• Tidak ada hasil yang ditemukan

Reaksi Terhadap Modernitas: Teoritis dan Praktis

Ikhtiyar untuk mewujudkan Islam yang universal dan akomodatif terhadap perkembangan kontemporer, maka satu hal prinsip yang dilakukan adalah merespon modernisasi. Modern diterjemahkan oleh pemimpin muslim sebagai dorongan untuk menguasi pendidikan, teknologi dan industri Barat.94 Jika modern berarti mengejar pendidikan Barat, teknologi dan industrialisasi pada fase pertama periode pasca kolonial, postmodern bisa berarti kembali pada nilai-nilai tradisional muslim dan menolak modernisme. Ini akan membangkitkan respon kaum muslim, dari politik hingga pakaian dan arsitektur.95

94 Akbar S. Ahmed, Postmodernisme: Bahaya dan Harapan Bagi Islam, Bandung: Penerbit Mizan, 1992, hal. 46.

95 Ibid, hal. 46. Kegagalan Islam untuk mencapai garis modernisasi yang mengarah pada bidang pendidikan, tentuya Fazlur Rahman menampilkan sebuah ide besar modernisasi Islam yang bangkit dari negerinya Pakistan. Unsur modernisasi itu mengandung nilai demokrasi sebagai simbol kehidupan. Bagi Akbar S. Ahmed, ide demokrasi dan pemerintahan representatif juga didiskusikan, walaupun kelak yang memerintah hanya kalangan elite. Bagi mereka yang berpaling ke negara Komunis dan Moscow untuk mendapat bantuan, modernisme berarti ide-ide sekularisme yang berasal dari luar sosialisme dan industrialisasi yang dikendalikan negara. Pada 1960-an para ekonom dan penasehat dari dua adidaya membentangkan aturan-aturan penting bagi kemajuan modern, baik para ekonom Harvard di Pakistan atau para perencana Moscow di Kairo. Perjanjian-perjanjian atau fakta-fakta keamanan mengikat negara-negara muslim dengan salah satu negara adidaya: Pakistan di masa Ayyub melalui CENTO dan SEATO dengan Amerika Serikat, Mesir di masa Nasser dengan Uni Sovyet.

Proyek-Fazlur Rahman benar-benar ingin sekali menciptakan sebuah iklim Islam yang benar-benar responsif terhadap perkembangan dunia. Alasan yang ditekankan oleh Fazlur Rahman adalah mengenalkan kepada publik bahwa Islam mampu menjawab tantangan intelektual dan spiritual.96 Dalam kerangka inilah modernisasi yang diketengahkan oleh Fazlur Rahman adalah ada pada tiga sektor: modernisasi intelektual, modernisasi politik dan modernisasi masyarakat.

Ini menunjukkan bahwa bagian yang terpenting untuk digarap adalah sebuah fundamen utama dalam proses menuju masyarakat Islam yang modern dan terhindar dari kemerosotan peradaban. Kadang kita bertanya: Mengapa terjadi kemerosotan peradaban Islam yang sedemikian tragis dan menjadikan umat Islam jauh tertingal dari laju-laju bangsa-bangsa Barat modern?

Pemikiran dan penelitian masalah Islam pada umumnya menyimpulkan merupakan sebab paling utama kemunduran umat Islam. Tak pelak, al-Ghazali (1111 M) pun dituduh sebagai orang

proyek sentral prestisius—bendungan Aswannya Nasser, Islamabadnya Ayyub— menjadi simbol kebanggaan nasional; para perencana negara menjadi manusia bijaksana di belakang rencana pembangunan ekonomi lima tahun yang mencakup semua aspek kehidupan, dari kesehatan hingga industri dan pendidikan; pemerintah menjadi pembawa panji-panji modernitas. Sebagaimana diinformasikan oleh Oxford English

Dictionary, yang menjadi isu sentral adalah mengupayakan agar keyakinan agama serasi

dengan pemikiran modern. Dengan demikian, ada kualitas meniru-niru pada modernisme muslim. Kadang-kadang para pemimpin ini berbicara menentang Barat, tetapi ada tanda-tanda yang menyingkapkan mengapa mereka bersikap demikian. Stelan mereka yang bergaya Barat, misalnya, menunjukkan bahwa mereka tetap diperbudak. Sarjana seperti Hossein Nasr dan Fazlur Rahman, bergumul dengan konsepsi Barat tentang mosernisme dalam hubungannya dengan Islam.

