• Tidak ada hasil yang ditemukan

G. Metode Clarke Yoshimoto Pooley (1992)

9 Regresi statistik Model Schnute

Galat baku : 0.2700

Tabel Analisis Ragam

SK DB JK KT F F signifikan

Regresi 2 1.4463 0.7232 9.9217 0.0916

Sisa 2 0.1458 0.0729

Total 4 1.5921

Peubah Koefisien Galat baku t hitung Peluang

Intersep 3.4374 0.8942 3.8440 0.0615

Slope 1 -117.5590 26.7247 -4.3990 0.0480

81

Lampiran 10 Regresi statistik Model Clarke dan Yoshimoto Pooley (CYP)

Koefisien determinasi : 0.9898

Galat : 0.0867

Tabel Analisis Ragam

SK DB JK KT F F signifikan

Regresi 2 1.4494 0.7247 96.5306 0.0103

Sisa 2 0.0150 0.0075

Total 4 1.4644

Peubah Koefisien Galat baku t hitung Peluang

Intersep -4.6545 0.3152 -14.7687 0.0046

Slope 1 -0.3748 0.0960 -3.9060 0.0597

82

Lampiran 11 Algoritma pendugaan nilai koefisien penangkapan (q), daya dukung lingkungan (K) serta pertumbuhan intrinsik (r) untuk perikanan rajungan di Teluk Banten

Algoritma yang digunakan ini adalah untuk menduga parameter q,r dan K model Schaefer (digunakan juga untuk model produksi surplus lainnya, terutama model yang menggunakan metode regresi linear sederhana)

Koefisien regresi model Schaefer : a=0.0346 dan b=-0.00004

Koefisien penangkapan ( Daya dukung lingkungan (K) Pertumbuhan intrinsic (r)

Tahun Ct Ft CPUE CPUEt+1 Ft+1 Ft* Z Z/CPUE Z/CPUEt+1 1/b X Y ln(X/Y) Q

2005 112.3280 2252 0.0499 0.0143 1346 1798.8019 -10433.7513 -209161.6420 -730392.3795 -236262.4883 -445424.1303 -966654.8678 -0.7748 0.00007 2006 19.2250 1346 0.0143 0.0229 2203 1774.3735 -9527.7574 -666970.2174 -416797.6835 -236262.4883 -903232.7057 -653060.1718 0.3243 -0.00003 2007 50.3580 2203 0.0229 0.0125 3869 3036.1470 -10384.8946 -454293.6845 -831925.0275 -236262.4883 -690556.1728 -1068187.5158 -0.4362 0.00004 2008 48.3010 3869 0.0125 0.0091 5354 4611.9013 -12051.3043 -965419.6864 -1323789.4554 -236262.4883 -1201682.1747 -1560051.9437 -0.2610 0.00002 2009 48.7450 5354 0.0091 0.0045 7349 6351.6228 -13536.4034 -1486921.8788 -3025801.5085 -236262.4883 -1723184.3671 -3262063.9968 -0.6382 0.00005 2010 32.8760 7349 0.0045

Lampiran 12 Model-model produksi surplus untuk menentukan potensi maksimum lestari

A. Model Schaefer

Schaefer memiliki bentuk awal yang sama dengan model pertumbuhan logistik, yaitu :

(A.1)

adalah biomassa dari stok, r adalah laju pertumbuhan alami dari populasi dan K adalah daya dukung lingkungan. Persamaan (A.1) belum memperhitungkan pengaruh penangkapan sehingga Schaefer menulis kembali persamaan (A.1) menjadi :

(A.2)

Sedangkan adalah tangkapan yang dapat dituliskan sebagai :

(A.3)

dengan q sebagai koefisien penangkapan, dan menunjukkan upaya penangkapan. Persamaan (A.3) ini ditulis menjadi :

(A.4)

