• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.3 Pusat-pusat Perubahan Penggunaan Lahan

Tingginya luasan lahan perkebunan di wilayah ini dikarenakan secara historis masyarakat Bangka umumnya berprofesi sebagai petani khususnya petani lada. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya pola tanam perkebunan lada ini menyebabkan banyak lahan yang ditinggalkan menjadi semak belukar sehingga pada tahun 2000 luasan semak belukar menjadi cukup tinggi. Tahun 2000-2004, berkurangnya semak belukar ini secara spasial terpusat di wilayah bagian timur Kabupaten Bangka Tengah tepatnya di Kecamatan Namang sesuai dengan hasil yang ditunjukkan oleh analisis LQ dimana untuk kecamatan tersebut nilai LQ>1 (Tabel 10).

Tabel 10 LQ Perubahan Penggunaan Lahan tingkat Kecamatan di Kabupaten Bangka Tengah tahun 2000-2004

Tabel 11 LQ Perubahan Penggunaan Lahan Tahun tingkat Kecamatan di Kabupaten Bangka Tengah tahun 2004-2010

Tahun 2004-2010 berkurangnya semak belukar secara spasial terpusat pada Kecamatan Lubuk Besar. Hal ini sebagaimana ditunjukkan hasil analisis LQ pada Tabel 11 dimana pada kecamatan tersebut nilai LQ>1.

Tabel 10 menunjukkan bahwa pada tahun 2000-2004, bertambahnya areal perkebunan terpusat di Kecamatan Namang, Kecamatan Sungai Selan, Kecamatan Lubuk Besar dan Kecamatan Simpang Katis. Sedangkan pada tahun 2004-2010,

Hutan Lahan Tambang Lahan Terbuka Mangrove Pemukiman Perkebunan Rawa Sawah Semak Belukar Tubuh Air

Koba 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 0.00 Lubuk Besar 0.13 0.40 16.40 0.01 0.57 1.12 0.32 0.00 1.00 0.00 Namang 0.13 0.50 5.82 0.13 0.11 1.06 1.05 0.00 1.11 0.00 Pangkalan Baru 3.89 5.06 25.21 4.45 4.73 0.38 9.60 0.00 0.01 0.00 Simpang Katis 0.08 5.21 0.00 0.00 18.30 1.04 0.00 0.00 0.15 0.00 Sungai Selan 0.85 4.79 0.00 0.00 3.65 1.16 0.00 0.00 0.26 0.00

KECAMATAN PENGGUNAAN LAHAN

Hutan Lahan Tambang Lahan Terbuka Mangrove Pemukiman Perkebunan Rawa Sawah Semak Belukar Tubuh Air

Koba 0.02 0.78 0.00 1.78 1.51 1.11 1.01 0.00 0.83 0.00 Lubuk Besar 0.19 1.43 11.34 0.29 0.20 0.77 0.09 0.00 2.81 0.00 Namang 0.18 0.79 2.37 1.12 0.69 1.18 3.45 0.00 0.00 0.00 Pangkalan Baru 4.21 1.49 0.00 0.00 4.47 0.34 0.00 0.00 0.19 0.00 Simpang Katis 3.84 2.33 2.24 0.16 1.24 0.13 0.00 0.00 0.03 0.00 Sungai Selan 1.35 0.25 9.78 1.41 0.01 1.38 1.26 0.00 0.07 0.00

pusat terjadinya perubahan lahan perkebunan yaitu pada Kecamatan Koba, Kecamatan Namang dan Kecamatan Sungai Selan (Tabel 11). Hal ini juga diunjukkan oleh analisis spasial dimana pusat perubahan lahan perkebunan tersebut terjadi pada kecamatan-kecamatan tersebut.

