• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN ARBITRASE SYARIAH DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH

C. Putusan Badan Arbitrase Syariah

Arbitrase atau majelis arbitrse syariah dalam memutuskan sengketa tidak hanya berdasarkan pada argumen-argumen dan fakta-fakat yang diajukan oleh para pihak, tetapi juga berdasarkan pendapat saksi dan saksi ahli. Selain itu, arbiter atau majelis arbitrase dapat melakukan pemeriksaan setempat atas sesuatu yang dipersengketakan oleh para pihak. Apabila arbiter atau majelis arbitrase menganggap para pihak diperlukan kehadirannya pada saat dilakukan pemeriksaan, para pihak akan dipanggil secara sah untuk hadir pada pemeriksaan tersebut.

Mengenai putusan yang diambil oleh arbiter atau majelis arbitrase dapat berdasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku atau berdasarkan rasa keadilan dan kepatutan. Pada penjelasan Pasal 56 ayat 1 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 diterangkan:

1.Pada dasarnya para pihak dapat mengadakan perjanjian untuk menentukann bahwa arbiter dalam memutus perkara wajib berdasarkan ketentuan hukum atau sesuai dengan rasa kepatuhan

2.Dalam hal arbiter diberi kebebasan untuk memberikan putusan berdasarkan keadilan dan kepatuhan, maka peraturan perundang-undangan dapat

dikesampingkan. Akan tetapi dalam hal tertentu, hukum memaksa harus diterapkan dan tidak dapat disimpangi oleh arbiter

3.Dalam hal arbiter tidak diberi kewenagan untuk memberikan putusan berdasarkan keadilan dan kepatuhan, maka arbiter hanya dapat memberi putusan bedasarkan kaidah hukum materiil sebagaimana dilakukan oleh hakim.

Putusan dari lembaga Arbitrase Syariah mempunyai kekuatan hukum mengikat dan bersifat final sehingga secara yuridis meniadakan hak dari masing-masing pihak yang bersengketa untuk mengajukan banding ataupun upaya hukum lainnya. Mengenai hal-hal yang dimuat dalam putusan arbitrase Syariah adalah sebagai berikut:

1. Kepala putusan yang berbunyi “BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM”.

2. Nama Lengkap dan alamat para pihak

3. Uraian singkat sengketa

4. Pendirian para pihak

5. Nama lengkap dan alamat arbiter

6. Perimbangan dan kesimpulan arbiter atau majelis arbitrase mengenai keseluruhan sengketa

7. Pendapat tiap-tiap arbitrase dalam hal terdapat perbedaan pendapat dalam majelis arbitrase

8. Amar putusan

10.Tanda tangan arbiter atau majelis arbitrase.

Hal terpenting dari putusan arbitrase adalah adanya tanda tangan abiter atau majelis arbitrase. Dengan adannya tanda tangan ini, putusan menjadi sah dan dapat dijalankan. Apabila dalam suatu putusan arbitrase tidak terdapat tanda tangan dari arbiter atau majelis arbitrase, alasan tidak ditandatangani putusan harus dicantumkan dalam putusan tersebut.

Putusan BASYARNAS yang sudah ditandatangani arbiter tunggal atau majelis langsung bersifat final dan mengikat sehingga tidak ada upaya hukum banding atau kasasi seperti lazimnya di pengadilan. Ada upaya hukum yang dapat dilakukan oleh para pihak apabila tidak menyetujui dengan putusan tersebut dengan hal permintaan pembatalan putusan secara tertulis dengan didasarkan pada alasan-alasan sebagai berikut:

a. Penunjukan arbiter tunggal atau majelis tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam peraturan prosedur BASYARNAS

b. Putusan melampaui kewenangan BASYARNAS c. Putusan melebihi apa yang diminta oleh para pihak

d. Terdapat penyelewengan diantara salah satu anggota arbiter

e. Putusan jauh menyimpang dari ketentuan pokok peraturan prosedur BASYARNAS

f. Putusan tidak memuat dasar-dasar alasan yang menjadi landasan pengambilan putusan.

