• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1. Peneliti Terdahulu

Beberapa peneliti telah melakukan penelitian mengenai peranan ekspor, hasil penelitian tersebut adalah :

a. Angga (2005: 30) dengan judul “Beberapa Faktor Yang Mempengaruhi Nilai Ekspor Rumput Laut Indonesia ke China”. Hasil dari penelitian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa :

Dari hasil penelitian secara simultan menunjukkan adanya hubungan yang nyata antara variabel bebas. Nilai tukar dolar Amerika terhadap Rupiah (X1), Harga rata-rata ekspor rumput laut (X2), dan Volume produksi rumput laut (X3) terhadap variabel terikat yaitu Nilai ekspor rumput laut (Y). Ini dapat diketahui dari uji F yaitu Fhitung = 4,334 > Ftabel = 3,59.

Sedangkan uji secara Parsial untuk nilai dolar Amerika terhadap Rupiah tidak berpengaruh secara nyata terhadap nilai ekspor rumpurt laut diperoleh thitung = 0,062 < ttabel = 2,20. Harga rata-rata berpengaruh secara nyata terhadap nilai ekspor rumput laut dengan diperoleh thitung = 3,210 > ttabel = 2,201 ,sedangkan untuk volume produksi rumput laut tidak berpengaruh secara nyata terhadap nilai ekspor rumput laut dengan diperoleh thitung = 1,40 < ttabel = 2,201.

b. Ajeng (2006) dengan judul “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Volume Ekspor Rumput Laut Indonesia Ke Jepang”. Dengan menggunakan variabel terikat yaitu volume ekspor rumput laut Indonesia ke Jepang dan variabel bebas yaitu kurs Dollar Amerika Serikat (X1), harga rata-rata ekspor (X2), BOP Indonesia (X3) dan Inflasi Jepang (X4). Dalam menguji secara simultan dengan menggunakan uji F menunjukkan pengaruh nyata terbukti dengan nilai Fhitung (35,60) > F tabel

(4,2). Kemudian untuk mengetahui hubungan secara parsial maka digunakan uji t dan thitung untuk (X1) 3,56 ,(X2) 6,85 ,(X3) 4,68 ,(X4) 0,60, sehingga hanya variabel (X2) dan (X3) yang berpengaruh positif terhadap variabel terikat.

c. Indra (2006: 7) dengan judul “Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Nilai Ekspor Rumput Laut Indonesia di Fhilipina”. Dalam menguji secara simultan dengan menggunakan uji F menunjukkan pengaruh nyata antara variabel bebas yang terdiri dari Jumlah Produksi (X1), Kurs US$ terhadap rupiah (X2) Harga rata-rata ekspor (X3), GDP Fhilipina (X4) dengan variabel terikat yaitu Nilai Ekspor Rumput Laut (Y) terbukti dengan nilai Fhitung (49,362) > Ftabel (5,91). Kemudian untuk mengetahui hubungan secara parsial maka digunakan uji t dan thitung untuk (X1) 2,478 ,(X2) 8,75 , (X3) 0,57 ,(X4) 1,65 ,sehingga hanya variabel (X2) yang berpengaruh secara nyata terhadap variabel terikat disebabkan karena kenaikan kurs USS dalam periode tertentu menjadi tolak ukur produsen di sebuah negara

untuk melakukan transaksi ekspor sehingga dapat mempengaruhi nilai ekspor rumput laut Indonesia.