Pemukiman yang cenderung meningkat setiap tahun umumnya secara spasial terlihat menyebar di berbagai wilayah di Kabupaten Bangka Tengah. Pemusatan pemukiman ini terjadi pada kecamatan yang berbatasan langsung dengan ibukota provinsi yaitu Kecamatan Pangkalan Baru, dan ibukota kabupaten yaitu Kecamatan Koba serta di Kecamatan Simpang Katis dan Kecamatan Sungai Selan. Peningkatan pemukiman yang cukup tinggi terjadi di wilayah yang berbatasan langsung dengan ibukota provinsi (Kota Pangkalpinang) memperlihatkan bahwa perkembangannya sangat dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi di kota tersebut. Faktor aksesibilitas juga mempengaruhi perkembangan permukiman di Kabupaten Bangka Tengah, dimana terlihat perkembangan wilayah permukiman secara visual terpusat sepanjang jalur transportasi baik darat maupun laut.

Sementara itu pemusatan pemukiman yang terjadi di ibukota kabupaten menunjukkan terjadinya perkembangan kota tersebut sebagai ibukota kabupaten pemekaran. Meningkatnya pemukiman ini seiring dengan pertumbuhan penduduk yang menurut data BPS Kabupaten Bangka Tengah Tahun 2010 mencapai 2.2% per tahun dari Tahun 2000-2010.

Luas lahan tambang yang cenderung meningkat sepanjang tahun dari Tahun 2000 hingga 2010 secara spasial pusat perubahannya terlihat hampir di seluruh wilayah Kabupaten Bangka Tengah (Gambar 16, 17 dan 18) . Hasil analisis LQ menunjukkan bahwa pusat perubahan lahan tambang tersebut terjadi pada semua kecamatan kecuali Kecamatan Namang. (Tabel 10 dan 11). Hal ini karena secara geologis wilayah-wilayah tersebut memiliki cadangan timah karena keberadaan endapan kasiterit aluvial yang umumnya berada pada formasi batuan aluvial dan ranggam (Sukandarrumidi 2009). Endapan kasiterit aluvial yang terbentuk pada lembah-lembah dalam ini merupakan endapan yang membawa bijih timah dan relatif lebih ekonomis untuk ditambang (PT Timah 1991).

53

Hasil analisis pada Gambar 16, 17 dan 18 juga menunjukkan bahwa pada tahun 2004-2010 penambangan tidak hanya dilakukan pada formasi aluvial dan ranggam, namun terlihat dilakukan pada formasi granit klabat dan tanjung genting. Hal ini menunjukkan bahwa endapan kasiterit aluvial tersebut tidak hanya terdapat pada formasi aluvial dan formasi ranggam namun juga terdapat pada formasi batuan granit klabat dan tanjung genting namun dalam jumlah yang relatif sedikit.

Gambar 16 Peta Lahan Tambang Tahun 2000 dan Formasi Batuan Kabupaten Bangka Tengah

Gambar 17 Peta Lahan Tambang Tahun 2004 dan Formasi Batuan Kabupaten Bangka Tengah

Gambar 18 Peta Lahan Tambang Tahun 2010 dan Formasi Batuan Kabupaten Bangka Tengah

Sedangkan luas hutan yang juga cenderung menurun setiap tahunnya, pada tahun 2000-2004 secara spasial tampak terpusat di bagian utara Kabupaten Bangka Tengah tepatnya di Kecamatan Pangkalan Baru. Tahun 2004-2010 pusat perubahan hutan ini juga terjadi pada Kecamatan Simpang Katis dan Sungai Selan yang terletak di bagian Selatan Kabupaten Bangka Tengah. Hal ini karena memang hutan Kabupaten Bangka Tengah yang masih cukup luas sebagian besar terdapat di wilayah-wilayah tersebut.

5.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penggunaan Lahan

Hasil analisis menunjukkan bahwa hampir semua variabel yang digunakan dalam analisis regresi berganda untuk menduga faktor-faktor penggunaan lahan ternyata berpengaruh nyata, namun hanya beberapa faktor yang paling berpengaruh. Variabel-variabel yang digunakan tersebut adalah kerapatan penduduk, kerapatan jalan, kerapatan sungai, Indeks Perkembangan Desa (IPD), dan proporsi masing-masing penggunaan lahan tahun sebelumnya. Masing- masing penggunaan lahan memiliki faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya perubahan lahan tersebut.

