kedamangan” memiliki ar ti persekutuan orang yang

bertempat tinggal dalam suatu wilayah, individu masya- rakatnya sudah saling kenal, relatif homogen corak kehidupannya dan sangat banyak bergantung kepada alam (Diansyah, 2011).

Menurut (Susetyo, 2014). Masyarakat sekitar Taman Nasional Sebangau (TNS) telah memanfaatkan sumber daya TNS sejak nenek moyang mereka. Interaksi diantara mereka banyak dipengaruhi oleh aturan adat kedamangan (aturan informal). Sumber daya TNS yang secara de facto diakses atau dimiliki oleh masyarakat setempat, antara lain ikan, getah jelutung, dan kulit gemor. Mereka dapat menentukan secara jelas sumber daya yang mereka miliki karena mereka memiliki sistem hak kepemilikan atau tenurial yang masih ditaati sampai saat ini. Hak kepemilikan ini diakui dan dilindungi oleh hukum adat.

Informasi pengaturan wilayah-wilayah sacral seperti Pukung Pahewan sakral ini ditemukan dalam 96 pasal hukum adat hasil R apat Damai Tumbang Anoi tahun

sebagai berikut : ‚Singer Karusak Pahewan, Karamat, Rutas

17 8 17

8

makna: ‛Barang siapa merusak pahewan, karamat, tajahan

atau petak rutas yaitu tempat-tempat yang sudah dianggap mempunyai makna tertentu dalam kepercayaan atau harapan masyarakat Dayak‛. Maka barang siapa yang melakukan pelanggaran akan dikenakan hukuman denda (singer,

jipen) berdasarkan pasal 87 dari Hasil Kesepakatan Damai di Tumbang Anoi.

Menurut pola pandangan Leluhur (Tatu Hiang) dan telah tergambarkan dalam kehidupan masyarakat Dayak sebagaimana penjelasan sebelumnya, bahwa manusia Dayak harus berlaku sopan-santun tidak hanya dengan manusia saja, tetapi juga pada makhluk halus (makhluk ghaib) dari alam astral. Karena roh-roh gaib para leluhur sesung gunya masih berada dan berinteraksi dengan al am nyata dis ek itar manusi a , namun tid ak d apat dilihat dengan mata biasa manusia. Menurut keyakinan masyarakat Dayak bahwa Para Leluhur (Tatu Hiang) akan hadir bersama manusia turunannya baik pada saat suka dan duka. Misalnya pada saat ada kejadian yang tiba-tiba dan dalam bentuk bencana alam, kecelakaan, dan bentuk kejadian yang bersifat tidak dapat diduga oleh manusia. Secara akal sehat bahwa kejadian bencana yang terjadi memusnah seluruh manusia, akan tetapi ternyata masih ada manusia yang masih hidup. Manusia yang masih hidup dalam kejadian bencana tersebut diyakini ditolong oleh ‛Tatu Hang”, dan pertolongan Tuhan Yang Maha Esa. Dalam hal demikian, Tatu Hiang hadir memberikan

18 0 18

0

musibah atau bencana secara tiba-tiba, maka kejadian tersebut merupakan kutukan Para Leluhur. Pertolongan

Tatau Hiang akan secara tiba-tiba atau diluar akal manusia, karena menurut keyakinana masyarakat Dayak bahwa

Tatu Hiang selalu menjaga dan mendamping kemana saja keberadaan Utus Rinting. Artinya hubungan antara

Utus Rinting dan Ttatu Hiang selalu terjaga dengan baik. Jika terjadi bencana atau musibah atau sakit mendadak atau kejadian-kejadian aneh, maka dalam keyakinan masyarakat Dayak Para Leluhur marah atau memberikan peringatan kepada Utus Rintingnya.

Dalam penjelasan selanjutnya akan mengeksplor, hubungan Tatu Hiang dengan Utus Rinting dari perspektif pengelolaan Pukung Pahewan dalam masyarakat Dayak berdasarkan pendapat para Tokoh Adat. Simpei (2018) salah satu Tokoh Adat (Mantir) dan juga sebagai salah satu waris Utus Rinting dari Pukung Pahewan Kaleka Sapundu, Desa Tangkahen, Kecamatan Banama Tingang, K abupaten Pulang Pisau menjelaskan bahwa penge- lolaan Pukung Pahewan K aleka Sapundu sejak lama dilakukan oleh waris dari Utus Rinting pemilik asal kawasan yaitu milik keluarga Simpei. Menurut Simpei, Pukung Pahewan Kaleka Sapundu merupakan salah satu Pukung Pahewan yang masih terjaga dengan baik sampai sekarang. Masyarakat sekitar tidak berani mengganggu atau merusak tanaman atau perpohonan yang tumbuh termasuk melaksanakan aktivitas menambang emas

18 2 18

2

Pahewan K aleka Sapundu, maka masyarakat sering diganggu oleh mahluk gaib dengan berbagai kejadian yang menakutkan, sehingga sampai sekarang masyarakat tidak berani menambang emas di alur sungai (menyedot) di wilyah Pukung Pahaewan Kaleka Sapundu.