96 Untuk menjawab tantangan intelektual dan spiritual ini Fazlur Rahman menganggap bahwa wahyu al-Qur’an sendiri sebagian adalah merupakan jawaban terhadap tantangan-tantangan yang dilontarkan kepadanya oleh agama-agama Yahudi dan Kristen yang lebih tua perkembangannya. Krisis intelektual dan kultural sudah muncul dalam tubuh Islam sejak abad 2 H/8 M hingga 4 H/10 M. Itupun belum lagi menghadapi persoalan intelektualisme Hellenis. Lihat Fazlur Rahman, Islam, Op.Cit, hal. 311.

yang bertanggung jawab atas kemunduran.97 Hampir seluruh aliran modern terkesan mengambil sikap yang ekstra hati-hati, kalau tidak dikatakan apriori terhadap sufisme. Akibatnya di berbagai tempat, dicemoohkan dan dituduh sebagai penghalang kemajuan dan dianggap perilaku keberagaman yang salah. Bahkan, ada negara yang secara tegas melarang keberadaan sufisme di wilayahnya, seperti Republik Turki dan Kerajaan Saudi Arabia.98

Faktor penyebab kemunduran peradaban Islam bukanlah hanya karena sufisme, melainkan banyak faktor lain yang diperkirakan andil dalam memicu kemunduran tersebut. Dalam topik sejarah bisa saja dikatakan, salah satu penyebabnya adalah Perang Salib yang berlangsung lebih dari dua ratus tahun, diikuti oleh keruntuhan Dinasti Abbasiyah dengan tragedi penyerbuan tentara Mongolia ke kota Bagdad, dan yang terakhir adalah ditemukannya jalur perniagaan laut yang menyebabkan kota dan peradaban daratan (termasuk negara Islam) menjadi lumpuh dan menurut perekonomiannya.

Ada satu kecenderungan di era modern ini, terdapat peningkatan signifikan dalam perhatian terhadap agama. Hal ini menurut Naisbitt dan Aburdene (1990) dikarenakan ilmu pengetahuan teknologi modern tidak memberikan makna tentang kehidupan sehingga muncul istilah turning to the East, sehingga fenomena bahwa agama akan mengalami kebangkitan. Itulah sebabnya mengapa akhir-akhir ini banyak orang Barat yang pergi ke India, Turki, Tibeth, srilangka, China dan Jepang: untuk menggali

97 Dr. Dadang Kahmad, M.Si, Tarekat dalam Islam: Spiritualitas Masyarakat Modern, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2002, hal. 63-70.

98 Di Turki tariqat kesufian memang dilarang karena dipandang sebagai gejala kebodohan umum dan tidak sesuai dengan sekularisme ajaran Kemal Atatruk. Begitu pula di Saudi Arabia yang menganut Wahabiyah melarangnya karena sufisme tidak dikenal pada zaman Nabi Muhammad SAW. Karena itu, ia dianggap menyimpang atau

tradisi kearifan spiritual yang berakar dari ajaran sufisme, Hindusme, Budhisme Zen, dan Taoisme dalam rangka mencari harmoni diri (the universal harmony), serta makna akibat kehidupan.99

Fase perkembangan modern oleh Fazlur Rahman juga dibagi menjadi dua, yaitu modernisme klasik dan modernisme kontemporer.100 Fazlur Rahman mengamati pergerakan kaum modernis Islam klasik yang digagas oleh Jamal al-Din al-Afghani mencakup hukum, sosial dan politik.101 Menurut Rahman, gerakan ini merupakan reformasi intelektual dan spiritual yang sangat luar biasa dan sangat menekankan persoalan-persoalan intelektual, moral dan spiritual yang concern, misalnya pada soal status wanita, pendidikan modern dan reformasi konstitusional, serta memotivasi untuk melakukan reformasi kemanusiaan dan kemajuan.102

Gerakan intelektual dan spiritual ini mencurahkan diri untuk melakukan inovasi-inovasi intelektual yang bertujuan menciptakan ummah yang mampu menghadapi tantangan dunia modern. Dalam mengilustrasikan sistem pendidikan dan pengajaran dalam Islam

