• Tidak ada hasil yang ditemukan

5.2. Periode Setelah Krisis Ekonomi Tahun 1997 – 2010 1. Realisasi Penerimaan Negara

5.2.2. Realisasi Belanja Negara

Dalam kurun waktu pasca krisis (2000-2010), anggaran belanja pemerintah pusat terus mengalami kenaikan dan tumbuh rata-rata 16.7 persen per tahun menjadi sebesar Rp628.8 triliun pada tahun 2009, dan dalam APBN-P tahun 2010 mencapai Rp781.5 triliun. Peningkatan volume belanja pemerintah pusat dalam kurun waktu tersebut dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal yang mempengaruhi perkembangan belanja pemerintah pusat adalah perkembangan berbagai indikator ekonomi makro, seperti harga minyak mentah Indonesia (ICP) yang mempengaruhi besaran belanja subsidi khususnya subsidi energi. Faktor eksternal lainnya yang mempengaruhi perkembangan belanja pemerintah pusat yaitu nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang memiliki pengaruh terhadap pembayaran utang pemerintah. Sementara itu, faktor internal yang mempengaruhi perkembangan belanja pemerintah pusat misalnya kenaikan

-50,0 100,0 150,0 200,0 250,0 300,0 350,0 400,0 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

gaji pegawai ataupun meningkatnya jumlah pegawai negeri yang disebabkan oleh bertambahnya jumlah lembaga non-struktural.

Selama enam tahun terakhir (2005-2010), sebagian besar dari realisasi anggaran belanja pemerintah pusat merupakan belanja operasional yaitu belanja pegawai, belanja barang, subsidi dan pembayaran bunga utang, rata-rata mencapai 73.5 persen dari total belanja pemerintah pusat. Proporsi terbesar dalam belanja pemerintah pusat yaitu subsidi, yang pada tahun 2005 sebesar Rp120.8 triliun menjadi sebesar Rp201.3 triliun pada APBN-P tahun 2010. Alokasi belanja terbesar kedua yaitu belanja pegawai sebesar Rp54.3 triliun pada tahun 2005, menjadi sebesar Rp162.7 triliun pada APBN-P tahun 2010.

Tabel 24. Komposisi Belanja Pemerintah Pusat Periode Setelah Krisis, 2000 – 2010.

(%)

Jenis Belanja 2000 2001 2002 2004 2005 2007 2008 2009 2010

Subsidi 33.3 29.7 17.9 30.8 33.4 29.8 39.7 22.0 25.8

Belanja Pegawai 15.7 14.9 17.6 17.7 15.0 17.9 16.3 20.3 20.8

Pemb. Bunga Utang 26.6 33.5 39.1 21.0 18.1 15.8 12.8 14.9 13.5

Belanja Barang 5.1 3.8 5.7 5.2 8.1 10.8 8.1 12.8 14.4

Belanja Modal 13.7 16.0 16.7 20.7 9.1 12.7 10.5 12.1 12.2

Belanja Lain-Lain 5.6 2.2 3.0 4.6 16.3 13.0 12.7 17.9 13.4

Belanja Pusat 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0

Sumber : LKPP, Kementerian Keuangan RI, Tahun 2000-2010

Alokasi belanja terbesar ketiga yaitu pembayaran bunga utang yang selalu meningkat setiap tahunnya, dari Rp65.2 triliun pada tahun 2005, menjadi sebesar Rp105.7 triliun pada APBN-P tahun 2010. Selanjutnya, belanja barang ternyata juga mengambil proporsi yang cukup besar dalam belanja pemerintah pusat, bahkan cenderung lebih besar dibandingkan pembayaran bunga utang pada

periode dua tahun terakhir ini yaitu Rp112.6 triliun pada APBN-P tahun 2010 menjadi Rp137.8 triliun dalam APBN 2011.

5.2.2.1. Belanja Pegawai

Secara nominal realisasi anggaran belanja pegawai dalam kurun waktu 2005-2010 mengalami peningkatan rata-rata 24.6 persen per tahun, yaitu dari Rp54.3 triliun pada tahun 2005, menjadi sebesar Rp162.7 triliun dalam APBN-P tahun 2010, dan diperkirakan mencapai Rp180.8 triliun dalam APBN tahun 2011. Sementara itu, proporsi belanja pegawai terhadap belanja pemerintah pusat juga cenderung mengalami peningkatan, dan mengambil porsi yang cukup besar yaitu sekitar 21.61 persen pada APBN tahun 2011.

