• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rapid Assesment and Prioritization of Protected Area

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.4 Efektivitas Pengelolaan

2.4.3 Rapid Assesment and Prioritization of Protected Area

Rapid Assesment and Prioritization of Protected Area Management (RAPPAM)

dikembangkan berdasarkan hasil kajian sebuah gugus tugas yang diberi mandat oleh Komisi Kawasan Konservasi Dunia (WCPA) mengenai kerangka kerja umum dalam menilai efektivitas pengelolaan kawasan konservasi secara konsisten. Kerangka kerja umum yang dikeluarkan oleh WCPA didasarkan penilaiannya pada 6 tahapan dalam siklus pengelolaan yaitu: konteks, perencanaan, masukan, proses, keluaran, dan hasil seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 1 sebelumnya. RAPPAM adalah salah satu metodologi yang berusaha menjabarkan secara konkrit kerangka kerja umum yang

19

telah dikembangkan WCPA tersebut. Kuesioner RAPPAM dapaat dilihat pada Lampiran 4.

Metode ini telah dikembangkan selama periode 4 tahun dan telah diuji dan dipertajam di sekitar 7 negara (Ervin 2003, Goodman, 2003). Sampai saat ini lebih dari 24 negara telah menggunakannya antara lain untuk menguji jaringan kawasan konservasinya seperti Buthan, China, Finlandia, Russia, Kwazulu-Natal.

Penggunaan RAPPAM yang semakin meluas di seluruh dunia membuat pendekatan ini menjadi kaya dengan modifikasi-modifikasi untuk menyesuaikan dengan situasi masing-masing. Brazil dengan menggunakan RAPPAM berhasil mengidentifikasi 3 kebijakan umum yang diakui akurat oleh para pengelola kawasan konservasi yaitu: (1) dalam bidang pengelolaan/kelembagaan yang merekomendasikan restrukturisasi pengelola berdasarkan kompetensi masing-masing staf dan membentuk mekanisme insentive untuk kegiatan yang ramah lingkungan disekitar kawasan konservasi; (2) dalam bidang konservasi direkomendasikan pembentukan patroli bersama dan pemberian insentive untuk pengelolaan kawasan konservasi yang dikelola secara pribadi; dan (3) dalam bidang keuangan direkomendasikan pembentukan team yang baru untuk pengelolaan kawasan konservasi (Forestry Institute and Forestry Foundation of Sao Paulo, 2004).

Kamboja adalah salah satu negara yang telah menerapkan RAPPAM untuk mengevaluasi pengelolaan kawasan konservasi di daerahnya. Kamboja menghasilkan 11 rekomendasi kebijakan yang menekankan pentingnya hubungan antar lembaga dan antar wilayah yang sinergi satu sama lain (Lacerda et al. 2004).

Ruang Lingkup Rekomendasi RAPPAM

Kebijakan pengelolaan kawasan konservasi bisa dibagi ke dalam beberapa tingkatan kebijakan pengelolaan mulai dari tingkat nasional yang mengelola beberapa kawasan konservasi sekaligus hingga tingkat pengelolan spesies dalam sebuah kawasan konservasi. Kebijakan pengelolaan tersebut jika mengacu pada struktur organisasi pengelolaan kawasan konservasi yang dijelaskan dalam Peraturan Menteri Kehutanan No P. 03/Menhut-II/2007 dapat dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu:

tingkatan makro, meso, dan mikro. Kebijakan operasional tertinggi adalah Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam dan kebijakan operasional terendah dikeluarkan oleh Kepala Bagian/Seksi Konservasi Balai Taman Nasional. Rincian pembagian tingkatan pengelolaan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Kebijakan makro adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan yaitu melalui Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam dengan pejabat penanggung jawab setingkat eselon 1.

2. Kebijakan meso adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh Balai Taman Nasional dengan pejabat penanggung jawab setingkat eselon 2 atau eselon 3.

3. Kebijakan mikro adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh Balai Taman Nasional dengan pejabat penanggung jawab setingkat eselon 3 atau eselon 4.

Pendekatan RAPPAM dapat bekerja lebih baik pada penyusunan kebijakan di level makro sebab RAPPAM didesain untuk melakukan pembandingan diantara setiap kawasan konservasi yang beraneka ragam karakteristiknya (Ervin, 2003). Pendekatan RAPPAM membantu kita dengan mudah mengetahui ancaman apa yang dihadapi oleh sejumlah kawasan konservasi dan seberapa serius ancaman tersebut; kawasan konservasi mana yang lebih baik dalam hal infrastruktur dan kapasitas pengelolanya.