Terhadap putusan arbitrase syariah yang tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak secara sukarela, maka sesuai dengan ketentuan undang-undang, pengadilan agama yang berwenang untuk memerintahkan pelaksanaan putusan tersebut. Karena badan arbitrase

sendiri tidak punya kewenangan untuk menjalankan atau mengeksekusi putusannya sendiri.

Sesuai ketentuan Pasal 61 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 dan juga Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 8 Tahun 2008 Tentang Eksekusi Putusan Arbitrase Syariah, maka putusan Arbitrase Syariah akan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Agama atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa. Ada satu hal apabila dicermati akan menimbulkan kesimpang siuran dalam peraturan yang ada mengenai pelaksanaan putusan arbitrase ini. Pelaksanaan putusan arbitrase membutuhakan pengadilan agar putusan arbitrase dapat dieksekusi dan pada umumnya pengadilan tidak memiliki kewenangan untuk memeriksa kembali putusan arbitrase. Hal ini bertentangan dengan diterbitkannya SEMA No. 8 Tahun 2008, yang pada angka 4 menyebutkan bahwa dalam hal putusan Badan Arbitrase Syariah tidak dilaksanakan secara sukarela, maka putusan tersebut dilaksanakan berdasarkan perintah ketua pengadilan yang berwenang atas permohonan salha satu pihak yang bersengketa. Sedangkan dalam Pasal 49 Undang-Undang No. 3 tahun 2006 dikatakan bahwa Pengadilan Agama juga bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di bidang ekonomi syariah, ketua pengadilan agama yang berwenang memerintahkan pelaksanaan putusan badan arbitrase syari’ah.

Dengan adanya peraturan yang bertentangan tersebut, maka Mahkamah Agung pada Tahun 2010 mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 8 Tahun 2010 yang menyatakan angka 4 SEMA No.8 Tahun 2008 tidak berlaku lagi sehingga tidak perlu khawatir untuk menyelesaikan sengketa melalui BASYARNAS.

Selanjutnya dalam melaksanakan eksekusi terhadap putusan Arbitrase Syariah tersebut, pengadilan agama selain harus memedomani ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, secara teknis juga harus memperhatikan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam SEMA No. 8 Tahun 2008 yang secara khusus mengatur tentang pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase syariah oleh pengadilan agama. Aturan yang menurut SEMA yang harus diikuti oleh ketua pengadilan agama adalah:

1. Putusan arbitrase Syariah baru dapat dilaksanakan apabila ketentuan dalam Pasal 59 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 telah dipenuhi, yaitu:

a. Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Agama yang daerah hukumnya

b. Penyerahan dan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan dengan pencatatan dan penandatanganan pada bagian akhir atau di pinggir putusan oleh Panitera Pengadilan Negeri dan arbiter atau kuasanya yang menyerahkan, dan catatan tersebut merupakan akta pendaftaran.

c. Arbiter atau kuasanya wajib menyerahkan putusan dan lembar asli pengangkatan sebagaimana arbiter atau salinan otentiknya kepada Panitera Pengadilan Agama. d. Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berakibat

putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan.

e. Semua biaya yang berhubungan dengan pembuatan akta pendaftaran dibebankan kepada para pihak.

2. Perintah melaksanakan putusan Badan Arbitrase Syariah tersebut diberikan dalam waktu paling lama 30 hari setelah permohonan eksekusi didaftarkan kepada Panitera Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal Termohon dalam Penyelesaian sengketa melalui Badan Arbitrase Syariah.

3. Ketua Pengadilan Agama sebelum memberikan perintah pelaksanaan, memeriksa terlebih dahulu apakah:

a.Persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui Badan Arbitrase Syariah dimuat dalam suatu dokumen yang ditandatangani oleh para pihak

b.Sengketa yang diselesaikan tersebut adalah sengketa di bidang ekonomi syariah dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-udangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa

c.Putusan Badan Arbitrase Syariah tidak bertentangan dengan prinsip Syariah d.Dihapuskan sesuai dengan SEMA No. 8 tahun 2010

e.Perintah ketua Pengadilan Agama ditulis pada lembar asli dan salinan autentik putusan Badan Arbitrase Syariah yang dikeluarkan