Besaran anggaran belanja pegawai tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti perkembangan jumlah pegawai dan penerima pensiun (beserta keluarga yang ditanggung), komposisi pangkat dan jabatan pegawai, serta beberapa kebijakan pemerintah misalnya terkait kenaikan gaji PNS dan TNI/Polri serta kenaikan pokok pensiun yaitu sebesar rata-rata 15 persen pada tahun 2006 dan 2007, sebesar rata-rata 20 persen pada tahun 2008, sebesar rata-rata 15 persen pada tahun 2009, dan rata-rata 5 persen pada tahun 2010.

5.2.2.2. Belanja Barang

Dalam periode 2005-2010, anggaran belanja barang secara nominal terus mengalami peningkatan, rata-rata sebesar 31 persen per tahun, yaitu dari Rp29.2 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp112.6 triliun pada APBN-P tahun 2010, dan diperkirakan mencapai Rp137.8 triliun pada APBN tahun 2011. Sementara itu, perkembangan proporsi belanja barang terhadap belanja pemerintah pusat juga

terus mengalami peningkatan, yaitu 8.1 persen pada tahun 2005, menjadi 14.4 persen pada APBN tahun 2010, dan diperkirakan mencapai 16.47 persen pada APBN tahun 2011. Kenaikan realisasi anggaran belanja barang dalam kurun waktu tersebut, antara lain disebabkan oleh bertambahnya jumlah satuan kerja baru atau lembaga non-struktural yang berdampak pada meningkatnya kebutuhan akan barang dan aset milik pemerintah termasuk biaya pemeliharaannya. Disamping itu, kegiatan pemilu pada tahun 2009 juga telah menyebabkan peningkatan belanja barang.

5.2.2.3. Belanja Subsidi

Dalam rentang waktu 2000-2010, realisasi anggaran belanja subsidi mengalami peningkatan sebesar Rp80.5 triliun, atau tumbuh rata-rata 10.8 persen per tahun, dari sebesar Rp120.8 triliun (33.43 persen) pada tahun 2005, menjadi Rp138.1 (21.96 persen) triliun pada tahun 2009. Disamping itu, persentase belanja subsidi terhadap total belanja pemerintah pusat relatif besar, sekitar 20 hingga 40 persen. Belanja subsidi tersebut terdiri dari subsidi energi dan subsidi non-energi, dan porsi terbesar adalah untuk belanja subsidi energi khususnya subsidi BBM. Beberapa hal yang menyebabkan terus meningkatnya belanja subsidi diantaranya yaitu (1) meningkatnya harga minyak mentah dunia, (2) fluktuasi nilai tukar rupiah, (3) meningkatnya konsumsi BBM nasional sebagai akibat penetrasi industri otomotif, (4) ketidakmampuan perusahan migas negara dalam memenuhi kebutuhan energi dalam negeri sehingga harus impor. Jika belanja subsidi ini terus meningkat dan tidak dapat diatasi maka akan sangat berbahaya bagi kelangsungan pembangunan nasional.

Belanja subsidi didominasi oleh subsidi energi yang terdiri dari subsidi BBM dan subsidi Listrik. Dalam kurun waktu 2005-2010 secara nominal mengalami peningkatan sebesar Rp39.5 triliun, atau tumbuh rata-rata 6.6 persen per tahun, dari sebesar Rp104.4 triliun pada tahun 2005, menjadi Rp201.3 triliun pada tahun 2010, dan mencapai Rp187.6 triliun pada tahun 2011. Realisasi anggaran subsidi BBM secara nominal mengalami penurunan sebesar Rp6.7 triliun, atau menurun rata-rata 1.4 persen per tahun, dari sebesar Rp95.6 triliun pada tahun 2005, menjadi Rp88.9 triliun pada tahun 2010, dan diperkirakan mencapai Rp95.9 triliun pada tahun 2011. Realisasi anggaran subsidi listrik secara nominal mengalami peningkatan sebesar Rp46.3 triliun, atau tumbuh rata-rata 44.2 persen per tahun, dari sebesar Rp8.9 trilliun pada tahun 2005, menjadi Rp55.1 triliun pada tahun 2010, dan diperkirakan mencapai Rp40.7 triliun pada tahun 2011.