Berdasarkan persamaan (A.1), tangkapan optimum dapat dihitung pada saat

atau disebut juga penyelesaian pada titik keseimbangan (equilibrium) yang berbentuk :

(A.5)

atau

(A.6)

Berdasarkan persamaan (A.6) dan (A.7) nilai dapat diperoleh sebagai :

(A.8)

Dengan mensibstitusi persamaan (A.8) ke dalam persamaan (A.7) diperoleh :

(A.9)

Persamaan (A.9) disederhanakan lagi oleh Schaefer menjadi

atau (A.10)

Sedangkan a = qK dan b =-q2K/r. Hubungan linier ini digunakan secara luas untuk menghitung MSY melalui penentuan turunan pertama terhadap dalam rangka menentukan solusi optimal baik untuk usaha maupun tangkapan. Turunan pertama dari terhadap , yaitu :

(A.11)

Hasil tangkapan akan mencapai maksimum apabila sehingga diperoleh dugaan dan masing-masing :

(A.12)

(A.13)

B. Model Gulland

Gulland mengemukakan bentuk awal yang sama dengan model pertumbuhan logistik, yaitu :

(B.1)

adalah biomassa dari stok, r adalah laju pertumbuhan alami dari populasi dan K adalah daya dukung lingkungan. Persamaan (B.1) belum memperhitungkan pengaruh penangkapan sehingga dapat ditulis kembali menjadi :

Sedangkan adalah tangkapan yang dapat diucapkan sebagai :

(B.3)

dengan q sebagai koefisien penangkapan, dan menunjukkan upaya penangkapan tahun ke-t. Persamaan (B.3) ini ditulis menjadi :

(B.4)

Berdasarkan persamaan (B.1), tangkapan optimum dapat dihitung pada saat sehingga menjadi :

(B.5)

atau

(B.6)

(B.7)

Berdasarkan persamaan (B.6) dan (B.7) nilai dapat diperoleh sebagai :

(B.8)

Dengan mensibstitusi akan memperoleh :

(B.9)

Persamaan (B.9) disederhanakan lagi oleh Schaefer menjadi

(B.10)

Sedangkan a = qK dan b =-q2K/r. Hubungan linier ini digunakan secara luas untuk menghitung MSY melalui penentuan turunan pertama terhadap dalam rangka menentukan solusi optimal baik untuk usaha maupun tangkapan. Turunan pertama dari terhadap , yaitu :

Hasil tangkapan akan mencapai maksimum apabila sehingga diperoleh dugaan dan masing-masing :

(B.12)

(B.13)

C. Model Pella dan Tomlimson

Model Pella dan Tomlimson adalah serupa dengan model Schaefer namun dengan sedikit modifikasi. Model Pella dan Tomlimson dapat dituliskan sebagai :

(C.1)

Hasil equilibrium sebagai suatu fungsi dari biomassa dalam model Graham- Schaefer dapat dinyatakan sebagai :

(C.2)

Pada model Pella dan Tomlinson, menyatakan bahwa eksponen 2 pada persamaan (C.2) jika digantikan oleh peubah m menjadi :

(C.3)

Pada kondisi equilibrium persamaan Pella dan Tomlimson dapat terlihat sebagai berikut :

(C.4)

Untuk m=2 merupakan model Schaefer Untuk m=3 

Untuk m=4 

D. Model Fox

Model Fox merupakan model alternatif untuk populasi ikan yang pertumbuhan intrinsiknya mengikuti model logaritmik. Model Fox menghasilkan hubungan antara

dan yang berbeda, yaitu :

(D.1)

atau

(D.2)

Perhitungan MSY melalui penentuan turunan pertama terhadap dalam rangka menentukan solusi optimal baik untuk usaha maupun tangkapan. Turunan pertama dari terhadap , yaitu :

(D.3)

(D.4)

Upaya penangkapan optimum diperoleh dengan cara menyamakan turunan pertama catch terhadap effort sama dengan nol atau

(D.5)

