• Tidak ada hasil yang ditemukan

Refleksi terhadap Konsep Pendidikan Ki Hadjar Dewantara

Dalam dokumen bpk mengenal filsafat pendidikan (Halaman 117-124)

BAB V. FILSAFAT PENDIDIKAN KI HADJAR DEWANTARA

E. Refleksi terhadap Konsep Pendidikan Ki Hadjar Dewantara

Merefleksikan padangan Ki Hadjar Dewantara dapat menggunakan Teori Komunikasi Habermas melalui diskursus teoretis. Diskursus ini dapat ditelaah dari beberapa kritik yang diberikan oleh beberapa pakar pendidikan terhadap konsep pendidikan, kemudian diusahakan untuk diketemukan konsensusnya. Konsensus ini merupakan esensi yang memiliki kebenaran hermeneutik yang bersifat emansipatoris (tidak memihak, dan membebaskan dari belenggu-belenggu kepentingan ideologis baik individu, sosial-budaya-ekonomi (Hardiman, 1993: 200).

Beberapa kritik terhadap konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara dapat diidentifikasi sebagai berikut.

1. Pandangan Pendidikan Ki Hadjar Dewantara berkait erat dengan perjuangan politik kemerdekaan, yaitu konsep kunci pendidikan adalah pemerdekaan. Kritik terhadap pandangan ini adalah Ki Hadjar Dewantara sebagai tokoh nasional yang gagal dalam dunia politik saat itu. Oleh karena kiprahnya dalam kancah pergerakan beliau tidak dapat melahirkan partai politik sebagai alat perjuangan kemerdekaan sebagaimana teman seperjuangannya, misalnya: Bung Karno (PNI), Kyai Haji Ahmad Dahlan (Syariat Dagang Islam), dan Dr. Wahidin Sudirohoesodo (Budi Oetomo).

2. Konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara bercorak tradisional berbasis budaya Jawa, sehingga konsep-konsep ini hanya dapat dipahami oleh orang-orang

114

Jawa. Terminologi yang digunakan Ki Hadjar Dewantara hampir sebagaian besar menggunakan istilah Jawa. Selain itu, guru-guru taman siswa sebagian besar berasal dari suku Jawa, sehingga menimbulkan primordialisme kesukuan, contoh: untuk penyebutkan guru laki-laki dengan sebutan “Ki”, dan penyebutan guru perempuan adalah “Nyi”. Pandangannya ini akan mengakibatkan adanya eksklusifme (Ketamansiswaan). Pandangan ini menjadi tidak inklusif (terbuka) terhadap budaya selain Jawa.

3. Sistem among (sekolah berasrama) yang digagas oleh Ki Hadjar Dewantara tampaknya tidak dapat direalisasikan di sekolah Taman Siswa. Hal ini dikarenakan sistem among merupakan sistem pendidikan yang memerlukan dana cukup besar, dan sekolah taman siswapun sebagai pemilik gagasan ini juga tidak dapat menyelenggarakan sistem among. Kondisi ini menimbulkan kritik yang lebih keras terhadap Taman Siswa sebagai lembaga pendidikan swasta yang kurang maju, tidak dapat melaksanakan sekolah berasrama) dibandingkan dengan yayasan swasta berbasis agama (Muhammadiyah) MIN/MAN, Sekolah Islam Terpadu Berasrama (Boarding School)yang ahkir-akhir ini banyak berdiri di Yogyakarta dan sekitarnya,seperti: SMA IT Abubakar, Muhammadiyah Boarding School, SMA Katolik Van Lith di Muntilan.

4. Konsep-konsep pendidikan Ki Hadjar tidak membawa kemajuan dalam Pendidikan Taman Siswa. Hal ini terbukti sekolah-sekolah Taman Wiswa tidak termasuk sekolah yang favorit di kota Yogyakarta. Animo siswa yang masuk di sekolah Taman Siswa tidak sebanyak sekolah negeri atau swasta keagamaan favorit yang dapat memilih bahkan menolak siswa dalam penerimaan siswa baru. Selain itu, prestasi akademik yang dihasilkan oleh sekolah taman siswa tidak tampak.