Kelebihan-kelebihan RAPPAM untuk membantu penyusunan kebijakan di tingkat makro tidak berlaku pada penyusunan kebijakan mikro. RAPPAM bisa digunakan untuk mengetahui nilai penting dan efektivitas pengelolaan sebuah kawasan konservasi. Meski demikian RAPPAM tidak memadai untuk memberikan rekomendasi kebijakan yang adaptif terhadap kondisi detail kawasan konservasi yang dinilainya. Oleh sebab itu maka rekomendasi kebijakan makro yang dihasilkan RAPPAM harus ditindak lanjuti dengan mengidentifikasi kebutuhan detail masing- masing kawasan untuk peningkatan kapasitas tersebut, misalnya training pengelolaan modal usaha kecil atau magang bagi staf ke luar negeri.

Tabel 1. Kerangka kerja penilaian efektivitas pengelolaan kawasan konservasi

Dasar Evaluasi Konteks Perencanaan Masukan Proses Keluaran Hasil Penjelasan Dimana kita saat

ini? Menilai tingkat kepentingan, ancaman dan kebijakan lingkungan Dimana seharusnya kita berada? Penilaian Rancangan dan Rencana Kawasan konservasi. Apa yang dibutuhkan? Penilaian sumberdaya yang dibutuhkan untuk melakukan pengelolaan. Bagaiman kita mencapai tujuan? Menilai cara pengelolaan dilakukan.

Apa saja keluaran? Penilaian

pelaksanaan program dan aksi pengelolaan; hasil produk dan jasa.

Apa saja yang telah dicapai?

Penilaian hasil dan sejauh mana tujuan- tujuan yang ditetapkan dapat di capai. Kriteria yang Dinilai Nilai penting Ancaman Kerentanan Konteks Nasional Peraturan perundang- undangan dan kebijakan. Rancangan sistem kawasan konservasi Penyediaan sumberdaya lembaga Penyediaan sumberdaya lokasi Mitra-mitra Kesesuaian proses- proses pengelolaan Hasil-hasil aksi pengelolaan Jasa dan produk

Dampak: Pengaruh pengelolaan dalam kaitannya dengan tujuan.

Fokus Evaluasi Status Kesesuaian Sumberdaya Kesesuaian – Efisiensi

Efektivitas Kesesuaian - Efektivitas

3.1 Kerangka Pemikiran

Keterlibatan negara yang diwakili pemerintah dalam pengelolaan kawasan konservasi telah dimulai sejak hampir 300 tahun yang lalu. Hingga saat ini pemerintah pusat dalam hal ini Departemen Kehutanan memiliki kewenangan mengelola hingga 23 juta hektar kawasan konservasi diseluruh Indonesia. Seiring dengan perkembangan sosial dan ekonomi masyarakat, isu yang melingkupi kegiatan konservasi pun menjadi sedemikian besar dan kompleks. Isu tersebut berupa isu internasional seperti tanggung jawab terhadap perlindungan lingkungan global, isu nasional seperti distribusi kewenangan pengelolaan pusat dan daerah, dan isu lokal seperti pemanfaatan sumberdaya kawasan konservasi bagi masyarakat.

Berbagai isu yang mengiringi pengelolaan kawasan konservasi harus dikelola secara secara cermat agar fungsi dan tujuan kawasan konservasi sebagai sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayati dan pemanfaatan secara lestari dapat tetap dipenuhi. Departemen Kehutanan sebagai wakil pemerintah dalam mengelola kawasan konservasi dituntut untuk melakukan implementasi kebijakan yang efektif dan transparan. Oleh sebab itu upaya evaluasi terhadap efektivitas pengelolaan menjadi sangat penting untuk mengetahui apa yang sedang terjadi dalam aksi kebijakan dan apa yang dapat dilakukan untuk memperbaiki keadaan. Hasil evaluasi yang transparan juga akan membantu masyarakat luas yang ingin memberikan kontribusi aktif dalam kegiatan pengelolaan kawasan konservasi.