Hasil tangkapan akan mencapai maksimum apabila sehingga diperoleh dugaan dan masing-masing :

(D.6)

(D.7)

E. Model Walter dan Hilborn

Persamaan awal Walter dan Hilborn adalah sebagai berikut :

(E.1)

Sedangkan adalah tangkapan yang dapat diucapkan sebagai :

dengan q sebagai koefisien penangkapan, dan menunjukkan upaya penangkapan. Persamaan (E.2) ini ditulis menjadi :

atau (E.3)

Substitusi persamaan (E.3) ke persamaan (E.1)

(E.4)

Persamaan (E.4) dikalikan dengan sehingga diperoleh :

(E.5)

(E.6)

Persamaan Walter dan Hilborn menjadi :

(E.7)

Secara umum persamaan regresi diatas dapat dituliskan sebagai :

(E.8)

di mana :

adalah error dari persamaan regresi.

F. Model Schnute

Model Schnute merupakan modifikasi model Schaefer dalam bentuk diskret. Dasar dari model Schnute adalah transformasi persamaan dinamik sehingga diperoleh :

(F.1)

Sedangkan adalah tangkapan yang dapat diucapkan sebagai :

(F.2)

Substitusi persamaan (F.2) ke persamaan (F.1) sehingga menjadi

(F.3)

Jika persamaan (F.4) diintegrasikan dan dilakukan satu langkah setahun ke depan diperoleh :

(F.5)

di mana : dan

Persamaan (F.5), selanjutnya disederhanakan, dimana dan adalah rata-rata CPUE dan rata-rata upaya penangkapan pertahun. Ini memberikan persamaan :

(F.6)

(F.7)

G. Model Clarke Yoshimoto Pooley

Persamaan awal Clarke Yoshimoto Pooley adalah sebagai berikut :

(G.1)

Sedangkan adalah tangkapan yang dapat diucapkan sebagai :

(G.2)

dengan q sebagai koefisien penangkapan, dan menunjukkan upaya penangkapan. Persamaan (G.2) ini ditulis menjadi :

atau (G.3)

Persamaan (G.3) disubtitusikan pada persamaan (G.2). Kemudian kedua sisinya dikalikan dengan sehingga akan menghasilkan persamaan sebagai berikut:

(G.4)

Integral dari t=tahun ke-n sampai t=tahun ke-n+1 menjadi:

dimana adalah CPUE pada awal tahun ke-n sedangkan adalah total upaya pada tahun ke-n. Derajat pertama Taylor polynomial ln dipusatkan pada , sehingga rata-rata CPUE tahun ke-n adalah:

(G.6)

Perkiraan tangkapan diperoleh melalui integral sebagai berikut:

(G.7)

jika maka persamaan (G.7) menjadi:

(G.8)

persamaan (G.8) dimasukkan ke dalam persamaan (G.6) menghasilkan persamaan berikut

(G.9)

Untuk n+1 persamaan (137) menjadi :

(G.10) dengan menggunakan asumsi Schnute (1977) untuk menduga nilai CPUE

(G.11)

CPUE tahun tertentu adalah rata-rata geometri CPUE pada awal dan akhir tahun tersebut. Pendugaan CPUE dipecahkan dengan cara memasukkan persamaan (G.10) secara aljabar untuk ln( menghasilkan persamaan berikut:

90

Lampiran 13 Rajungan Portunus pelagicus yang ditangkap di Teluk Banten oleh nelayan Karangantu

(A)

(E)

(B) (C) (D)

Keterangan:

A : Rajungan betina (tampak dari dorsal) B : Rajungan jantan (tampak dari dorsal) C : Rajungan jantan (tampak dari ventral) D : Rajungan betina (tampak dari ventral) E : Rajungan betina yang mengerami telur

91

iii

Nuralim Pasisingi. C24070022. Model Produksi Surplus untuk Pengelolaan Sumberdaya Rajungan (Portunus pelagicus)di Teluk Banten, Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Dibawah bimbingan Mennofatria Boer dan Zairion.

