• Tidak ada hasil yang ditemukan

RANGKUMAN DAN PEMBAHASAN

Menurut Dharmawan (2007), dua mazhab sosiologi nafkah yang dikemukakan oleh Sajogyo dan para ilmuwan sosial dari IPB serta mazhab dari barat-Sussex (Chambers and Conway, de Haan, Bebbington and Butterbury, Scoones, Ellis) terdapat dua pandangan yang berbeda dalam melihat penyebab kemiskinan dan faktor yang mempengaruhi strategi nafkah yang dilakukan oleh orang atau sekelompok orang (rumah tangga). Menurut Sajogyo, kemiskinan dilihat dari dimensi ketimpangan dan ketidakberdayaan penguasaan akses pada sumber-sumber nafkah seperti tanah dan sumberdaya alam lainnya. Kemiskinan juga dilihat sebagai akibat dari proses modernisasi-kapital. Modernisasi pedesaan memicu perubahan sosial agraria. Berbeda halnya dengan kemiskinan yang dikemukakan oleh Sussex. Kemiskinan yang terjadi sebagai akibat bekerjanya kekuatan politik-kapital global yang menghancurkan sumberdaya alam (ecological fragility). Akibat langsung dari perubahan tata-ekosistem kawasan tersebut.

Menurut Sajogyo dalam Dharmawan (2007), basis nafkah rumah tangga petani adalah segala aktivitas ekonomi pertanian dan ekonomi non-pertanian. Karakteristik penghidupan dan nafkah yang dicirikan oleh bekerjanya dua sektor ekonomi, juga sangat ditentukan oleh sistem sosial-budaya setempat. Terdapat tiga elemen sistem sosial terpenting yang sangat menentukan strategi nafkah yang dibangun oleh petani kecil dan rumahtangganya. Ketiga elemen tersebut adalah: (1) infrastruktur sosial (kelembagaan dan tatanan norma sosial yang berlaku), (2) struktur sosial (lapisan sosial, struktur agraria, struktur demografi, pola hubungan pemanfaatan ekosistem lokal, pengetahuan lokal), (3) supra-struktur sosial (ideologi, etika-moral ekonomi, sistem nilai yang berlaku).

Mazhab Barat yang dikemukakan oleh Dharmawan (2007) memandang sistem penghidupan dan nafkah pedesaan dalam dinamika sosio-ekologis suatu ekosistem. Bentuk-bentuk strategi nafkah yang terbangun akan sangat ditentukan bagaimana petani dan rumah tangganya melakukan kombinasi-kombinasi sumberdaya nafkah yang tersedia. Terdapat lima jenis livelihood resources yang bisa dimanfaatkan untuk bertahan hidup atau sekedar untuk menghadapi krisis ekonomi serta mengembangkan derajat kesejahteraan rumah tangga petani2, yaitu: (1) financial capital, (2) physical

capital, (3) natural capital, (4) human capital, (5) sosial capital. Pemilihan strategi

nafkah akan sangat ditentukan oleh rasionalisme yang dianut oleh aktor-nafkah dalam memanfaatkan sumberdaya yang tersedia dihadapannya.

Kemiskinan Nelayan

Menurut Purwodarminto (2011), secara umum nelayan dapat diartikan sebagai orang yang mata pencahariannya menangkap ikan, penangkap ikan di laut. Menurut UU No 6 Tahun 1964, pengertian nelayan dibedakan menjadi dua, yaitu nelayan pemilik dan nelayan penggarap. Nelayan pemilik ialah orang atau badan hukum yang dengan hak apapun berkuasa atas sesuatu kapal atau perahu yang dipergunakan dalam usaha penangkapan ikan. Nelayan penggarap ialah semua orang yang sebagai kesatuan dengan menyediakan tangannya turut serta dalam usaha penangkapan ikan di laut.

Lebih lanjut Retnowati (2011) mengemukakan bahwa nelayan dapat dibedakan sebagai berikut:

2 Pendapat ini dikemukakan oleh de Haan (2000) dan Ellis (2000) yang ditulis dalam penelitian Sistem Penghidupan dan Nafkah Pedesaan: Pandangan Sosiologi Nafkah (Livelihood Sociology) Mazhab Barat dan Mazhab Bogor yang ditulis oleh Arya Hadi Dharmawan (2007).

