• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Tinjauan Umum Pupuk

2.2.1. Pupuk hayati (Biofertilizer)

Biofertilizer adalah inokulan berbahan aktif organisme hidup yang berfungsi untuk menambat hara tertentu atau memfasilitasi tersedianya hara dalam tanah bagi tanaman (Simanungkalit dkk., 2006). Menurut Gunalan (1996) dalam Rahmawati (2005), secara garis besar fungsi tersebut dapat dibagi menjadi berikut:

1. Penyedia hara

3. Pengontrol organisme pengganggu tanaman 4. Pengurai bahan organik dan pembentuk humus 5. Perombak persenyawaan agrokimia

6. Pemantap agregat tanah.

Menurut Taniwiryono dan Isroi (2008) kelompok mikroba yang sering digunakan dalam pupuk hayati (biofertilizer) adalah mikroba-mikroba yang menambat N dari udara, mikroba yang melarutkan hara (terutama P dan K), dan mikroba-mikroba yang merangsang pertumbuhan tanaman. Salah satu kelemahan pupuk hayati adalah mikroba tergantung pada faktor lingkungan. Mikroba sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungannya, baik lingkungan biotik maupun abiotik. a. Mikroba pelarut fosfat (P)

Kebanyakan tanah di wilayah tropis adalah asam. Sebagian besar bentuk fosfat ada dalam bentuk koloid tanah sehingga tidak tersedia bagi tanaman. Pada kebanyakan tanah tropis diperkirakan hanya 25% fosfat yang diberikan dalam bentuk superfosfat yang diserap tanaman dan sekitar 75% diikat tanah dan tidak dapat diserap oleh tanaman (Sutanto, 2002).

Beberapa mikroba tanah mempunyai kemampuan melarutkan fosfat yang tidak larut dalam air dan menjadikannya tersedia bagi akar tanaman. Mikroba ini merubah bentuk P di alam untuk mencegah terjadinya proses fiksasi fosfat. Dalam proses pelarutan fosfat oleh mikroba berhubungan dengan diproduksinya asam yang sangat erat hubungannya dengan metabolisme (Prihatini dkk., 1996).

Keberadaan mikroba pelarut fosfat dalam zona rhizosphere tanaman memberikan dua manfaat, yaitu mampu meningkatkan kelarutan fosfat anorganik

tanaman dan daya serap fosfat oleh perakaran tanaman (Rafi’i, 1982). Pada tanah netral atau basa memiliki kandungan kalsium yang tinggi karena akan terjadi pengendapan kalsium fosfat sehingga fosfat berikatan dengan Ca. Sedangkan tanah yang asam umumnya miskin akan ion kalsium, karenanya fosfat diendapkan dalam bentuk senyawa besi atau aluminium yang tidak dengan mudah diserap oleh perakaran tanaman atau mikroba tanah. Mikroba dan perakaran tanaman mampu melarutkan fosfat dan mengubahnya sehingga dengan mudah tersedia bagi tanaman (Muslimin, 1995). Beberapa jenis mikroba penambat fosfat ini adalah Pseudomonas dan Bacillus. Bacillus megaterium diduga menyediakan fosfat yang terlarut dari pool tanah ke tanaman (Simanungkalit dkk., 2006).

b. Mikroba penambat nitrogen (N)

Bakteri yang hidup bebas dan memiliki kemampuan untuk memfiksasi nitrogen molekular dapat dibedakan menjadi organisme aerob obligat, aerob fakultatif, dan anaerob. Bakteri aerob obligat termasuk dalam genus Azotobacter dan Bacillus. Bakteri anaerob fakultatif antara lain genus Pseudomonas dan Aerobacter. Bakteri pemfiksasi nitrogen yang anaerob diwakili oleh genus Clostridium, Chlorobium, dan Metanobacterium (Rao, 1994). Menurut Purwoko (2007) proses penambatan unsur nitrogen juga dapat dilakukan oleh Rhizobium.

