• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rekonstruksi Maqāṣid asy-Syari’ah sebagai Metode Ijtihad Era Modern

Dimaksudkan dengan rekonstruksi, secara etimologis, yaitu pembangunan kembali.14 Sedangkan secara terminologis, yaitu menyusun ulang secara teratur,

14Peter Salim, Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer (Jakarta: Modern Inglish Press, 1991), Edisi ke 1, h. 1254.

berurutan, logis sehingga mudah dipahami dan diinterpretasikan.15 Jadi, rekonstruksi maqāṣid asy-syari’ah dimaksudkan di sini adalah menata ulang kembali maqāṣid asy-syari’ah sebagai sebuah pendekatan atau metode ijtihad dengan prinsip “memelihara yang lama yang masih baik dan mengambil yang baru yang lebih baik (al-muhāfaẓah ‘alā al-qadim as-ṣālih wa al-akhż bi al-jadid al-aṣlāh)”.16 Hal ini ditekankan lebih pada aspek pemeliharaan, pembaruan, dan penyempurnaan (melengkapi) teori yang telah dirumuskan oleh para ulama uṣῡl al-fiqh klasik, di antaranya hal-hal yang berkaitan dengan penetapan tingkatan

maqāṣid, klasifikasi ḍarūriyyah al-khamsah, jangkauan hukum yang dicakup

maqāṣid, jangkauan orang yang diliputi maqāṣid, tingkatan keumuman maqasid

dalam konteks istinbāṭ hukum, dan pembidangan maqāṣid asy-syari’ah menjadi sebuah disiplin ilmu yang mandiri terpisah dari ilmu uṣῡl al-fiqh, sehingga eksistensinya dapat menjawab dan menyelesaikan berbagai kasus hukum Islam kontemporer.

1. Penetapan maqāṣid asy-syari’ah yang berkaitan dengan perbuatan (pekerjaan) mukallaf. Disebabkan perbedaan semangat zaman antara masa lalu dengan era kontemporer, sangat boleh jadi suatu perbuatan yang dilakukan mukallaf masa lalu terkategori hājiyyāt, maka di era kontemporer berubah menjadi kebutuhan dasariah (ḍarῡriyyah). Misalnya, seseorang melakukan sesuatu untuk secara langsung memperoleh makanan untuk mempertahankan hidup dengan mencari ikan di laut, atau mencari ubi-ubian di hutan. Kalau tidak mencari keluarganya akan kelaparan yang berakibat pada kematian, maka melakukan pekerjaan mencari ikan atau ubi-ubian tersebut masuk ke dalam kategori ḍarῡriyyāt. Tetapi, jika untuk memenuhi kebutuhan dasariah itu dengan bekerja dan hasil bekerjanya harus dijual terlebih dahulu kepada orang lain, maka pekerjaan demikian itu terkategori hājiyyāt, bukan ḍarῡriyyah. Dalam konteks ini, Al-Yasa’ Abubakar mengemukakan, “banyak orang yang melakukan pekerjaan yang

15Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2004), h. 126.

16Said Agil Husin Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, Editor Hasan M. Noer dan Musyafaullah (Jakarta: Penerbit Penamadani, 2005), h. 4.

pada asalnya masuk ke dalam kategori hājiyyāt bahkan tahsiniyyāt, ...

tetapi di dalam masyarakat modern sudah bergeser menjadi pekerjaan untuk memenuhi keperluan aḍ-ḍarῡriyyāt. Kemajuan ilmu dan teknologi telah menjadikan barang-barang yang pada dasarnya termasuk keperluan

tahsiniyyāt sudah berubah kedudukannya menjadi keperluan hājiyyāt dan bahkan ḍarῡriyyāt”.17 Lebih lanjut ia menegaskan bahwa yang menjadi