1. Nelayan pemilik adalah orang atau perseorangan yang melakukan usaha penangkapan ikan, dengan hak atau berkuasa atas kapal/perahu dan/atau alat tangkap ikan yang dipergunakan untuk menangkap ikan.

2. Nelayan penggarap adalah seseorang yang menyediakan tenaganya atau bekerja untuk melakukan penangkapan ikan yang pada umumnya membentuk satu kesatuan dengan yang lainnya dengan mendapatkan upah berdasarkan bagi hasil penjualan ikan hasil tangkapan.

3. Nelayan tradisional adalah orang perorangan yang pekerjaannya melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan perahu dan alat tangkap yang sederhana.

4. Nelayan kecil pada dasarnya berasal dari nelayan tradisional hanya saja dengan adanya modernisasi/motorisasi perahu dan alat tangkap mereka tidak lagi semata-mata mengandalkan perahu tradisional melainkan menggunakan diesel atau motor.

5. Nelayan gendong adalah nelayan yang dalam keadaan senyatanya dia tidak melakukan penangkapan ikan karena kapal tidak dilengkapi dengan alat tangkap melainkan berangkat dengan membawa modal dari juragan yang akan digunakan untuk membeli ikan di tengah laut kemudian akan dijual kembali.

Menurut Retnowati (2011), kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Namun, menurut ILO (1977) dalam penelitian Agunggunanto (2011), kebutuhan dasar dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu pertama, kebutuhan dasar yang diperlukan sekali untuk mempertahankan hidupnya, yaitu tercukupinya makanan, perumahan dan pakaian, seperti peralatan dan perlengkapan rumah tangga. Kedua, kebutuhan lainnya termasuk penyediaan pelayanan utama yang diberikan untuk masyarakat seperti air minum, sanitasi, pengangkutan umum dan kesehatan, fasilitas pendidikan dan budaya. Menurut Kornita dan Yusuf (2009), karakteristik keluarga miskin biasanya diwarnai pendidikan yang relatif rendah, karena terjadi semacam vircius cycle atau lingkaran setan. Pendidikan yang rendah akan memiliki pekerjaan yang rendah dan tentunya memperoleh pendapatan yang rendah pula, kemampuan membiayai pendidikan rendah dan seterusnya.

Batasan kemiskinan dibangun dari kebutuhan konsumsi untuk hidup secara sehat bagi manusia dewasa. Menurut Golden Standard, tiap orang butuh 2.300 kcal/hari. Jika konsumsi kalori seseorang kecil dri 70 persen, maka ia tergolong miskin. Namun, menurut FAO dan WHO, kebutuhan manusia agar dapat hidup normal cukup 1.600 kcal/hari ditambah 10 protein. Beda lagi dengan keduanya, menurut BPS cukup hanya 2.100 kcal/hari (Syahyuti 2006). Selain itu, Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) menyatakan bahwa ada 4 dimensi pokok kondisi kemiskinan di Indonesia, yaitu kurangnya kesempatan, rendahnya kemampuan, kurangnya jaminan, serta ketidakberdayaan. "Keluarga Miskin" menurut KPK paling kurang sekali seminggu makan daging, ikan, dan telur; sekali setahun seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satul setel pakaian baru; dan lantai rumah paling kurang 8m2 per penghuni. "Keluarga Miskin Sekali" jika tidak mampu memenuhi satu/lebih indikator pada umumnya seluruh anggota keluarga makan dua kali sehari/lebih; memiliki pakaian berbeda untuk di rumah, bekerja, sekolah, dan berpergian; serta bagian lantai terbuat bukan dari tanah.