Daur nitrogen agak lebih kompleks dan mencakup sejumlah langkah mikroorganisme dalam pengubahan unsur ini menjadi bentuk yang dapat digunakan. Selama jalannya metabolisme ini gugusan amino paling sering dibebaskan sebagai amoniak (Volk dan Margaret, 1990).

Menurut Yuwono (2006), mikroba penambat nitrogen dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu :

1. Mikroba penambat nitrogen non simbiosis

Mikroba non simbiosis yaitu mikroba yang hidup bebas dan mandiri di dalam tanah (Pelczar dan Chan, 1998). Mikroba pemfiksasi nitrogen non simbiotik salah satunya dilakukan oleh Azospirillum dan Azotobacter. Azospirillum merupakan salah satu jenis mikroba yang hidup di daerah perakaran. Infeksi yang disebabkan oleh bakteri ini tidak menyebabkan perubahan morfologi perakaran, meningkatkan jumlah akar rambut, menyebabkan percabangan akar lebih berperan dalam penyerapan hara dan meningkatkan efisiensi penyerapan nitrogen (Rahmawati, 2005).

Azotobacter juga merupakan mikroba yang hidup di daerah perakaran. Selain kemampuannya dalam menambat nitrogen, mikroba ini juga menghasilkan sejenis hormon yang hampir sama dengan hormon pertumbuhan tanaman dan menghambat pertumbuhan jenis jamur tertentu. Seperti pada Azospirillum, Azotobacter dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman melalui pasokan nitrogen udara, pasokan pengatur tumbuh, mengurangi kompetisi dengan mikroba lain dalam menambat nitrogen atau membuat kondisi tanah lebih menguntungkan untuk pertumbuhan tanaman (Rahmawati, 2005).

Jumlah nitrogen yang ditambat melalui proses non simbiosis diperkirakan 56 kg/ha pertahun (Pelczar dan Chan, 1998). Azospirillum diestimasi mampu menghemat penggunaan pupuk nitrogen ekuivalen dengan 20-40 kg/ha pada pertanaman serealia (Yuwono, 2006).

2. Mikroba penambat nitrogen simbiosis

Mikroba penambat nitrogen secara simbiotik adalah mikroba yang mampu hidup dalam akar tanaman jenis legume (Muslimin, 1995). Fiksasi nitrogen semacam ini dapat dilakukan oleh Rhizobium leguminosarum dan Rhizobium japonicum. Pada proses penambatan, Rhizobium dan tanaman saling mendapatkan keuntungan dari hubungan ini. Rhizobium menyediakan nitrogen untuk tanaman dan tanaman menyediakan zat nutrien yang dibutuhkan oleh Rhizobium (Pelczar dan Chan, 1998).

Proses penambatan utama nitrogen terdiri atas dua reaksi yang terpisah, yaitu pembentukan reduktan dan pengikatan gas nitrogen. ATP diperlukan untuk reaksi pertama, yang elektronnya diteruskan dari feredoksin tereduksi ke reduktan yang hingga kini belum diketahui. Pada reaksi kedua gas nitrogen ditambatkan ke protein (nitrogenase), yang mengandung molibdenum dan besi. Tidak diketahui berapa molekul ATP diperlukan untuk proses ini (Volk dan Margaret, 1990).

c. Mikroba dekomposisi

Bahan organik dapat berfungsi bila telah mengalami penguraian. Berkaitan dengan hal tersebut, maka harus diketahui proses dekomposisinya. Dekomposisi merupakan proses perubahan senyawa organik menjadi senyawa anorganik yang dikenal dengan sebutan proses mineralisasi (Arief, 2001). Menurut Rosmarkam dkk. (2002), dekomposisi merupakan proses pemakanan jaringan tanaman oleh makhluk hidup tingkat tinggi dan rendah. Proses ini tidak hanya pemecahan senyawa, tetapi juga sintesis senyawa.