Berdasarkan hal tersebut di atas, kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini bisa disajikan menjadi skema seperti dalam Gambar 4. Kerangka pemikiran tersebut dimulai dari kenyataan bahwa kebijakan konservasi nasional disusun sebagai respon terhadap berbagai isu. Kebijakan tersebut kemudian dilaksanakan antara lain melalui pengelolaan Taman Nasional yang bertujuan untuk melindungi sistem penyangga kehidupan, mengawetkan sumberdaya hayati, dan menyediakan sumberdaya untuk dimanfaatkan secara lestari. Evaluasi terhadap

23

efektivitas pengelolaan dilakukan untuk memperbaiki kegiatan pengelolaan maupun kebijakan konservasi nasional.

Gambar 4 Alur penelitian efektivitas kebijakan pengelolaan kawasan konservasi. Tulisan yang ditebalkan adalah kegiatan utama dalam penelitian yaitu mengumpulkan data RAPPAM, menganalisis data untuk mengetahui efektivitas, dan menyusun rekomendasi strategi pengelolaan Kawasan konservasi. Strategi Pengelolaan Taman Nasional Isu Internasional Isu Nasional Isu Lokal

1. Perlindungan sistem penyangga kehidupan.

2. Pengawetan sumberdaya hayati 3. Pemanfaatan berkelanjutan Kebijakan Konservasi Nasional Kesesuaian Rapid Assessment of Protected Area Management (RAPPAM) Informasi Efektivitas Pengelolaan Pencapaian Rancangan

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini mengkaji pengelolaan kawasan konservasi yang memiliki lahan basah pesisir dengan pendekatan studi kasus pada 23 Taman Nasional di seluruh Indonesia. Proses penelitian mulai dari pengisian kuesioner hingga analisis data dilakukan di Bogor, antara lain di kantor Pusat Informasi Konservasi Alam Departemen Kehutanan dan Wetlands International - Indonesia Programme.

Penelitian berlangsung antara tahun 2004 hingga Juni 2006 meliputi 3 kegiatan utama yaitu: (1) Pengumpulan informasi awal di Pusat Informasi Konservasi Departemen Kehutanan tahun 2004; (2) Analisis data antara tahun 2005 hingga Juni 2006; dan (3) Penyusunan laporan Juni hingga September 2006.

3.3 Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan kajian deskriptif – korelasional untuk menggambarkan secara sistematis mengenai fakta-fakta serta hubungan antara fenomena yang diteliti (Nazir, 1983 dalam Harahap, 2001). Fakta-fakta yang terjadi dilapangan diklasifikasikan dan dicatat sebagai variabel-variabel yang memiliki nilai berupa skala kuantitatif.

Metode penelitian ini menggunakan informasi dari 23 Taman Nasional yang mewakili kawasan konservasi lahan basah pesisir di Indonesia seperti disajikan dalam Gambar 5. Pemilihan Taman Nasional ditujukan karena fungsinya yang lebih terpadu dibandingkan kawasan konservasi lainnya (Cagar Alam dan Suaka Margasatwa) yaitu adanya fungsi pemanfaatan secara berkelanjutan. Fungsi-fungsi lain yang diemban Taman Nasional menurut UU No 5/1990 adalah perlindungan sistem penyangga kehidupan dan pengawetan keanekaragaman hayati. Pengumpulan fakta dilakukan dengan menggunakan kuesioner dengan variabel yang telah ditentukan sebelumnya menggunakan kuesioner (RAPPAM) yang dikembangkan oleh World Wildlife Fund for Nature (WWF).

Gambar 5 Lokasi 23 kawasan konservasi yang menjadi subyek penelitian.

3.4 Metode Pengumpulan Data

Terdapat dua jenis data dalam penelitian ini yaitu Data Primer dan Data Sekunder. Data primer diperoleh dari informasi yang disampaikan oleh Balai Taman Nasioanl dalam bentuk hasil isian kuesioner RAPPAM. Pengisian kuesioner dilakukan pertama kali di masing-masing Balai Taman Nasional. Hasil isian tersebut kemudian dievaluasi dan diisi kembali (disempurnakan) oleh masing-masing Balai Taman Nasional dalam sebuah workshop pengelolaan Taman Nasional di BOGOR tahun 2004.

