• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : Akibat Hukum Terhadap Putusan Hakim Mahkamah Agung

4. Putusan Hakim Mahkamah Agung RI

Keberatan-keberatan tersebut dapat dibenarkan Judex Facti(Pengadilan Tinggi) telah salah dalam menerapkan hukum, berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut: 1. Bahwa walaupun Undang-undang tidak menjelaskan pengertian apa yang

dimaksud dengan ” Dakwaan Tidak Dapat Diterima”, tidak menjelaskan apa yang dijadikan dasar untuk menyatakan dakwaan tidak dapat diterima, tetapi pengertian yang umum diberikan terhadap dakwaan tidak dapat diterima, apabila dakwaan yang diajukan mengandung ”cacat formil” atau mengandung ”kekeliruan beracara” (Error in procedure), dalam hal ini bisa cacat mengenai orang yang didakwa, keliru susunan atau bentuk surat dakwaan yang diajukan Jaksa Penuntut Umum.

2. Bahwa berdasarkan kriteria dalam butir 1 tersebut, Mahkamah Agung berpendapat dakwaan-dakwaan yang diajukan oleh penuntut umum tidak mengandung cacat formil maupun kekeliruan beracara dan telah memenuhi syarat formil dan materil surat dakwaan sebagaimana diatur oleh Pasal 143 ayat(2) KUHAP.

Analisis Hukum Keberatan Terhadap Putusan Mahkamah Agung, bahwa pengertian yang umum diberikan terhadap dakwaan tidak dapat diterima, dalam hal ini, Hakim Agung yang memeriksa serta membuat putusan Mahkamah Agung telah

memberikan pengertian secara umum tentang dakwaan tidak dapat diterima merupakan suatu pemikiran yang telah keliru, dimana Mahkamah Agung telah memberikan suatu pendapatnya bahwa mengenai pengertian dakwaan tidak dapat diterima tidak ada peraturan per-Undang-undangan yang membuat makna tentang dakwaan tidak dapat diterima, akan tetapi, gambaran pengertian dakwaan tidak dapat diterima dapat dilihat dalam isi Pasal 143 ayat 2 huruf a, b KUHAP, yang mana, kalau diperhatikan secara seksama isi dari Pasal 143 ayat (2) huruf a, b KUHAP, antara lain: surat dakwaan itu harus memenuhi syarat materil dari suatu dakwaan, kemudian pada ayat yang berikutnya yakni ayat (3) menyatakan bahwa surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan ayat(2) KUHAP batal demi hukum.

Mahkamah Agung dalam putusannya mengarahkan pengertian dakwaan tidak dapat diterima kepada kekeliruan beracara. Kekeliruan beracara tersebut masuk kedalam proses mekanisme bersidang baik yang dilakukan oleh hakim sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Jaksa selaku penuntut umum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, serta advokad dalam melakukan pembelaan terhadap terdakwa sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No.18 Tahun 2004 tentang Advokad.

Mahkamah Agung dalam memberikan makna tentang kekeliruan beracara kearah cacat mengenai orang yang didakwa, maka dalam hal ini, Mahkamah Agung telah keliru dalam memberikan makna tentang kekeliruan beracara.

Cacat mengenai orang yang didakwa tidak termasuk kedalam kategori kekeliruan beracara, melainkan masuk kedalam kategori unsur Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP mengenai syarat formil dari suatu surat dakwaan.

Keliru susunan atau bentuk surat dakwaan tidak termasuk kedalam kategori kekeliruan beracara, melainkan masuk kedalam unsur Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP tentang uraian cermat, jelas dan lengkap sesuai dengan pertimabangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, antaranya:

a. Bertitik tolak pada ketentuan dalam Undang-undang tersebut diatas dan memperhatikan didalam Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan, yang tidak memiliki ketentuan secara tegas menyatakan pelanggaran terhadap Undang-Undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi maka secara normatif sulit untuk diterapkan atau didakwakan tindak pidana korupsi dalam kasus kehutanan.