99 Kebangkitan agama menurut Naisbitt (1990), di era post-modernisme ini ialah agama dalam pengertian spiritualitas, bukan organized religion. Penilaian ini boleh jadi didasarkan pada kegagalan agama-agama di Barat, khususnya Kristen. Menurut Kintter, dari tiga agama besar penerus ajaran Ibrahim, Kristenlah yang memiliki reputasi terjelek dalam hal sikap toleransi. Agama Kristen cenderung menuntut loyalitas dan melahirkan sikap eksklusif hingga akhirnya menimbulkan kesan berlawanan dan bertentangan. Sementara itu, alur pemikiran dan watak dari post-modernisme menentang hal kedua tersebut. Kegagalan agama-agama di Barat dalam menangani perubahan sosial serta masalah yang ditimbulkannya terlihat dari merajalelanya kultus dan agama yang lebih rendah (sekte-sekte), seperti People’s Temple, Children of God, kelompok sekte David Kores,

Haven Gate dan Aryan Nations. Semua itu merupakan kompensasi dari dorongan

keagamaan yang tak tersalurkan secara wajar dan refleksi perasaan frustasi masyarakat negara maju. Lihat Dr. Dadang Kahmad, M.Si, Ibid, hal. 66.

100 Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas, Op.Cit, hal. 50-155.

101 Al-Afghani menyadari sepenuhnya akan adanya keuntungan dan kerugian dari kebudayaan Barat, misalnya, bagi kebebasan intelektual umat Islam dan hubungan antara Tuhan, manusia dan alam. Sebagai seorang sarjana muslim yang berkemampuan menonjol, Rahman mencoba untuk merenungi situasi dan kondisi umat Islam sejak masa Nabi SAW hingga masa sekarang,--ketika mereka harus berkompetisi dengan peradaban Barat, khususnya dalam bidang pendidikan tempat umat Islam mempelajari kemajuan dan keunggulan.

sekarang pada umumnya, Rahman, berdasarkan persepsinya mengenai situasi pendidikan yang terjadi di Pakistan, menyatakan umat Islam saat ini secara respektif menghadapi masalah-masalah ideologi dan dualisme.

Pertama, umat Islam tidak menyadari sepenuhnya terhadap pentingnya ilmu pengetahuan dalam kehidupan mereka. Mereka gagal merelasikan antara orientasi ideologi mereka dengan nilai penting ilmu pengetahuan, oleh sebab itu, mereka kurang terinspirasi untuk mempelajarinya. Mereka juga cenderung mengabaikan realitas bahwa Islam sangat mendorong mereka untuk belajar. Kedua, adanya dikotomi antara sistem ulama dan sistem pendidikan modern.103 Dikotomi yang semacam ini kelak akan melahirkan desintegrasi pengetahuan yang mana dari sana muncul pula sentimen-sentimen paham. Nampaklah sebuah kejanggalan dalam menilai universalitas Islam.

Padahal, Islam telah banyak diakui pemeluknya sebagai agama terakhir dan penutup dari rangkaian petunjuk (wahyu) Tuhan untuk membimbing kehidupan manusia. Islam juga mengklaim dirinya sebagai agama yang paling sempurna. Salah satu makna kesempurnan itu ialah bahwa Islam diyakini bersifat universal yang meliputi berbagai dimensi ruang dan waktu. Dengan ungkapan apologia, jika ditafsirkan secara kontekstual, Islam cocok untuk diterapkan kapan dan di mana saja, atau dalam bahasa al-Qur'an

103 Pada prinsipnya keduanya jelas mempunyai argumentasi masing-masing. Selain itu pula pertentangan yang ada bukan dinilai sebagai sesuatu yang mahal harganya. Sistem yang pertama, terutama kurikulum dan silabusnya, sangat memerlukan modifikasi agar produk-produknya mampu berkompetisi dengan kehidupan modern, sementara sistem yang paling belakangan, pendidikan modern, masih sangat jauh dari ideologi Islam dan nilai budaya dan sosialnya. Selain itu, masih adanya ‘kualitas yang yang rendah terutama dalam nilai kemanusiaan dan sains sosial’. Konsekuensinya, umat Islam harus bercermin pada suatu kenyataan bahwa pencarian mereka pada ilmu pengetahuan pada umumnya masih vakum; madrasah-madrasah pun kurang orisinil dan kreatif, dalam arti mereka cenderung lebih berkonsentrasi pada buku-buku daripada objek-objek persoalan sebenarnya yang menyebabkan mereka tidak bisa mencapai pemikiran kreatif sepenuhnya.

disebut rahmatan lil alamin (rahmat bagi semesta alam).104 Dalam rangka mewujudkan Islam rahmatan lil alamin, ada satu tawaran yag bisa dipakai utuk menjalankan sistem pendidikan Islam. Digambarkan oleh Syarif Hidayatullah:

