• Tidak ada hasil yang ditemukan

R Tumenggung Moch Singer (Bupati Sumedang 1947-1949)

Dalam dokumen Berdirinya Kabupaten Sumedang. (Halaman 57-62)

53 Priangan Shuu , 20 Agustus 1605.

Foto 32: R Tumenggung Moch Singer (Bupati Sumedang 1947-1949)

Sumber: Koleksi Museum Prabu Geusan Ulun, Sumedang.

Meskipun pemerintahan RI di Kabupaten Sumedang telah terbentuk, namun masa depan kemerdekaan mendapat ancaman dengan kembalinya Belanda ke Indonesia tanggal 29 September 1945. Mereka menginjakkan kakinya kembali di Indonesia dengan membonceng Allied Forces Netherlands East-Indies (AFNEI) yakni Pasukan Sekutu yang dibentuk oleh South East Allied Command (SEAC) dengan tugas, (1) melucuti dan mengembalikan tentara Jepang ke negaranya; dan (2) mengupayakan pengembalian kekuasaan kolonial Belanda

57

di Indonesia.56 Dengan tugasnya itu, masa depan

kemerdekaan Indonesia mendapat ancaman serius dari negara bekas penjajahnya.

Di lain pihak, ketika masa depan kemerdekaan terancam, Republik Indonesia belum memiliki tentara reguler. Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang dibentuk tanggal 30 Agustus 1945 bukanlah tentara reguler karena tugas utamanya bukan untuk mempertahankan kedaulatan negara, tetapi hanya untuk membantu korban perang.57 Di

Jawa Barat, BKR didirikan di daerah-daerah dengan pusatnya di ibu kota keresidenan. Salah satunya adalah BKR Keresidenan Priangan yang dipimpin oleh Arudji Kartawinata (mantan Daidanco Cimahi) dengan markas di Bandung.58 Selain Arudji Kartawinata, Beberapa perwira

bekas Peta, seperti A. H. Nasution, Abdullah, Suriadarma, Sukanda Bratamanggala, Omon Abdurrahman, Syamsu, Hidayat, dan Suhari juga ikut bergabung dengan BKR Priangan.59 Setelah diangkat sebagai Ketua BKR, Arudji

Kartawinata kemudian membentuk BKR di lingkungan Keresidenan Priangan. BKR Sumedang dipimpin oleh Umang Karja Sudjana dengan anggota bekas Peta, Heiho, dan organisasi lainnya yang ada di Sumedang.60

56 Ricklefs, 1991: 323.

57 Sebelum resmi disahkan, BKR merupakan bagian dari Badan

Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP) yang didirikan di Jakarta tanggal 20 Agustus 1945. Badan ini bertujuan hendak memberikan bantuan dan pertolongan kepada rakyat yang menderita akibat peperangan. Selain itu, badan ini pun bertugas memelihara keselamatan rakyat supaya tidak menjadi korban perang (Tjahaja, 23 Agustus 1945).

58Tjahaja, 28-29 Agustus 1945.

59 Sedjarah Militer Kodam VI Siliwangi, 1968: 41-42.

60 Abdurachman, 1979: 7-8; Wawancara dengan Abah Ili (90 Tahun)

58

Selain membentuk BKR, pemerintah pun tidak melarang para pemuda untuk membentuk badan kelasyakaran. Badan kelaskaran ini merupakan wadah

perjuangan para pemuda dalam menegakkan

kemerdekaan, tetapi tidak mau bergabung dengan BKR. Pembentukan laskar perjuangan ini terjadi di setiap daerah di Jawa Barat. Demikian juga dengan di Sumedang, dibentuklah beberapa laskar perjuangan, di antaranya Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) di bawah pimpinan Satia, Laskar Rakyat Inspektorat Sumedang di bawah pimpinan Kapten Jaya Iskandar, dan LASWI.61

BKR bersama-sama dengan laskar perjuangan bahu membahu mempertahankan kemerdekaan, meskipun gerakan mereka itu tidak terkoordinasi dengan baik. Akibatnya, sering terjadi kekacauan yang sudah barang tentu merugikan perjuangan bangsa mempertahankan kemerdekaan. Di lain pihak, gerakan NICA untuk menjajah kembali Indonesia semakin intensif sehingga mengancam masa depan kemerdekaan bangsa Indonesia. Sehubungan dengan itu, pada 5 Oktober 1945 dikeluarkanlah Maklumat Pemerintah Nomor 6 tentang Pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR).62 Pada 9 Oktober 1945, Mr.

Kasman Singodimedjo, Ketua KNIP, mengeluarkan siaran kilat mobilisasi pemuda untuk mengisi kekuatan bagi TKR. Secara teknis, pembentukan TKR diserahkan kepada Oerip Soemohardjo, mantan perwira KNIL yang pada 14 Oktober 1945 bersama-sama dengan 13 orang rekannya menyatakan berdiri di belakang Republik Indonesia. Pulau Jawa dibagi menjadi tiga komandemen,

61 Lubis et al., 2003: 212-213; Sedjarah Militer Kodam VI Siliwangi,

1968: 42; Smail, 1964: 87; Sukatma, 1995: 45.