Penggunaan lahan pemukiman yang cenderung meningkat setiap tahunnya dan merupakan penggunaan lahan yang paling tinggi peningkatannya (mencapai

55

80.9% pada tahun 2004-2010) dipengaruhi oleh beberapa variabel. Tahun 2000- 2004 variabel yang berpengaruh nyata positif terhadap bertambah luasnya pemukiman adalah proporsi pemukiman sedangkan pada tahun 2004-2010 proporsi perkebunan dan Indeks Perkembangan Desa (IPD) berpengaruh nyata negatif terhadap perubahan pemukiman. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada tahun 2000-2004, perubahan pemukiman cenderung terjadi pada wilayah relatif berkembang dan memiliki jumlah penduduk cukup tinggi yang tercermin dari proporsi pemukiman yang cukup luas.

Tahun 2004-2010, proporsi perkebunan berpengaruh nyata negatif terhadap perubahan pemukiman yang menunjukkan bahwa untuk wilayah yang penggunaan lahan perkebunannya cukup tinggi dimana hal tersebut merupakan karakteristik wilayah pedesaan, maka pemukiman di wilayah tersebut tidak bertambah. Sebelumnya secara spasial dan hasil analisis LQ juga menunjukkan bahwa pusat terjadinya peningkatan pemukiman terjadi pada wilayah yang relatif mendekati kota, baik ibukota provinsi maupun ibukota kabupaten dan kecamatan pemekaran.

Hasil analisis juga menunjukkan bahwa walaupun relatif kecil Indeks Perkembangan Desa (IPD) berpengaruh terhadap peningkatan pemukiman yang menunjukkan bahwa untuk wilayah yang tingkat perkembangan wilayahnya cukup tinggi yang ditandai dengan tingginya nilai Indeks Perkembangan Desa- nya, maka peningkatan pemukiman yang terjadi tidak terlalu besar karena lahan yang masih memungkinkan dialihfungsikan jadi pemukiman juga sudah terbatas.

Proporsi pemukiman tahun sebelumnya berpengaruh nyata negatif terhadap peningkatan lahan tambang. Peningkatan lahan tambang terjadi pada wilayah dengan tingkat pemukiman yang relatif rendah yang menunjukkan bahwa perluasan areal tambang tersebut terjadi pada wilayah yang penduduknya relatif sedikit. Peningkatan lahan tambang juga terjadi pada wilayah yang proporsi pemukiman tahun sebelumnya relatif tinggi. Hal ini terjadi karena wilayah tersebut memiliki potensi tambang yang cukup tinggi sehingga pada wilayah tersebut tetap dilakukan penambangan dengan mengkonversi lahan yang masih memungkinkan.

Tahun 2004-2010 terlihat bahwa proporsi luas rawa tahun sebelumnya berpengaruh negatif terhadap peningkatan lahan tambang. Lahan tambang di Kabupaten Bangka Tengah umumnya terdapat pada lahan yang terletak relatif rendah seperti rawa. Pembukaan lahan tambang di rawa ini sudah terjadi sejak tahun 2000 sehingga periode tahun 2004 terjadi pengurangan luas rawa yang cukup signifikan. Namun sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa pembukaan lahan tambang mengikuti potensinya sehingga pembukaan lahan tambang tersebut tidak hanya terjadi pada rawa namun juga pada lahan terbuka, perkebunan dan semak belukar.

Faktor yang paling berpengaruh terhadap perluasan lahan tambang adalah adanya potensi timah di wilayah tersebut. Secara spasial hal ini ditunjukkan dengan pola peningkatan luas lahan tambang yang relatif masih mengikuti formasi endapan yang diperkirakan memiliki cadangan timah. Perusahaan besar melakukan eksplorasi dan survey khusus untuk memetakan keberadaan cadangan timah ini sedangkan masyarakat memperoleh informasi tersebut dari pengalaman orang terdahulu atau lainnya. Pengamatan di lapangan juga menunjukkan bahwa banyak masyarakat membuka kembali tambang timah yang sebelumnya sudah ditinggalkan perusahaan besar karena diduga masih terdapat cadangan timah yang bisa diambil dan masih menguntungkan secara ekonomi.