d. Risman (2007) mengangkat judul penelitian “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ekspor Rumput Laut Indonesia”. Penelitian dilakukan untuk mengetahui faktor apa yang mempengaruhi ekspor rumput laut Indonesia dan juga mencari strategi untuk meningkatkan ekspornya. Data yang digunakan dalam penelitian berupa data sekunder tahun 1986-2005 yang diperoleh dari instansi seperti BPS, DKP, dan instansi terkait lainnya. Data kemudian dianalisis dengan menggunakan tabulasi dan analisis regresi berganda dengan persamaan tunggal yaitu dari sisi ekspor saja. Sedangkan untuk mencari strategi untuk peningkatan ekspor digunakan metode SWOT. Hasil dari penelitian Risman menunjukkan bahwa faktor yang berpengaruh nyata terhadap ekspor ke Hongkong adalah variabel harga ekspor rumput laut. Sedang untuk Jepang, tidak ada satupun faktor yang dianalisis berpengaruh nyata terhadap ekspor rumput laut Indonesia. Untuk Denmark, ekspor dipengaruhi oleh nilai tukar rupiah. Alternatif strategi yang dihasilkan dalam penelitian, berdasarkan analisis SWOT yang telah dilakukan adalah : (1) SO (Pemerintah melakukan observasi lokasi perairan yang cocok untuk dijadikan budidaya rumput laut untuk memperluas area budidaya); (2) ST (Meningkatkan kualitas, kuantitas, dan kontinuitas produksi melalui budidaya rumput laut); (3) WO (Melakukan kerjasama antara pembudidaya dengan pemerintah, membuat situs jaringan sumberdaya setiap daerah, kelompok pembudidaya rumput

laut kerjasama dengan pengusaha lokal mendirikan koperasi); (4) WT (Pemerintah memberikan penyuluhan, pendidikan dan ketrampilan bagi

pembudidaya rumput laut, dan pemerintah sering melakukan

pengawasan/pemeriksaan produk untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan termasuk penolakan produk oleh negara importir).

e. Wirawan (2007) meneliti tentang “Aspek-aspek Permintaan Rumput Laut Indonesia di pasar Jepang. Penelitian ini bersifat kuantitatif yang dilakukan dengan data empirik, dengan metode analisis regresi. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder kuantitatif, yang terdiri dari harga rata-rata produk rumput laut Indonesia di Jepang, nilai tukar Yen terhadap Rupiah, Ekspor rumput laut dari negara pesaing, dan pendapatan nasional Jepang. Permintaan impor rumput laut Jepang dari evaluasi yang telah dilakukan dapat dijelaskan oleh model regresi semi log. Hasil yang diperoleh dari penelitian tersebut adalah, bahwa perubahan permintaan rumput laut Indonesia oleh Jepang tidak dipengaruhi oleh nilai tukar. Hal ini terjadi karena pemenuhan kebutuhan rumput laut di Jepang sudah terpenuhi untuk spesialialisasi tertentu, jadi penggunaan rumput laut di Jepang yang diimpor dari negara-negara lain memiliki penggunaan kekhasan tersendiri. Oleh karena itu, impor rumput laut di Jepang tidak saling substitusi.

Berdasarkan beberapa hasil penelitian terdahulu di atas, maka terdapat persamaan dan perbedaan dengan penelitian yang dilakukan. Persamaannya yaitu terletak pada faktor yang mempengaruhi ekspor, sedangkan perbedaannya adalah terletak pada fokus permasalahan dan jenis alat yang digunakan..

2.2. Landasan Teori

Landasan teori yang dibahas dalam masalah ini adalah teori - teori yang mendasari dalam penulisan penelitian ini yang ada kaitannya dengan variabel-variabel yang dibahas. Dalam hal ini adalah Jumlah produksi rumput laut, Kurs Dollar terhadap rupiah, Inflasi , GDP (Gross Domestic

Product), serta BOP (Balance Of Payment).

2.2.1 Teori Perdagangan Internasional

Definisi perdagangan Internasional adalah terdiri dari kegiatan-kegiatan perniagaan dari suatu negara asal (country of origin) yang melintasi perbatasan menuju suatu negara tujuan (country of destination) suatu perusahaan (MNC) / suatu pemerintahan negara untuk melakukan perpindahan teknologi (pabrik) dan perpindahan merek dagang. Robbock membahas “Perdagangan Internasional” dari sudut manajemen dan merinci kegiatan-kegiatan perdagangan sebagai berikut :

1. Perdagangan Internasional terjadi melalui perpindahan barang-barang, perpindahan jasa-jasa dari suatu negara ke negara lain yang disebut

2. Perdagangan Internasional juga melewati perpindahan modal yaitu masuknya investasi asing dari luar negeri yang disebut transfer of

capital.