b. Bahwa sejalan dengan analisis normatif tersebut, Prof.Dr.Andi Hamzah mengatakan bahwa terhadap terdakwa tidak dapat dikenakan dakwaan tindak pidana korupsi karena perbuatan terdakwa mutlak berada dibawah yurisdiksi Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang kehutanan. Prof.Dr.Andi Hamzah berpegang pada ketentuan mengenai Lex Spesialis, yaitu: Bahwa Undang-undang yang bersifat spesialis hanya ditujukan untuk orang tertentu atau kelompok orang tertentu atau menurut waktu tertentu atau tempat tertentu. Sedangkan Undang-undang yang bersifat umum berlaku untuk setiap orang atau korporasi, dan berlaku untuk setiap waktu dan setiap tempat.

c. Menimbang, bahwa surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum pada pokoknya mendakwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi yang dialternatifkan dengan tindak pidana kehutanan serta Menimbang, Bahwa sampailah gilirannya majelis akan mempertimbangkan mengenai dakwaan pidana kehutanan, yang didakwakan sebagai berikut

d. Menimbang, Bahwa dakwaan ini disusun dalam bentuk kumulatif pada dakwaan ketiga dan dakwaan keempat”.

Surat dakwaan yang dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum dengan perkara No. PDS-01/JKT-PST/03/2006 tertanggal 06 Maret 2006 atas nama terdakwa Darianus Lungguk Sitorus telah terdapat unsur-unsur yang pembuatannya tidak memenuhi syarat formil dan syarat materil dari surat dakwaan sebagaimana yang tercantum

dalam putusan Pengadilan Tingkat Banding(Judex Facti). Akan tetapi, pendapat Mahkamah Agung yang dituangkan dalam putusannya seolah-olah serta ditutup-tutupi atau tidak mengakui bahwa Putusan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat didalamnya terdapat surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 143 ayat(2) huruf b KUHAP, serta didalamnya terdapat pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang secara tidak langsung menyatakan surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum tidak memenuhi ketentuan Pasal 143 ayat(2) huruf b KUHAP

3. Bahwa keberatan ini dapat dibenarkan, Judex Facti(Pengadilan Tinggi) telah salah menerapkan hukum, karena dengan adanya putusan Pengadilan Tinggi yang menyatakan ” dakwaan tidak dapat diterima” bagi Jaksa Penuntut Umum masih terbuka upaya hukum untuk mengajukan kembali perkara tersebut setelah memperbaiki surat dakwaan atau dalam hal dakwaan merupakan delik penyertaan yang perkaranya diperiksa secara terpisah, seharusnya seluruh barang bukti dikembalikan kepada Jaksa Penuntut Umum untuk dapat digunakan kembali sebagai alat bukti dalam perkara yang dakwaannya sudah diperbaiki/disempurnakan atau sebagai barang bukti dalam perkara lain. Walaupun sebenarnya menurut Mahkamah Agung putusan mengenai barang bukti tersebut adalah terlalu prematur dan berkelebihan, karena putusan belum mengenai materi pokok perkara.

Analisis Hukum Keberatan Yang Terdapat Dalam Pertimbangan Mahkamah Agung, Mahkamah Agung dalam membuat keberatannya mengenai ”Dakwaan Tidak Dapat Diterima”, dalam hal ini, Mahkamah Agung mengarahkan makna Dakwaan Tidak Dapat Diterima kepada Jaksa Penuntut Umum masih terbuka upaya hukum untuk mengajukan kembali perkara tersebut setelah memperbaiki surat dakwaan atau dalam hal dakwaan merupakan delik penyertaan yang perkaranya diperiksa secara terpisah, maka dalam hal ini, Mahkamah Agung telah keliru dalam menerapkan makna dakwaan tidak dapat diterima kearah diberikan upaya hukum terhadap Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan kembali

perkara tersebut setelah memperbaiki surat dakwaannya, sedangkan proses persidangan telah dimulai, bahkan Hakim Pengadilan Tinggi telah mengeluarkan putusannya. Berdasarkan Pasal 144 ayat(1) KUHAP menyatakan” Penuntut Umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari sidang, baik dengan tujuan untuk penyempurnaan maupun untuk tidak melanjutkan penuntutannya”, ayat (2) KUHAP menyatakan ” Pengubahan surat dakwaan itu dapat dilakukan hanya satu kali selambat-lambatnya tujuh hari sebelum sidang dimulai”.

