BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Deskripsi Teori
6. Reaksi Esterifikasi
Esterifikasi merupakan suatu reaksi antara asam karboksilat dan alkohol membentuk ester dengan bantuan katalis asam. Esterifikasi merupakan salah satu tahapan dalam pembuatan biodiesel yang bertujuan untuk menurunkan nilai bilangan asam lemak bebas pada minyak nabati yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan biodiesel. Pada umumnya proses esterifikasi dilakukan dengan menggunakan katalis asam cair seperti HCl dan H2SO4 (Sudradjat, Marsubowo,
&Yuniarti).
Untuk mendorong agar reaksi bisa berlangsung ke konversi yang sempurna pada temperatur rendah (misalnya paling tinggi 120° C), reaktan metanol harus ditambahkan dalam jumlah yang sangat berlebih (biasanya lebih besar dari 10 kali nisbah stoikhiometrik) dan air produk ikutan reaksi harus disingkirkan dari fasa reaksi, yaitu fasa minyak. Melalui kombinasi-kombinasi yang tepat dari kondisi-kondisi reaksi dan metode penyingkiran air, konversi
14
sempurna asam-asam lemak ke ester metilnya dapat dituntaskan dalam waktu 1 sampai beberapa jam (Fajar & Hendrawati, 2015: 3).
Faktor penting yang dapat mempengaruhi reaksi esterifikasi dan transesterifikasi adalah penggunaan metanol yang berlebih agar air yang terbentuk dari reaksi dapat dapat diserap oleh metanol sehingga tidak menghalangi jalannya reaksi pengubahan asam lemak bebas menjadi metal ester (Soerawidjaja, 2006 dalam Ningtyas, Budhiyanti, & Sahubawa, 2013: 107).
Reaksi esterifikasi terlihat pada Gambar 4. (Setyawardhani, 2010).
Gambar 4. Reaksi Esterifikasi 7. Reaksi Transesterifikasi
Reaksi transesterifikasi didefinisikan sebagai reaksi antara alkohol dan trigliserida membentuk alkil ester dan gliserol. Alkil ester inilah yang disebut sebagai biodiesel. Sementara itu, trigliserida adalah komponen utama penyusun minyak dan lemak yang merupakan triester dari gliserol dengan asam-asam lemak. Karena menggunakan alkohol sebagai salah satu reaktannya, reaksi ini sering disebut juga sebagai reaksi alkoholis (Budiman, 2014: 36).
15
Contoh reaksi transesterifikasi pada trigliserida adalah seperti ditunjukkan pada Gambar 5.
Gambar 5. Reaksi Transesterifikasi pada Trigliserida
Mekanisme reaksi transesterifikasi pada trigliserida ditunjukkan pada Gambar 6. sebagai berikut:
16
17
Gambar 6. Mekanisme Reaksi Transesterifikasi Pembentukan Metal Ester Asam Lemak dari Triasilgliserol yang Dikatalis oleh Basa (Suwarso, Gani, & Kusyanto, 2008: 47)
Dalam reaksi transesterifikasi diperlukan adanya katalis yang bertujuan untuk mempercepat laju reaksi. Tanpa adanya katalis, dapat dicapai konversi yang tinggi. Namun, reaksi akan berjalan sangat lambat (Budiman, 2014: 36).
Ada beberapa pilihan katalis reaksi yang dapat digunakan dalam proses transesterifikasi, antara lain berupa alkali, katalis asam, atau enzim. Katalis alkali yang biasa digunakan antara lain NaOH, KOH, karbonat, natrium etoksida (C2H5ONa), natrium peroksida (Na2O2) dan natrium butoksida (C4H9NaO). Katalis assam yang digunakan antara lain asam sulfat, asam sulfonat, dan asam hidroklorida. Sedangkan sebagai katalis enzim dalam proses transesterifikasi biasa digunakan lipase (Nilawati, 2012: 18).