Para pelajar, demikian Rahman mengatakan, lebih termotivasi untuk mempelajari kitab Hidayat dan Baydawi di samping fiqh dan tafsir. Hasilnya, mereka kurang kritis dan analistis dalam memahami ilmu pengetahuan tertentu yang disebut ‘ilm’ atau ‘hidayah’. Hal ini berarti bahwa tingkat intelektual yang normal seharusnya sesuai dengan kondisi masyarakat Islam sekarang dalam mengatur institusi-institusi baru seperti pendidikan, industri, sains dan tehnologi yang memiliki problem-problem riil yang harus diatur dengan berbagai cara seperti asimilasi, adaptasi, modifikasi, dan, kalau perlu, penolakan. Berdasarkan fakta ini, Rahman ingin menegaskan perlunya dilakukan modernisasi intelektualisme Islam sebagai upaya-upaya yang memadai dalam membangun ummah muslim melalui modernisasi pendidikan, yang sesungguhnya hal ini merupakan faktor menentukan dalam masyarakat modern yang kondisi dan situasinya selalu berubah dari waktu ke waktu dan dengan melalui komunikasi, pendidikan dan pola-pola pengembangan lainnya.

Pergolakan pemikiran Islam di India dan Pakistan—juga di dunia Islam lainnya—adalah gerakan pemikiran yang tidak mungkin terjadi dalam kekosongan. Dorongan dari luar, kuat ataupun lemah, adalah erat hubungannya dengan kebiasaan berpikir dan sistem ide yang ada dalam pikiran muslim itu sendiri. Kita tidak bisa mengharapkan untuk dapat memahami pemikiran modern dalam Islam, baik di India dan Pakistan maupun lainnya, kecuali kita harus memahami latar belakang dari ide-ide Islam yang ada.105 Ide besar yang ada dalam Islam tentunya sangat dipengaruhi banyak oleh pola peradaban yang berkembang di daerah tersebut. Termasuk apa yang sedang berkembang di India.

Untuk mengetahui pemikiran Islam modern India dan Pakistan, latar belakang yang paling memberi petunjuk adalah keadaan Islam pada abad kesembilan belas atau paling awal pada

104 Dr. Dadang Kahmad, M.Si, Op.Cit, hal. 67.

105 H. A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, Bandung: Penerbit Mizan, hal. 10.

abad kedelapan belas.106 Tetapi itulah soal-soal yang menjadikan pengetahuan kita sangat terbatas karena kurangnya literatur. Biasanya para penulis memusatkan pembahasannya pada abad-abad pertama, dari perkembangan ilmu kalam dan fiqh dan timbulnya tasawuf dan tarikat.

Setelah abad ketiga belas atau sekitar itu, orang menduga bahwa dari segi agama, Islam mengalami kemandekan—yaitu tetap berada dalam bentuk yang dicetak oleh ulama-ulama dari abad-abad pembentukan sebelumnya. Bahkan seringkali mereka beranggapan bahwa kalau pun ada perubahan, maka perubahan itu berisi kemunduran. Terkadang pembaharuan dalam tubuh Islam disalah artikan.

Cara berfikir yang semacam ini adalah a-historis, mengawang-awang, tidak mau melihat kenyataan yang sebenarnya yang berada di depan kasat mata kelompok yang berpola pikir begini. Diantara akibatnya adalah berlakunya proses penghijrahan otak (brain-drain) dari negara-negara muslim, khususnya di Asia Barat dan Afrika Utara, ke dunia non-muslim, demi mencari kebebasan.107 Bukankah gejala semacam ini sebuah tragedi? Tampaknya tragedi ini masih akan terus berlanjut selama orang tetap saja berkutat bahwa sistem demokrasi ini tidak sejalan dengan Islam, sekalipun ini sebenarnya hanyalah sebuah helah belaka untuk melestarikan despotisme dalam jubah agama. Sistem yang semacam ini pulalah yang hendak diimpor

106 Dalam beberapa hal, pandangan di atas tampaknya betul, dan memang pendapat itu dimiliki oleh banyak sarjana-sarjana muslim modern sendiri. Tetapi kita harus ingat bahwa tidak ada organisasi kepercayaan dan pemikiran umat manusia yang begitu besar, seperti Islam, benar-benar berhenti selama lebih dari enam abad. Memang adalah betul formulasi-formulasi eksternal dari agama Islam menunjukkan perkembangan yang sedikit sekali selama enam abad itu. Tetapi sebenarnya struktur-dalam dari kehidupan agama umat Islam mengalami adaptasi yang luar biasa struktur-dalam menghadapi pelbagai macam masalah, yang prosesnya menimbulkan energi yang ekspansif yang menemukan penyalurannya dalam pelbagai macam kegiatan.