3. Tenaga kerja juga merupakan obyek dalam perdagangan internasional. Pada kenyataannya, tenaga kerja tidak hanya pindah dari desa ke kota (Dari rural ke urban). Dalam perdagangan internasional transfer of

labour mendorong masuknya tenaga-tenaga ahli dan tenaga teknisi dari

luar negeri.

4. Perdagangan internasional dapat dilakukan melalui transfer of

technology yaitu dengan cara mendirikan pabrik-pabrik di

negara-negara lain.

5. Keberhasilan dari suatu perdagangan internasional tergantung dari

transfer of data dan informasi terutama dalam penyampaian informasi

tentang kepastian tersedianya bahan baku dan pangsa pasar. (Waluya, 2005: 3).

2.2.1.1.Teori Klasik :

1. Kemanfaatan Absolut (Absolute Advantage : Adam Smith)

Teori ini lebih mendasarkan pada besaran (variabel) riil bukan moneter sehingga sering dikenal dengan nama teori murni (pure theory) perdagangan internasional. Murni dalam arti bahwa teori ini memusatkan perhatiannya pada variabel riil seperti misalnya nilai suatu barang diukur dengan banyaknya tenaga kerja yang dipergunakan untuk menghasilkan

barang. Makin banyak tenaga kerja yang digunakan akan makin tinggi nilai barang tersebut (labour theory of value).

Teori ini memiliki dua manfaat yaitu :

1. Memungkinkan kita dengan secara sederhana menjelaskan tentang spesialisasi dan keuntungan pertukaran.

2. Meskipun pada teori-teori berikutnya (Teori modern) kita tidak menggunakan teori nilai tenaga kerja namun prinsip teori ini tetap tidak bisa ditinggalkan (tetap berlaku) (Nopirin, 2006: 8).

2. Kemanfaatan Relatif (Comparative Advantage : J .S Mill)

Teori ini menyatakan bahwa suatu negara akan menghasilkan dan kemudian mengekspor suatu barang yang memiliki comparative advantage terbesar dan mengimpor barang yang memiliki comparative disadvantage, yaitu suatu barang yang dapat dihasilkan dengan lebih murah dan mengimpor barang kalau dihasilkan sendiri memakan ongkos yang besar. Teori ini pada dasarnya menyatakan bahwa nilai suatu barang ditentukan oleh banyaknya tenaga kerja yang dicurahkan untuk memproduksi suatu barang tersebut. Makin banyak tenaga kerja yang dicurahkan untuk memproduksi suatu barang, makin mahal barang tersebut (Nopirin, 2006: 11).

3. Biaya Relatif (Comparative Cost : David Ricardo)

Titik pangkal teori Ricardo tentang perdagangan internasional adalah teorinya tentang nilai/value. Menurut dia nilai/value sesuatu barang tergantung dari banyaknya tenaga kerja yang dicurahkan untuk memproduksi barang tersebut (labour cost value theory).

2.2.1.2.Terhadap Teori Klasik

Terhadap teori klasik ada beberapa kritik : - Bahwa tenaga kerja nyatanya tidak homogen

- Mobilitas tenaga kerja di dalam negeri mungkin tidak sebebas seperti dalam anggapan klasik. Hal ini disebabkan oleh ikatan keluarga, ketidaktentuan tentang pekerjaan yang baru di tempat dan sebagainya. - Dengan adanya non competing group dari tenaga kerja menyebabkan

tidak mungkin nilai suatu barang dinyatakan dengan banyaknya tenaga kerja yang dibutuhkan.

Namun demikian teori klasik ini masih mengandung kebenaran bahwa perdagangan bebas atau free trade seperti yang dianjurkannya dapat menimbulkan spesialisasi yang akan menaikkan efisiensi produksi (Nopirin, 2006: 16).

2.2.1.3.Kelemahan Teori Klasik

Teori klasik menjelaskan bahwa keuntungan dari perdagangan internasional itu timbul karena adanya comparative advantage yang berbeda antara dua negara. Teori nilai tenaga kerja menjelaskan mengapa terdapat perbedaan di dalam fungsi produksi antara dua negara atau lebih. Jika fungsi produksinya sama, maka kebutuhan tenaga kerja juga akan sama nilai produksinya sehingga tidak akan terjadi perdagangan internasional. Oleh karena itu syarat timbulnya perdagangan antar negara adalah perbedaan fungsi produksi di antara dua negara tersebut. Namun

teori klasik tidak dapat menjelaskan mengapa terdapat perbedaan fungsi produksi antar dua negara (Nopirin, 2006: 19).