Rajungan merupakan salah satu komoditi perikanan yang bernilai ekonomis tinggi, karena komoditi ini sangat diminati oleh masyarakat dalam bahkan luar negeri. Selain rasanya yang lezat, juga karena kandungan gizinya yang cukup tinggi. Seluruh kebutuhan ekspor rajungan di Indonesia banyak yang masih mengandalkan hasil tangkapan nelayan di laut. Oleh karena itu, salah satu hal yang penting dalam pengelolaan sumberdaya perikanan adalah tetap menjamin tersedianya stok rajungan sepanjang tahun. Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu adalah salah satu pelabuhan perikanan yang terletak dekat dengan Teluk Banten yang merupakan salah satu lokasi penyebaran rajungan. Nelayan yang mendaratkan rajungan di Karangantu melakukan penangkapan rajungan di Teluk Banten.

Penelitian mengenai model produksi surplus rajungan Portunus pelagicus di Teluk Banten bertujuan untuk mengetahui model produksi surplus yang paling sesuai dengan karakteristik perikanan rajungan melalui penerapan tujuh model. Selanjutnya dapat menentukan tangkapan maksimum lestari (MSY) dan upaya optimum (Fopt) untuk menjaga kelestarian sumberdaya.

Model produksi surplus merupakan salah satu model yang umum digunakan dalam penilaian-penilaian stok ikan, karena kelompok model ini dapat diaplikasikan dengan tersedianya data hasil tangkapan dan upaya tangkapan runut waktu yang umumnya tersedia di setiap tempat pendaratan ikan. Model produksi surplus yang digunakan untuk menentukan tangkapan maksimum lestari (Maximum Sustainable Yield) dan upaya penangkapan optimum (Optimum effort) ini menyangkut hubungan antara kelimpahan dari sediaan ikan sebagai massa yang homogen dan tidak berhubungan dengan komposisi dari sediaan seperti proporsi ikan tua atau ikan besar.

Model produksi surplus yang dicobakan adalah model Schaefer, Gulland, Pella&Tomlimson, Fox, Walter&Hilborn, Schnute dan Clarke Yoshimoto Pooley (CYP). Melalui perbandingan hasil tangkapan aktual dan prediksi tangkapan masing-masing model serta nilai R2 diperoleh bahwa model Clarke Yosimoto Pooley adalah model yang paling sesuai dengan karakteristik perikanan rajungan Portunus pelagicus di Teluk Banten, Nilai R2 model CYP sebesar 98.97% dengan MSY =30.15 ton yang dapat dicapai dengan Fopt =3562

trip selama setahun. Perikanan rajungan di Teluk Banten telah melebihi tangkapan lestari sehingga pengelolaan yang perlu dilakukan adalah pengendalian masukan dan luaran.

iv

RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI TELUK BANTEN,

KABUPATEN SERANG, PROVINSI BANTEN

NURALIM PASISINGI C24070022

SKRIPSI

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

1.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Rajungan merupakan salah satu komoditi perikanan yang bernilai ekonomis tinggi, karena komoditi ini sangat diminati oleh masyarakat, baik dalam maupun luar negeri. Selain rasanya yang lezat, juga karena kandungan gizinya yang sangat tinggi. Rajungan di Indonesia sampai sekarang masih merupakan komoditas perikanan yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Rajungan yang diekspor dalam bentuk segar maupun olahan mencapai 60% dari total hasil tangkapan rajungan. Negara utama tujuan ekspor yaitu Singapura, Jepang, Belanda dan Amerika (Aminah 2010).

