• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Ranitidin HCl

Gambar 1. Struktur Ranitidin Hidroklorida

Menurut Ditjen POM (1995), ranitidin hidroklorida memiliki informasi yaitu: Rumus Molekul : C13H22N4O3S.HCl

Nama Umum : Ranitidin

Pemerian : Serbuk hablur, putih sampai kuning pucat, praktis tidak berbau, peka terhadap cahaya dan kelembaban. Melebur pada suhu lebih kurang 140ºC, dan disertai peruraian. Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, cukup larut dalam etanol,

dan sukar larut dalam kloroform.

Ranitidin HCl (ranin, rantin, renatac, zantac, zantadin) merupakan antagonis kompetitif histamin yang khas pada reseptor H2 sehingga secara efektif dapat menghambat sekresi asam lambung, menekan kadar asam dan volume sekresi lambung. Ranitidin digunakan untuk tukak lambung atau usus dan keadaan hipersekresi yang bersifat patologis. Efek samping dari ranitidin antara lain adalah nyeri kepala, pusing, mual, dan diare. Setelah pemberian oral, ranitidin diserap 39-87%. Ranitidin mempunyai masa kerja cukup panjang, pemberian dosis 150 mg, efektif menekan sekresi asam lambung selama 8-12 jam. Dosis: 150 mg 2 dd atau 300 mg sebelum tidur (Siswandono, 1995).

Ranitidin menghambat reseptor H2 secara selektif. Perangsangan reseptor H2 akan merangsang sekresi asam lambung sehingga pada pemberian ranitidin sekresi asam lambung akan dihambat (Setiabudy, 2008; Tan, 2007).

Daya menghambat senyawa ini terhadap sekresi asam lebih kuat. Tidak merintangi perombakan oksidatif dari obat-obat lain sehingga tidak mengakibatkan interaksi yang tidak diinginkan. Resorpsinya pesat dan baik (Tan, 2007).

Semua antagonis reseptor H2 mengatasi tukak lambung dengan cara mengurangi sekresi asam lambung sebagai akibat penghambat reseptor histamin H2. Terapi antagonis reseptor H2 dapat membantu proses penyembuhan tukak lambung. Efek samping antagonis reseptor H2 adalah diare, gangguan saluran pencernaan, sakit kepala, pusing, dan rasa letih (Depkes RI, 2009).

Ranitidin mengalami metabolisme lintas pertama di hati dalam jumlah cukup besar setelah pemberian oral. Ranitidin diekskresi terutama melalui ginjal. Karena ekskresi antagonis reseptor H2 terutama melalui ginjal maka pada pasien gangguan fungsi ginjal dosis perlu dikurangi (Setiabudy, 2008).

2.4 Disolusi

Disolusi adalah persyaratan utama untuk dapat melewati dinding usus pada tahap pertama. Pengujian disolusi digunakan untuk membuktikan kesesuaian spesifikasi, dan dapat merupakan persyaratan dalam registrasi obat (Agoes, 2008).

Laju disolusi merupakan tahap yang menentukan laju, akibatnya laju disolusi dapat mempengaruhi onset, intensitas, dan lama respons. Cara pengujian disolusi tablet dinyatakan dalam masing-masing monografi obat. Pengujian merupakan alat yang objektif dalam menetapkan sifat disolusi suatu obat yang berada dalam sediaan padat. Tablet harus memenuhi persyaratan seperti yang terdapat dalam monografi untuk kecepatan disolusi (Ansel, 1989).

Uji disolusi digunakan untuk menentukan kesesuaian dengan persyaratan disolusi yang tertera dalam masing-masing monografi untuk sediaan tablet dan kapsul, kecuali pada etiket dinyatakan bahwa tablet harus dikunyah (Ditjen POM, 1995).

Pengujian kehancuran yang dicantumkan dalam seluruh farmakope menggambarkan kriteria kualitas yang penting untuk peroralia (tablet, tablet salut, granulat, dan kapsul), meskipun demikian pernyataannya dalam pandangan

yang lebih baik untuk pelepasan, meskipun bahan pembantu dapat membungkus bahan obat sedemikian rupa, sehingga melarutnya keluar dari produk hancur sangat terhambat. Oleh karena itu, kecepatan pelarutan dari bahan aktif sering kali menggambarkan langkah penentu kecepatan (Voigt, 1994).