Pada reaksi transesterifikasi, metanol lebih umum digunakan karena harganya lebih murah dan lebih mudah untuk direcovery. Transesterifikasi merupakan suatu reaksi kesetimbangan. Untuk mendorong reaksi agar bergerak ke kanan sehingga dihasilkan methyl ester (biodiesel) maka perlu digunakan
18
alkohol dalam jumlah berlebih atau salah satu produk yang dihasilkan harus dipisahkan (Yuniwati & Karim, 2009: 131).
Beberapa faktor yang mempengaruhi kecepatan transesterifikasi adalah:
a. Suhu
Kenaikan suhu akan diikuti dengan kenaikan kecepatan reaksi pembentukan biodiesel semakin tinggi suhu sehingga semakin besar konversi yang dihasilkan. Namun suhu reaksi biodiesel sebaiknya berada di bawah titik didih pereaksi alkoholnya yakni metanol yang memiliki titik didih 65oC.
Keberadaan suhu di atas titik didih metanol dikhawatirkan akan menyebabkan penguapan metanol yang akan menghambat laju reaksi (Nilawati, 2012: 20).
b. Katalis
Katalis adalah substansi yang dapat meningkatkan laju reaksi pada suatu reaksi kimia yang mendekati kesetimbangan dimana katalis tersebut tidak terlibat secara permanen. Katalis meningkatkan laju reaksi dengan cara mempengaruhi energi pengaktifan suatu reaksi kimia. Keberadaan katalis akan menurunkan energi pengaktifan, sehingga reaksi dapat berjalan dengan cepat (Utomo & Laksono, 2007: 111).
Katalis yang digunakan dalam proses pembuatan biodiesel dapat menggunakan katalis asam maupun katalis basa. Katalis basa yang dapat digunakan antara lain, NaOH, KOH, NaOCH3, dan KOCH3. Konsentrasi katalis yang semakin tinggi akan semakin meningkatkan laju reaksi pembentukan
19
biodiesel. Konsentrasi katalis basa yang digunakan biasanya antara 0,5-1,5% dari jumlah minyak nabatinya (Nilawati, 2012: 19).
c. Waktu Reaksi
Lamanya waktu reaksi mempengaruhi jumlah produk yang diperoleh.
Semakin lama waktu reaksi maka semakin banyak produk yang dihasilkkan karena semakin banyak reaktan yang saling bertumbukan satu sama lain.
Setelah produk terbentuk maka waktu reaksi menjadi tidak lagi mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap reaksi (Tohari, 2015:19).
d. Pengadukan
Pada reaksi transesterifikasi, reaktan-reaktan awalnya membentuk sistem cairan dua fasa. Reaksi dikendalikan oleh difusi diantara fase-fase yang berlangsung lambat. Pengadukan akan mempercepat jalannya reaksi. Setelah produk terbentuk maka pengadukan menjadi tidak lagi mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap reaksi. Pengadukan dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan campuran reaksi yang bagus. Pengadukan yang tepat akan mengurangi hambatan antar massa (Purwono, 2003).
8. Analisis Spektroskopi FTIR
Spektroskopi inframerah merupakan salah satu metode dalam identifikasi struktur suatu senyawa yaitu dengan mengetahui adanya gugus-gugus fungsional utama dalam suatu sampel. Pada spektroskopi inframerah, setiap gugus fungsi pada suatu senyawa akan menyerap radiasi inframerah pada panjang gelombang yang karakteristik.
20
Apabila sinar inframerah dilewatkan melalui cuplikan, maka sejumlah molekul-molekulnya dapat menyerap (mengabsorpsi) energi dan terjadilah transisi diantara tingkat vibrasi (ground state) dan tingkat vibrasi tereksitasi (excited state). Molekul - molekul tertentu dalam suatu senyawa akan menyerap
sinar infra merah pada frekuensi yang tertentu pula, jika dalam molekul tersebut ada transisi tenaga. Transisi yang terjadi dalam serapan infra merah berkaitan dengan perubahan-perubahan dalam vibrasinya (Tohari, 2015: 24).