Bahan organik tanah terdiri dari sisa-sisa tanaman dan hewan dari semua tahapan dekomposisi karena kerja mikroorganisme tanah. Bermacam-macam senyawa organik yang mencapai tanah dalam bentuk sisa-sisa tanaman atau hewan tersusun dari karbohidrat yang kompleks, gula sederhana, tepung, selulosa, hemiselulosa, pektin, getah, lendir, protein, lemak, minyak, lilin, resin, alkohol, aldehid, keton, asam-asam organik, lignin, fenol, tanin, hidrokarbon, alkaloid, pigmen, dan produk-produk lainnya. Selama dekomposisi terjadi tiga proses paralel, yaitu degradasi sisa-sisa tumbuhan dan hewan oleh selulosa dan enzim-enzim mikroba lainnya, peningkatan biomassa mikroorganisme yang terdiri dari polisakarida dan protein, dan akumulasi atau pembebasan hasil akhir (Rao, 1994). Bahan organik secara umum dibedakan atas bahan organik yang relatif sukar didekomposisi karena disusun oleh senyawa siklik yang sukar diputus atau dirombak menjadi senyawa yang lebih sederhana, termasuk di dalamnya adalah bahan organik yang mengandung senyawa lignin, minyak, lemak, dan resin yang umumnya ditemui pada jaringan tumbuh-tumbuhan dan bahan organik yang mudah didekomposisikan karena disusun oleh senyawa sederhana yang terdiri dari C, O, dan H, termasuk di dalamnya adalah senyawa dari selulosa, pati, gula dan senyawa protein.

Ukuran partikel dalam bahan organik, ciri-ciri dan jumlah mikroorganisme yang terlibat, sejauh mana ketersediaan C, N, P, dan K, kandungan kelembapan tanah, temperatur, pH dan aerasi, adanya senyawa-senyawa penghambat, dan sebagainya, merupakan sebagian dari faktor-faktor utama yang mempengaruhi laju dekomposisi bahan organik (Rao, 1994).

Peningkatan suhu tanah dapat merangsang kegiatan metabolisme dekomposer untuk mempercepat laju proses mineralisasi (perombakan bahan organik menjadi CO2). Selain itu, dengan suhu yang tinggi, bakteri termofilik akan berfungsi untuk mengonsumsi karbohidrat dan protein sehingga bahan organik dapat terdegradasi dengan cepat (Djuarnani dkk., 2005).

Kondisi pH alkalin atau basa mempunyai dampak yang baik dalam dekomposisi. Hal ini terlihat dari penelitian Heerden et al. (2002) yang menggunakan kalsium hidroksida (Ca(OH)2) dalam pengomposan limbah jeruk untuk menyesuaikan tingkat pH substrat. Perlakuan ini bertujuan untuk meningkatkan suasana pH substrat yang bersifat asidik menjadi alkalin, sehingga dengan demikian kondisi ikatan ligninselulosa menjadi lebih mudah untuk dipecah oleh enzim yang diproduksi mikroba selulolitik. Lemos et al. (2003) menyatakan bahwa mikroba selulolitik adalah mikroba yang mempunyai enzim untuk menghidrolisis selulosa dan kristalin selulosa.

Bertoldi et al. (1983) menyarankan bahwa pH optimum dalam pengomposan berkisar antara 5,5 dan 8,0, dikarenakan pH merupakan salah satu karakteristik penting dari proses pengomposan. Selama pengomposan terjadi mineralisasi nitrogen organik menjadi nitrogen amonia yang menyebabkan nilai pH meningkat, sedangkan penurunan pH disebabkan oleh produksi asam-asam organik yang meningkat atau proses nitrifikasi. Perubahan nilai pH juga dipengaruhi oleh pertukaran ion amonium.

Menurut Higa (1994), mikroorganisme tanah dapat diklasifikasikan ke dalam mikroorganisme dekomposer dan mikroorganisme sintetis.