Berdasarkan ketentuan dari isi Pasal 144 KUHAP tersebut diatas dihubungkan dengan pendapat dari Mahkamah Agung telah terdapat pertentangan yang sangat tajam serta pendapat yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung itu merupakan suatu pemikiran hukum yang dibuat-buat serta tidak memiliki dasar hukum yang kuat untuk mendukung keberatan Mahkamah Agung tersebut.

Mahkamah Agung dalam membuat pendapatnya mengenai ” seharusnya seluruh barang bukti dikembalikan kepada Jaksa Penuntut Umum untuk dapat digunakan kembali sebagai alat bukti dalam perkara yang dakwaannya sudah diperbaiki/disempurnakan atau sebagai barang bukti dalam perkara lain”. Berdasarkan Pasal 194 ayat (1) KUHAP menyatakan ” Bahwa dalam hal putusan pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, pengadilan menetapkan supaya barang bukti yang disita diserahkan kepada pihak yang paling berhak menerima kembali yang namanya tercantum dalam putusan tersebut kecuali jika menurut ketentuan Undang-undang barang bukti itu harus dirampas untuk kepentingan Negara atau dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat

dipergunakan lagi”. Jadi pendapat Mahkamah Agung yang mengharuskan barang bukti itu diserahkan kepada Jaksa selaku penuntut umum meruupakan suatu argumentasi atau keberatan hukum yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana yang berlaku pada saat sekarang.

C. Hal-Hal Yang Harus Dimuat Dalam Putusan Hakim Serta Akibat Hukum Yang Muncul Apabila Didalam Putusan Hakim Tersebut Terdapat Dakwaan Yang Tidak Memenuhi Unsur Materil Dari Suatu Dakwaan. Menurut Pasal 197 ayat(1) KUHAP bahwa surat putusan pemidanaan memuat: A. Kepala putusan yang dituliskan berbunyi:”Demi Keadilan berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa”.

B. Nama lengkap, tempat lahir, umur dan tanggal lahir, Jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan terdakwa.

C. Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan.

D. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan, beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa.

E. Tuntutan pidana sebagaimana yang terdapat dalam surat tuntutan.

F. Pasal peraturan perUndang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan atau pasal peraturan perUndang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa.

G. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal.

H. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana diserahi dengan kwalifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan.

I. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlah yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti.

J. Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan dimana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat outentik dianggap palsu.

K. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan. L. Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus,

dan nama panitera.

Unsur-unsur putusan tersebut diatas dihubungkan dengan Putusan Mahkamah Agung No.2642 K/Pid/2006 terdapat beberapa unsur yang tidak memenuhi ketentuan dari Pasal 197 KUHAP, diantaranya: Putusan Mahkamah Agung tersebut didalamnya terdapat ketidak sesuaian yang diatur dalam Pasal 197 ayat(1) huruf C, D, F KUHAP. Tanpa memuat ketentuan-ketentuan yang disebut dalam Pasal 197 KUHAP, bisa mengakibatkan putusan ”Batal Demi hukum”. Sekalipun ketentuan Pasal 197 KUHAP hanya merupakan syarat terhadap putusan pemidanaan, pembebasan, dan pelepasan dari segala tuntutan hukum. Pada hakikatnya ketentuan itu berlaku terhadap jenis putusan lain, terutama terhadap jenis putusan yang menyatakan ”Dakwaan Batal Demi Hukum”. Kecuali terhadap putusan yang berupa ”Penetapan” tidak berwenang mengadili, ketentuan Pasal 197 KUHAP tidak merupakan syarat sahnya penetapan, akan tetapi, sebagian hal-hal yang disebut Pasal 197 KUHAP tetap merupakan syarat sahnya penetapan.

Jenis putusan yang diambil pengadilan pada taraf eksepsi berupa putusan yang menyatakan dakwaan tidak dapat diterima, harus memuat sebagian dari syarat yang disebut Pasal 197 ayat(1) KUHAP. Apalagi jika putusan eksepsi dijatuhkan pada taraf setelah pemeriksaan perkara dinyatakan selesai dan dinyatakan ditutup, harus memuat sebagian dari syarat yang disebut Pasal 197 ayat(1) huruf a, b, c, d, f, k, dan l KUHAP.