5. Sarana dan prasarana pendidikan, termasuk gedung-gedung sekolah Taman Siswa kurang terawat dengan baik dan kurang memakai alat-alat pembelajaran yang menggunakan teknologi canggih. Realitanya Taman Siswa lebih memberi penekanan pelestarian budaya Jawa (karawitan, joget (tarian), tembang-tembang Jawa), sehingga Taman Siswa, menjadi rujukan dalam pengembangan

115

lagu dan dolanan tradisional sebagai media pembelajaran karakter. Hal ini secara sepintas kurang menggambarkan pandangan Ki Hadjar Dewantara tentang Trikon.

6. Tut Wuri handayani sering dimaknai negatif sebagai guru tidak melakukan apa-apa terhadap siswanya. Demikian pula dengan konsep pendidikan adalah tuntunan orang dewasa kepada anak muda sering dimaknai negatif sebagai sistem pendidikan yang doktriner, yang arahnya top down, sehingga guru/orang tua menjadi dominan, pembelajaran bersifat teacher centered.

7. Konsep pendidikan Ki hadjar Dewantara sering dikritik sebagai pendidikan yang sekuler karena tidak dengan tegas mengaitkan dengan pandangan agama yang diyakininya dalam sistem pendidikannya, dan menggantikan dengan pendidikan budi pekerti.

Kritik di atas dimaknai sebagai sebuah diskursus teoritis. Melalui rekonstruksi pemikiran penulis, maka akan ditemukan pemaknaan baru terhadap konsep-konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara. Rekonstruksi penulis merupakan upaya rekonseptualisasi atau pemaknaan baru terhadap kritik yang sudah disampaikan tersebut. Rekonseptualisasi ini dapat dijelaskan sebagai berikut.

1. Pemaknaan terhadap pandangan Ki Hadjar Dewantara harus bersifat holistik dan komprehensif. Pemaknaan terhadap pandangan Ki Hadjar Dewantara tidak dapat sepotong-potong atau partial. Misalnya, pemaknaan negatif tentang Tut Wuri Handayani jangan dimaknai lepas dari konsep Ing Ngarso Sung Tulodo

(di depan harus menjadi teladan), Ing Madya Mangun Karso (ditengah memberi motivasi). Ketiga asas pendidikan ini harus dimaknai secara utuh, holistik. Demikian pula tut wuri handayani justru merupakan sebuah konsep yang berlawanan dengan konsep komando. Artinya, manusia tidak lagi dapat dikemudikan dari luar atau dari atas, tetapi dari dalam. Manusia memanfaatkan, mendukung, mengarahkan, seperlunya saja membelokkan dinamika yang sudah terdapat, mengikuti pada proses-proses alamiah dan sosial yang sudah berjalan. Pendekatan tut wuri handayani tidak memerlukan masukan-masukan yang keras, kasar, bombastis, melainkan pendekatan yang

116

memahami, yang peka terhadap apa yang sudah ada, yang tidak mengganggu apa yang sedang berlangsung, melainkan mendorong, membetulkan, bahkan melancarkan. Pendekatan ini juga menuntut agar seseorang dapat mendengarkan bahkan mendengarkan bisikan alam, membaca berbagai umpan balik, dan dalam usaha-usaha perbaikan masyarakat. Perlu kesanggupan untuk mendengarkan apa yang betul-betul diharapkan, diketahui, dituntut, dan sudah dapat dilakukan oleh masyarakat sendiri. Mekanisme-mekanisme umpan balik perlu dilembagakan. Pendekatan ini memerlukan kerendahan hati dan bertolak belakang dengan pendekatan instruksi atau komando yang menjadi racun bagi sistem-sistem yang ada (Suseno, 2001:166). Dalam konteks pembelajaran/pendidikan tut wuri handayani bermakna bahwa guru merupakan fasilitator, sebuah pendekatan student centered learning. Guru sebagai fasilitator dituntut memiliki kualifikasi tinggi, berkompeten dalam bidangnya dan bertindak secara profesional.