Penyebaran rajungan di perairan Indonesia salah satunya di perairan Teluk Banten. Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu adalah salah satu pelabuhan perikanan yang terletak dekat dengan Teluk Banten. Nelayan yang mendaratkan rajungan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu melakukan penangkapan rajungan di perairan Teluk Banten. Menurut Suadela (2004), kegiatan penangkapan rajungan di Teluk Banten berkembang ditunjang adanya perusahaan pengolahan rajungan setempat yang terletak di Karangantu. Berdirinya perusahaan pengolahan ini menuntut tersedianya produksi rajungan sepanjang tahun. Oleh karena itu kegiatan penangkapan rajungan pun dilakukan secara terus menerus sepanjang tahun.

Seluruh kebutuhan ekspor rajungan di Indonesia banyak yang masih mengandalkan hasil tangkapan nelayan di laut. Namun, satu hal yang paling penting dalam pengelolaan sumberdaya perikanan adalah tetap menjamin tersedianya stok secara mantap. Bentuk eksploitasi dan degradasi lingkungan perairan laut yang terus mengancam keseimbangan stok dan ekosistem laut Indonesia menjadi hambatan sekaligus tantangan bagi nelayan, masyarakat dan pemerintah. Salah satu pendekatan yang dapat diterapkan untuk menggambarkan kondisi sebenarnya di suatu wilyah perairan melalui pemodelan.

Model adalah contoh sederhana dari sistem dan menyerupai sifat-sifat sistem yang dipertimbangkan, tetapi tidak sama persis dengan sistem. Penyederhanaan dari

sistem sangat penting agar dapat dipelajari secara seksama. Model dikembangkan dengan tujuan untuk studi tingkah laku sistem melalui analisis rinci akan komponen atau unsur dan proses utama yang menyusun sistem serta interaksinya antara satu dengan yang lain. Dengan demikian pengembangan model adalah suatu pendekatan yang tersedia untuk mendapatkan pengetahuan yang layak akan suatu sistem. Model beperanan penting dalam pengembangan teori karena berfungsi sebagai konsep dasar yang menata rangkaian aturan yang digunakan untuk menggambarkan sistem (Sitompul 2004).

Model produksi surplus dapat digunakan untuk mendukung pengelolaan rajungan di perairan Teluk Banten. Model produksi surplus merupakan salah satu model yang umum digunakan dalam penilaian-penilaian stok ikan, karena kelompok model ini dapat diaplikasikan dengan tersedianya data hasil tangkapan dan upaya tangkapan secara runut waktu (time series) yang umumnya tersedia di setiap tempat pendaratan ikan. Model yang diterapkan dalam perikanan mungkin berbeda untuk ikan yang berbeda. Artinya ikan yang sama dan hidup di wilayah perairan yang berbeda belum tentu memiliki kecocokan model yang sama. Sama halnya dengan jenis ikan yang berbeda dan hidup di perairan yang sama, model yang cocok diterapkan mungkin saja berbeda.

1.2. Rumusan Masalah

Perairan Teluk Banten terletak di bagian utara Provinsi Banten dan merupakan bagian dari perairan Laut Jawa, dengan luas permukaan totalnya adalah 150 km2. Teluk Banten termasuk perairan dangkal dengan kedalaman maksimum 9 meter dan panjang pantai 22 km serta turbiditasnya tinggi. Dasar perairan pada umumnya lumpur berpasir (Nuraini 2004). Terdapat beberapa pulai kecil di kawasan perairan Teluk Banten, yaitu Pulau Panjang, Pulau Pamujan Kecil, Pulau Pamujan Besar, Pulau Semut, Pulau Tarahan, Pulau Pisang, Pulau Gosong Delapan, Pulau Kubur, Pulau Tanjung Gundul, Pulau Lima dan Pulau Dua (Tiwi 2004).

Sumberdaya ikan yang ada di perairan ini sangat beragam, mulai dari jenis ikan sampai krustasea. Salah satu tempat pendaratan ikan yang berada dekat dengan Teluk Banten adalah Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu. Hasil tangkapan

dari di Teluk Banten tidak semuanya dilelang di TPI. Ikan ekonomis penting seperti rajungan langsung dibawa ke tempat pengolahan atau tempat pembekuan.