Tabel 3. Daftar Korelasi Spektra FTIR (Kinasih, 2016: 21)
Jenis Vibrasi Frekuensi (cm-1) Panjang Gelombang (µ) C = O
9. Parameter Analisis Biodiesel
Biodiesel yang telah terbentuk harus memiliki standar mutu agar dapat diaplikasikan ke dalam mesin diesel. Berikut ini adalah standar mutu biodiesel berdasarkan SNI 7182:2012 yang disajikan pada Tabel 4.
21
Tabel 4. Syarat Mutu Biodiesel Standar SNI 7182:2012 (anonim, 2012).
No Parameter SNI 7182:2012
1 Massa jenis pada 40 °C (Kg/m3) 850-890
Parameter -parameter analisis biodiesel antara lain : a. Massa jenis
Massa jenis adalah suatu angka yang menyatakan perbandingan massa bahan bakar minyak pada temperatur tertentu terhadap air pada volume dan temperatur yang sama. Bahan bakar minyak umumnya
22
mempunyai massa jenis antara 850-890 kg/m3, dengan kata lain massa jenis bahan bakar minyak lebih rendah daripada air (Havendri, 2008: 39).
b. Viskositas
Viskositas adalah suatu ukuran dari besarnya perlawanan suatu bahan bakar cair untuk mengalir. Viskositas yang besar akan menyebabkan kerugian gesekan di dalam pipa, kerja pompa akan berat, sulit penyaringannya, dan kemungkinan kotoran ikut terendap dan sulit mengabutkan bahan bakar.
Sedangkan viskositas yang terlalu rendah akan mengakibatkan bahan bakar dikabutkan terlalu halus, sehingga penetrasi ke ruang bakar rendah sehingga dapat merusak nozzle karena kurang pelumasan (Havendri, 2008: 39).
Viskositas suatu bahan bakar menjadi parameter yang sangat penting karena akan berpengaruh pada kinerja injektor mesin (Riyanti, Poedji & Catur, 2012:
76).
3. Titik Tuang (Pour Point)
Titik tuang yakni suatu angka yang menyatakan titik temperatur terendah dari bahan bakar minyak dimana bahan bakar masih dapat mengalir karena gaya gravitasi (Mulyadi, 2011: 442).
Titik tuang ini diperlukan untuk persyaratan praktis dari prosedur penimbunan dan pemakaian dari bahan bakar. Bahan bakar sulit dipompa/dialirkan di bawah suhu titik tuang (Suyanto & Arifin, 2003: 17).
23 a. Titik Nyala (Flash Point)
Titik nyala adalah temperatur dimana uap bahan bakar tepat menyala jika berdekatan dengan api. Makin tinggi angka setananya maka makin rendah titik penyalaannya. Titik nyala tidak memiliki efek pada unjuk kerja motor diesel. Titik nyala hanya diperlukan untuk pertimbangan keamanan dalam penyimpanan dari bahan bakar tersebut (Havendri, 2008: 39). Titik nyala ini diperlukan sehubungan dengan adanya pertimbangan-pertimbangan mengenai keamanan dari penimbunan minyak dan pengangkutan bahan bakar minyak terhadap bahaya kebakaran, (Rama, Roy, & Makmuri, 2006: 66 - 67).
b. Kalor Pembakaran
Maksud dari pengukuran kalor pembakaran biodiesel adalah untuk memperoleh data tentang energi kalor yang dapat dibebaskan oleh suatu bahan bakar dengan terjadinya proses pembakaran (Sinarep & Mirmanto, 2011).
Nilai kalori adalah angka yang menyatakan jumlah panas/ kalori yang dihasilkan dari proses pembakaran sejumlah bahan bakar dengan udara/
oksigen. Nilai kalori bahan bakar minyak berkisar antara 10.160 -11.000 Kkal/kg. Nilai kalori berbanding terbalik dengan berat jenis artinya semakin besar berat jenisnya maka semakin kecil nilai kalorinya. Sebagai contoh solar lebih berat daripada bensin, tetapi nilai kalorinya lebih besar bensin. Nilai kalori diperlukan untuk dasar perhitungan jumlah konsumsi bahan bakar minyak yang dibutuhkan mesin dalam suatu periode tertentu, (Suyanto & Arifin, 2003: 16).