Mikroorganisme dekomposer dibagi menjadi kelompok yang melakukan dekomposisi oksidatif dan fermentasi. Fermentasi adalah proses anaerob fakultatif dimana mikroorganisme (misalnya ragi atau Saccharomyces cereviceae) mentransfer molekul organik kompleks menjadi senyawa organik sederhana dapat langsung diserap oleh tanaman. Dari sekian banyak mikroorganisme dalam EM ada 5 golongan pokok, yaitu bakteri fotosintetik, Lactobacillus (bakteri asam laktat), Streptomyces, ragi atau yeast dan Actinomycetes. Bakteri tersebut jika diaplikasikan dapat dengan cepat menjadi aktif merombak bahan organik dalam tanah. Selain itu EM juga dapat merangsang perkembangan dan pertumbuhan organisme lain yang menguntungkan seperti bakteri pengikat nitrogen, bakteri pelarut fosfat, mikroorganisme yang bersifat antagonis terhadap patogen, serta menekan pertumbuhan jamur patogen tular tanah. Lactobacillus sp. berfungsi mendekomposisi bahan organik tanah. Dalam proses dekomposisi tahap awal akan dihasilkan asam-asam organik yang bertindak sebagai asam lemah sehingga secara tidak langsung juga menyumbang terhadap penurunan pH tanah.

Tingkat akhir dari proses dekomposisi disebut mineralisasi. Dalam proses mineralisasi akan dilepaskan mineral hara tanaman yang tadinya merupakan penyusun bahan organik. Hara yang dilepaskan adalah N, P, K, Ca, Mg, S, dan unsur mikro. Unsur-unsur tersebut kemudian diserap oleh tanaman untuk membentuk jaringan tubuh sebagai senyawa organik (Rosmarkam dkk., 2002). d. Mikroba penghasil zat-zat aditif

Banyak spesies bakteri dan jamur menghasilkan asam indol asetat (IAA) dalam jumlah sedikit, terutama apabila medium pertumbuhannya ditambah

dengan triptofan, penyusun IAA. Misalnya, Agrobacterium tumefaciens, Rhizobium spp., dan Pseudomonas fluorescens menghasilkan IAA dalam kultur murni atau dalam asosiasi dengan tanaman tinggi (Rao, 1994).

Azotobacter dapat menghasilkan hormon tumbuh dalam kompos mikrobial dan melalui proses inhibisi masuk ke dalam biji yang berkecambah. Hormon ini adalah auksin dan IAA. IAA ini diproduksi sebanyak 0,05-1 µg/ml cairan kultur. Selain IAA, ditemukan adanya 20 µg atau ZPT/ml asam giberalat dalam kultur Azotobacter berumur 17 hari (Imas dkk., 1989).

Dalam kaitannya dengan ZPT, tanaman yang berasosiasi dengan Azospirillum akan memperoleh banyak keuntungan, antara lain karena adanya suplai :

1. Hormon pertumbuhan seperti auksin, IAA dan giberelin yang diproduksi dalam kondisi tertentu

2. Auksin berfungsi memacu pertumbuhan akar dan rambut-rambut akar sehingga daerah serapan akar terhadap hara seperti N, P, K dan air diperluas (Hadas dan Okon, 1987)

3. Vitamin berupa tiamin, niasin dan pantotenik (Rodelas et al., 1993 dalam Hanafiah dkk., 2007) yang bersama dengan hormon tumbuh berfungsi sebagai pemacu pertumbuhan dan produksi tanaman

4. Bakteriosin yang berfungsi melindungi tanaman dari serangan penyakit bakterial (Michiels et al., 1989). Disamping itu, Hadas dan Okon (1987) mengemukakan bahwa adanya asosiasi tersebut memacu aktivitas spesifik dari enzim dehydrogenase pada tunas-tunas akar dan enzim-enzim lain yang terkait

dengan siklus asam trikarboksilat, lintas glikolisis, sintesis asam-asam amino dan perombakan P organik.

Dokumen terkait