Peningkatan lahan perkebunan berkorelasi positif dengan kerapatan sungai yang menunjukkan bahwa semakin tinggi kerapatan sungai pada suatu wilayah maka peluang untuk menjadi lahan perkebunan akan semakin tinggi. Hal ini terutama terjadi pada pembukaan lahan perkebunan sawit yang relatif memerlukan air yang cukup sebagai syarat tumbuh yang baik. Sedangkan untuk lahan perkebunan lain cenderung dibuka pada lahan terbuka atau semak belukar. Hal ini ditunjukkan pula oleh hasil analisis hubungan antara proporsi lahan terbuka tahun sebelumnya berkorelasi positif terhadap peningkatan lahan perkebunan. Peningkatan lahan perkebunan berkorelasi negatif terhadap proporsi mangrove yang menunjukkan bahwa peningkatan lahan perkebunan tidak ada pengaruhnya terhadap luasan mangrove yang ada di Kabupaten Bangka Tengah.

Indeks Perkembangan Desa (IPD) berpengaruh nyata positif terhadap konversi hutan. Hal ini berarti bahwa perkembangan wilayah yang cukup pesat

57

dapat menjadi faktor terkonversinya hutan menjadi penggunaan lain. Berkembangnya suatu wilayah yang ditandai dengan meningkatnya jumlah penduduk mengakibatkan meningkatnya permintaan akan lahan permukiman dan lahan untuk menunjang penghidupan lainnya. Hutan sebagai lahan yang secara ekonomi memiliki nilai yang relatif rendah menjadi prioritas untuk dialihfungsikan menjadi penggunaan lahan lainnya. Tahun 2000-2004 lahan perkebunan juga berkorelasi positif terhadap konversi hutan yang menunjukkan bahwa meningkatnya lahan perkebunan sebagian berasal dari terjadinya konversi hutan menjadi perkebunan.

Tahun 2004-2010 terlihat bahwa konversi hutan berkorelasi negarif terhadap IPD, proporsi rawa dan proporsi semak belukar tahun sebelumnya. Tingginya IPD pada tahun 2004-2010 menunjukkan bahwa wilayah tersebut relatif lebih berkembang sehingga dapat dikatakan besar kemungkinan hutan di wilayah tersebut tinggal sedikit atau bahkan sudah habis terkonversi menjadi penggunaan lahan lain sehingga tidak memungkinkan untuk terkonversi lagi. Sedangkan luasan rawa dan semak belukar yang relatif masih cukup tinggi di pada tahun 2004-2010 menjadi faktor menurunnya konversi hutan di wilayah ini.

Proporsi lahan tambang, IPD dan kerapatan sungai berkorelasi positif terhadap penurunan luas semak belukar di Kabupaten Bangka Tengah pada tahun 2000-2004. Nilai land rent semak belukar yang relatif rendah menjadikannya relatif lebih mudah untuk dialihfungsikan. Meningkatnya lahan tambang menjadi salah satu faktor menurunnya luas semak belukar. Konversi semak belukar menjadi penggunaan lahan lain juga terjadi pada wilayah relatif lebih berkembang yang ditandai dengan korelasi positif antara IPD dengan penurunan luas semak belukar.

Hasil analisis memperlihatkan bahwa hampir seluruh proporsi penggunaan lahan berkorelasi positif terhadap penurunan luasan semak belukar. Rendahnya luas hutan dan lahan terbuka tahun 2004-2010 menyebabkan kebutuhan penduduk akan lahan dipenuhi dari lahan berupa semak belukar sehingga bertambahnya luas perkebunan, luas pemukiman dan lahan terbuka berbanding lurus dengan berkurangnya luas semak belukar.

Dokumen terkait