Sementara menurut Fauzi (2005), hampir sebagian besar nelayan kita berpendapatan kurang dari US$ 10 per kapita per bulan. Jika dilihat dalam konteks

Millenium Development Goal, pendapatan sebesar itu sudah termasuk dalam extreme poverty, karena lebih kecil dari US$ 1 per hari. Terbukti bahwa penghasilan keluarga

nelayan yang diperoleh oleh suami mereka yang berasal dari kegiatan melaut hanya sekitar Rp 250.000-Rp 500.000 per bulan (Zid 2011). Kondisi kemiskinan nelayan merupakan masalah yang kompleks sebagai akibat dari ketidakberdayaan nelayan terhadap akses sumberdaya alam yang tersedia.

Selanjutnya Retnowati (2011) menyatakan bahwa kemiskinan dipahami dalam berbagai cara dan pemahaman utamanya mencakup:

a. Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanandasar; b. Gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial,

ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang ekonomi;

c. Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna “memadai” disini sangat berbeda-beda, melintasi bagian politik dan ekonomi di seluruh dunia.

Permasalahan utama yang dominan dihadapi oleh keluarga nelayan adalah masalah kemiskinan yang disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dan keterampilan dalam mengelola sumberdaya keuangan keluarga, manajeman alokasi waktu dan pekerjaan yang kurang efisien, keterampilan pengolahan hasil perikanan yang masih terbatas, dan rendahnya posisi tawar menawar (bargaining power position) bagi nelayan kecil yang dikarenakan lemahnya sistem kelembagaan dan keterampilan berorganisasi (Puspitawati 2013). Prasetyo (2004) dalam Puspitawati (2013) membuktikan bahwa keluarga nelayan masih mempunyai kemampuan yang rendah dalam mengelola keuangan keluarga yang dibuktikan dengan rendahnya perencanaan keuangan dan rendahnya pelaksanaan strategi penghematan pengeluaran terutama pada saat musim melaut dan sedikit melakukan strategi penambahan pendapatan keluarga.

Menurut Widodo (2011), umumnya mereka menggantungkan hidupnya dari pemanfaatan sumberdaya laut dan pantai yang membutuhkan investasi besar dan sangat bergantung pada musim. Sebagian besar dari mereka bekerja sebagai nelayan kecil, buruh nelayan, pengolah ikan skala kecil dan pedagang kecil karena memiliki kemampuan investasi terbatas. Nelayan kecil hanya mampu memanfaatkan sumberdaya di daerah pesisir dengan hasil tangkapan yang cenderung terus menurun akibat persaingan dengan kapal besar.

Menurut Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Pesisir (2006) dalam Retnowati (2011), sebab-sebab pokok yang menimbulkan kemiskinan pada nelayan adalah:

a. Belum adanya kebijakan, strategi dan implementasi program pembangunan kawasan pesisir dan masyarakat nelayan yang terpadu di antara para pemangku kepentingan pembangunan.

b. Adanya inkonsistensi kuantitas produksi (hasil tangkapan), sehingga keberlanjutan aktivitas sosial ekonomi perikanan di desa-desa nelayan terganggu.

c. Masalah isolasi geografis desa nelayan sehingga menyulitkan keluar-masuk arus barang, jasa, kapital, dan manusia, yang mengganggu mobilitas sosial ekonomi. d. Adanya keterbatasan modal usaha atau modal investasi, sehingga menyulitkan

nelayan meningkatkan kegiatan ekonomi perikanannya.

e. Adanya relasi sosial ekonomi yang “eksploitatif” dengan pemilik perahu, pedagang perantara (tengkulak), atau pengusaha perikanan dalam kehidupan masyarakat nelayan.

f. Rendahnya tingkat pendapatan rumah tangga nelayan, sehingga berdampak negatif terhadap upaya peningkatan skala usaha dan perbaikan kualitas mereka. Berdasarkan pemaparan penyebab kemiskinan yang dikemukakan oleh Retnowati (2011), kemiskinan nelayan sesuai dengan kemiskinan yang dikemukakan oleh Sajogyo yaitu kemiskinan akibat adanya eksploitasi dari adanya hubungan patron-client.