107 Ahmad Syafi’i Ma’arif, Membumikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995, hal. 95-96.

oleh sementara orang yang singkat akal ke negeri-negeri muslim yang lain.

Fazlur Rahman memulai pembahasan sekitar pertengahan abad keduapuluh, terutama karena kemerdekaan negeri-negeri muslim dari hegemoni politik Barat umumnya terjadi pada masa ini. Negeri-negeri muslim Asia Tengah masih terus berada dalam tripel dominasi komunis Rusia: domimasi politik, ekonomi, dan—jauh lebih jahat daripada bentuk kolonialisme yang manapun dalam sejarah—dominasi intelektual-moral. Tetapi perjuangan kaum muslimin di sana masih terus hidup, dan belakangan ini pihak penguasa Uni Sovyet tampaknya juga telah menyadari bahwa setidak-tidaknya mereka perlu nampak melonggarkan pemencilan yang selama ini dilakukan dengan ketat dan keras atas kaum muslimin Asia Tengah dari bagian dunia Islam lainnya. Pada bulan Mei 1977, suatu konperensi Islam internasional diselenggarakan di Tasykent, dimana potensi Islam dan “kontribusi moral” kaum muslimin bagi perdamaian dunia dibahas dan dikemukakan. Fazlur Rahman menjelaskan:

Terdapat bukti bahwa aktivitas-aktivitas pendidikan dan dakwah Islam bawah tanah masih terus berjalan dan menyatakan tekadnya bahwa Islam tidak akan bisa ditelan begitu saja oleh raksasa Marxis-Leninis. Akan tetapi, sedikit sekali yang bisa diketahui mengenai isi kegiatan-kegiatan pendidikan tersebut, yang mungkin kelak akan terungkap. Kedua, kemerdekaan politik negeri-negeri muslim telah berarti bahwa kaum muslimin sedang berupaya untuk memikirkan kembali masalah pendidikan dalam usaha keseluruhan mereka untuk membangun kembali masyarakat Islam. Hal ini berlaku bagi seluruh kawasan dunia Islam yang memperoleh kemerdekaan politik; sebagian dunia Islam mencapai tahap tersebut sesudah melakukan perjuangan yang jauh lebih berat dari bagian dunia Islam lainnya—seringkali dengan menggunakan senjata. Tetapi, seperti telah saya tunjukkan pada akhir bab yang lalu, pendidikan Islam di Turki juga telah bangkit kembali pada pertengahan abad ini sesudah seperempat abad lamanya lumpuh terkena dampak reformasi Kamalis. Bahkan juga di Mesir, sebuah era yang benar-benar baru dan bermakna telah merekahkan fajarnya sesudah revolusi 1952, khususnya sesudah “peristiwa Suez” pada tahun 1956. peristiwa-peristiwa semacam itu dalam kehidupan masyarakat memiliki dampak yang vital dalam seluruh segi kehidupan yang penting, walaupun pada permukaannya peristiwa-peristiwa tersebut tampak terisolir. Ketiga, karena alasan-alasan tersebut,

maka masalah-masalah pendidikan, termasuk pendidikan agama, mengambil bentuk yang realistis dan memperoleh kesegaran yang tidak diperoleh di masa penjajahan di mana privilese dan tanggung jawab untuk mengelola masalah-masalah di negeri-negeri muslim secara pokok berada di tangan penguasa-penguasa asing.108

Modernisme kontemporer dan modernisme klasik bagi Fazlur Rahman adalah paradoks. Tokoh-tokoh yang cukup terkenal dalam modernisme klasik adalah Sayyid Ahmad Khan (India), Sayyid Amir Ali (India), Sayyid Jamaluddin Al-Afghani (Persia), Namik Kemal (Turki) dan Syaikh Muhammad Abduh (Mesir). Menurutnya, modernisme klasik benar-benar berkepentingan dengan reformasi internal—lihat misalnya Muhammad ‘Abduh dan Sayyid Ahmad Khan—namun pada pokoknya ia terlibat dengan usaha-usaha untuk menentang Barat, sementara modernisme pasca kolonial sekarang ini, paling tidak pada prinsipnya, berkepentingan dengan reformasi dan rekonstruksi internal. Sedangkan modernisme kontemporer banyak dilihat dari perkembangan yang ada di Universitas Al-Azhar Mesir.