Menurut Nuraini (2004) kondisi perikanan di perairan Teluk Banten dipengaruhi oleh dua musim, yaitu musim barat dan musim timur. Musim barat yang merupakan musim dengan curah hujan tinggi terjadi pada Desember hingga Februari. Musim timur merupakan musim kemarau. Ketersediaan sumberdaya ikan di perairan selain dipengaruhi oleh musim, juga karena kenaikan suhu permukaan air laut. Perubahan kondisi perairan Teluk Banten akan mempengaruhi kegiatan penangkapan rajungan. Hal ini akan berimplikasi pada hasil tangkapan nelayan, terutama nelayan yang ada di PPN Karangantu. Jika tidak ada bentuk pengelolaan yang tepat maka komoditi rajungan di perairan Teluk Banten terancam mengalami lebih tangkap (over fishing). Selain itu, sumberdaya ikan termasuk rajungan bersifat open access, artinya semua orang berhak untuk melakukan penangkapan dan tidak ada batasan mengenai besarnya upaya penangkapan untuk memanen sumberdaya tersebut di alam. Apabila hal ini berlangsung terus menerus dan tanpa adanya kontrol yang tepat, maka fenomena lebih tangkap bukan tidak mungkin terjadi, sebagaimana fakta yang terlihat di beberapa perairan Indonesia. Menurunnya kualitas dan kuantitas tangkapan rajungan akan menyebabkan menurunnya pula keuntungan yang diperoleh nelayan. Model matematis produksi surplus yang sesuai dengan kondisi rajungan di perairan Teluk Banten merupakan salah satu pendekatan biologi yang dapat digunakan untuk membantu menentukan upaya tangkapan optimal dalam menjamin ketersedian dan kelestarian stok rajungan di perairan Teluk Banten.

Produktivitas stok ikan di suatu perairan dipengaruhi oleh faktor-faktor biologi seperti rekruitmen, pertumbuhan individu, mortalitas alami. Selain itu juga dipengaruhi oleh faktor-faktor non biologi, misalnya perubahan iklim dan kegiatan manusia. Volume tangkapan, dinamika upaya penangkapan serta bentuk kebijakan perikanan juga akan turut mempengaruhi keberadaan stok rajungan di perairan Teluk Banten. Tinungki (2005) menyatakan bahwa tidaklah mungkin mempertimbangkan semua faktor tersebut untuk memperkirakan perubahan- perubahan dalam produktivitas suatu stok ikan, karena adanya kendala ketersediaan data. Oleh karena itu, model yang paling sederhana dalam dinamika populasi ikan

adalah model produksi surplus. Model ini memperlakukan ikan sebagai biomasa tunggal yang tak dapat dibagi, yang tunduk pada aturan-aturan sederhana, kenaikan dan penurunan biomasa. Model-model produksi surplus mengabaikan proses biologi dalam suatu stok ikan dengan mengasumsikan bahwa stok tersebut dapat diperlakukan sebagai biomasa agregat. Bila semua faktor lain tetap konstan, biomasa agregat dari suatu stok ikan akan menurun ketika tekanan dilakukan terhadap sumberdaya tersebut melalui kenaikan upaya penagkapan.

Permasalahan dalam studi ini adalah belum adanya kajian stok rajungan menggunakan model produksi surplus yang paling sesuai untuk menentukan tingkat upaya tangkapan optimal sehingga dapat menjamin kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya rajungan di perairan Teluk Banten.

1.3. Tujuan

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk:

1) Mengetahui model produksi surplus yang paling sesuai dengan karakteristik perikanan rajungan di perairan Teluk Banten

2) Menentukan hasil tangkapan maksimum lestari dan tingkat upaya penangkapan optimum untuk mendukung pengelolaan berkelanjutan sumberdaya rajungan di perairan Teluk Banten

1.4. Manfaat

Penelitian dan penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak yang terkait untuk mendukung penentuan bentuk pengelolaan rajungan Portunus pelagicus secara lestari dan berkelanjutan. Selain itu, diharapkan penelitian ini dapat memperkaya wawasan pembaca mengenai kondisi perikanan secara umum, khususnya sumberdaya rajungan Portunus pelagicus di perairan Teluk Banten.