Kondisi Perempuan dalam Komunitas Nelayan

Perempuan nelayan adalah istri seorang kepala rumah tangga nelayan yang berperan sebagai sekertaris merangkap bendahara, menjual hasil tangkapan dan mengolah ikan pasca panen, serta menyiapkan bahan baku usaha keluarga. Perempuan dalam keluarga berpenghasilan rendah memiliki potensial yang terbatas untuk meningkatkan derajat kesehatan diri dan keluarga, disebabkan kemiskinan dan sering menyita waktunya untuk mencari penghasilan tambahan yang mengalami kesulitan karena pendidikan terbatas, dan situasi akan semakin buruk bila perempuan itu kepala rumah tangga (Anwar 2007 dalam Arktut 2013). Biasanya pada masyarakat nelayan, istri juga memiliki tingkatan sosial yang mengikuti tingkatan suaminya, misalnya ada istri nelayan buruh dan ada istri nelayan kaya (juragan). Status sosial inilah yang akan membedakan strategi bertahan hidup yang dilakukan dalam meningkatkan pendapatan keluarga (Zid 2011). Selain istri, kegiatan ekonomi dalam meningkatkan pendapatan keluarga nelayan seringkali melibatkan anak perempuan, seperti menunggu dagangan hasil olahan ikan di pasar, menjadi buruh membersihkan ikan. Biasanya anak perempuan ini bekerja setelah mereka pulang dari sekolah. Pada perempuan yang menginjak remaja, tanggung jawab yang diberikan oleh orang tua menjadi semakin besar, mereka harus membantu menyelesaikan pekerjaan rumah, mencuci pakaian, hingga mengasuh adik (Widodo 2012).

Menanggapi mazhab yang dikemukakan oleh Sajogyo dan Mazhab Barat, kemiskinan perempuan menurut Cahyono (2005), disebabkan oleh banyak faktor

pertama, kemiskinan yang dialami oleh perempuan karena kesulitan untuk

mendapatkan akses terhadap sumberdaya ekonomi. Kedua, kemiskinan perempuan karena adanya kerentanan hidup, kesempatan dan suara, serta didukung pemerintah yang sangat bias gender. Oleh karena itu, kemiskinan perempuan sesuai dengan kemskinan yang dikemukakan oleh Sajogyo, yaitu kemiskinan yang diakibatkan oleh kesulitannya dalam penguasaan pada sumber-sumber nafkah.

Kemiskinan yang terjadi pada perempuan berawal dari adanya nilai-nilai sosial yang membuat wanita banyak mengerjakan hal-hal dalam rumah tangga yang tidak menghasilkan upah seperti melakukan pekerjaan rumah tangga atau sekedar mengasuh anak (ILO 2004). Kondisi demikian telah dianggap sebagai hal yang lumrah karena dalam budaya Jawa, perempuan telah lama dikonstruksikan secara sosial maupun budaya untuk menjadi “kanca wingking”3 (Nugraheni S 2012). Menurut Widodo (2012), keterlibatan perempuan dalam mencari nafkah untuk keluarga di wilayah pesisir atau desa-desa nelayan tidak terlepas dari sistem pembagian kerja secara seksual (the

division of labour sex) yang berlaku pada masyarakat setempat. Menurut Kiara (2014),

rata-rata kontribusi perempuan nelayan terhadap pendapatan keluarga hampir mencapai 48%. Kendati berkontribusi besar, nasib perempuan nelayan masih memprihatinkan. Pemberdayaan yang sangat minim, padahal mereka berpotensi memperkuat pilar penghidupan keluarga. Dalam membantu meningkatkan pendapatan keluarga, perempuan nelayan rela bekerja lebih dari 17 jam dalam satu hari. Tak jarang, kontribusi perempuan dalam bekerja disebabkan oleh keadaan bahwa perempuan

3 Perempuan dikonstruksikan hanya berkutat pada berbagai urusan rumah tangga dan geraknya pun dibatasi dalam lingkup rumah tangga.

menjadi kepala keluarga. Penyebab utama perempuan menjadi kepala keluarga adalah migrasi, perceraian, pengabaian, pembatasan sosial, menjadi janda dalam waktu yang lama, menjadi orang tua tunggal di usia muda, secara umum disebabkan karena ketidakadilan gender yang menimpa anak-anak dan perempuan mengakibatkan beban tanggung jawab mereka yang lebih berat (Jurnal Perempuan 2005).