2.4.1 Alat Uji Disolusi

Menurut Ditjen POM (1995), ada dua tipe alat uji disolusi sesuai dengan yang tertera dalam masing-masing monografi, yaitu:

a. Alat 1 (metode basket)

Alat terdiri atas wadah bertutup yang terbuat dari kaca atau bahan transparan lain yang inert, dilengkapi dengan suatu motor atau alat penggerak dan keranjang berbentuk silinder. Wadah tercelup sebagian di dalam tangas air sehingga dapat mempertahankan suhu dalam wadah 37°C ± 0,5° selama pengujian berlangsung. Bagian dari alat, termasuk lingkungan tempat alat diletakkan tidak dapat memberikan gerakan, goncangan, atau getaran signifikan yang melebihi gerakan akibat perputaran alat pengaduk. Wadah disolusi dianjurkan berbentuk silinder dengan dasar setengah bola, tinggi 160 mm hingga 175 mm, diameter dalam 98 nm hingga 106 mm, dan

kapasitas nominal 1000 ml. Batang logam berada pada posisi tertentu sehingga sumbunya tidak lebih dari 2 mm, berputar dengan halus dan tanpa goyangan yang berarti. Suatu alat pengatur kecepatan digunakan sehingga memungkinkan untuk memilih kecepatan putaran yang dikehendaki dan

mempertahankan kecepatan seperti yang tertera dalam masing-masing monografi dalam batas lebih kurang 4%.

b. Alat 2 (metode dayung)

Sama seperti alat 1, bedanya pada alat ini digunakan dayung yang terdiri atas daun dan batang sebagai pengaduk. Batang dari dayung tersebut sumbunya tidak lebih dari 2 mm pada setiap titik dari sumbu vertikal wadah dan berputar dengan halus tanpa goyangan yang berarti. Dayung memenuhi spesifikasi pada jarak 25 mm ± 2 mm antara daun dengan bagian dalam dasar wadah, dan mempertahankan suhu dalam wadah 37°C ± 0,5° selama pengujian berlangsung. Daun dan batang logam yang merupakan satu kesatuan dapat disalut dengan suatu penyalut inert yang sesuai. Sediaan dibiarkan tenggelam ke dasar wadah sebelum dayung mulai berputar.

2.4.2 Faktor Pengujian Disolusi

Menurut Agoes (2008), faktor yang mempengaruhi pengujian disolusi suatu obat dari sediaan dapat dikelompokkan dalam 5 kelompok:

1. Faktor terkait pada sifat fisiko kimia obat. 2. Faktor terkait pada formulasi obat.

3. Faktor terkait dengan bentuk sediaan. 4. Faktor terkait pada alat uji disolusi.

2.4.3 Kegunaan Uji Disolusi

1. Uji disolusi digunakan untuk memenuhi persyaratan resmi sediaan yang tertera dalam Farmakope Indonesia.

2. Uji disolusi merupakan suatu prosedur pengendalian mutu tetap dalam praktik manufaktur obat yang baik.

3. Data disolusi berguna dalam tahap awal pengembangan zat formulasi.

4. Memberikan sarana untuk mengevaluasi parameter penting seperti ketersediaan hayati yang memadai, dan memberikan informasi yang penting untuk formulator dalam pengembangan bentuk sediaan yang mempunyai daya terapi yang lebih optimal.

5. Berhubungan dengan ketersediaan hayati suatu produk sehingga uji disolusi dapat memastikan ketersediaan hayati produk antar bets yang memenuhi kriteria disolusi (Siregar, 2010).

2.4.4 Media Disolusi

Menurut Farmakope Indonesia edisi IV, media disolusi yang digunakan adalah media yang tertera pada masing-masing monografi. Bila media disolusi berupa larutan dapar. pH larutan harus diatur sehingga berada dalam batas 0,05 satuan pH yang tertera pada masing-masing monografi. Pada umumnya, media disolusi adalah air atau dapar yang sesuai, dan jumlah media disolusi sebanyak 900 ml dalam tiap wadah disolusi (Ditjen POM, 1995; Siregar, 2010).