2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sumberdaya Rajungan

Rajungan (Gambar 1) merupakan salah satu famili dari seksi kepiting yang banyak diperjualbelikan. Mosa (1980) in Suadela (2004) menyebutkan bahwa di Indo Pasifik Barat jenis kepiting dan rajungan diperkirakan ada 234 jenis, sedangkan di Indonesia ada sekitar 124 jenis. Empat jenis rajungan diantaranya yang dapat dimakan (edible crab) selain tubuhnya berukuran besar juga tidak menimbulkan keracunan, yaitu jenis Portunus pelagicus (rajungan), Portunus sanguinolentus (rajungan bintang), Charybdis feriatus (rajungan karang) dan Podopthalmus vigil (rajungan angin).

Klasifikasi rajungan menurut Kangas (2000) adalah sebagai berikut: Filum : Arthropoda

Kelas : Crustacea Sub kelas : Malacostraca Ordo : Decapoda Famili : Portunidae Genus : Portunus

Spesies : Portunus pelagicus (Linnaeus 1766) Nama lokal : Rajungan

Nama FAO : Blue swimmer crab, blue manna crab, sand crab, blue crab

Gambar 1 Rajungan (Portunus pelagicus) (Dokumentasi pribadi 2011)

Rajungan hidup di perairan dangkal (mencapai 50 meter) dengan substrat berpasir sampai berpasir lumpur. Portunus pelagicus banyak berada di area perairan dekat karang, mangrove dan padang lamun. Juvenilnya banyak ditemukan di daerah intertidal. Rajungan dewasa pada umur 1 tahun. Sumberdaya rajungan banyak ditangkap oleh nelayan dengan menggunakan perangkap buatan, trawl, pukat pantai dan jaring lingkar. Rajungan ditangkap dalam jumlah yang sangat banyak untuk dijual dalam bentuk segar dan beku di pasaran lokal. Adapula yang diolah di industri pengolahan dan pengalengan rajungan. Jika dibandingkan dengan tiga spesies rajungan yang lainnya, jenis Portunus pelagicus paling banyak dipasarkan di pasar internsional seperti Asia Tenggara. Harga pasaran berkisar antara US$3-5/kg untuk rajungan segar, sedangkan rajungan hidup harga jualnya berkisar antara US$5-8/kg. Penyebaran rajungan meliputi wilayah barat pasifik dan hindia. Portunus pelagicus secara morfologi paling mirip dengan jenis Portunus trituberculatus. Namun, secara spesifk dapat dilihat dari jumlah duri frontal. Jenis P. pelagicus berjumlah empat, sedangkan P. trituberculatus berjumlah tiga buah. Jenis P. pelagicus karapasnya bercorak totol-totol, jantan berwarna biru sedangkan betina berwarna hijau pudar (FAO 1998).

Tingkah laku rajungan (Portunus pelagicus) dipengaruhi oleh beberapa faktor alami dan buatan. Faktor alami diantaranya adalah perkembangan hidup, kebiasaan makan, pengaruh siklus bulan dan reproduksi. Sedangkan faktor buatan utama yang mempengaruhi tingkah laku rajungan adalah penggunaan umpan pada penangkapan rajungan dengan menggunakan crab poots. Rajungan adalah perenang aktif, tetapi saat tidak aktif mereka mengubur diri dalam sedimen dengan ruang insang terbuka serta menyisakan mata dan antena di permukaan dasar laut (FishSA 2000 in Suadela 2004).

