• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pusat Pulau Bagi Orang Abubu

Dalam dokumen T2 752011011 BAB III (Halaman 35-41)

Dari data penelitian yang diperoleh penulis, ditemukan bahwa orang Abubu memahami ‘Pusat Pulau’ secara beda-beda. Hal ini terlihat dari beragam pemahaman mereka tentangnya. Bertolak dari hasil penelitian yang penulis lakukan dengan

55Merupakan hasil pengamatan penulis ketika meninjau lokasi ‘Pusat Pulau’, 04 Januari 2012. 56Wawancara dengan Bpk. Edo Wattimena sebagai Tua Adat, 13 Agustus 2012.

36 berdasar pada hasil wawancara dengan beberapa Tua-Tua Adat maka diperoleh pemahaman-pemahaman sebagai berikut :

‘Pusat Pulau’ itu adalah tempat musyawarah, menjadi warisan dan peninggalan dari para leluhur (orang tatua/tete nene moyang) yang diwariskan dan harus dilestarikan.57

Ada juga yang mengatakan bahwa:

‘Pusat Pulau’ itu kemungkinan berada di petuanan negeri Abubu. Dikatakan sebagai ‘Pusat’ karena tempat itu menjadi ‘Pusat’ bakudapa (bertemu), pusat persekutuan dan musyawarah masyarakat dari seluruh negeri di pulau Nusalaut.58

Ada juga yang mengatakan:

‘Pusat Pulau’ itu artinya tempat persekutuan anak-anak Nusalaut. ‘Pusat Pulau’ ada dua tempat. Ada indikasi yang diperoleh dari cerita orang tua dulu bahwa, tempat yang pertama itu kemungkinannya adalah tempat penyembahan berhala. Sedangkan, tempat yang kedua adalah tempat persekutuan dan beribadah kepada Tuhan. Di tempat yang kedua ini, penyembahan berhala tidak ada lagi sebab hanya menjadi tempat untuk beribadah bersama.59

Ada juga yang mengatakan:

‘Pusat Pulau’ dipahami sebagai tempat musyawarah tujuh negeri dalam membangun persekutuan. Tempat ini ada di petuanan Abubu dan sangat sakral. Dikatakan sakral karena di tempat ini tidak boleh melakukan hal-hal yang salah, tidak boleh datang dengan membawa maksud yang jahat, tidak boleh

57

Wawancara dengan Bpk. Nus Lalopua sebagai Juru Kunci Jalan, 11 Agustus 2012. 58

Wawancara dengan Bpk. Emu Picanussa sebagai Tua Adat, 12 Agustus 2012.

59Wawancara dengan Bpk. Ica Aunalal sebagai Tua Adat sekaligus sebagai salah satu Informan Kunci yang mengetahui secara baik sejarah tentang ‘Pusat Pulau’, 11 Agustus 2012.

37

mengambil benda-benda yang di ada di tempat ini dengan sembarangan atau tanpa izin. Oleh karena itu, ada orang-orang tertentu biasanya yang pakai tempat ini dan benda-benda yang ada di sekitarnya untuk maksud-maksud yang tidak baik seperti: membalas hati sakit kepada orang lain, memakainya sebagai pelindung diri, atau pula pegangan untuk merantau ke luar daerah bahkan ke luar negeri. Akan tetapi mesti diingat bahwa harus ada tebusan sebagai bahan ganti (misalnya: ambil satu benda harus mengembalikannya dengan menambah satu benda lagi yang sama). Jika lupa mengembalikannya, sesuatu benda yang diambil itu dapat hilang sendiri dan resiko lain yang bisa saja dialami oleh orang yang mengambilnya itu pun akan buruk hingga berujung pada kematian. Apabila digunakan untuk tujuan buruk maka dampak atau akibatnya pun juga akan buruk.60

Ada juga yang mengatakan:

