• Tidak ada hasil yang ditemukan

Reaksi Indonesia

Dalam dokumen PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI (Halaman 70-74)

TERBENTUKNYA PGRS/ PARAKU

C. Reaksi Indonesia

Pada awalnya Indonesia tidak berkeberatan dengan rencana pembentukan Federasi Malaysia, meskipun koloni-koloni Kerajaan Inggris tersebut banyak yang berbatasan langsung dengan wilayah Indonesia di Pulau Kalimantan. Dalam surat kepada New York Times tanggal 17 November 1961, Menteri Luar Negeri Soebandrio menyampaikan dukungannya bagi Malaysia, seperti yang dikutip dari Cold War Shadow:

“ As an example of our honesty and lack of expansionist intent, one-fourth of the island of Kalimantan (Borneo), consisting of three Crown Colonies of Great Britain, is now becoming the target of the Malayan Government for a merger. Of course, the people there are ethnologically and geographically very close to the others living in Indonesian territory. Still, we do not show any objection toward this Malayan policy of merger. On the contrary, we wish the Malayan Government well if it can succeed with this plan”114 [sebagai salah satu contoh dari ketulusan hati kami dan tiada niat kami untuk bersifat ekspansionis, kami membiarkan seperempat Pulau Kalimantan (Borneo), yang terdiri dari tiga Koloni Kerajaan Inggris, menjadi sasaran Pemerintah Malaka untuk dilebur. Tentu saja masyarakat yang tinggal di koloni-koloni itu secara etnis dan geografis dekat dengan rakyat yang berdiam di wilayah Indonesia. Namun begitu, kami tidak keberatan sama sekali dengan kebijakan peleburan Malaka ini. Sebaliknya kami mengharapakan yang terbaik bagi Pemerintah Malaka sekiranya nanti berhasil dengan rencana ini] “

Satu minggu kemudian, dalam sebuah pidato di hadapan Majelis Umum PBB tanggal 20 November 1961, Soebandrio memberikan pernyataan serupa

113 Idem. 114

“When Malaya told us of their intentions to merge with the three British Crown Colonies… We told them that we have no objections and that we wish them success… Indonesia had no objections to merger based on the will of the people concerned”115 [Ketika Malaya memberitahukan kepada kami niat mereka untuk melebur dengan tiga koloni Inggris…, kami katakan kepada mereka bahwa kami tidak memiliki keberatan dan kami berharap semoga berhasil… Indonesia tidak menentang rencana peleburan tersebut bila rencana itu memang didasarkan pada kehendak masyarakat yang bersangkutan]

Pada awal Desember 1962, Indonesia mengubah sikapnya atas masalah ini, dari mendukung peleburan menjadi menentangnya. Perubahan yang tiba-tiba ini disebabkan karena terjadinya gerakan menentang Federasi Malaysia tanggal 8 Desember 1962 di Brunei, yang dipimpin oleh Syekh A.M. Azahari, Presiden Partai Rakyat Brunei. Azahari dan pengikutnya menyatakan berdirinya Negara Nasional Kalimantan Utara (Unitary State of North Kalimantan).116 Bagi Indonesia pecahnya perlawanan yang dikobarkan Azahari menunjukkan bahwa tidak semua masyarakat di bekas koloni Inggris menerima usulan untuk bergabung dalam sebuah negara federasi yang bernama Malaysia.