maqāṣid ad-ḍarῡriyyāt mengenai pekerjaan sebagai sumber penghasilan pada masa sekarang yaitu adanya pekerjaan yang halal dan memberikan penghasilan yang halal dalam jumlah tertentu sehingga cukup untuk memenuhi berbagai keperluan ad-ḍarῡriyyāt.18 Berdasarkan pernyataan ini menunjukkan bahwa mencari pekerjaan apa saja bentuk dan jenisnya, sepanjang pekerjaan itu halal dan tidak merugikan orang lain kemudian digunakan untuk memenuhi keperluan dasariah, maka pekerjaan tersebut dianggap sebagai bagian dari upaya memenuhi keperluan maqāṣid ad-ḍarῡriyyāt.

2. Penambahan jenis dalam klasifikasi lima kebutuhan pokok (aḍ-ḍarūriyyah al-khamsah).19 Sebagian ulama abad tengah, al-Qarāfi (w. 684 H) misalnya telah menambahkan dari lima kebutuhan pokok menjadi enam kebutuhan pokok (aḍ-ḍarūriyyah as-sittah) dengan memasukkan pemeliharaan dan melindungi kehormatan (hifẓ al-a’rāḍ). Kemudian dikuatkan dan diikuti oleh as-Subki (w. 771 H), dan az-Zarkasyi (w. 794 H). Bahkan di era kontemporer, al-Qaraḍāwi (l. 1926 M) telah menyapakati memelihara kehormatan dimasukkan ke dalam aḍ-ḍarūriyyah al-khamsah, sehingga menjadi aḍ-ḍarūriyyah as-sittah. Sedangkan al-Āmidi (w. 631 H), Ibn al-Hājib (w. 747 H), dan asy-Syāṭibi (w. 790 H), termasuk Ibn ‘Asyūr (sebagai bapak maqāṣid kontemporer)

17Al-Yasa’ Abubakar, Metode Istislahiah Pemanfaatan Ilmu Pengetahuan dalam Ushul Fiqh (Jakarta: Prenadamedia Group, 2016), Cet. ke 1, h. 93.

18 Ibid., h. 94.

19Penyebutan term lima kebutuhan pokok (aḍ-ḍarūriyyah al-khamsah) ini di kalangan para ulama uṣῡl sangat beragam. Ada yang menyebut dengan lima nilai universal (kulliyyah al-khamsah), lima prinsip dasar (uṣūl al-khamsah), dan ada yang menyebutkan dengan lima kebutuhan pokok saja. Tetapi beragam penyebutan term tersebut hanyalah sebagai al-mutarādifāt

tidak sepakat memasukkan hifz al-‘irḍ ke dalam lima kebutuhan pokok. Ia lebih cendrung berpegang dan mengikuti versi asy-Syāṭibi dengan lima kebutuhan pokok (aḍ-ḍarūriyyah al-khamsah). Hal ini menunjukkan bahwa penetapan ruang lingkup maslahat yang menjadi tujuan syari’at (maqāṣid asy-syari’ah) dengan aḍ-ḍarūriyyah al-khamsah menjadi aḍ-ḍarūriyyah as-sittah oleh para ulama klasik, bukanlah rumusan final dan “harga mati”. Artinya, masih sangat terbuka untuk menambahkan hal-hal yang dipandang menjadi suatu keharusan di era modern saat ini, sehingga tidak hanya dibatasi pada lima atau enam, melainkan menjadi tujuh kebutuhan pokok (aḍ-ḍarūriyyah as-sab’ah). Bahkan di masa-masa yang akan datang sangat boleh jadi akan menjadi delapan, dan seterusnya sesuai dengan kebutuhan pokok di zamannya. Untuk lebih jelasnya, lihat bagan berikut ini:

BAGAN 1

Maqāṣid asy-Syari’ah dan Klasifikasi Tingkatan Ḍarūriyyāt

Ḍarūriyyāt Hājiyyāt Ṭahsiniyyāt

Asy-Syāṭibi (w. 790 H)

Al-Qarāfi (w. 687 H)