Adapun yang dimaksud beberapa ketentuan mengenai putusan pengadilan ialah tentang isi yang harus terkandung dalam putusan. Artinya putusan pengadilan harus memuat pernyataan-pernyataan yang ditentukan dalam Pasal 197 ayat(1) KUHAP. Apabila putusan tidak memuat pernyataan yang ditentukan dalam Pasal 197 ayat(1) jo Pasal 197 ayat(2) KUHAP bisa mengakibatkan putusan”Batal Demi Hukum”61 .

Suatu putusan yang batal demi hukum, mengembalikan semua hal dan keadaan kepada keadaan semula seolah-olah terdakwa tidak pernah diperiksa dan didakwa melakukan tindak pidana.

Kedudukan terdakwa pulih dalam keadaan semula sebelum ia diperiksa dan didakwa. Demikian fatalnya akibat yang akan dialami putusan yang tidak mengindahkan ketentuan yang digariskan Pasal 197 ayat(1) KUHAP.

Putusan yang dijatuhkan tidak mengikat dan tidak mempunyai kekuatan hukum, dan tidak mempunyai daya eksekusi. Putusan yang batal demi hukum tidak dapat dieksekusi oleh penuntut umum. Karena putusan itu sendiri tidak mempunyai akibat hukum

61

Sembiring, Tambah, Proses Pemeriksaan Perkara Pidana Di Pengadilan Negeri, (Medan: Penerbit Universitas Sumatera Utara Press (USU PRESS), 1992), hal. 6

BAB IV PENUTUP

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan.

I. Penyusunan Surat Dakwaan Tindak Pidana Korupsi Oleh Jaksa Penuntut Umum.

Penyusunan surat dakwaan dalam perkara tindak pidana korupsi diatur didalam ketentuan Pasal 143 ayat(2) huruf a, b KUHAP. Akan tetapi, terdapat perbedaan dalam mekanisme menyusun surat dakwaan antara dakwaan tindak pidana umum dengan dakwaan tindak pidana khusus dalam hal ini tindak pidana korupsi, letak perbedaannya hanya melakukan suatu penguraian perbuatan yang dilakukan oleh pelaku. Dimana didalam tindak pidana korupsi ini, Jaksa Penuntut Umum harus teliti dalam melakukan penguraian perbuatan berdasarkan fakta-fakta, bukti-bukti, serta sistem pembuktian yang harus diperhatikan oleh Jaksa Penuntut Umum, sehingga Jaksa Penuntut Umum dapat menentukan Pasal mana yang dapat di berlakukan terhadap pelaku.

Jaksa Penuntut Umum dalam menyusun surat dakwaan, yang mana di dalam surat dakwaan itu terdapat dugaan tindak pidana korupsi, maka dalam hal ini, Jaksa Penuntut Umum harus lebih memberikan perhatiannya kepada ketentuan peraturan perUndang-undangan diluar ketentuan KUHP dan KUHAP, sebab apabila di dalam surat dakwaan tersebut terdapat dugaan tindak pidana korupsi, maka perkara tindak pidana korupsi itu lah yang harus di dahulukan penyelesaiannya.

II. Akibat Hukum Terhadap Putusan Hakim Mahkamah Agung No.2642 K/Pid/2006 Bila Mana Didalam Putusan Hakim Mahkamah Agung Tersebut Terdapat Surat Dakwaan Tindak Pidana Korupsi Yang

Diajukan Jaksa Penuntut Umum Tidak Memenuhi Syarat Materil Dari Suatu Dakwaan.

Leden Marpaung, memberikan pengertian tentang putusan hakim: ”Bahwa putusan adalah hasil atau kesimpulan dari sesuatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat berbentuk tertulis maupun lisan”

Insititusi hakim terdapat beberapa macam bentuk putusan hakim didalam buku yang berjudul Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana Teori, Praktik, Teknik Penyusunan, dan Permasalahannya karangan Lilik Mulyadi membagi 3 (tiga) bentuk Putusan Hakim, antara lain:

1. Putusan bebas

2. Putusan Pelepasan Dari Segala Tuntutan Hukum 3. Putusan Pemidanaan.

Ketiga bentuk putusan hakim tersebut diatas merupakan kutipan dari satu buku, akan tetapi, mengenai putusan hakim masih banyak lagi dikenal bentuk putusan hakim.