24 B. Penelitian yang Relevan
Menurut Ramadhas, Jayaraj & Muraleedharan (2005) dengan judul
”Characterization and effect of using rubber seed oil as fuel in the compression ignition engines” menyebutkan bahwa minyak biji karet cukup menjanjikan sebagai Sumber bahan bakar alternatif. Penelitian yang dilakukan Ahmad dkk (2014) dengan judul “Study of fuel properties of rubber seed oil based biodiesel”
menyebutkan bahwa Konsentrasi katalis dan rasio alkohol terhadap minyak dalam reduksi FFA dan untuk variabel transesterifikasi yang paling mempengaruhi adalah rasio alkohol terhadap minyak. Pada penelitian ini dilakukan variasi rasio metanol/minyak yaitu 4/1 dan 8/1.
Menurut Yuniwati & Karim (2009: 130-136) dalam penelitiannya yang berjudul “Kinetika Reaksi Pembuatan Biodiesel dari Minyak Goreng Bekas (jelantah) dan Metanol dengan Katalisator KOH” menunjukkan katalisator KOH dapat mempercepat reaksi ke arah kanan antara trigliserid dan alkohol. Penelitian tersebut juga menyimpulkan bahwa katalis KOH dapat memperlambat reaksi ke arah kiri yaitu reaksi antara gliserol dan ester.
Menurut Widayat dan Suherman (2012) dalam penelitiannya yang berjudul “Biodiesel Production from Rubber Seed Oil Via Esterification Pocess”
menunjukkan bahwa kadar asam lemak bebas pada biji karet sangat tinggi (hampir 17%). Asam lemak bebas ini dapat diubah menjadi metil ester (biodiesel) melalui proses esterifikasi.
25
Menurut Fachri (2006: 98-105) dalam penelitiannya tentang pembuatan biodiesel dari minyak dedak padi menyatakan bahwa laju reaksi semakin cepat dengan bertambahnya suhu reaksi, volume metanol yang ditambahkan, berat katalis yang digunakan, dan kecepatan pengadukan. Penelitian yang dilakukan oleh Rachimoellah dkk (2009) dengan judul “Production of Biodiesel through Transesterification of Avocado (Persea gratissima) Seed Oil Using Base Catalyst” menunjukkan bahwa adanya pengaruh suhu dan rasio minyak molar terhadap metanol terhadap kadar metil ester biodiesel. Pada penelitian ini dilakukan variasi suhu transesterifikasi dan rasio metanol/minyak.
Penelitian Kusumaningtyas dan Bachtiar (2012) yang berjudul “Sintesis Biodisel dari Minyak Biji Karet dengan Variasi Suhu dan Konsentrasi KOH untuk Tahapan Transesterifikasi” menunjukkan hasil terbaik dalam variasi katalis KOH dan suhu pada reaksi transesterifikasi minyak biji karet menjadi metil ester adalah pada katalis KOH 1% dan suhu 600C. Pada penelitian ini konsentrasi KOH yang digunakan adalah 1%-berat minyak dan dilakukan variasi suhu transesterifikasi yaitu 45, 65, dan 85oC .
Pernah dilakukan penelitian oleh Yusuf (2010) yang berjudul “Sintesis dan Karakterisasi Biodiesel dari Minyak Biji Karet (Hevea Brasiliensis) melalui Proses Estrans (Esterifikasi-Transesterifikasi)” yang menggunakan katalisator NaOH. Dalam penelitian kali ini, katalisator yang digunakan pada proses transesterifikasi yaitu KOH. Selain itu, suhu yang digunakan pada penelitian ini
26
yaitu 45, 65 dan 85 °C dan lama waktu pengadukan selama 120 menit dengan rasio metanol/minyak adalah 4/1 dan 8/1.