Hifẓ

Melestarikan MemeliharaHifẓ

ad-Din

(Agama)

al-‘Aql

(Akal)

an-Nafs

(Jiwa) (Keturunan)an-Nasab

al-Māl

(Harta)

an-Nufūs

(Jiwa)

al-‘Uqūl

(Akal) al-Adyān(Agama)

al-Ansāb

Berdasarkan bagan tersebut di atas mengilustrasikan bahwa hierarki klasifikasi tingkatan kebutuhan pokok tersebut terstruktur secara sistematis. Asy-Syāṭibi, mengklasifikasikan menjadi tiga tingkatan, yakni kebutuhan pokok ( aḍ-ḍarūriyyah), kebutuhan sekunder (al-hājiyyah), dan kebutuhan tersier ( at-tahsiniyyah). Dari masing-masing tingkatan itu dalam implementasinya saling keterkaitan, saling melengkapi dan melindungi. Misalnya, kebutuhan tersier dapat melengkapi kebutuhan sekunder, dan kebutuhan sekunder dapat melengkapi kebutuhan primer. Tetapi dalam konteks istinbāṭ hukum tidak bisa sebaliknya, kebutuhan sekunder atau tersier menempati dan menggantikan kebutuhan primer, karena kebutuhan peringkat kedua dan ketiga kalaupun tidak dilakukan maka tidak akan merusak kebutuhan peringkat pertama. Kedua peringkat terakhir ini pada dasarnya bermuara pada peringkat pertama, yang jangkauannya bersifat fleksibel dan dinamis sesuai dengan kebutuhan zaman. Dari lima atau enam kebutuhan pokok tersebut, maka penulis menambahkan satu kebutuhan pokok yaitu menjaga/melestarikan persatuan dan keselamatan bangsa (hifẓ ittihād al-jamā’ah wa salāmah al-ummah) sehingga menjadi tujuh kebutuhan pokok. Hal ini sebagaimana bagan beikut ini:

BAGAN 2 al-Amwāl (Harta) al-A’rāḍ (Kehormatan ) Rekonstruksi Ḍarūriyyāt Hifẓ

(Melestarikan & Mengembangkan)

ad-Din

(Agama) 1

al-‘Aql

(Akal) 3

an-Nafs

(Jiwa) 2 (Keturunan) an-Nasab 4

Ittihād al-Jamā’ah wa Salāmah al-Ummah (Persatuan & Keselamatan Bangsa) 7

Bagan tersebut mengilustrasikan bahwa dalam merealisir kemaslahatan umum sebagai tujuan syari’at mesti sejalan dengan tingkat kebutuhan manusia dan zaman yang mengintarinya, termasuk memelihara dan menjaga persatuan dan kesatuan serta keselamatan bangsa, sehingga syari’at Islam itu betul-betul dapat menjawab tantangan era modern. Sebagai argumentasi penulis dapat dikemukakan bahwa posisi hifẓ al-ittihād al-jamā’ah wa salāmah al-ummah begitu penting dimasukkan ke dalam kebutuhan pokok: Pertama, syari’at Islam telah melarang umat manusia hidup bercerai berai (Q.S. Ali Imrān (3), ayat 103),20 dan diwajibkan untuk membangun harmonisasi kehidupan masyarakat dan bangsa (Q.S. Ali Imrān (3), ayat 112).21 Hal ini berarti memelihara dan menjaga stabilitas persatuan dan kesatuam umat di era modern adalah termasuk kebutuhan ḍarūri

yang harus dilakukan. Kedua, di satu sisi, umat manusia diwajibkan bersatu padu (al-jamā’ah), dan di sisi lain, dilarang bercerai berai (at-tafarrūq), maka dalam kondisi seperti itu melakukan tindakan subversif atau pemberontakan terhadap pemerintah (al-bagyu),22 baik dalam bentuk gerakan terorisme, radikalisme, dan yang serupanya adalah mutlak diharamkan, karena akan merusak persatuan dan kesatuan masyarakat, dan keselamatan bangsa. Ketiga, secara analogis, jika untuk memelihara agama kita dilarang murtad, dan untuk memelihara jiwa kita dilarang membunuh, maka apa lagi untuk memelihara dan menjaga persatuan dan kesatuan

20Artinya: “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadikan kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara ...”.