Responden dalam penelitian ini adalah Kepala Balai Taman Nasional atau Kepala Balai Konservasi Sumberdaya Alam yang mengelola Taman Nasional yang memiliki lahan basah pesisir. Jabatan Kepala Balai diisi oleh individual yang terpilih melalui proses seleksi yang ketat dalam suatu sistem Personnel Assesment Centre (PAC) Departemen Kehutanan (Rudianto dan Sartono, 2007: Komunikasi Pribadi). Kualifikasi individu yang menduduki posisi tersebut antara lain.:

- Masa kerja rata-rata 16 tahun dengan pangkat III C atau III D. - Berada pada posisi senior dalam daftar urut kepangkatan

- Telah lulus dalam kursus dasar konservasi dan kursus pengelolan konservasi - Telah lulus dalam diklat pembina administrasi menengah dan madya

- Pernah menjadi pejabat eselon dibawahnya, termasuk sebagai asisten Park Manager.

Kualifikasi yang disebutkan diatas menyebabkan Kepala Balai memiliki memiliki kompetensi dan memahami dengan baik isu-isu yang berkembang di lokasi kerjanya masing-masing sehingga dapat menjadi responden dalam pengisian kuesioner RAPPAM. Nama-nama responden setiap kawasan konservasi disajikan dalam Lampiran 5.

Pemilihan kawasan konservasi dalam penelitian ini dibatasi pada kawasan konservasi yang lahan basah pesisirnya memiliki jumlah atau fungsi yang signifikan bagi kawasan konservasi. Untuk itu pemilihan kawasan konservasi didasarkan pada paling tidak dua kriteria utama yaitu:

27

1. Secara kualitatif (kriteria Ramsar): Memiliki ekosistem lahan basah pesisir

terutama mangrove, terumbu karang, dan padang lamun yang merupakan perwakilan ekosistem di wilayah kawasan konservasi tersebut berada. Kawasan tersebut juga harus memiliki nilai penting bagi kegiatan sosial dan ekonomi masyarakat lokal dan memiliki nilai penting biologis secara internasional.

2. Kuantitatif: Memiliki garis pantai yang cukup panjang (> 20 km)

Tabel 2. Kawasan konservasi yang dipilih sebagai responden penelitian beserta nilai penting lahan basah pesisirnya.

No Kawasan konservasi Provinsi Kekayaan Lahan Basah Pesisir 1 Siberut Sumatera Barat Hutan pantai, pantai berbatu, mangrove 2 Berbak Jambi Rawa gambut, mangrove

3 Sembilang Sumatera Selatan Rawa pesisir, mangrove

4 Way Kambas Lampung Mangrove

5 Ujung Kulon Banten Mangrove, terumbu karang, lamun 6 Kepulauan Seribu DKI Terumbu karang, padang lamun 7 Karimun Jawa Jawa Tengah Terumbu karang, mangrove, padang

lamun

8 Baluran Jawa Timur Hutan pantai, rawa pesisir

9 Alas Purwo Jawa Timur Hutan pantai, pantai berbatu, mangrove, lokasi selancar dan surving

10 Meru Betiri Jawa Timur Hutan pantai, pantai berbatu, mangrove, lokasi peneluran penyu

11 Bali Barat Bali Mangrove, terumbu karang, lamun 12 Komodo Nusa Tenggara Timur Mangrove, terumbu karang, lamun. 13 Manupeu Tanadaru Nusa Tenggara Timur Pantai berbatu, garis pantai > 20km 14 Tanjung Puting Kalimantan Tengah Mangrove

15 Kutai Kalimantan Timur Mangrove 16 Gunung Palung Kalimantan Barat Mangrove

17 Taka Bonerate Sulawesi Selatan Terumbu karang, lamun 18 Wakatobi Sulawesi Tenggara Terumbu karang, lamun 19 Rawa Aopa Sulawesi Tenggara Mangrove

20 Bunaken Sulawesi Utara Terumbu karang, lamun 21 Teluk Cenderawasih Papua Terumbu karang, lamun 22 Wasur Papua Rawa pesisir, mangrove 23 Lorentz Papua Rawa pesisir, mangrove

Berdasarkan kriteria tersebut terpilih 23 kawasan konservasi yang merupakan perwakilan Kawasan Konservasi Lahan Basah Pesisir di Indonesia yang menyebar dari ujung barat hingga ujung timur Indonesia. Kedua puluh tiga kawasan konservasi tersebut disajikan dalam Tabel 2.