59

salah satunya adalah Komandemen I/Jawa Barat yang dipimpin oleh Didi Kartasasmita dengan pangkat Jenderal Mayor dengan markas di Kota Tasikmalaya.63 Ketika

Markas Komandemen I/Jawa Barat berada di Purwakarta, sekitar akhir Oktober 1945, Didi Kartasasmita membentuk tiga divisi dan tiga belas resimen, salah satunya Resimen XIII/Sumedang yang dipimpin oleh Umang Karja Sudjana. Resimen XIII/Sumedang berkekuatan empat batalyon, yaitu Batalyon I/Tanjungsari dengan komandan Mustaram Santoso; Batalyon II/Conggeang dengan komandan Dadi Ahdi; Batalyon III/Situraja di bawah komandan Atju Samsudin; dan Batalyon IV/Kota Sumedang di bawah komandan E. Sastra.64 Pada akhir tahun 1946 Resimen

XIII/Sumedang dibubarkan oleh Letjen Oerip Soemohardjo (Kepala Staf TRI) karena hanya bersenjatakan bambu runcing. Keempat batalyon ini tidak memiliki satu pucuk senjata pun karena gagal melucuti senjata tentara Jepang.65

Ketika Belanda melancarkan Agresi Militer I (21 Juli 1947), beberapa kesatuan tentara RI mundur ke Sumedang, antara lain Resimen VI pimpinan Mayor Sadikin, Batalyon 27 pimpinan Kapten Sentot Iskandar Dinata, Kompi Amir Machmud (semuanya bermarkas di Situraja), Resimen V pimpinan Mayor Rambe, dan Resimen VII pimpinan Mayor Omon Abdulrahman yang bermarkas di Buah Dua. Mereka kemudian membentuk Gabungan Gerilya Djawa Barat Oetara (GGDBO) yang memiliki pasukan penggempur (mobielle troep). GGDBO kemudian membangun beberapa pos pertahanan di beberapa daerah yang strategis, yaitu di sekitar Sindangjati, Sumedang

63 Soemarsono, 1993: 131-132. 64 Sukatma, 1995: 43-44.

60

Utara, Tanjungkerta, Conggeang, Cipunagara, Ciuyah, Cimalaka, dan perbatasan Sumedang-Bandung Utara.66 Pos

pertahanan ini bertujuan untuk mendeteksi pergerakan tentara Belanda sehingga dapat diketahui lebih awal oleh para pejuang.

Dalam Agresi Militer I itu, pada pukul 18.00 pasukan Belanda berhasil menahan Lili Natakusumah, Wedana Tanjungsari. Berita penahanan tersebut sampai kepada Mayor R. Sadikin dan segera memerintahkan Danyon 27, Kapten Sentot Iskandar Dinata, untuk mempertahankan wilayah Kota Sumedang yang akan dibantu oleh Kompi Lukas Kustaryo. Untuk menghambat gerak maju tentara Belanda, Kapten Sentot Inskandar Dinata memerintahkan Kompi Amir Machmud untuk menghancurkan jembatan dan membuat rintangan di sepanjang jalan yang akan dilalui oleh tentara Belanda. Perintah itu dilaksanakan oleh Kompi Amir Mahmud yang mendapat bantuan dari Letnan Karisman, Kepala Pabrik Persenjataan Cijeruk sehingga gerak maju tentara Belanda menjadi terhambat.67 Tanggal 22 Juli 1947, tentara

Belanda mulai memasuki Kota Sumedang yang dihadang oleh Kompi Lukas Kustaryo dan Kompi Mursyid sehingga terjadi pertempuran sengit selama dua jam. Oleh karena persenjataan yang tidak seimbang, kedua kompi itu mundur dari medan pertempuran sehingga Kota Sumedang jatuh ke tangan Belanda. Bupati R. Hasan Suria Satjakusumah ikut mundur ke daerah pegunungan sehingga Belanda mengangkat R. Tumenggung Moch. Singer sebagai Bupati Sumedang. Dengan jatuhnya Kota Sumedang, pertahanan Republik dipusatkan di daerah

66 Sukatma, 1995: 47.

61

pegunungan, di antaranya daerah segitiga Dayeuh Luhur- Situraja-Margawindu.68

Tanggal 17 Januari 1948, Perjanjian Renville ditandatangani yang mengakibatkan harus hijrahnya TNI ke Jawa Tengah-Yogyakarta. Akan tetapi, secara diam-diam Divisi I/Siliwangi mempertahankan pasukan teritorial di Sumedang, dengan tujuan untuk membina rakyat supaya tetap setia kepada Republik Indonesia. Pasukan teritorial ini dibentuk sampai ke tingkat desa ini berada di bawah komando Mayor R. Moch. S. Hadi. Pada awalnya, pasukan ini bermarkas di Tanjungkerta, tetapi kemudian berpindah-pindah supaya tidak diketahui oleh Belanda.69

Dalam dokumen Berdirinya Kabupaten Sumedang. (Halaman 57-62)

Dokumen terkait