Tabel 25. Perkembangan Subsidi, Tahun 2005-2011

(Triliun Rupiah) Uraian 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Subsidi Energi 104.4 94.6 116.9 223 94.6 144 1. Subsidi BBM 95.6 64.2 83.8 139.1 45 88.9 2. Subsidi Listrik 8.9 30.4 33.1 83.9 49.5 55.1 Subsidi Non-Energi 16.3 12.8 33.3 52.3 43.5 57.3 1. Subsidi Pangan 6.4 5.3 6.6 12.1 13 13.9 2. Subsidi Pupuk 2.5 3.2 6.3 15.2 18.3 18.4 3. Subsidi Benih 0.1 0.1 0.5 1 1.6 2.3 4. PSO 0.9 1.8 1 1.7 1.3 1.4 5. Kredit Program 0.1 0.3 0.3 0.9 1.1 2.9 6.Minyak Goreng - - 0 0.2 - - 7. Subsidi Kedele - - - 0.1 - - 8. Subsidi Pajak 6.2 1.9 17.1 21 8.2 18.4 9. Subsidi Lainnya - 0.3 1.5 - - - Jumlah 120.8 107.4 150.2 275.3 138.1 201.3

Di sisi lain. perkembangan realisasi subsidi non-energi dalam rentang waktu 2005-2010 secara nominal mengalami peningkatan sebesar Rp40.9 triliun, atau tumbuh rata-rata 28.5 persen per tahun, dari sebesar Rp16.3 triliun pada tahun 2005, menjadi Rp43.5 triliun pada tahun 2009, dan diperkirakan mencapai Rp51 triliun pada tahun 2011. Dengan mempertimbangkan masih tingginya jumlah penduduk miskin di Indonesia, sebaiknya subsidi non-energi agar lebih ditingkatkan lagi khususnya subsidi pangan, karena terkait kebutuhan dasar masyarakat.

5.2.2.4. Pembayaran Bunga Utang

Pembayaran bunga utang dalam kurun waktu 2005-2010 secara nominal terus mengalami peningkatan, yaitu sebesar Rp40.5 triliun atau tumbuh rata-rata 12.8 per tahun, dari Rp65.2 triliun pada tahun 2005, menjadi sebesar Rp105.7 triliun pada tahun 2010. Dari realisasi pembayaran bunga utang, lebih dari 65 persen dari total pembayaran bunga utang digunakan untuk pembayaran bunga utang dalam negeri dan sisanya digunakan untuk pembayaran utang luar negeri. Pembayaran bunga utang yang terus meningkat sebagai akibat kebijakan defisit anggaran yang sangat bergantung dari utang.

Dalam periode 2005-2011, defisit APBN berada pada level kurang dari 2 persen terhadap PDB. Pada tahun 2005, defisit APBN mencapai Rp14.4 triliun (0.5 persen terhadap PDB) dengan realisasi pendapatan negara dan hibah sebesar Rp495.2 triliun, sedangkan belanja negara sebesar Rp509.6 triliun. Pada tahun-tahun selanjutnya, defisit APBN terus mengalami peningkatan, dimana pada tahun-tahun 2007 defisit APBN mencapai Rp49.8 triliun (1.3 persen terhadap PDB), yang

bersumber dari realisasi pendapatan negara dan hibah sebesar Rp707.9 triliun dan belanja negara sebesar Rp757.6 triliun. Kenaikan defisit anggaran pada tahun 2007 terkait erat dengan meningkatnya harga-harga komoditas internasional terutama harga minyak dunia sehingga mengakibatkan meningkatnya beban belanja subsidi. Selanjutnya, di tahun 2008 defisit APBN justru mengalami penurunan menjadi Rp4.1 triliun (0.1 persen terhadap PDB). Penurunan defisit anggaran pada tahun 2008 disebabkan oleh relatif rendahnya realisasi belanja Kementerian Negara/Lembaga (K/L), serta lonjakan penerimaan perpajakan yang jauh lebih besar dari yang direncanakan. Selanjutnya, di tahun 2009 defisit APBN kembali mengalami kenaikan menjadi Rp88.6 triliun (1.6 persen dari PDB) dengan realisasi pendapatan negara dan hibah sebesar Rp848.8 triliun dan belanja negara sebesar Rp937.4 triliun. Kenaikan defisit anggaran pada tahun 2009 dipengaruhi penurunan realisasi penerimaan negara baik dari penerimaan pajak maupun penerimaan bukan pajak, terutama karena terjadinya pelambatan kegiatan perekonomian sebagai dampak krisis ekonomi dunia.

5.2.2.5. Belanja Modal

Dalam rentang waktu yang sama, realisasi anggaran belanja modal secara nominal juga mengalami peningkatan, rata-rata 23.6 persen per tahun, yaitu dari sebesar Rp32.9 triliun pada tahun 2005, menjadi sebesar Rp95 triliun pada tahun 2010, dan diperkirakan mencapai Rp135.9 triliun pada APBN tahun 2011. Sementara itu, proporsi belanja modal terhadap belanja pemerintah pusat masih relatif lebih yaitu hanya sebesar 9.11 persen pada tahun 2005 dan menjadi sebesar 16.24 persen pada APBN tahun 2011. Proporsi tersebut masih sangat kecil jika

dibandingkan proporsi belanja pegawai dan belanja subsidi. Padahal, belanja modal sangat penting guna mendorong pertumbuhan, utamanya dalam mengatasi permasalahan bottleneck infrastuktur melalui pembangunan infrastruktur sehingga diharapkan dapat memacu pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi lagi serta meningkatkan domestic conectivity.