Pengaturan unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam suatu putusan hakim diatur dalam Pasal 197 ayat(1) KUHAP, dan apabila didalam putusan hakim tersebut terdapat unsur-unsur yang dapat membatalkan putusan hakim tersebut, misalnya mengenai surat dakwaan yang tidak memenuhi unsur-unsur dari syarat materil,

maka sesuai dengan ketentuan Pasal 197 ayat(2) KUHAP, putusan hakim tersebut batal demi hukum.

B. SARAN

1. Penyusunan surat dakwaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparatur kejaksaan dalam hal ini Jaksa Penuntut Umum selaku penuntutan dalam perkara pidana baik umum maupun khusus diwajibkan mengetahui bentuk surat dakwaan, mekanisme pembuktian, serta sistem pembuktian yang dianut di dalam Undang-undang tindak pidana korupsi, sehingga surat dakwaan tersebut dapat dikatakan telah memenuhi ketentuan Pasal 143 ayat(2) KUHAP serta ketentuan-ketentuan peraturan Per-Undang-undangan yang terkait terhadap pemenuhan syarat materil dari suatu surat dakwaan tindak pidana korupsi.

2. Aparatur penegak hukum diluar Jaksa Penuntut Umum, hakim dalam hal ini memiliki peran yang sangat penting dalam mendukung terciptanya surat dakwaan yang baik dan benar sesuai dengan ketentuan peraturan Per-Undang-undangan yang berlaku, dakwaan bagi hakim sebagai dasar pemeriksaan serta penentu bagi hakim dalam membuat putusannya, maka dengan ini para hakim seyogyanya dalam menerapkan peraturan hukum kedalam suatu peristiwa harus tepat pada fungsinya, khususnya dalam menilai surat dakwaan baik tindak pidana umum maupun tindak pidana khusus, apakah surat dakwaan tersebut telah memenuhi ketentuan Pasal 143 ayat (2) KUHAP dan peraturan-peraturan terkait lainnya, selain hakim diwajibkan mengetahui serta menerapkan makna dari pasal-pasal peraturan perundang-undangan khususnya yang mengandung

tentang unsur-unsur yang terkandung dalam syarat materil dari suatu surat dakwaan, jikalau hakim lalai dalam menerapkan pasal-pasal yang berhubungan dengan unsur-unsur syarat materil maka kelalaian tersebut akan berdampak negatif yakni pembatalan terhadap putusan yang dibuat oleh hakim, hal ini diatur dalam Pasal 197 ayat (2) KUHAP.

DAFTAR PUSTAKA

E.Utrecht, Saleh Djindang, Moh, 1983 "Pengantar Dalanm Hukum Indonesia, Cetakan Kesebelas, Penerbit PT.Ichtiar Baru, Jakarta

Hamzah, A, Dahlan, Irdan, 1987 "Surat Dakwaan", Cetakan Pertama, Penerbit Alumni, Bandung

Hamrat, Hamid, M.Husein, Harun, 1992 "Pembahasan Permasalahan KUHAP Bidang Penuntutan dan Eksekusi", Edisi Pertama, Cetakan Pertama, Penerbit:Sinar Grafika, Jakarta

Hamzah, Andi, 1996 "Hukum Acara Pidana Indonesia", Penerbit CV.Sapta Artha Jaya, Jakarta

Hamzah, Andi, 1996 "Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi”, Penerbit: Sinar Grafika, Jakarta

Hamzah, Jur.Andi, 2008 "Hukum Acara Pidana Indonesia", Penerbit Sinar Grafika, Edisi Kedua, Jakarta

Harahap, M.Yahya, 1985 "Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Jilid Pertama ", Cetakan Pertama, Penerbit: Pustaka Kartini, Jakarta

Harahap, M.Yahya, 1985 "Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Jilid II. Penerbit Pustaka Kartini, Jakarta

Harahap, M.Yahya, 2006 "Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan Dan Penuntutan", Edisi Kedua, Cetakan Ke-8, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta

Harahap. M.Yahya, 2008 "Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Edisi Kedua", Penerbit Sinar Grafika, Jakarta

