TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
2. Rasio Likuiditas
2. Rasio Likuiditas
Kita sering kali mendengar atau bahkan melihat ada perusahaan yang tidak mampu atau tidak sanggup untuk membayar seluruh atau sebagian kewajibannya yang sudah jatuh tempo. Terkadang juga perusahaan sering tidak memiliki dana untuk membayar kewajibannya tepat waktu. Ketidakmampuan perusahaan membayar kewajibannya terutama utang jangka pendek yang sudah jatuh tempo dikarenakan perusahaan sedang tidak memiliki dana sama sekali atau mungkin perusahaan memiliki dana, namun saat jatuh tempo perusahaan tidak memiliki dana secara tunai sehingga harus menunggu dalam waktu tertentu (Kasmir, 2015:128).
Rasio likuiditas merupakan suatu kondisi dari suatu perusahan yang menunjukkan kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban dalam jangka pendek dan dalam waktu yang tidak terlalu lama atau siap jika suatu saat akan ditagih. Apabila perusahaan memiliki aktiva lancar lebih besar daripada utang lancar maka seharusnya perusahaan dapat memenuhi kewajiban keuangan tepat pada waktunya. Dengan kata lain, likuiditasnya bagus, namun sebaliknya jika perusahaan tidak mampu
melaksanakan kewajiban pada saat ditagih, berarti utang lancarnya lebih besar daripada aktiva lancarnya, berarti dapat pula ditafsirkan dalam kondisi illikuid (Amrin, 2009:197).
Fred Weston dalam Kasmir, 2015:129-130 menyebutkan bahwa rasio likuiditas (liquidity ratio) merupakan rasio yang menggambarkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban (utang) jangka pendek. Artinya apabila perusahaan ditagih, perusahaan akan mampu untuk memenuhi utang tersebut terutama utang yang sudah jatuh tempo. Dengan kata lain rasio likuiditas berfungsi untuk menunjukkan atau mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban yang sudah jatuh tempo, baik kewajiban pada pihak luar perusahaan (likuiditas badan usaha) maupun di dalam perusahaan (likuiditas perusahaan). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kegunaan rasio ini adalah untuk mengetahui kemampuan perusahaan daam membiayai dan memenuhi kewajiban (utang) pada saat ditagih.
Perhitungan rasio likuiditas memberikan cukup banyak manfaat bagi berbagai pihak yang berkepentingan terhadap perusahaan. Perhitungan rasio likuiditas tidak hanya berguna bagi perusahaan, namun juga bagi pihak luar perusahaan.
Adapun tujuan dan manfaat dari rasio likuiditas adalah :
a. Untuk mengukur kemampuan perusahaan membayar kewajiban yang segera jatuh tempo pada saat ditagih.
b. Untuk mengukur kemampuan perusahaan membayar kewajiban jangka pendek dengan aktiva lancar tanpa memperhitungkan piutang.
c. Untuk mengukur atau membandingkan antara jumlah persediaan yang ada dengan modal kerja perusahaan.
d. Sebagai alat perencanaan kedepan, terutama yang berkaitan dengan perencanaan kas dan utang.
e. Untuk melihat kondisi dan posisi likuiditas perusahaan dari waktu ke waktu dengan membandingkannya untuk beberapa periode.
Rasio likuiditas dapat dibagi menjadi beberapa jenis yaitu : 1) Rasio Lancar (Current Ratio)
Rasio yang digunakan untuk melakukan perbandingan antara jumlah aktiva lancar dengan utang jangka pendek. Jika rasio yang menunjukkan aktiva lancar dalam komposisi yang lebih besar daripada utang jangka pendek, hal itu terjadi maka perusahaan cukup memuaskan dan standar umum (rule of thumb) jumlah current ratio itu sebesar 200%.
Current ratio yang tinggi menunjukkan jaminan yang lebih baik atas utang jangka pendek, tetapi jika terlalu tinggi efeknya terhadap earning power juga kurang baik karena tidak semua modal kerja dapat didaya gunakan. Tidak selamanya perusahaan memiliki current ratio yang tinggi dapat menjamin dibayarnya utang yang sudah atau telah jatuh tempo (Amrin, 2009:200).