Penelitian ini juga menggunakan data sekunder diperoleh dari Laporan Tahunan Balai Taman Nasional yang berisi informasi kondisi biofisik, ancaman kerusakan, dan beberapa data sosial seperti jumlah kunjungan dan kelembagaan mitra Taman Nasional. Data ini diperoleh dari Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHKA) Departemen Kehutanan. Data lain adalah Laporan Akuntabiltas Tahunan PHKA yang berisi evaluasi internal tentang kinerja PHKA diperoleh dari Dirjen PHKA serta data-data laporan proyek mitra Taman Nasional yang memiliki informasi relevan dengan daerah yang diteliti.

3.5 Metode Analisis Data

Tahapan penelitian yang dilakukan mengikuti rekomendasi metode RAPPAM yang dikembangkan oleh WWF. Metode RAPPAM sebetulnya menggunakan pemikiran-pemikiran dasar Hocking (2006) dalam menilai efektivitas pengelolaan kawasan konservasi. Hanya saja metode ini membatasi penilaiannya hingga tahap keluaran (Output), dan tidak sampai pada tahap hasil (outcome) sebagaimana yang disarankan oleh Hockings. Tahapan-tahapan RAPPAM tersebut adalah sebagai berikut:

Tahap 1. Menentukan cakupan penilaian

Tahap 2. Menilai data dan informasi yang tersedia

Tahap 3. Melakukan penilaian cepat dan pengisian kuesioner. Tahap 4. Mengkaji hasil temuan.

Tahap 5. Menemukan langkah lanjutan dan rekomendasi

Dalam penelitian ini, tahap 1, 2, dan sebagian tahap 3 telah mulai dilakukan dalam penyiapan proposal penelitian. Sehingga inti proses yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah tahap 3 dan tahap 4.

Tahap tiga dilakukan dengan menyusun kuesioner berupa kumpulan indikator yang akan ditentukan nilainya dalam bentuk skor berdasarkan data dan informasi

29

sekunder sedangkan pengisian dilakukan oleh pengelola Taman Nasional. Terdapat 104 butir pertanyaan yang menjadi acuan dalam RAPPAM dalam upaya memahami efektivitas pengelolaan kawasan konservasi.

Tahap tiga yang merupakan tahap inti penelitian ini adalah analisis terhadap data dan informasi yang telah disusun berdasarkan kuesioner seperti disajikan dalam Lampiran 6. Selanjutnya, data dan informasi tersebut akan dianalisis sebagai berikut:

3.5.1 Analisis Tekanan dan Ancaman

Istilah “tekanan” dalam penelitian ini didefinisikan sebagai hal-hal yang telah memberikan dampak yang merusak pada keutuhan kawasan konservasi seperti berkurangnya keanekaragaman hayati, terhambatnya kemampuan berkembang biak, dan berkurangnya luas kawasan. Ancaman didefinisikan sebagai hal-hal yang mungkin/akan menekan kawasan konservasi sehingga bisa berdampak buruk bagi keutuhan kawasan. Tekanan dan ancaman bisa berupa kegiatan legal maupun ilegal, yang langsung ataupun tidak langsung berdampak pada kawasan konservasi yang. Terdapat 14 jenis kegiatan yang merupakan tekanan dan ancaman terhadap keutuhan kawasan konservasi antara lain perambahan kawasan, penebangan liar, dan pariwisata.

Informasi dari penilaian ancaman dan tekanan terdiri dari 4 bagian yaitu: (1) kecenderungan; (2) luasan; (3) tingkatan dampak; dan (4) lamanya dampak. Kecenderungan merupakan indikasi apakah tekanan yang terjadi semakin meningkat atau menurun dalam lima tahun terakhir dan kecenderungan ancaman untuk terjadi sangat mungkin atau tidak. Luasan menunjukkan cakupan dampak terhadap kawasan konservasi seperti menyebar, terpusat, keseluruhan. Tingkatan dan lamanya dampak menunjukkan tinggi rendahnya dampak dan permanen tidaknya tekanan dan ancaman tersebut.

Informasi tersebut disajikan dengan menggunakan paling tidak dua grafik yaitu: (1) grafik yang menunjukkan sebaran tingkat tekanan dan ancaman disetiap kawasan dan (2) perbandingan tingkat tekanan dan ancaman pada masing-masing jenis. Tingkat tekanan dan ancaman masing-masing jenis dibandingkan satu sama lain untuk

mengetahui dominansi relatif suatu jenis terhadap jenis yang lain dilakukan dengan menggunakan grafik.