Hal senada disampaikan oleh Haji Misranuddin (2018) tokoh masyarakat yang tinggal di Desa Pantai Laga, Kecamatan Permata Intan, Kabupaten Murung Raya tentang mahluk gaib penghuni Pukung Pahewan Juking Sopan. Haji Misranuddin mengatakan bahwa di Pukung Pahewan Juking Sopan ada mahluk gaib sebagai penghuni dan hampir tidak ada satupun masyarakat yang berani merusak jenis tanaman apapun. Bahkan hampir tidak ada masyarakat yang berani menginjakkan kakinya di kawan Pukung Pahewan Juking Sopan, karena banyak kejadian- kejadian aneh, membuat masyarakat takut. Selanjutnya Haji Misranuddin tidak secara jelas mengungkap status kelas maluk gaib penghuni Pukung Pahewan Juking Sopan, beliau hanya menjelaskan berdasarkan keyakinan masyarakat Dayak secara turun-temurun, sampai saat sekarang masih ada diantara masyarakat sekitar yang ber- hajat atau bernazar sesuatu kepada Tuhan sang pencipta melalui mahluk gaib di Pukung Pahewan Juking Sopan. Biasanya sebagai tanda nazarnya dikabulkan, maka yang bernazat atau berhajat atau bernazar di Pukung Pahewan Juking Sopan yaitu ada dipasang bendera ber warna Kuning.

Berdasarkan berbagai penjelasan pada uraian di atas, dapat digambarkan kelembagaan pengelolaan Pukung Pahewan sebagai salah satu nilai kearifan lokal guna kelestarian Sungai dan Danau. Dalam pengelolaan Sungai dan Danau telah dilaksanakan oleh masyarakat Dayak dengan baik. Namun sejak kehadiran perusahaan besar Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Perusahaan Per tambangan Emas masuk ke K alimantan Tengah setelah tahun 1980 sampai dengan sekarang telah terjadi degradasi lingkungan (Satia, 2016). Salah satu upaya yang ingin dilakukan dalam hal mengatasi degradasi lingkungan sungai dan danau yang ada di Kalimantan Tengah yaitu melestarikan kembali nilai kearifan lokal tentang fungsi Pukung Pahewan. Berdasarkan hasil pengamatan dan dialog dengan beberapa tokoh dan narasumber bahwa keberadaan Pukung Pahewan di kalangan masyarakat Dayak masih ada dan tetap menjadi nilai yang penting dalam sosial budaya masyakat setempat (Hukum Adat) dan pengelolaannya sebagaimana gambar 2.11.

Hukum adat adalah aturan norma yang tidak tertulis dalam masyarakat hukum adat, mengatur, mengikat, mempertahankan serta mempunyai sanksi-sanksi terha- dap setiap pelanggaran hukum adat (LSM PBBKT, 2003).

Menurut Riwut (2003) bentuk hukum adat Dayak dalam pelaksanaannya terbagi ke dalam 2 (dua) aspek yaitu yang berhubungan dengan duniawi d an yang

18 4 18

4

berhubungan dengan masalah agama. Dalam konteks urusan duniawi adalah hal-hal yang berkaitan dengan

masalah kriminal, moral dan pergulan sosial. Dalam hal ini keputusan balai adat terbagi menjadi dua yaitu hukuman berat dan hukuman ringan. Karena penjara tidak dikenal dalam hukum adat Dayak maka hukumannya selalu berupa pembayaran denda atau ganti kerugian. Dalam konteks masalah agama hukum adat Dayak menghukum siapapun yang telah menghina dan mencemarkan hal- hal yang berhubungan dengan kepercayaan masyarakat. Misalnya merusak kubur, merusak pahewan, merusak petak rutas, merusak petak pali, merusak indus, merusak sandung, melanggar adat pali dan lain lainya yang berhu- bungan dengan keyakinan dan kepercayaan masyarakat Dayak Ngaju. Denda yang dipeleh digunakan untuk

mamalas kampung (membersihkan) agar terlepas dari kutukan Ranying Hatalla.

Tokoh Adat Tokoh Masyarakat

Utus Rinting

Masyarakat

Gambar 2.9. Kelembagaan Pengelolaan Pukung Pahewan (Sumber : Analisis data primer; Data hasil olahan, 2018)

18 6 18

6