Menurut Indraswari (2009), World Bank (2003) mengidentifikasi empat dimensi kemiskinan, yaitu:

1. Women's lack of empowerment (Terbatasnya pemberdayaan perempuan)

Masalah pemberdayaan perempuan meliputi dua hal. Pertama, pemberdayaan ekonomi yang terkait dengan minim/lemahnya akses perempuan terhadap institusi keuangan formal. Kedua, masalah pemberdayaan juga terkait dengan minim/lemah-nya suara perempuan dalam pengambilan keputusan di tingkat nasional dan regional.

2. Women's lack of oppurtunity (Terbatasnya kesempatan perempuan)

Ada ketidaksamaan posisi laki-laki dan perempuan dalam partisipasi angkatan kerja dan status pekerjaan. Pada masyarakat nelayan, perempuan nelayan hampir sering menjadi buruh yang memiliki upah yang cukup minim.

3. Women's lack of capacity (Terbatasnya kapasitas perempuan)

Kapasitas perempuan antara lain dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan derajat kesehatan mereka. Menurut data BPS tahun 2004, perempuan yang buta huruf lebih banyak dibandingkan laki-laki yaitu sebesar 11,71%. Data tersebut mengisyaratkan bahwa pendidikan bagi perempuan masih dianggap tidak sepenting pendidikan bagi laki-laki.

4. Women's lack of security (Terjadinya kekerasan perempuan)

Kekerasan terhadap perempuan tidak selalu ada korelasi antara kemiskinan dan kekerasan, namun disinyalir kemiskinan bisa menjadi salah satu faktor pencetus kekerasan dalam rumah tangga dengan korban utama perempuan dan anak. Menurut Fakih (1999) dalam Hikmah et al. (2008), menerangkan bahwa ada lima manifestasi ketidakadilan gender yang dijabarkan sebagai berikut:

1. Terjadi marjinalisasi perempuan.

2. Terjadinya subordinasi pada salah satu jenis kelamin. 3. Adanya pelebelan negatif (stereotype).

4. Adanya kekerasan (violence).

5. Peran gender perempuan adalah mengelola rumah tangga, maka banyak perempuan menanggung beban kerja domestik lebih banyak dan lebih lama. Menurut Tain (2013), kemiskinan pada rumah tangga nelayan setidaknya dapat dikelompokkan menjadi tiga bentuk kemiskinan berdasarkan faktor pembentuknya.

Pertama, kemiskinan struktural disebabkan oleh kondisi struktur sosial yang ada

menjadikan mereka tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia, juga akibat tatanan kebijakan yang lebih menguntungkan golongan pemilik modal (nelayan besar). Kedua, kemiskinan kultural melihat kemiskinan berasal dari faktor budaya seperti tatanan sosial yang mengharuskan perempuan bekerja di rumah untuk mengurusi pekerjaan rumah tangga. Ketiga, kemiskinan alamiah terjadi di mana kondisi alam yang tidak mendukung mereka melakukan kegiatan ekonomi produktif ataupun perilaku produksi yang tidak produktif akibat sifat sumberdaya yang bersangkutan. Menanggapi pengelompokkan kemiskinan berdasarkan faktor pembentukannya yang telah dikemukakan sebelumnya, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2006) menjelaskan bahwa secara kultural sebagian masyarakat Indonesia masih dipengaruhi secara kuat oleh budaya tradisional yang berideologi patriarki sehingga kemiskinan kultural yang terjadi pada perempuan adalah

tatanan sosial yang mengharuskan mereka bekerja di rumah. Kemiskinan struktural berupa keterbatasan kaum perempuan untuk memperoleh akses ekonomi (misalnya bekerja untuk memperoleh penghasilan, bukan sekedar menjalankan peran sebagai ibu rumah tangga), berorganisasi dan sebagianya masih berlaku. Sementara itu, kemiskinan alamiah menjelaskan adanya sebagian kaum perempuan yang bersikap pasrah terhadap posisi dirinya dalam kehidupan rumah tangga dan masyarakat, karena secara sadar mereka menganggap demikianlah kodrat sebagai seorang perempuan.