3.5.2 Analisis Nilai Penting Kondisi Biologi, Sosial dan Ekonomi

Seperti halnya analisa tekanan dan ancaman, informasi mengenai nilai penting kondisi biologi, sosial, dan ekonomi akan disajikan dengan menggunakan grafik untuk memahami (1) pola tingkatan nilai penting setiap indikator serta (2) penyebarannya disetiap kawasan konservasi.

Nilai penting biologi yang diamati dalam penelitian ini terdiri dari 10 kriteria antara lain: (1) Jumlah relatif spesies langka, terancam punah, maupun genting; (2) Jumlah relatif keanekaragaman jenis; (3) Keberadaan spesies-spesies endemik; (4) Fungsi kawasan dalam melindungi proses alami sistem pendukung kehidupan; dan (5) Keterwakilan type ekosistem yang langka.

Tabel 3. Penentuan ranking nilai penting biologis kawasan konservasi berdasarkan kekayaan spesies dan tipe ekosistem.

Kriteria dan Bobot Total Jumlah Jenis dan Bobot Nilai

1-100 101-200 200-400 401-600 >600 Ikan 18% 4% 7% 11% 15% 18% 1 – 50 51 – 100 101-150 151-250 >250 Burung 18% 4% 7% 11% 15% 18% 1 – 100 101 – 200 201-300 301-400 >400 Tanaman 6% 1% 2% 3% 5% 6% 1 – 20 21 – 100 101 – 200 201 – 300 >300 Karang 12% 2% 4% 6% 10% 12% 1 – 20 21 – 50 51 – 100 101 – 150 > 150 Mamalia 6% 1% 2% 3% 5% 6% 1 – 20 21 – 50 51 – 80 81 – 110 > 110 Reptil - Ampibi 12% 2% 4% 6% 10% 12% 1 2 3 4 -

Type Lahan Basah 18%

4% 8% 12% 18% -

1 – 6 7 – 10 > 10 - -

Spesies Terancam 10%

3% 5% 10% - -

31

Penelitian ini juga menganalisis informasi kondisi biologis 23 kawasan konservasi yang diperoleh dengan mengkompilasi hasil survey-suvey kekayaan keanekaragaman hayati di berbagai taman nasional berupa jumlah jenis flora, fauna, jumlah type ekosistem lahan basah, dan nilai penting internasional kawasan yang diwakili oleh jumlah jenis yang terancam. Analisis dilakukan untuk menentukan ranking nilai penting kondisi biologis setiap taman nasional.

Penentuan nilai ranking dilakukan dengan menentukan skor nilai untuk setiap kelas jumlah jenis dan jumlah tipe ekosistem. Nilai skor ini kemudian dibobotkan dan diakumulasikan untuk memperoleh ranking setiap taman nasional. Nilai pembobotan yang digunakan mengadopsi metode yang sama yang dilakukan oleh UNEP/GEF South China Sea Project untuk menentukan site lahan basah pesisir prioritas yang berlokasi di Laut China Selatan. Metode tersebut disajikan dalam Tabel 3.

Nilai penting sosial ekonomi yang diamati dalam penelitian ini terdiri dari 10 kriteria antara lain: (1) Masyarakat sekitar memiliki ketergantungan tinggi pada kawasan konservasi sebaga sumber penghidupan sehari-hari; (2) Kawasan konservasi memiliki nilai spiritual/keagamaan yang tinggi; (3) Kawasan memiliki jenis-jenis satwa atau tumbuhan yang bernilai sosial, budaya, dan ekonomi yang sangat tinggi; dan (4) Kawasan memiliki nilai yang sangat penting bagi kegiatan pendidikan dan penelitian ilmiah.

Nilai penting sosial ekonomi lain yang diamati dalam penelitian ini diambil dari data sekunder berupa data kunjungan wisata dan penerimaan devisa negara dari penjualan satwa lahan basah pesisir. Informasi data sekunder tersebut digunakan sebagai bahan pembanding terhadap data yang diperoleh dari kuesioner RAPPAM.

3.5.3 Analisis Efektivitas Pengelolaan

Kajian mengenai efektivitas pengelolaan dilakukan pada empat aspek pengelolaan kawasan konservasi yaitu: perencanaan, masukan, proses, dan keluaran. Efektivitas diukur berdasarkan tingkat pencapaian yang diperoleh oleh pengelolaan kawasan konservasi pada masing-masing kriteria yang diamati.