Susilo (1993) in Suadela (2004) menyebutkan bahwa perbedaan fase bulan memberikan pengaruh nyata terhadap tingkah laku rajungan (Portunus pelagicus), yaitu ruaya dan makan. Fase bulan gelap, cahaya bulan yang masuk ke dalam perairan relatif tidak ada, sehingga perairan menjadi gelap. Hal ini mengakibatkan rajungan tidak melakukan ruaya serta aktivitas pemangsaannya berkurang. Hal tersebut ditunjukkan dengan perbedaan jumlah hasil tangkapan antara fase bulan gelap dan bulan terang, dimana rajungan cenderung lebih banyak tertangkap saat

fase bulan terang, sedangkan fase bulan gelap rajungan lebih sedikit tertangkap. Oleh sebab itu, waktu yang paling baik untuk menangkap rajungan adalah malam hari saat fase bulan terang (Kangas 2000).

2.2. Pengkajian Stok Ikan

Sparre dan Venema (1999) mengemukakan bahwa maksud dari pengkajian stok ikan adalah memberikan saran tentang pemanfaatan optimum sumberdaya hayati perairan seperti ikan dan udang. Sumberdaya hayati bersifat terbatas tetapi dapat memperbaharui dirinya. Pengkajian stok ikan dapat diartikan sebagai upaya pencarian tingkat pemanfaatan yang dalam jangka panjang memberikan hasil tangkapan maksimum perikanan dalam bentuk bobot. Tujuan dasar dari pengkajian stok ikan dilukiskan pada Gambar 2. Sumbu mendatar adalah upaya penangkapan yang diukur, misalnya jumlah hari kapal penangkap. Sumbu yang lain adalah hasil tangkapan, yakni ikan yang didaratkan dalam satuan bobot. Sampai pada tingkat tertentu akan diperoleh hasil tangkapan yang sejalan dengan peningkatan upaya penangkapan. Akan tetapi setelah tingkat tersebut, pembaharuan sumberdaya (reproduksi dan pertumbuhan tubuh) tidak dapat mengimbangi penangkapan, sehingga peningkatan tingkat ekspoitasi yang lebih jauh akan mengarah kepada pengurangan hasil tangkapan.

Tingkat upaya penangkapan yang dalam jangka panjang memberikan hasil tertinggi dicirikan oleh FMSY dan hasil tangkapannya dicirikan oleh MSY (Maximum

Sustainable Yield). Ungkapan dalam jangka panjang digunakan karena seseorang dapat memperoleh hasil yang tinggi dalam tahun tertentu. Namun, jika upaya penangkapan terus ditingkatkan, hasil tangkapan akan makin berkurang pada tahun- tahun berikutnya. Hal ini karena sumber dayanya telah tertangkap (Sparre dan Venema 1999).

Konsep dasar dalam mendeskripsikan dinamika suatu sumber daya perairan yang dieksploitasi adalah stok. Suatu stok adalah sub gugus suatu spesies yang umumnya dianggap sebagai unit taksonomi dasar. Prasarat untuk identifikasi stok adalah kemampuan untuk memisahkan spesies yang berbeda. Banyaknya spesies ikan yang ditemukan di perairan tropis dan seiring mirip satu sama lain, menimbulkan masalah dalam identifikasinya. Karena itu, ilmuwan perikanan harus

menguasai teknik-teknik identifikasi spesies jika harus menghasilkan pengkajian stok yang bermanfaat dari data yang dikumpulkan. Dalam konteks pengkajian stok ikan, sekelompok hewan dimana batas-batas sebaran geografisnya dapat ditentukan bisa dianggap sebagai suatu stok. Kelompok hewan tersebut terdiri dari ras yang sama dari satu spesies, yakni memiliki kumpulan gen yang sama. Lebih mudah untuk menentukan spesies yang kebiasaan ruayanya dekat sebagai satu stok daripada spesies yang beruaya jauh seperti tuna. Bagaimanapun, tidak ada bukti untuk

Dokumen terkait