‘Pusat Pulau’ bukanlah tempat yang bermasalah, tatapi merupakan tempat yang membawa kebaikan, kenapa? Karena tempat ini merupakan tempat musyawarah dan tempat kumpul bersama tujuh negeri. ‘Pusat Pulau’ mempunyai nama dalam bahasa tradisional yakni: “Maanusa” yang artinya ‘Pusat Pulau’. ‘Pusat Pulau’ bisa dikatakan sebagai suatu tempat yang sakral sebab tempat itu adalah tempat persekutuan, bukan karena di situ ada kekuatan baru. Jika ditelusuri kekuatan itu berlaku bagi individu-individu yang mempercayainya.61

Ada juga yang mengatakan:

‘Pusat Pulau’ artinya di ‘Pusat’ itu katong bakudapa (kita bertemu). Dari tujuh negeri dapat bertemu di situ. Yang dipercayai berkhasiat di situ adalah tanah

60

Wawancara dengan Bpk. Frans Lekahena sebagai Tokoh Masyarakat, 12 Agustus 2012. 61Wawancara dengan Bpk. Bois Lekahena sebagai Tua Adat juga salah satu Juru Kunci Jalan, 13 Agustus 2012.

38

dan air. Emas dan uang yang sekarang ada itu adalah bahan gantian yang dianggap bernilai.62

Ada juga yang mengatakan:

‘Pusat Pulau’ bukan tempat untuk jahat. Intinya, itu adalah tempat yang baik. Akan tetapi, ada orang-orang tertentu yang sering mempergunakannya untuk hal-hal yang tidak baik. Orang tatua (para leluhur) meninggalkannya itu dalam arti sebagai tempat musyawarah, tempat beribadah, atau tempat persekutuan seluruh negeri/tujuh negeri (Titawai, Abubu, Akoon, Ameth, Nalahia, Sila dan Leinitu) yang ada di pulau Nusalaut ini. Pakai ‘Pusat Pulau’ atau ‘Pulu’ itu ada caranya, juga ada sangsinya. Dari pengalaman yang sering ditemui sangsinya itu bisa berupa tantangan atau bahkan kematian.63

Pandangan warga terhadap ‘Pusat Pulau’ ini secara langsung dapat menggambarkan pemahaman mereka terhadapnya. Kebanyakan warga memaknainya sebagai tempat musyawarah, namun ada juga yang masih mengganggapnya sebagai tempat berdiamnya roh leluhur sekaligus terdapat kekuatan-kekuatan supernatural.64

Dalam pandangan komunitas negeri-negeri di pulau tersebut, upacara ritual sangat diperlukan untuk memelihara hubungan keseimbangan antara leluhur dan penduduk, sebagai bagian dari generasi yang kini hidup. Ritual mampu berfungsi untuk menyatukan kembali penduduk setempat dengan leluhur dalam ikatan sebagai satu keturunan. Pandangan-pandangan akan pentingnya ritual sebagai bagian dari tradisi atau kebudayaan yang ada dalam lingkup sosial juga dimiliki oleh orang Abubu. Secara tak langsung, ketika mereka melalukan berbagai kegiatan berupa aksi

62

Wawancara dengan Bpk. Frans Tijahahu sebagai Tua Adat, 11 Agustus 2012. 63Wawancara dengan Bpk. Edo Wattimena sebagai Tua Adat, 13 Agustus 2012. 64Wawancara dengan Bpk. Bois Lekahena & Bpk. Ica Aunalal, 09 – 11 Agustus 2012.

39 ritual di tempat-tempat khusus dan pada waktu tertentu, maka hal itu memberi suatu makna khusus juga bagi mereka.65