2. Rekonseptualisasi kemerdekaan sebagaimana menjadi tujuan pendidikan Ki Hadjar Dewantara dimaknai sebagai pendidikan pemerdekaan, tetapi bukan sampai pemaknaan konsep deschooling (bebaskan masyarakat dari belenggu sekolah) sebagaimana pandangan Ivan Illich (2000:35). Pendidikan pemerdekaan dalam makna sebagai pendidikan yang bersifat emansipatoris. Mangunwidjaya (2004:ix) mengatakan pendidikan emansipatoris sebagai pendidikan pendidikan pemerdekaan. Ada tiga tujuan emansipatoris pendidikan, yaitu sebagai berikut. a) Manusia eksplorator: suka mencari, bertanya, berpetualang, punya keyakinan bahwa manusia yang bertanya jauh lebih tinggi tingkatnya daripada yang pintar menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada; b) manusia kreatif: pembaharu, berjiwa terbuka, dan merdeka, kritis, kaya imajinasi, dan fantasi, dan tidak mudah menyerah pada nasib; c) manusia integral: sadar akan multidimensional kehidupan, paham akan kemungkinan jalan-jalan alternatif, pandai memilih pilihan yang benar, yakin akan benar atas dasar pertimbangan yang benar, dan yakin akan kebhinekaan kehidupan namun mampu mengintegrasikan dalam suatu kerangka yang sederhana (Mangunwidjaya, 2004:xi).

117

3. Konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara yang tidak memberikan satu macam agama di sekolah sesungguhnya merupakan konsep pendidikan agama yang inklusif. Muhadjir (2013:30) mengatakan bahwa pengakuan pluralisme agama konfesional (bukan konvensional) sudah mengglobal mulai tahun 1980. Sedangkan untuk Indonesia, Ki Hadjar Dewantara telah menjalankan politik pendidikan konfesional sejak awal kemerdekaan. Setiap warga negara dalam lindungan negara diberi peluang menjadi warga negara yang baik dengan memperoleh antara lain pendidikan agama sesuai dengan keyakinan masing-masing. Pengembangan budaya hibrid bukan dimaksudkan sebagai memilih berbagai keunggulan beragam agama, yang akhirnya menjadi atheis, tetapi menjadi penganut agama dengan pemikiran dan perilaku terpuji terhadap semua agama.

4. Teori pluralisme budaya merupakan teori mutakhir antropologi. Teori antropologi ini mengakui bahwa setiap budaya dapat saja memiliki keunggulannya masing-masing. Politik pluralisme budaya yang disertai keterbukaan akan menumbuhkan taman indah penuh bunga. Konsep konvergensi Ki Hadjar Dewantara perlu dipegang, yaitu mengadopsi budaya lain dalam kedudukan sederajat, jangan sampai budaya lain menjadi mendominasi budaya sendiri (Muhadjir, 2013: 43). Kemerdekaan budaya ini menjadi tujuan kebudayaan nasional. Pendidikan adalah proses pembudayaan. Teori konvergensi ini mengandung makna kemampuan bangsa Indonesia atau pendidikan yang dapat memfilter masuknya budaya-budaya asing yang masuk, sehingga tidak merusak nilai-nilai budaya bangsa yang sesuai dengan kepribadian bangsa,

5. Rekonstruksi konsep-konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara di atas sesungguhnya merupakan konsep-konsep yang dapat dipakai sebagai paradigma pendidikan untuk pencerahan dan kemandirian bangsa. Pendidikan yang mencerahkan sebagai salah satu upaya mengawal gerakan pencerahan diarahkan untuk mendorong dan membantu dan mewujudkan a) penguatan pribadi otonom yang reflektif, b) universalitas yang empatik, dan c) menghasilkan kemajuan peradaban yang etik dan religius, serta humanisme

118

yang menyadari keterbatasan kemampuan manusia. Pencerahan pendidikan diharapkan memiliki andil besar terhadap kemandirian dan kedaulatan bangsa, yang mencakup bidang kebudayaan, ekonomi, politik, dan teknologi. Oleh karena peran pendidikan terhadap kemandirian bangsa tidak deterministik, maka perlu bersinergi dengan pembangunan bidang kebudayaan, ekonomi, politik, dan teknologi (Sumarno, 2013: 25). Dalam konteks inilah, konsep Ki Hadjar Dewantara mengenai kemerdekaan diri yang tidak menggantungkan diri pada bangsa lain menjadi semakin penting diupayakan realisasinya di dalam praksis pendidikan Indonesia sekarang.