Teori modern mulai dengan anggapan bahwa fungsi produksi itu sama dan menjelaskan faktor penyebab terjadinya perbedaan dalam

comparative advantage adalah proporsi pemilihan faktor produksi. Teori

ini kemudian dikenal dengan faktor proportions theory oleh Hecksher dan Ohlin (Nopirin, 2006: 19).

2.2.1.4.Teori Modern :

1. Faktor Proporsi (Hechsher dan Ohlin)

Teori ini menyatakan bahwa perbedaan dalam opportunity cost suatu negara dengan negara lain terjadi karena adanya perbedaan dalam jumlah faktor yang dimilikinya.

Suatu negara memiliki tenaga kerja lebih banyak daripada negara lain, sedangkan negara lain memiliki kapital lebih banyak daripada negara tersebut sehingga dapat menyebabkan terjadinya pertukaran (Nopirin, 2006: 20).

2. Teori Per mintaan dan Penawaran

Pada prinsipnya perdagangan antara dua negara itu timbul karena adanya perbedaan di dalam permintaan maupun penawaran. Permintaan ini berbeda misalnya, karena perbedaan pendapatan dan selera sedangkan perbedaan penawaran misalnya, dikarenakan perbedaan di dalam jumlah dan kualitas faktor-faktor produksi, tingkat teknologi dan eksternalitas (Nopirin, 2006: 26).

3. Kesamaan Harga Faktor Pr oduksi (Factor Price Equalization) Inti dari teori ini adalah bahwa perdagangan bebas cenderung mengakibatkan harga faktor-faktor produksi sama di beberapa negara (Nopirin, 2006: 24).

2.2.1.5.Teori Keynes

Keynes mengemukakan suatu pandangan lain mengenai proses penentuan kegiatan ekonomi dalam suatu negara. Pandangan tersebut terdiri dari :

1. Penggunaan Tenaga Kerja Penuh Tidak Selalu Dicapai

Menurut Keynes ada suatu keadaan yang dapat terjadi pada suatu waktu yakni, kemampuan faktor-faktor produksi untuk menghasilkan barang-barang dan jasa-jasa adalah jauh lebih besar dari permintaan masyarakat yang wujud. Dengan kata lain, kekurangan permintaan agregat dalam perekonomian merupakan sumber dari pengangguran dan kemunduran perekonomian yang sangat buruk. Dengan kata lain penggunaan tenaga kerja penuh adalah keadaan yang jarang terjadi, dan hal ini disebabkan karena kekurangan permintaan agregat yang wujud dalam perekonomian (Sukirno, 2005: 74).

2. Penentuan Tingkat Tabungan dan Investasi

Keynes menyatakan bahwa besarnya tabungan yang dilakukan oleh rumah tangga bukan tergantung kepada tinggi rendahnya tingkat bunga. Tetapi tergantung pada besar kecilnya pendapat rumah tangga itu. Makin besar jumlah pendapatan yang diterima oleh suatu rumah

tangga, maka semakin besar pula jumlah tabungan yang akan dilakukan olehnya, begitu pula sebaliknya. Ini berarti, menurut pandangan Keynes, jumlah pendapatan yang diterima rumah tangga dan bukan tingkat bunga yang menjadi penentu utama dari jumlah tabungan yang akan dilakukan oleh suatu rumah tangga (Sukirno, 2005: 76).

3. Tingkat Upah dan Kegiatan Ekonomi Negara

Dalam suatu perekonomian modern akan dapat dilihat bahwa tingkat upah tidak mudah mengalami penurunan. Sebagai akibatnya pengangguran menjadi lebih sukar untuk dihapuskan. Dalam perekonomian modern terdapat persatuan-persatuan pekerja yang selalu mempertahankan dan memperjuangkan perbaikan nasib para pekerja. Usaha ini termasuklah menjaga agar para pekerja diberi upah yang wajar. Persatuan pekerja akan selalu menentang setiap usaha untuk menurunkan tingkat upah yang dibayarkan kepada para pekerja (Sukirno, 2005: 79).