Strategi Bertahan Hidup yang Dilakukan Perempuan Nelayan

Munculnya perilaku strategis dalam menghadapi krisis pada rumah tangga dilatarbelakangi oleh kemiskinan yang memaksa mereka untuk keluar dari keadaan tersebut. Faktor-faktor yang menyebabkan kemiskinan dan karakteristik sosial ekonomi rumah tangga merupakan hal-hal yang mendorong suatu rumah tangga melakukan

survival strategies. Keluarga miskin di pesisir hampir selalu melibatkan seluruh anggota

keluarganya dalam mencari nafkah sebagi upaya untuk bertahan hidup dan sebagai respon dari kondisi keluarga yang serba kekurangan. Anak-anak pada keluarga miskin memasuki dunia kerja lebih awal jika anak-anak pada keluarga berkecukupan. Di samping tenaga kerja anak, tenaga kerja istri juga merupakan asset yang sangat membantu ekonomi keluarga begitu pula apa istri keluarga buruh nelayan (Zid 2011).

Menurut Zid (2011), istri nelayan terbagi menjadi dua yaitu, istri nelayan kaya (juragan) dan istri nelayan buruh. Istri nelayan buruh juga digolongkan menjadi dua, yaitu istri nelayan buruh yang memiliki simpanan uang dan yang tidak memiliki simpanan uang. Cara yang ditempuh pun berbeda–beda. Strategi bertahan hidup yang dilakukan istri nelayan kaya sebagian bekerja dengan cara berjualan barang kebutuhan sehari–hari, sementara istri buruh nelayan terlihat dalam hal pengaturan belanja pangan, sandang, perlengkapan rumah tangga, dan pengaturan simpanan atau tabungan.

Sementara menurut Arkatut (2013) dan Nugraheni S (2012), strategi bertahan hidup yang dilakukan oleh istri nelayan, adalah mengolah hasil tangkapan ikan dan menjadi buruh pengupas udang. Kedua pekerjaan ini dipilih oleh istri nelayan karena tidak membutuhkan keterampilan khusus dan tidak menghabiskan banyak waktu dalam mengerjakannya karena mereka tidak ingin meninggalkan pekerjaan rumah mereka. Adapula yang mengkategorikannya menjadi strategi bertahan hidup di sektor perikanan dan di sektor non perikanan. Strategi bertahan hidup yang termasuk kedalam sektor perikanan adalah pengolahan ikan asin/teri kering, berdagang ikan asin/teri kering, pengumpul kerang, berdagang ikan segar, dan buruh usaha perikanan. Sementara strategi bertahan hidup yang termasuk ke dalam sektor non perikanan adalah penjahit, membuka usaha warung/kios, membuat usaha kue, dan menjadi buruh cuci.

Sementara menurut Widodo (2011), strategi bertahan hidup yang dilakukan oleh istri nelayan dalam membantu meningkatkan penghasilan keluarga terbagi menjadi dua tipe, yaitu strategi ekonomi dan strategi sosial. Strategi bertahan hidup melalui sektor ekonomi adalah membantu menjual hasil tangkapan ikan, memanfaatkan seluruh anggota rumah tangga, diversifikasi pekerjaan, menekan pengeluaran. Sementara untuk sektor sosial adalah mengikuti arisan dan meminjam uang kepada pedagang pengumpul ikan yang nantinya dibayar dengan hasil tangkapan ikan.

Namun, berbeda halnya dengan Kristianti, et all (2014) dikemukakan penggolongan macam strategi bertahan hidup dalam tiga sektor, yaitu: strategi ekonomi serta sosial. Pada masyarakat nelayan strategi ekonomi dilakukan dengan cara: 1) memberdayakan seluruh anggota keluarga untuk menjaga kelangsungan perekonomian rumah tangga. 2) diversifikasi pekerjaan dengan tidak hanya memiliki satu tumpuan mata pencaharian, 3) menekan pengeluaran makan, dan non makan dengan cara

mengurangi porsi makan atau mengurangi frekuensi makan. 4) hutang piutang, dengan meminjam uang tetangga atau saudara ketika kesulitan karena tidak ada bunga. Sedangkan strategi sosial ditempuh dengan beberapa cara seperti: 1) hubungan patron-klien antara pemasok ikan dan nelayan. 2) arisan untuk menghimpun dana tak terduga untuk menjadi simpanan dan bantuan ketika membutuhkan dana.