2.4.5 Kecepatan Pengadukan

Untuk tiap uji disolusi dalam Farmakope Indonesia edisi IV, kecepatan pengadukan ditetapkan dengan satuan rpm. Jika ditetapkan, kecepatan 100 rpm untuk Alat 1 (metode basket), dan 50 rpm untuk Alat 2 (metode dayung). Kecepatan pengadukan harus seragam selama pengujian. Kadang–kadang motor pemutar pengaduk dapat secara berkala lambat atau cepat. Oleh karena itu, harus dicek pada awal dan akhir tiap pengujian (Siregar, 2010).

Menentukan kecepatan disolusi obat pada rentang pH larutan sangat penting karena dapat digunakan untuk mengetahui berapa persentase zat aktif dalam obat yang dapat terlarut dan terabsorbsi masuk ke dalam peredaran darah untuk memberikan efek terapi pada tubuh (Kurniawan, 2009).

2.4.6 Kriteria Penerimaan Hasil Uji Disolusi

Persyaratan dipenuhi bila jumlah zat aktif yang terlarut dari sediaan yang diuji sesuai dengan tabel penerimaan. Lanjutkan pengujian sampai tiga tahap, kecuali bila hasil pengujian memenuhi tahap S1 atau S2. Harga Q adalah jumlah zat aktif yang terlarut seperti yang tertera dalam masing-masing monografi, dinyatakan dalam persentase kadar pada etiket, angka 5% dan 15% dalam tabel adalah persentase kadar pada etiket, dengan demikian mempunyai arti yang sama dengan Q (Ditjen POM, 1995).

Pada tahap 1 (S1), 6 tablet diuji dengan kriteria tiap unit sediaan tidak kurang dari Q + 5%. Bila pada tahap ini tidak memenuhi syarat, maka akan

tambahan diuji lagi, dengan kriteria rata-rata dari 12 unit tablet (S1 + S2) adalah sama dengan atau lebih besar dari Q dan tidak satu unit sediaan yang lebih kecil dari Q – 15%. Bila tetap tidak memenuhi syarat, maka pengujian dilanjutkan lagi ke tahap 3 (S3). Pada tahap ini 12 tablet tambahan diuji lagi, dengan kriteria rata-rata dari 24 unit tablet (S1 + S2 + S3) adalah sama dengan atau lebih besar dari Q, tidak lebih dari 2 unit sediaan yang lebih kecil dari Q – 15% dan tidak satu unitpun yang lebih kecil dari Q – 25% (Ditjen POM, 1995).

Kriteria penerimaan hasil uji disolusi dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1. Kriteria Penerimaan Hasil Uji Disolusi

Tahap Jumlah yang diuji Kriteria Penerimaan

S1 6

Tiap unit sediaan tidak kurang dari Q + 5%

S2 6

Rata-rata dari 12 unit (S1 + S2) adalah sama dengan atau lebih besar dari Qdan tidak satu unit sediaan yang lebih kecil dari Q – 15%

S3 12

Rata-rata dari 24 unit (S1 + S2 + S3) adalah sama dengan atau lebih besar dari Q, tidak lebih dari 2 unit sediaan yang lebih kecil dari Q – 15% dan tidak satu unitpun yang lebih kecil dari Q – 25% Keterangan:

S1 : Tahap pertama S2 : Tahap kedua S3 : Tahap ketiga

2.4.7 Alat Penetapan Laju Disolusi

1. Alat pendisolusi zat aktif, adalah alat untuk melepaskan dan melarutkan zat aktif dalam media. Alat ini disebut alat uji disolusi.

2. Alat untuk menganalisis konsentrasi zat aktif dalam sampel media disolusi yang diambil sampelnya pada beberapa titik waktu yang telah ditetapkan atau pada satu titik waktu seperti uji disolusi pada umumnya di Farmakope Indonesia edisi IV. Metode ini disebut metode disolusi satu titik, dimana alat analisis yang digunakan adalah spektrofotometer, spektrofluorometer atau kromatografi cair kinerja tinggi (Siregar, 2010).

Dokumen terkait