2.2.1.6.Para Pelaksana Per dagangan Internasional

Para pelaksana dalam perdagangan internasional dalam arti pelaksana ekspor-import dapat dibagi dalam 5 (lima) kelompok sebagai berikut :

a. Kelompok Identor

Sebagaimana telah dikemukakan, bila mana kebutuhan atas suatu barang belum dapat dipengaruhi dari produksi dalam negeri,

maka terpaksa di impor dari luar negeri. Diantara barang-barang kebutuhan itu ada yang diimpor untuk konsumsi sendiri dan ada kalanya untuk dijual kembali. Perlu dikemukakan bahwa tidak semua peminat barang impor ini melaksanakan impornya sendiri langsung dari luar negeri, tapi malah sebagian besar pelaksanaan impor itu mereka serahkan pada perusahaan yang sudah biasa mengimpor jenis barang yang dibutuhkan itu. Tegasnya adalah bahwa para peminat ini menempatkan pesanan (mengindent) kepada importir yang sudah biasa. (Amir, 2005: 61).

b. Kelompok Importir

Dalam perdagangan internasional, importir memikul tanggung jawab kontraktual atas terlaksananya dengan baik barang yang diimpor. Hal ini berarti importir memikul resiko atas segala sesuatu mengenai barang yang diimpor baik resiko kerugian, kerusakan, keterlambatan, dari barang yang dipesan, termasuk resiko penipuan dan manipulasi. (Amir, 2005: 64).

c. Kelompok Promosi

Masalah perdagangan luar negri sudah merupakan bagian yang tidak dapat dipasahkan dari masalah ekonomi nasional seluruhnya. Agar kegiatan perdagangan ekspor impor dapat berjalan dan mendatangkan devisa yang besar bagi negara perlu pula dukungan dari berbagai pihak yang secara tidak langsung terlibat dalam kegiatan

tersebut, salah satunya adalah kelompok promosi. Kelompok promosi terdiri atas berbagai bagan antara lain :

1) Kantor perwakilan dan produsen atau eksportir asing negara konsumen atau importer.

2) Kantor perwakilan KADIN yang ada di dalam negeri ataupun luar negeri.

3) Msi Perdagangan dan Pameran Dagang International. 4) BPEN.

5) Kantor Bank Devisa.

6) Atase Perdagangan dan Trade Commisioner ataupun bagian ekonomi dan kedutaan di luar negeri.

7) Majalah Dagang dan Industri maupun Trade Directorie.

8) Brosur dan leaflet yang dibuat oleh masing – masing pengusaha ekspor termasuk price list.

d. Kelompok Eksportir

Kalau importir dengan kata lain disebut pembeli (Buyer) maka eksportir lazim pula disebut sebagai penjual (Seller) ataupun juga sebagai pensuplai (pemasok) atau supplier. Antara dua kelompok inilah sesungguhnya terjadi ikatan kontrak perdagangan internasional. Kedua kelompok inilah sesungguhnya terjadi ikatan kontrak perdagangan internasional. Kedua kelompok inilah yang merupakan pelaku utama perdagangan internasional (Amir, 2005: 67).

e. Kelompok Pendukung

Seperti yang telah diutarakan importir dan eksportir merupakan pelaksana utama dalam perdagangan internasional. Namun disamping itu terdapat pula badan usaha lain yang mempunyai peranan yang besar pula dalam menunjang serta menjamin kelancaran pelaksana impor maupun ekspor itu secara keseluruhannya. Dimana kelompok ini terdapat :

1. Bank-bank devisa. 2. Badan usaha transportasi. 3. Maskapai Pelayaran. 4. Maskapai Asuransi.

5. Kantor perwakilan/kedaulatan. 6. Surveyor.

7. Pabean (Amir, 2005: 61). 2.2.2. Teori Per mintaan

Setiap orang dihadapkan pada kebutuhan yang tidak pernah terbatas di lain pihak sumber daya sebagai alat pemuasnya tersedia sangat terbatas (langkah). Dalam dunia nyata sebuah barang mempunyai harga, maka permintaan baru mempunyai makna apabila didukung oleh daya beli konsumen. Sedangkan permintaan yang hanya didasarkan atas kebutuhan saja disebut permintaan absolute atau potensial.