Terkait dengan ‘Pusat Pulau’, orang Abubu juga memiliki ritual-ritual khusus, yang biasanya dilakukan sebagai awal proses penyerahan diri untuk disertai oleh roh para leluhur. Hal ini nampak dalam kebiasaan yang mereka lakukan sebelum pergi ke ‘Pusat Pulau’ ini sebagai sebuah situs yang dianggap sakral. Setiap orang yang hendak pergi ke sana harus melalukan ritual-ritual khusus sebagai bagian dari prasyaratnya. Perjalanan yang hendak dilakukan mesti didoakan, agar dapat dituntun leluhur untuk sampai ke tempat tujuan. Biasanya ada doa awal sebagai bentuk landasan penyerahan diri. Ada juga ritual lain yang dipimpin oleh Tua Adat atau Juru Kunci Jalan sebagai bagian dari penyapaan kepada Tuhan dan roh-roh leluhur, dengan tujuan untuk meminta ijin untuk memasuki lokasi itu. Ada juga doa akhir ketika sudah kembali dari sana, sebab sudah dituntun dan dijaga. Orang-orang yang memasuki lokasi itu tanpa permisi, dengan maksud yang tidak benar, atau dengan sengaja ingin merusak, diyakini akan mengalami musibah dalam hidupnya, seperti: kesurupan (takanal) atau hilang jalan (kesasar), dan lain-lain.66 Dikisahkan oleh beberapa Tua-Tua Adat negeri Abubu bahwa pernah terjadi pencarian kepada beberapa orang yang hendak pergi ke ‘Pusat Pulau’ karena mereka hilang di tengah hutan dan tidak lagi mengetahui jalan pulang ke negeri.67 Menurut warga setempat hal itu terjadi karena orang-orang tersebut melanggar pantangan-pantangan di lokasi sekitar itu jalan menuju tempat

65 Ibid. 66

Wawancara dengan Tua-Tua Adat, Juru Kunci Jalan dan Tokoh-Tokoh Masyarakat setempat, 08 – 14 Agustus 2012.

40 tersebut. Ada pula yang beranggapan bahwa ada kemungkinan mereka pergi dengan maksud yang tidak baik.68 Sebaliknya, jika orang tersebut datang dengan maksud dan tujuan yang baik maka dengan sendirinya ia akan menemukan jalan masuk ke lokasi tersebut.

Selain itu, di ‘Pusat Pulau’ ini juga terdapat banyak unsur-unsur atau benda- benda69 yang dianggap menjadi media kehadiran roh-roh leluhur dan memiliki kekuatan supranatural, yang bisa dijadikan sebagai pegangan dan pelindung diri mereka, selain kepercayaan kepada Tuhan sebagai Pencipta dan Penyelamat. Roh-roh tersebut dipercayai hadir ke dalam benda-benda yang ada di sana. Orang Abubu sering membicarakannya dan mengenalnya. Bahkan ada pula yang menyimpan atau menggunakan benda-benda yang diambil dari tempat itu.70 Hal seperti inilah yang kemudian menjadikan situs ‘Pusat Pulau’ sakral dan istimewa.

Karena tidak adanya larangan yang ditetapkan terkait klasifikasi warga yang berhak pergi ke lokasi itu, maka setiap orang memiliki kebebasan yang sama baik itu orang muda71 ataupun orang tua. Keyakinan akan adanya keistimewaan dari ‘Pusat Pulau’ terlihat jelas dari maksud dan tujuan setiap orang yang ingin pergi ke sana. Kebanyakan dari mereka yang datang adalah dengan maksud dan tujuan yang terencana. Tidak hanya datang melihat atau berziarah saja, namun ada juga yang

68

Wawancara dengan Bpk. Nus Lalopua sebagai Juru Kunci Jalan, 09 Desember 2011. 69

Lihat halaman 70 dan lampiran.

70Wawancara dengan Bpk. Amus Soumeru, 14 Agustus 2012. 71Orang muda: Anak-anak, remaja, pemuda dan pemudi.

41 datang dengan membawa maksud tertentu (berdoa dan bersembahyang) atau berniat mengambil benda-benda72 dari tempat itu.

Oleh karena itu, tidak dapat dipungkiri bahwa setiap saat warga sering pergi ke tempat ini dan melakukan tindakan-tindakan berbau ritual sebagai bentuk penghormatan mereka terhadap Tuhan juga para leluhur yang dipercayai tinggal dan berdiam dilokasi tersebut. Bagi warga, kebiasaan mengunjungi dan melakukan berbagai ritual itu terbentuk sudah sejak lama dan telah mendarah daging dalam kehidupan penduduk setempat. Sehingga mereka menganggapnya sebagai hal yang biasa-biasa saja.

3.10 Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Pusat Pulau Menjadi Sakral Bagi Orang

Dalam dokumen T2 752011011 BAB III (Halaman 35-41)

Dokumen terkait