Disamping itu, situasinya juga berbeda, modernisme klasik hanya bisa bertindak secara parsial, tak sistematis, dan lambat— karena dalam bidang teori ia lebih banyak merupakan tindakan untuk mempertahankan Islam. Maka ia lebih banyak melakukan tanggapan terhadap masalah-masalah yang ditimbulkan oleh kritikus-kritikus Barat, sementara dalam bidang praktis kebutuhan yang mendesak untuk melaksanakan reformasi yang cepat dan sistematis seringkali sulit dirasakan karena tidak adanya rasa tanggung jawab yang hakiki dan kogkrit untuk menyelesaikan masalah.109

108 Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas, Op.Cit, hal. 99-100. 109 Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas, Op.Cit, hal. 99-100.

Pada prinsipnya, kedua model modernisme yang dikembangkan oleh Fazlur Rahman ini berkisar pada perbedaan ruang dan waktu. Selanjutnya lebih banyak dialihkan pada pola pengembangan rekonstruksi arah tradisi yang sama-sama dipandang untuk diperbaharui secara bersama. Pada kondisi yang semacam inilah Rahman memberikan garis yang cukup tebal untuk melakukan pembenahan, baik secara internal maupun secara eksternal.

Setelah mengetahui sebuah titik terang perbedaan modernisme klasik dan kontemporer, hendaknya juga disertakan reaksi yang dilakukan untuk menghadapinya, baik secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis, sebagai pertimbangannya Fazlur Rahman mengenalkan dua pendekatan:

Dua pendekatan dasar kepada pengetahuan modern telah dipakai oleh teoris-teoris muslim modern: Pertama, bahwa pemerolehan pengetahuan modern hanya dibatasi pada bidang teknologi praktis karena pada bidang pemikiran murni kaum muslimin tidaklah memerlukan produk intelektual Barat—bahkan produk tersebut haruslah dihindari, karena mungkin sekali akan menimbulkan keraguan dan kekacauan dalam pikiran muslim, di mana sistem kepercayaan Islam tradisional telah memberikan jawaban-jawaban yang memuaskan bagi pertanyaan-pertanyaan puncak mengenai pandangan dunia. Kedua, bahwa kaum muslimin tanpa takut bisa dan harus memperoleh tidak hanya teknologi Barat saja, tapi juga intelektualismenya, karena tak ada satu jenis pengetahuanpun yang merugikan, dan bahwa bagaimanapun juga sains dan pemikiran murni dulu telah dengan giat dibudidayakan oleh kaum muslimin pada awal abad pertengahan, yang kemudian diambil alih oleh orang Eropa sendiri. Secara yakin, terdapat berbagai nuansa dari pandangan-pandangan ini dan juga posisi-posisi “tengah”—misalnya yang menyatakan bahwa di samping teknologi, sains murni juga berguna, tapi pemikiran murni Barat modern tidak, atau pandangan yang lebih baru bahwa teknologi bahkan bisa merugikan tanpa pendidikan etika yang memadai—tetapi kedua pendekatan yang dikemukakan di sini bisa menjadi titik tolak bagi pembahasan modernis mengenai pendidikan.110

Rahman mencoba untuk membuat kerangka teori itu untuk menuju pada pendekatan praktis. Pandangan yang pertama tersebut akan mendorong menuju suatu sikap yang dualistis dan pada

akhirnya akan menghasilkan kondisi pikirian yang “sekularis”, yakni suatu dualitas loyalitas kepada agama dan urusan duniawi.111

Adapun reaksi terhadap modernitas secara praktis dicatatkan oleh Fazlur Rahman dalam bidang pengajaran dan seluruh sistem pendidikan agar berjalan dengan rapi dan terstruktur secara disiplin. Ini ditunjukkan dengan sebuah pelaksanaan sistem pendidikan yang terjadi di Pakistan, India, Turki, Mesir dan negara Islam lainnya.

111 Pendekatan yang pertama juga dipandang secara yakin sebagai jawaban yang tepat terhadap prolema modernisasi pendidikan pada awal modernisme Turki, dimana pendidikan modern diidentikkan dengan “ketrampilan-ketrampilan yang bermanfa’at” dan “pengetahuan praktis”. Alasan utama dari sikap resmi ini, tentu saja, adalah bahwa kaum ulama, yaitu kelas resmi pemimpin-pemimpin agama, menentang pemodernisasian pikiran Muslim melalui pendidikan: memperoleh ketrampilan-ketrampilan praktis, yakni pengetahuan profesional (teknik, kedokteran dan sebagainya)

Dokumen terkait