Permintaan akan suatu jenis barang ialah jumlah-jumlah barang itu yang pembeli (atau pembeli-pembeli) bersedia membelinya pada tingkat

harga yang berlaku pada suatu pasar tertentu dan dalam waktu yang tertentu pula (Rosyidi, 2002: 239).

Ada beberapa hal penting yang dapat dilihat dari definisi permintaan atas itu. Yang pertama adalah bahwa permintaan merupakan sederetan angka yang menunjukkan banyaknya satuan barang yang diminta pada berbagai angkat harga. Hal kedua yang terpenting adalah bahwa barang yang diselidiki dalam satu permintaan adalah suatu jenis barang saja, dan bahwa permintaan itu terjadi di pasar serta waktu yang juga tertentu.

2.2.2.1.Hukum Per mintaan

Pada hakekatnya permintaan barang dapat berubah karena perubahan harga. Sejak jaman klasik telah ditiadakan penelitian terhadap hubungan yang terdapat antara harga dan permintaan barang. Hasilnya telah dirumuskan menjadi hukum permintaan yang berbunyi “Perubahan harga mempunyai pengaruh terbalik terhadap perubahan permintaan”. Maksudnya, pada waktu harga naik permintaan akan turun, sedangkan apabila harga turun permintaan akan naik.

Hukum permintaan menyatakan bahwa jika harga naik, maka jumlah output yang diminta akan turun. Demikian pula sebaliknya, jika harga turun maka output yang diminta akan naik (Rosyidi, 2002: 242).

Gambar 1 : Kur va Per mintaan

Sumber : Rosyidi Suherman, 2011, Pengantar Teori Ekonomi, Penerbit Raja Grafindo Persada, Jakarta, halaman 293.

Pada gambar 1, harga yang dimaksud adalah harga per unit, dan bukan harga keseluruhan. Unit adalah satuan, entah apa pun satuan itu, mungkin karung, mungkin keranjang, mungkin ikat dls. Sedang sumbu datar yang ditulis sebagai Q (quantity – kuantitas) itu lengkapnya adalah “kuantitas persatuan waktu”. Jelasnya, angka-angka yang tertera di dalam sumbu datar pada Gambar I itu dapat berubah setiap saat, sebab angka-angka itu hanya berlaku untuk suatu periode waktu yang tentu saja. Sesuai dengan maksud definisi permintaan diatas (Rosyidi, 2011: 293).

Kalau dilihat pada Gambar 2, di bawah ini maka naiknya harga dari OP menjadi OP’ akan menyebabkan turunnya jumlah barang yang diminta dari OQ ke OQ’. Sebaliknya, turunnya harga dari OP ke OP” akan mengakibatkan naiknya jumlah barang yang diminta dari OQ ke OQ”. Gerakan seperti itu bersesuaian benar dengan apa yang dinyatakan oleh gambar sebelumnya di atas.

D Harga

Per Kg

Gambar 2 : Hukum Per mintaan

Sumber : Rosyidi Suherman, 2011, Pengantar Teori Ekonomi, Penerbit Raja Grafindo Persada, Jakarta, halaman 293.

2.2.2.2.Tidak Ber lakunya Hukum Per mintaan.

Adakalanya hukum permintaan tidak berlaku, yaitu kalau harga suatu barang naik justru permintaan terhadap barang tersebut meningkat. Paling tidak ada tiga kelompok barang dimana hukum permintaan tidak berlaku: 1. Barang yang memiliki unsur spekulasi.

Misalnya saja emas, saham, dan tanah. Barang-barang itu dapat menyebabkan orang akan menambah pembeliannya pada saat harganya naik, karena ada unsur spekulasi. Mereka mengharapkan harga akan naik lagi pada saat harga barang itu naik, dengan demikian mereka mengharapkan akan memperoleh keuntungan.