f. Putusan badan Arbitrase Syariah yang telah dibubuhi perintah ketua pengadilan agama dilaksanakan sesuai ketentuan pelaksanaan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Pengaturan penyelesaian sengketa perbankan syariah di Indonesia pada saat ini telah memiliki kejelasan. Tidak ada lagi keraguan bagi para pihak ketika terjadi sengketa pada mereka. Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa memberikan titik terang atas penyelesaian sengketa yang dapat dipilih di luar pengadilan melalui Badan Arbitrase Syariah.Kemudian Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang-Undang-Undang No. 7 Tahun Peradilan Agama ditujukan untuk penyelesaian sengketa di dalam peradilan khususnya Peradilan Agama. Peraturan ini juga memperjelas atas bagaimana pengeksekusian atas putusan badan arbitrase. Dengan itu jelaslah bahwa Peradilan Agama yang memiliki wewenang sebagai eksekutor. Kemudian Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah secara khusus mengatur mengenai Perbankan Syariah dan mengenai penyelesaian sengketa. Di dalam peraturan ini terdapat penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi dan non-litigasi; musyawarah/negosiasi, mediasi dan pengadilan negeri.

2. Mekanisme penyelesaian sengketa perbankan syariah tidak jauh berbeda dari bentuk acara yang dipergunakan lembaga-lembaga sebelumnya. Hukum acara yanng dipergunakan di pengadilan agama tetap menggunakan hukum acara perdata umumnya demikian juga dengan pengadilan negeri. Di jalur non-litigasi, musyawarah/negosiasi proses yang dipergunakan tetap sama. Proses mediasi sedikit berbeda dengan mediasi lainnya. Proses ini disebut mediasi perbankan yang pengaturannya melalui Peraturan Bank Indonesia dimana Bank Indonesia sebagai

mediatornya. Dalam bentuk arbitrase, Badan Arbitrase Syariah lah yang dipergunakan.

3. Badan Arbitrase Syariah merupakan perubahan dari Badan Arbitrase Muamalat Indonesia. Badan ini merupakan badan permanen yang secara institusional dibentuk secara khusus menangani perkara ekonomi syariah di luar persidangan. Putusan yang dikeluarkan oleh Badan ini hanya dapat di lanjutkan pengeksekusiannya melalui ketua pengadilan agama.

B. Saran

1. Pilihan setiap orang untuk menyelesaikan perkara atas sengketa yang ada adalah kebebasan setiap orang diawal perjanjian yang dibuatnya. Pilihan melalui jalur pengadilan ataupun diluar pengadilan sudah ada di peraturan yang dibuat oleh pemerintah. Sudah selayaknya apabila terjadi sengketa yang ada maka penyelesainnya di selesaikan melalui syariah, hal ini ditujukan terhadap penyelesaian di Pengadilan Negeri. Walaupun ini adalah pilihan, bukan suatu kewajiban, para pihak sebaiknya tunduk dan ikut dalam peraturan yang ada.

2. Jalur non-litigasi merupakan jalur terbaik yang dapat dipilih oleh para pihak untuk menyelesaikan sengketa syariah. Selain proses yang cepat, para pihak dapat mengambil keputusan yang memang sebaik-baiknya bagi mereka. Dari segi biaya, jalur non-litigasi juga lebih murah dibanding jalur litigasi yang akan memakan biaya lebih besar.

3. Ketakutan akan tidak dapatnya dijalankan putusan yang dibuat oleh badan arbitrase kini sudah terjawab. Ketua pengadilan agama adalah yang berwenang untuk menjalankannya. Udang-undang No. 3 tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama telah memberikan kewenangan pengadilan Agama untuk memeriksa, mengadili dan bahkan memberikan putusan atas sengkera ekonomi syariah. Maka kerja sama antara BASYARNAS dan Pengadilan Agama dapat dijalin baik sehingga akan tercapai penegakkan hukum sesuai yang diinginkan.

BAB II

PENGATURAN PENYELESAIAN SENGKETA

Dokumen terkait