• Tidak ada hasil yang ditemukan

Realisasi Teknik Vokal

Pada pertemuan selanjutnya, mahasiswa diperkenal-kan teknik vokal yang digunadiperkenal-kan dalam tradisi salawat dulang. Teknik vokal yang digunakan antara lain ada-lah teknik suara dari perut dan teknik pernafasan yang harus terus dilatih karena dalam tradisi salawat dulang ini tukang salawat harus memiliki nafas yang panjang. Selain itu, tukang salawat juga harus melatih vokalnya agar tetap baik jika nantinya tampil karena satu tanggak lebih kurang menghabiskan waktu satu jam. Vokal yang penuh dengan vibrasi.

Mahasiswa kemudian mulai mempraktekkan vokal salawat dulang dengan diterapkan langsung pada teks yang telah mereka hafal. Meskipun telah menghafal, mereka tetap diperbolehkan praktek dengan melihat teks. Vokal salawat dulang pada dasarnya dibagi lagi menjadi dua, yaitu vokal tanpa tabuhan dan vokal yang diikuti dengan tabuhan dulang. Teks atau syair salawat dulang pada bagian awal, yaitu imbauan khotbah, dan khobah adalah vokal tanpa diikuti tabuhan dulang. Jadi, pada bagian ini mahasiswa belum perlu praktek mena-buh dulang. Bagian lagu batang, yamolai, dan seterusnya adalah vokal yang diikuti dengan tabuhan dulang. Jadi

mahasiswa kamudian barulah diperkenalkan dengan teknik menabuh dulang.

Setelah mahasiswa mendalami bagian teks imbauan

khotbah serta khotabah yang vokalnya belum

memerlu-kan tabuhan dulang, mahasiswa kemudian mulai mema-suki bagian teks yang memerlukan tabuhan dulang. Un-tuk itu mereka diperkenalkan dengan teknik dan posisi duduk serta memegang dulang. Untuk teknik ini, dosen akan mencontohkan secara langsung tanpa memerlukan media lain untuk kemudian dicontoh oleh mahasiswa. Motif pukulan dulang yang pada dasarnya berbeda di tiap bagian teks. Oleh karena itu, dosen akan mengajar-kan satu bagian perbagian kepada mahasiswa dengan praktek langsung mendendangkan teks diikuti menabuh dulang.

Mahasiswa yang mengikuti mata kuliah salawat dulang kemudian akan dibagi oleh dosen berdasarkan kemampuan olah vokalnya untuk menjadi beberapa grup salawat dulang. Satu grup terdiri dari dua orang yang salah seorang akan menjadi induk dan yang lain menjadi anak. Mereka kemudian mempelajari bagaima-na mendendangkan teks salawat dulang yang akan sam-bung-menyambung serta saling iring-mengiringi antara induk dengan anak. Dengan menyelesaikan bagian ini, mahasiswa akan segera dapat menampilkan satu tang-gak salawat dulang.

Pada awalnya, pengajar mata kuliah salawat dulang ini sempat mencoba metode pengajaran dengan meng-gunakan notasi. Akan tetapi, hal itu tidak berlangsung lama, karena menurut Bapak Firdaus penggunaan notasi

pada seni tradisi seperti salawat dulang akan membuat seni itu menjadi kaku dan tidak lagi indah didengar46. Setelah metode pengajaran dengan menggunakan nota-si itu ditiadakan, pengajar salawat dulang lebih banyak mencontohkan langsung bait per-bait dari syair salawat dulang dengan irama, teknik vokal, serta teknik tabuhan dulang. Jadi mahasiswa mengikutinya seperti seseorang yang belajar irama membaca Alquran kepada gurunya.

Proses pewarisan seperti di atas dapat dikatakan ber-hasil jika selain banyaknya mahasiswa yang memperoleh nilai A atau B adalah munculnya tukang salawat-tukang salawat baru di tengah masyarakat yang merupakan hasil didikan dari STSI Padang Panjang melalui sistem tatakelola di atas. Namun begitu, menurut Bapak Fir-daus yang telah menjadi pengajar mata kuliah ini sejak awal dibuka di STSI Padang Panjang belum ada meng-hasikan tukang salawat profesional seperti halnya yang dihasilkan oleh masyarakat tradisi tanpa sistem tatakelo-la yang dipakai STSI47. Meskipun ada satu mantan ma-hasiswa STSI Padang Panjang, yaitu John E. Rizal yang telah menjadi tukang salawat professional di luar STSI, ia tidak mempelajari tradisi bersalawat di STSI. Ia sudah terlebih dahulu belajar sejak SMP kepada ayah dan ka-keknya yang juga tukang salawat.

Masih kurangnya keberhasilan pewarisan tradisi salawat dulang yang dilakukan di Program Studi Seni Karawitan ini disebabkan oleh beberapa hal berikut:

Minat dan kecintaan mahasiswa yang tidak tumbuh

46 Wawancara pada tanggal 19 Maret 2009 di Jurusan Karawitan STSI Padang Panjang. 47 Wawancara di Padang pada hari Sabtu, tanggal 10 Januari 2009

dengan sendirinya dan juga meskipun telah berusaha di-tumbuhkan oleh sang dosen, mereka belum memilikinya sepenuhnya karena juga dibatasi oleh masa perkuliahan yang hanya ±20 kali pertemuan.

Kecintaan mereka terhadap tradisi salawat dulang yang belum tumbuh juga diikuti dengan pecahnya kon-sentrasi atau fokus mereka untuk menguasai tradisi lainnya karena di Program Studi ini mereka tidak hanya dibekali keahlian bersalawat, tapi juga harus mengua-sai tradisi saluang dendang, alat musik talempong, salu-ang, sarunai, dan sebagainya. Pecahnya konsentrasi ini menurut Bapak Firdaus juga merupakan salah satu fak-tor yang membuat kurangnya keberhasilan pewarisan karena penguasaan terhadap satu seni tradisi tidak dapat dilakukan hanya dengan sekejap waktu atau tanpa per-hatian yang utuh dan penuh terhadap tradisi tersebut.

Kurangnya pengalaman di lapangan atau pengala-man mengikuti pertunjukan-pertunjukan di tengah masyarakat yang pada kenyataannya menjadi elemen penting untuk mengasah kemahiran dan keahlian tu-kang salawat. Jika hanya mengandalkan masa perkulia-han untuk mendapatkan ilmu dan keahlian bersalawat, keahlian itu justru belum akan didapatkan tanpa adanya keaktifan mahasiswa di tengah masyarakat.

Salawat dulang adalah bagian dari seni tradisi yang bersifat dinamis, selalu berubah sesuai dengan kondisi dan keadaan masyarakat pendukungnya. Masyarakat itu pula yang menentukan satu tradisi itu akan berfungsi seperti apa, perlahan hilang, atau mungkin tetap tum-buh dan berkembang. Proses pewarisannya pun selalu

akan mengalami penyesuaian sesuai dengan kondisi masyarakat saat pewarisan itu terjadi. Ketika metode pe-warisan serta proses-prosesnya “dibekukan” dalam satu silabus yang bahkan kadang dari tahun-ke tahun tidak diubah sangat bertentangan dengan sifat dinamis tradisi tersebut. Hal ini pula yang seringkali membuat proses pewarisan yang demikian ketat dan tertata atau dapat dikatakan “kaku”, seringkali tidak menghasilkan seni-man tradisi yang sebaik hasil pewarisan di masyarakat tradisi itu sendiri.