2. Barang Prestise

Barang-barang yang dapat menambah prestise seseorang yang memilikinya umumnya berharga mahal sekali. Kalau barang tersebut

naik harganya boleh jadi menyebabkan permintaan terhadap barang itu meningkat, karena bagi orang yang membeli gengsinya naik.

3. Barang Giffen

Untuk barang giffen (giffen good), apabila harganya turun menyebabkan jumlah barang yang diminta akan berkurang. Hal ini disebabkan daripada naiknya jumlah barang yang diminta karena berlakunya efek subtitusi yang selalu positif. Dalam hal ini, apabila suatu barang harganya turun, cateris paribus, maka pendapatan nyata (real income) konsumen bertambah. Untuk kasus barang giffen, kenaikan pendapatan nyata konsumen justru mengakibatkan permintaan terhadap barang tersebut menjadi berkurang (Rahardja, 2003: 36).

Hukum permintaan hanya berlaku pada saat-saat tertentu, karena ada asumsi bahwa keadaan lain tidak berubah (cateris paribus). Keadaan lain yang diasumsikan tidak berubah adalah sebagai berikut :

a. Penghasilan Seseorang Tetap

Jika penghasilan bertambah kenaikan harga tidak banyak mempengaruhi permintaan. Jika masyarakat yang penghasilannya bertambah, mungkin saja permintaan mereka tetap (tidak turun walaupun harga barang naik).

b. Selera Konsumen

Selera atau kegemaran konsumen akan barang diasumsikan tetap. Jika konsumen sudah tidak lagi menggemari barang tersebut,

walaupun harga barang tersebut turun permintaan tidak akan meningkat bahkan akan menjadi penurunan.

c. Tidak Ada Barang Substitusi (Pengganti) Baru.

Jika harga suatu barang naik dan di pasar terdapat barang substitusi baru yang harganya tetap, konsumen akan beralih pada barang substitusi baru tersebut (Kosim, 2006: 115).

2.2.2.3.Faktor-Faktor yang Mempengar uhi Permintaan : 1. Harga Barang yang Bersangkutan.

Harga barang sangat berpengaruh terhadap jumlah permintaan. Sebagai contoh, jika harga daging sapi sangat mahal kemungkinan hanya orang kaya saja yang mampu membeli daging sapi sehingga jumlah permintaan daging sapi akan turun.

2. Selera Konsumen Terhadap Barang Tersebut.

Jika selera kegemaran masyarakat terhadap suatu barang tertentu rendah maka permintaan barang tersebut akan rendah. Sebaliknya, jika selera terhadap barang yang bersangkutan tinggi maka jumlah barang yang diminta akan tinggi.

3. Kualitas (Mutu) Barang Yang Bersangkutan

Jika kualitas suatu barang meningkat maka biasanya jumlah yang ingin membelinya (permintaannya) akan meningkat. Sebaliknya, jika mutu barang yang bersangkutan rendah maka permintaan barang akan rendah.

4. Pendapatan (Daya Beli) Konsumen

Daya beli (tingkat pendapatan) konsumen akan sangat menentukan tinggi rendahnya permintaan. Jika pendapatan konsumen rata-rata naik maka jumlah permintaan pun cenderung naik. Sebaliknya, jika pendapatan konsumen turun maka permintaan pun akan ikut turun (Kosim, 2006: 112).

5. Ada Tidaknya Barang Pengganti (Substitusi)

Tersedia tidaknya barang pengganti (substitusi) di pasar akan menentukan tinggi rendahnya permintaan akan barang. Misalnya, jika di pasar tersedia banyak gula pasir maka permintaan akan gula merah sebagai pengganti dari gula pasir akan sedikit turun.

6. Jumlah Penduduk

Setiap manusia senantiasa mempunyai kebutuhan barang dan jasa. Semakin bertambah jumlah penduduk maka, permintaan barang dan jasa akan semakin bertambah pula.

2.2.2.4.Teori Penawaran

Yang dimaksud dengan penawaran adalah hubungan antara harga dan jumlah barang yang ditawarkan. Secara lebih spesifik, penawaran

Dokumen terkait