Hartanti, Evi, 2008 "Tindak Pidana Korupsi Edisi Kedua", Cetakan Kedua, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta

Marpaung, Leden, 1992 "Proses Penanganan Perkara Piduna Bagian Kedua Di Kejaksaan Dan Pengadilan NegeriUpaya Hukum dan Eksekusi Edisi Pertama", Cetakan Pertama, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta

Marpaung, Leden, 1995 "Putusan Bebas Masalah dan Pemecahannya Edisi Pertama", Cetakan Pertama, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta

Marzuki, Peter Mahmud, 2008 "Penelitian Hukum", Penerbit Kencana, Edisi Pertama, Cetakan Ke-4, Jakarta

M Husein, Harun, 1994 "Surat Dakwaan Tehnik Penyusunan, Fungsi, Dan Permasalahannya", Penerbit Rineka Cipta, Jakarta

Moeljatno, 2008 "Azas-Azas Hukum Pidana", Penerbit Rineka Cipta, Edisi Revisi, Jakarta

M.Syamsudin, 2007 "Mahir Menulis Legal Memorandum", Penerbit Kencana Prenada Media, Cetakan Ke-3, Jakarta

Mulyadi, Lilik, 2007 "Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Normatif, Teoritis, Praktik Dan Permasalahannya", Cetakan Pertama, Penerbit PT. Alumni, Bandung

Mulyadi, Lilik, 2007 "Hukum Acara Pidana Suatu Tinjaun Khusus Terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi dan Putusan Peradilan” , Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung

Mulyadi, Lilik. 2007 "Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana Teori, Praktik. Teknik Penyusunan, dan Permasalahan", Cetakan Pertama, Penerbit: Citra Aditya Bakti, Jakarta

Nasution, A.Karim, 1972 "Masalah Surat Tuduhan Dalam Proses Pidana", Muda Pati Adhyaksa, Kepala Direktorat Khusus Bidang Operasi Kejaksaan Agung RI, Jakarta

Pradja, R. Achmad.S.Soemadi, 1985 "Surat Dakwaan", Penerbit Sinar Bandung, Bandung

Prodjodikoro, R.Wirjono, 1974 " Hukum Acara Pidana Di Indonesia", Penerbit Sumur Bandung, Jakarta

Prakoso, Djoko, 1981 "Tugas dan Peran Jaksa Dalam Pembangunan", Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta

Prinst, Darwan, 2002 "Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi", Cetakan Pertama, Penerbit PT.Citra Aditya Bakti, Medan

Sembiring, Tambah, 1992 "Proses Pemeriksaan Perkara Pidana Di Pengadilan Negeri", Penerbit Universitas Sumatera Utara Press (USt1 PRESS), Medan

Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri, 2009 "Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat", Penerbit PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta

Syahrin, Alvi, "Bahan Mata Kuliah Metodologi Penelitian Hukum Pasca Sarjan Hukum USU

Soeroso, R, 2001 "Pengantar Ilmu Hukum", edisi pertama, Cetakan ke-empat, Penerbit Sinar Gratika, Jakarta

Subagyo, P.Joko, 2006 "Metode Penelitian Dalam Teori Dan Praktek", Penerbit Rineka Cipta, Cetakan Ke-5. Jakarta

Suharto, RM, 1994 "Penuntutan Dalam Praktek Peradilan", Penerbit Sinar Grafika, Jakarta

Waluyadi, 1999 "Pengetahuan Dasar Hukum Acara Pidana", Cetakan Pertama, Penerbit Mandar Maju, Bandung

Surat Edaran :

Surat Edaran Jaksa Agung RI. No.SE-004/JA/11/1993 tanggal 16 November 1993

Surat Edaran Jaksa Agung RI No.SE-004/J.A/11/1993 tanggal 16 November 1993 dan Surat Edaran Jaksa Muda Tindak Pidana Umum No.B-b07/E111/1993 tanggal 22 November 1993.

Per-Undang-undangan :

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, 2003, Penerbit Karya Anda, Surabaya

Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, 2004, Bandung, Penerbit Fokusmedia

Undang-Undang No.S Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

Undang-Undang No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Undang-Undang No.31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Dokumen terkait