F. Rangkuman

Ki Hadjar Dewantara merupakan tokoh pendidikan Indonesia yang berasal dari kalangan istana Pakualaman Yogyakarta. Oleh karena pemikiran dan jasa besarnya, khususnya dalam pendidikan nasional dan sepak terjangnya dalam upaya kemerdekaan bangsa, Ki Hadjar Dewantara memperoleh banyak penghargaan.

Hakikat pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara adalah tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Artinya, menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keseluruhan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Kaum pendidik hanya dapat menuntun tumbuhnya atau hidupnya kekuatan-kekuatan itu, agar dapat “memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya”.Ki Hadjar Dewantara memiliki pandangan yang responsif gender. Pandangan ini tentunya sangat humanis, yaitu bahwa pendidikan berdiri di atas dasar kodrat dan kenyataan.

Konsep dan Asas Pendidikan Taman Siswa yang Humanis-Religius dapat ditunjukkan dengan pemikiran Ki Hadjar Dewantara sebagai berikut: metode among. Sistem among berarti mendidik anak agar menjadi manusia yang merdeka batinnya, merdeka pikirannya, merdeka tenaganya; Sistem tri sentra atau tripusat merupakan tiga tempat-pergaulan yang menjadi pusat-pendidikan

119

yang amat penting baginya, yaitu: alam-keluarga, alam perguruan, dan alam pergerakan pemuda; Asas Tri-kon, yaitu Kontinyuitas, artinya garis hidup di zaman sekarang harus merupakan “kelanjutan, terusan” dari hidup di zaman yang silam, jangan “ulangan ataupun tiruan bangsa lain. Konvergensi, artinya keharusan untuk menghindari “hidup menyendiri” (isolasi) dan untuk menuju ke arah pertemuan dengan hidupnya bangsa-bangsa lain. Konsentrisitas, artinya sesudah bersatu dengan bangsa-bangsa lain sedunia, jangan kehilangan “kepribadian” sendiri, sungguhpun sudah bertitik pusat satu, namun di dalam lingkaran-lingkaran yang “konsentris” itu, kita tetap masih mempunyai sirkel/lingkaran sendiri; Tringa yang meliputi ngerti, ngarsa, nglakoni, mengingatkan agar terhadap segala ajaran hidup atau cita-cita diperlukan pengertian, kesadaran, dan kesanggupan untuk melaksanakan; Trihayu yang meliputi mamayu hayuning salira (membahagiakan diri sendiri), mamayu hayuning bangsa (membahagiakan hidup bangsa), dan mamayu hayuning manungsa (membahagiakan hidup manusia umumnya); Tripantangan yang meliputi penyalahgunaan kekuasaan yang dimiliki, pelanggaran kesusilaan, khususnya mengenai kewanitaan, penyelewengan mengenai keuangan.

Guru dalam menjalankan fungsinya dapat memosisikan diri sebagai pemimpin dengan melaksanakan yaitu a) Tut Wuri Handayani, b) Ing Madya Mangun Karsa, c) Ing Ngarso Sung Tuladha. Tut Wuri Handayani jangan dimaknai lepas dari konsep Ing Ngarso Sung Tulodo (di depan harus menjadi teladan), Ing Madya Mangun Karso (di tengah memberi motivasi). Ketiga asas pendidikan ini harus dimaknai secara utuh, holistik. Demikian pula tut wuri handayani justru merupakan sebuah konsep yang berlawanan dengan konsep komando. Artinya, manusia tidak lagi dapat dikemudikan dari luar atau dari atas, tetapi dari dalam.

Kemerdekaan budaya menjadi tujuan kebudayaan nasional. Pendidikan adalah proses pembudayaan. Hal ini mengandung makna kemampuan bangsa Indonesia atau pendidikan yang dapat memfilter masuknya budaya-budaya asing yang masuk, sehingga tidak merusak nilai-nilai budaya bangsa yang sesuai dengan kepribadian bangsa.

120

BAB VI

FILSAFAT PENDIDIKAN DRIYARKARA

Dalam dokumen bpk mengenal filsafat pendidikan (Halaman 117-124)