5.2.2.6. Komposisi Belanja Pusat dan Daerah

Realisasi belanja negara terus mengalami peningkatan yang sangat signifikan sebagaimana ditunjukkan Gambar 28. Realisasi belanja negara pada tahun 2005 sebesar Rp509.6 triliun yang terdiri dari belanja pemerintah pusat sebesar Rp361.2 triliun dan transfer ke daerah sebesar Rp150.5 triliun. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir (2006-2010), anggaran belanja pemerintah daerah terus mengalami kenaikan, yaitu dari 258.9 triliun pada tahun 2007 menjadi sebesar Rp443.5 triliun pada tahun 2010. Hal ini disebabkan oleh makin banyaknya jumlah daerah otonom baru hasil dari pemekaran daerah, tercatat pada tahun 2005 ada sekitar 389 daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) dan pada tahun 2011 telah bertambah menjadi 524 daerah.

Dana transfer ke daerah direalisasikan dalam bentuk transfer Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian. Jumlah dana perimbangan terus meningkat dari tahun ke tahun, pada tahun 2005 sebesar Rp143.2 triliun dan meningkat menjadi Rp334.3 triliun pada APBN 2011. Sedangkan untuk Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian juga terus mengalami kenaikan, pada tahun 2005 sebesar Rp7.2 triliun dan meningkat menjadi Rp58.7 triliun pada APBN 2011. Terus meningkatnya Dana Otsus dan Penyesuaian merupakan konsekuensi logis atas adanya ketetapan UU No.35 Tahun 2008 yang

mengharuskan alokasi Dana Otonomi Khusus sebesar 2 persen dari DAU Nasional untuk Provinsi Papua dan Papua Barat serta 2 persen dari DAU Nasional untuk Provinsi NAD. Sehingga peningkatan Dana Alokasi Umum akan sejalan dengan peningkatan Dana Otsus dan Penyesuaian.

Sumber: Kementerian Keuangan, 2011

Gambar 28. Komposisi Belanja Pemerintah Pusat dan Daerah Periode Paska Krisis, Tahun 1997-2010

Berdasarkan data pada Gambar 28, menunjukkan bahwa sejak tahun 2005 secara nominal besarnya dana perimbangan terus mengalami peningkatan, namun sebenarnya secara riil jumlah dana perimbangan tersebut semakin berkurang dari tahun ke tahun. Saat ini hampir 70 persen dana APBN digunakan untuk belanja pemerintah pusat termasuk untuk membayar angsuran pokok hutang negara dan bunga serta untuk subsidi. Gejala ini barangkali bisa dimaknai sebagai tanda-tanda kembalinya sistem sentralisasi dimana pemerintah pusat akan semakin

0 200 400 600 800 1.000 1.200 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 76 146 202 188 261 224 256 297 361 440 505 693 629 782 21 27 30 33 81 98 120 130 150 226 253 292 309 345

dominan dalam penguasaan sumber daya. Padahal sejatinya transfer ke daerah tersebut mempunyai tujuan antara lain untuk: (1) mengurangi kesenjangan fiskal antara pusat dan daerah (vertical fiscal imbalance) dan antardaerah (horizontal fiscal imbalance), (2) meningkatkan kualitas pelayanan publik di daerah dan mengurangi kesenjangan pelayanan publik antardaerah, (3) meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumberdaya nasional, dan (4) mendukung kesinambungan fiskal dalam kebijakan ekonomi makro.

Proporsi terbesar didalam dana perimbangan yaitu Dana Alokasi Umum sebesar 64,80 persen. Dana Alokasi Umum tersebut umumnya digunakan untuk membayar gaji pegawai, sehingga peningkatan DAU seiring dengan peningkatan jumlah pegawai negeri ataupun peningkatan gaji pegawai. Kemudian, proporsi terbesar kedua yaitu Dana Bagi Hasil sekitar 28.50 persen. Terakhir Dana Alokasi Khusus sekitar 6.7 persen. Dana Alokasi Khusus sendiri memiliki fungsi yang sangat vital bagi proses pembangunan di daerah, terutama untuk pembangunan infrastuktur. Sehingga sebaiknya proporsi Dana Alokasi Khusus tersebut terus ditingkatkan agar pembangunan di daerah-daerah kian merata.

Dokumen terkait