2) Rasio Cepat (Quick Ratio)
Merupakan perbandingan antara aktiva lancar (kecuali persediaan) dengan utang jangka pendek. Tujuannya untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban tanpa persediaan karena persediaan membutuhkan waktu yang relatif cukup lama untuk direalisasikan menjadi uang tunai. Elemen – elemen aktiva lancar, selain inventory dianggap paling likuid untuk menjamin pembayaran utang pada saat jatuh tempo, kreditur akan memperhatikan rasio ini dalam pemberian kredit. Apabila rasio ini kurang dari 100% maka posisi likuiditas dianggap kurang baik (Amrin, 2009:201).
3) Rasio Kas (Cash Ratio)
Rasio kas atau cash ratio merupakan alat yang digunakan untuk mengukur seberapa besar uang kas yang tersedia untuk membayar utang. Dapat dikatakan rasio ini menunjukkan kemampuan sesungguhnya bagi perusahaan untuk membayar utang –utang jangka pendeknya (Kasmir, 2015:138-139).
4) Rasio Perputaran Kas
Menurut James O. Gill, rasio perputaran kas (cash turn over) berfungsi untuk mengukur tingkat kecukupan modal kerja perusahaan yang dbutuhkan untuk membayar tagihan dan membiayai penjualan. Artinya rasio ini digunakan untuk mengukur tingkat ketersediaan kas
untuk membayar tagihan (utang) dan biaya – biaya yangberkaitan dengan penjualan.
Untuk mencari modal kerja, kurangi aktiva lancar terhadap utang lancar. Modal kerja dalam pengertian ini dikatakan sebagai modal kerja bersih yang dimiliki perusahaan. Sementara itu, modal kerja kotor atau modal kerja saja merupakan jumlah dari aktiva lancar. Hasil perhitungan rasio perputaran kas dapat diartikan sebagai berikut :
a) Apabila rasio perputaran kas tinggi, ini berarti ketidakmampuan perusahaan dalam membayar tagihannya.
b) Sebaliknya apabila rasio perputaran kas rendah, dapat diartikan kas yang tertanam pada aktiva yang sulit dicairkan dalam waktu singkat sehingga perusahaan harus bekerja keras dengan kas yang lebih sedikit (Kasmir, 2015:140).
5) Inventory to Net Working Capital
Inventory to Net Working Capital merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur atau membandingkan antara jumlah persediaan yang ada dengan modal kerja perusahaan. Modal kerja tersebut terdiri dari pengurangan antara aktiva lancar dengan utang lancar.
Menurut Satria (1994:71-72) Rasio likuiditas atau Liabillity to Liquid Asset Ratio mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajibannya dan secara kasar memberikan gambaran kondisi keuangan perusahaan apakah dalam kondisi solven atau tidak. Maka dari itu, rasio
likuiditas merupakan kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya. Perusahaan yang mampu memenuhi kewajiban jangka pendeknya berarti perusahaan dalam keadaan likuid, perusahaan dikatakan mampu memenuhi kewajiban jangka pendek tepat pada waktunya apabila perusahaan mempunyai aktiva lancar yang lebih besar daripada hutang lancarnya. Jika perusahaan tidak dapat memenuhi kewajiban jangka pendeknya pada saat ditagih, maka perusahaan tersebut dalam keadaan illikuid. Rasio ini memiliki batas normal maksimal 120%. Rasio yang tinggi menunjukkan adanya masalah likuiditas dan perusahaan kemungkinan besar berada dalam kondisi yang tidak solven, sehingga perlu dilakukan analisis terhadap tingkat kecukupan cadangan (reserve adequacy), serta kestabilan dan likuiditas kekayaan yang diperkenankan (admitted assets).
Rasio likuiditas dapat dihitung dengan rumus : Rasio Likuiditas =
3. Rasio Retensi Sendiri
Rasio ini digunakan untuk mengukur tingkat retensi perusahaan atau mengukur berapa besar premi yang ditahan sendiri dibanding premi yang diterima secara langsung. Lebih lanjut, premi yang ditahan sendiri tersebut dijadikan dasar untuk mengukur kemampuan perusahaan menahan premi dibanding dengan dana/modal yang tersedia (Satri, 1994:73).