Lain halnya dengan Septiadi (2013) menurutnya strategi bertahan hidup pada rumah tangga miskin dapat dikategorikan sebagai berikut:

1. Modal sosial yang meliputi pembentukan jaringan sosial informal (meminjam uang kepada tetangga, berhutang ke warung);

2. Alokasi sumber daya manusia yang meliputi pemberdayaan tenaga kerja rumah tangga (anggota rumah tangga ikut bekerja, penambahan jam kerja);

3. Basis produksi yang meliputi usaha diversifikasi sumber pendapatan (ekstensifikasi dan intensifikasi usaha pertanian pada masyarakat petani);

4. Spasial yang meliputi migrasi temporer (usaha non-pertanian); dan

5. Finansial yang meliputi penghematan (pengurangan kuantitas maupun kualitas bahan makanan, menjual barang dan tabungan).

Menurut Wisdaningtyas (2011), mengemukakan ada dua indikator untuk mengukur strategi sosial, yaitu intensitas meminjam kepada patron dan intensitas meminjam kepada tetangga. Menurut Zid (2011), banyak faktor yang menyebabkan jenis pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan, yaitu umur, tingkat pendidikan, status perkawinan dan status sosial.

Beban istri dalam menopang kebutuhan keluarga akan semakin besar karena pendapatan suami yang rendah. Semakin kecil pendapatan rumah tangga yang dihasilkan oleh suami, menuntut semakin besarnya peranan (porsi) istri dalam menyumbangkan pendapatan guna mencukupi kebutuhan rumah tangga (Zein 2000 dalam Nugraheni S 2012). Anggota keluarga yang semakin besar maka peran perempuan (istri nelayan) akan semakin besar untuk menutupi kebutuhan ekonomi yang semakin besar dengan bertambahnya jumlah anggota keluarga. Sealin itu, semakin tinggi tingkat pendidikan perempuan maka peran perempuan akan semakin besar dalam berperan serta membantu ekonomi keluarga (Nugraheni S 2012).

Tabel 1. Pengelompokkan Strategi Bertahan Hidup Perempuan dalam Komunitas Nelayan

Penulis Strategi Sosial Strategi Ekonomi Slamet Widodo

(2011)

- Menjalin hubungan dengan patron,

salah satunya untuk berhutang yang akan dibayar dengan hasil tangkapan ikan - Mengikuti arisan - Membantu menjual hasil tangkapan ikan - Memanfaatkan seluruh anggota rumah tangga - Diversifikasi pekerjaan - Menekan pengeluaran Kristianti, Kusai, Lamun Bathara (2014) - Membangun hubungan dengan patron - Mengikuti arisan untuk menghimpun dana tak terduga untuk menjadi simpanan dan bantuan ketika membutuhkan dana - Memberdayakan seluruh anggota keluarga - Diversifikasi pekerjaan - Menekan pengeluaran makan dan non makan

dengan cara mengurangi frekuensi makan - Berhutang kepada tetangga M. Septiadi (2013)

- Modal sosial yang meliputi pembentukan jaringan sosial - Alokasi sumberdaya manusia - Diversifikasi sumber pendapatan - Melakukan penghematan - Strategi spasial yang meliputi migrasi

SIMPULAN

Berawal dari penghasilan yang rendah, keluarga nelayan sulit untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti pemenuhan kebutuhan pangan, sandang, dan perlengkapan rumah tangga. Tidak kalah penting adalah pemenuhan kebutuhan yang lain yaitu penyedia pelayanan utama yang diberikan bagi masyarakat seperti air minum, sanitasi,

Dokumen terkait