Menurut pandangan Indonesia, perlawanan tersebut merupakan bagian dari upaya menentang rekayasa kolonial. Bagi Indonesia masalah Brunei adalah masalah penentuan nasib sendiri. Perlawanan Rakyat Brunei yang dipimpin Azahari sama seperti perjuangan Indonesia untuk melawan kolonialisme. Dalam otobiografinya seperti yang dikutip dari Cold War Sahadow Bung Karno

115 Idem. 116

mengakui bahwa dia menerima pembentukan Malaysia ketika gagasan tersebut diperkenalkan pada tahun 1961. Tetapi revolusi anti-Malaysia di Brunei pada tahun 1962 tidak memberinya pilihan lain selain membantu Brunei, sebab dia percaya bahwa setiap rakyat berhak menentukan nasibnya sendiri.117

Alasan-alasan yang dikemukakan mengapa Indonesia menentang pembentukan Federasi Malaysia sangat berhubungan dengan politik Pemerintah Indonesia saat itu. Dalam Tandjungpura Berdjuang dapat disebutkan sebagai berikut:118 Pertama, politik Pemerintah Indonesia saat itu berdasarkan kepada Manipol Usdek, yang mendasarkan politik luar negerinya yang bebas aktif kepada “Anti Kolonialisme dan Imperialisme dalam segala bentuknya”. Gelora semangat anti kolonialisme dan imperialisme semakin hebat, karena bersamaan dengan saat pembentukan Federasi Malaysia itu, rakyat Indonesia juga sedang diliputi semangat perjuangan Tri Komando Rakyat untuk membebaskan Irian Barat dari penjajahan Belanda.

Kedua, Pemerintah Indonesia waktu itu menganggap bahwa gagasan pembentukan Federasi Malaysia adalah suatu bentuk “Proyek Kolonialisme” dari Inggris untuk mempertahankan kekuasaan dan kekuatan militernya di daerah-daerah Malaysia dan Asia Tenggara. Ketiga, Pemerintah Indonesia mengganggap gagasan pembentukan Federasi Malaysia hanya merupakan kedok dari Inggris dan sekutunya untuk mengepung Indonesia dan untuk tetap mempertahankan kekuasaannya di daerah Kalimantan Utara dalam bentuk lainnya yaitu neo-kolnialisme.

117

Ibid, hlm. 364. 118

Keempat, Pemerintah Indonesia beranggapan bahwa prosedur pembentukan Federasi Malaysia tidak memberikan sama sekali kesempatan kepada rakyat Kalimantan Utara untuk menyatakan kehendaknya secara bebas. Maka Indonesia tidak keberatan sama sekali dengan pembentukan Federasi Malaysia asal rakyat diberikan kesempatan menyatakan kehendak rakyat, terutama rakyat Kalimantan Utara.

Selain itu dapat pula ditambah alasan adanya keinginan agar Indonesia memainkan peran yang lebih besar di dalam masalah-masalah Asia Tenggara. Hal serupa dikemukakan Hilsman dalam bukunya To Move a Nation seperti yang dikutip dari Cold War Shadow “Indonesia’s opposition to Malaysia was part of the country’s expression of ‘new nationalism’ in which Jakarta wanted to stand tall in international affairs, particularly in dealing with former colonial power... Sukarno, moreover, was offended that the British never adequately consulted Indonesia on the federation plan”119 [Perlawanan Indonesia terhadap Malaysia adalah bagian dari ekspresi negara yaitu ‘nasionalisme baru’ di mana Jakarta ingin berdiri tinggi di masalah-masalah internasional, terutama sekali yang terkait dengan kesepakatan dengan bentukan kekuatan kolonial… Sukarno, lebih dari itu, merasa tersinggung Inggris tidak pernah meminta pendapat Indonesia dalam rencana federasi itu]

Menurut M.C. Ricklefs dalam bukunya Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, banyak pemimpin Indonesia menganggap bahwa Malaya tidak benar-benar

119

merdeka karena tidak terjadi satu revolusi di sana. Mereka merasa iri terhadap keberhasilan Malaya di bidang ekonomi, merasa curiga dengan tetap hadirnya Inggris di sana, dan merasa tersinggung karena Malaya dan Singapura membantu PRRI. Kini tampak Malaysia akan menjadi negara neo-kolonial karena tetap adanya pangkalan-pangkalan Inggris di sana.120

Dalam dokumen PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI (Halaman 70-74)