Menurut Yuliana (2008) rasio retensi sendiri mencerminkan perbandingan antara premi neto dengan premi bruto. Ini digunakan untuk mengukur seberapa besar premi yang ditahan sendiri dibandingkan dengan premi yang diterima secara langsung.
Rasio retensi sendiri adalah rasio yang digunakan untuk mengetahui kekuatan modal sendiri terhadap premi risiko (Utami dan Khoiruddin, 2016).
Rasio ini sebaiknya digunakan secara bersamaan dengan Solvency Margin Ratio sehingga analisisnya akan menggambarkan yang lebih akurat. Apabila rasio retensi sendiri rendah, sedangkan solvency marginnya tinggi, maka berarti perusahaan beroperasi seperti layaknya pialang (broker) yang mendasarkan pendapatannya pada komisi reasuransi. Berkaitan dengan hal ini, Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 menetapkan bahwa premi penutupan langsung harus lebih besar dari premi penutupan tidak langsung. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 224/KMK.017/1993 memuat ketentuan mengenai angka perbandingannya yaitu premi penutupan tidak langsung tidak boleh melebihi 2/3 premi penutupan langsung.
Bagaimanapun juga, jenis usaha (business) yang ditutup (risikonya) mempengaruhi besarnya rasio ini. Jika usaha tersebut berjenis “berat” seperti penerbangan atau rangka kapal, retensinya cenderung rendah karena risk exposure pada jenis usaha ini relatif tinggi.
Berkaitan pula dengan retensi perusahaan asuransi, terdapat ketentuan yang mengatur perbandingan antara premi neto dengan modal sendiri. Apabila pada Pakdes 88 ditetapkan bahwa retensi perusahaan asuransi kerugian harus serendah – rendahnya 2,5% dan setinggi – tingginya 20% dari modal sendiri, maka menurut Keputusan Menteri Keuangan Nomor 224/KMK.017/1993 retensi maksimum adalah 10% dari modal sendiri (Satria, 1994:73-74).
Retensi sendiri dalam perasuransian dapat dibedakan menjadi dua yaitu :
a. Retensi sendiri tertanggung
Dalam berbagai jenis asuransi kerugian kadang – kadang tertanggung diminta untuk memikul sendiri kerugian – kerugian yang jumlahnya relative kecil. Agar frekuensi klaim dapat diperkecil sehingga asuradur tidak terlalu repot dan dapat menghemat biaya administrasi klaim. Disamping itu dapat juga mendidik tertanggung agar lebih berhati – hati.
b. Retensi sendiri asuradur
Dalam reasuransi, retensi sendiri berarti suatu jumlah tertentu dari nilai pertanggungan atau dari klaim (merupakan jumlah maksimal) yang akan dipikul sendiri oleh ceding company (tertanggung ulang atau reinsured) per risiko.
Retensi sendiri ceding company dapat berupa suatu jumlah uang atau presentase drai treaty limit dan berapapun jumlahnya atau
presentasenya akan selalu disebut 1 line dan bahagian reasuradur dalam treaty limit biasanya merupakan perkalian dari retensi sendiri asuradur.
1) Bentuk – bentuk retensi sendiri
Dalam praktek kita mengenal berbagai jenis atau bentuk retensi sendiri yaitu :
a) Net Retention
Berarti jumlah masimum kerugian yang dapat ditanggung sendiri oleh asuradur dalam setiap risiko (dapat berupa suatu jumlah uang atau presentase dari limit treaty).
b) Gross Retention
Gross retention biasanya berupa net retention ditambah dengan dukungan reasuradur dalam Excess of Loss, sehingga dalam treaty terlihat seakan – akan merupakan retensi sendiri.
Rasio retensi sendiri dapat dihitung dengan rumus : Rasio Retensi Sendiri =
Premi neto adalah hasil dari premi bruto dikurangi premi reasuransi dibayar, setelah premi reasuransi dibayar dikurangi komisinya. Sedangkan premi bruto adalah hasil dari premi penutupan langsung ditambah premi penutupan tidak langsung.