C. Kerangka Berfikir
Kebutuhan energi di Indonesia kini semakin meningkat. Hal tersebut disebabkan oleh pertumbuhan penduduk, pertumbuhan ekonomi, dan pola konsumsi energi yang semakin meningkat. Ketersediaan energi di Indonesia semakin lama semakin menipis. Upaya yang dapat dilakukan adalah mencari sumber-sumber energi lain yang dikenal dengan energi terbarukan. Energi terbarukan adalah energi yang berasal dari bahan-bahan yang terdapat di alam dan dapat diproduksi dalam waktu yang cepat atau tidak akan habis. Salah satu jenis dari energi terbarukan tersebut adalah biodiesel. Biodiesel merupakan salah satu energi alternatif untuk menggantikan bahan bakar minyak (fosil) yang berasal dari bahan alam yang dapat diperbaharui.
Tanaman karet merupakan tanaman yang hidup didaerah tropis seperti Indonesia. Biji karet belum dimanfaatkan secara maksimal. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa biji karet memiliki kandungan minyak 40-50%-b/b. Minyak yang terkandung dalam biji karet tersebut dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku biodiesel.
Pada penelitian ini, minyak biji karet diambil dengan cara pengepresan.
Minyak biji karet yang sudah terambil digunakan sebagai bahan utama pembuatan biodiesel. Proses pembuatan biodiesel dilakukan melalui reaksi transesterifikasi . Pada reaksi transesterifikasi digunakan katalis basa yakni KOH dengan
27
konsentrasi 1% b/b selama 120 menit dengan variasi suhu yaitu 45, 65 dan 85 °C dan perbandingan rasio metanol/minyak yaitu 4/1 dan 8/1. Pengujian biodiesel hasil transesterifikasi dilakukan dengan instrumen spektroskopi Infra merah. Uji karakter biodiesel yang dihasilkan berupa massa jenis, viskositas, kalor pembakaran, titik tuang, dan titik nyala.
28 BAB III
METODE PENELITIAN
.
A. Subjek dan Objek Penelitian 1. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah biji karet (Hevea brasiliensis) 2. Objek Penelitian
Objek penelitian ini adalah biodiesel dari hasil reaksi transesterifikasi minyak biji karet (Hevea brasiliensis)
B. Variabel Penelitian 1. Variabel Bebas
Variabel bebas pada penelitian ini adalah suhu pada reaksi transesterifikasi yakni 45, 65 dan 850C, serta rasio molar metanol/minyak yaitu 4/1 dan 8/1.
2. Variabel Kontrol
Variabel kontrol pada penelitian ini adalah biji karet yang digunakan berasal dari PTPN IX, Semarang, Jawa Tengah, konsentrasi KOH 1%-berat minyak, dan jenis alkohol yang digunakan yaitu metanol p.a, serta waktu transesterifikasi yaitu 120 menit.
29 3. Variabel Terikat
Variabel terikat pada penelitian ini adalah karakter biodiesel yang dihasilkan, meliputi: massa jenis, viskositas, nilai kalor pembakaran, titik tuang, titik nyala serta analisis spektrum FTIR.
C. Alat dan Bahan Penelitian 1. Alat yang Digunakan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: seperangkat alat pres, bom kalorimeter di Laboratorium Teknologi Minyak Bumi Gas dan Batubara Teknik Kimia Fakultas Teknik UGM, neraca analitik, oven, corong, corong pisah, gelas ukur, statif dan klem, labu leher tiga, gelas beker, piknometer, pipet tetes, pipet gondok, pro pipet, termometer, penangas air, kaca arloji, magnetic stirrer, oswald, hot plate, erlenmeyer, sentriguse, dan buret.
2. Bahan yang Digunakan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji karet, arang aktif, larutan KOH 1%, metanol, akuades, larutan NaOH 0,1 N, indikator PP, etanol 96%, kristal asam oksalat, H2SO4 18M sebanyak 2%-berat minyak, larutan H3PO4 20%.
D. Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Penelitian Jurusan Pendidikan Kimia FMIPA UNY, Laboratorium Rekayasa PAU-UGM, Laboratorium Terpadu UII, Laboratorium Pusat Massa PAU-UGM, Laboratorium Teknologi Minyak Bumi, Gas, dan Batubara Jurusan Teknik Kimia FT UGM.