Efektivitas Perencanaan

Efektivitas perencanaan mengukur tiga kriteria umum yaitu: (1) penetapan tujuan; (2) kepastian hukum, dan (3) desain tapak kawasan konservasi. Efektivitas penetapan tujuan menilai sampai sejauh mana tujuan penetapan kawasan konservasi telah mencakup semua keunikan kawasan dan keperluan untuk mempertahankan keunikan tersebut. Efektivitas penetapan tujuan tersebut juga mencakup penilaian tingat pemahaman pengelola kawasan dan masyarakat disekitar kawasan terhadap tujuan penetapan kawasan konservasi.

Efektivitas kepastian hukum antara lain menilai kuat tidaknya dasar hukum penetapan kawasan konservasi, ada tidaknya persoalan berkaitan dengan kepemilikan lahan dan hak ulayat. Kepastian hukum juga menilai sampai sejauh mana pengelola memiliki hak untuk melakukan upaya-upaya penegakan hukum dalam wilayah kawasan konservasi.

Efektivitas desain tapak kawasan menilai kesesuaian desain tapak terhadap tujuan penetapan kawasan konservasi. Desain tapak juga harus mendukung berfungsinya upaya-upaya pengelolaan kawasan secara efektif termasuk keterkaitannya dengan daerah-daerah sekelilingnya.

Efektivitas Masukan

Efektivitas masukan mengukur 4 kriteria umum yaitu: (1) jumlah dan kualitas staff pengelola; (2) ketersediaan data dan komunikasi; (3) ketersediaan infrastruktur; dan (4) kecukupan pendanaan pengelolaan. Efektivitas jumlah dan kualitas staf diukur dengan melihat pemenuhan jumlah staf dibandingkan dengan luasan area dan

33

kesesuaian isu. Efektivitas staf juga menilai tingkat pemenuhan kebutuhan staf seperti gaji, fasilitas kerja, prestise, dan peningkatan kemampuan.

Efektivitas penyediaan data dan komunikasi mengukur ketersediaan saluran komunikasi yang efektif antara petugas lapangan dan kantor, maupun dengan masyarakat sekitar. Hal lain yang juga diukur adalah mekanisme yang memadai untuk melakukan pengumpulan dan pemrosesan data kawasan konservasi.

Efektivitas ketersediaan infrastruktur mengukur ketersediaan sarana dan prasarana transportasi, bangunan, serta berbagai peralatan lain untuk mengelola kawasan konservasi. Efektivitas intervensi juga mencakup adanya kegiatan perawatan yang memadai terhadap fasilitas yang ada dan ketersediaan fasilitas yang memadai bagi pengunjung kawasan konservasi.

Efektivitas pendanaan mengukur pemenuhan kebutuhan pendanaan selama 5 tahun terakhir dan ketersediaan dana selama 5 tahun kedepan. Kestabilan pendanaan dalam jangka panjang dan kesesuaian alokasi pendanaan dan kebutuhan juga menjadi karakteristik yang diukur untuk memahami efektivitas pendanaan.

Efektivitas Proses

Efektivitas proses pengelolaan mengukur 3 kriteria umum yaitu: (1) ketersediaan rencana detail strategi pengelolaan; (2) mekanisme pengambilan keputusan; (3) kegiatan penelitian, pemantauan, dan evaluasi. Efektivitas rencana detail strategi pengelolaan diukur dengan melihat ada tidaknya kajian kondisi terkini kawasan yang kemudian dijadikan acuan penyusunan rencana kegiatan. Efektivitas juga diukur dengan melihat apakah hasil monitoring rutin menjadi dasar evaluasi perencanaan.

Efektivitas proses pengambilan keputusan dilakukan dengan melihat transparansi proses pengambilan keputusan internal pengelola kawasan konservasi. Pengambilan keputusan yang efektif juga dinilai dengan melihat sampai sejauh mana masyarakat sekitar kawasan terlibat aktif dalam proses tersebut.

Efektivitas kegiatan penelitian, pemantauan, dan evaluasi diukur dengan melihat apakah dampak kegiatan legal maupun ilegal terhadap kawasan konservasi terdata

dengan baik atau tidak. Kegiatan yang efektif juga ditunjukkan oleh kesesuian kegiatan penelitian dengan isue-isue ekologi dan sosial ekonomi yang berkembang

Dokumen terkait