30 E. Prosedur Penelitian
1. Preparasi Sampel Biji Karet
Biji karet diperoleh dari PTPN IX Semarang, Jawa Tengah. Teknik pengambilan sampel dilakukan secara acak yang biasa disebut dengan teknik random sampling. Sampel yang diambil dianggap mewakili dari biji karet
yang ada di daerah PTPN IX, Semarang, Jawa Tengah. Biji karet ini kemudian diberi perlakuan awal yaitu dikeringkan di bawah sinar matahari selama kurang lebih 7 hari. Biji karet ini kemudian dikupas untuk mengambil bagian daging biji karet. Setelah itu daging biji karet dilakukan pengeringan kembali dengan menggunakan oven hingga sampel bebas air.
2. Pengambilan Minyak
a. Sebanyak 200 gram daging biji karet yang telah dipanaskan dalam oven dan dalam keadaan panas dimasukkan ke dalam tabung pres yang pada bagian bawah tabung sudah diberi kain saring.
b. Tabung pres ditutup kemudian mesin pres hidrolik dinyalakan.
c. Tuas pres ditarik ke bawah dengan tekanan 240 kN.
d. Minyak biji karet yang dihasilkan ditampung dalam wadah.
e. Langkah tersebut dilakukan secara berulang-ulang hingga seluruh biji karet habis.
3. Penjernihan Minyak
a. Ditimbang minyak biji karet hasil pengepresan sebanyak 1000 gram.
b. Ditimbang arang aktif sebanyak 10 gram.
31
c. Arang aktif dicampurkan kedalam 1000 gram minyak biji karet.
d. Campuran tersebut digojog dan didiamkan selama 48 jam.
e. Minyak disaring dengan menggunakan kertas saring secara berulang-ulang hingga jernih.
4. Degumming
a. Minyak biji karet dipanaskan di atas hot plate stirrer hingga mencapai suhu 80 oC sambil terus diaduk dengan magnetic stirrer.
b. Ditambahkan larutan asam fosfat 20% sebanyak 0,3% -berat minyak dan diaduk selama 30 menit.
c. Minyak biji karet dimasukkan ke dalam corong pisah dan dicuci dengan air hangat. Pencucian dilakukan secara berulang-ulang sampai air buangan mencapai pH netral.
d. Air yang masih tersisa di dalam minyak dihilangkan dengan cara pemanasan sampai suhu minyak 120 oC, lalu minyak dibiarkan hingga dingin pada suhu ruang.
5. Penentuan Asam Lemak Bebas (Free Fatty Acid / FFA) Minyak Biji Karet
a. Minyak biji karet ditimbang sebanyak 3 gram kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer.
b. Ditambahkan 50 ml etanol 96% netral.
c. Campuran tersebut dipanaskan hingga suhu mencapai 45oC.
d. Ditambahkan 3 tetes indikator phenolphtalein (PP).
32
e. Campuran tersebut dititrasi dengan larutan NaOH 0,1 N yang sudah distandarisasi sampai diperoleh warna merah jambu dan tidak hilang selama 30 detik.
f. Langkah tersebut diulangi sebanyak 3 kali.
g. Dilakukan perhitungan untuk menentukan kadar FFA minyak biji karet.
6. Reaksi Esterifikasi
a. Minyak biji karet ditimbang sebanyak 120 gram dengan menggunakan neraca analitik.
b. Ditimbang Katalis H2SO4 18M sebanyak 2% dari berat minyak dan dilarutkan dalam metanol yang akan dicampurkan ketika esterifikasi dengan berat metanol 21,5243 gram (rasio mol metanol : minyak = 20:1).
c. Minyak biji karet yang telah ditimbang dipanaskan di atas hot plate stirrer hingga suhu 60oC.
d. Setelah suhu mencapai 60oC, campuran katalis H2SO4 18M dan metanol di masukkan ke dalam minyak biji karet dan diaduk selama 60 menit.
e. Setelah melalui proses esterifikasi, campuran didinginkan dan dilakukan proses pemisahan fase aqueous dan fase minyak dengan menggunakan sentrifuge selama 30 menit.