21Artinya: “Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia ...”.

22Lihat, Q.S. al-Māidah (5), ayat 33, yang artinya: “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik ...”. Q.S. al-Hujurāt (49), ayat 9, yang artinya: “Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanga. Jika salah satu dari dua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali, kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat adil”.

al-Māl

(Harta) 5

al-‘Irḍ

serta keselamatran bangsa yang memiliki ratusan juta jiwa, adalah mutlak harus dilakukan upaya-upaya preventifnya. Sebagai contoh, kasus demontrasi umat Islam Indonesia tanggal 4 November dan 2 Desember 2016 yang lalu, dengan menyuarakan tuntutan “mantan gubenur DKI yang telah melakukan penistaan agama, agar segera diadili”. Kasus ini secara politik hukum Islam (siyāsah asy-syar’iyyah) termasuk tindakan sosial yang mengganggu stabilitas keamanan bangsa. Jika kasus ini dibiarkan dan pemerintah tidak mencarikan solusi penyelesaiannya, maka sangat boleh jadi akan mengganggu keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKIR), disharmoni antar intern umat beragama, antar pemeluk agama, intoleransi antar pemeluk agama, dan terancamnya perisai Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda agama, suku, bahasa dan sebagainya tetapi tetap satu tujuan), yakni Indonesia bersatu, aman, dan damai. Dalam penanganan kasus ini ternyata pemerintah Indonesia telah sigap dengan mengantisipasi segala kemungkinan yang akan terjadi, mendialogkan secara terbuka dengan masyarakat, dan menyelesaikannya melalui jalur hukum secara obyektif dan transparan. Upaya penyelesaian kasus tersebut secara maqāṣid asy-syari’ah adalah untuk memelihara dan menjaga persatuan dan kesatuan, dan stabilitas keamanan bangsa dari gangguan tindakan sosial. Oleh karena demikian, maka hifẓ al-ittihād al-jamā’ah wa salāmah al-ummah sebagai bagian dari maqāṣid yang bersifat ḍarūri.

3. Jangkauan hukum maqāṣid untuk mencapai tujuan. Dalam maqāṣid klasik untuk mencapai tujuan asy-Syāri’ secara universal dilihat dari segi kualitas tingkatannya dibedakan pada tiga peringkat, yaitu maqāṣid aḍ-ḍarūriyyah, maqāṣid al-hājiyyah, dan maqāṣid at-tahsiniyyah. Tiga tingkatan maqasid

ini dinilai oleh para ulama muslim kontemporer belum mencakup semua dimensi hukum yang dibutuhkan saat ini. Oleh karena demikian, pemaknaan dan pengisian pada tiga tingkatan tersebut harus diperluas dan pengklasifikasian maqāṣid direkonstruksi menjadi tiga tingkatan dengan formulasi baru, yaitu maqāṣid al-‘āmmah, maqāṣid al-khaṣṣah, dan

BAGAN 3

Berdasarkan bagan tersebut mengilustrasikan bahwa pengklasifikasian pertama menunjukkan formulasi lama (tradisional) dengan jangkauan hukum yang dicakup oleh maqāṣid belum menjamah semua dimensi hukum yang dibutuhkan saat ini. Sedangkan bagan pengklasifikasian kedua menunjukkan formulasi baru yang telah disempurnakan dengan memasukkan dimensi-dimensi baru yang dibutuhkan di era modern ini, yang diklasifikan menjadi tiga tingkatan: Pertama, maqāṣid al-‘āmmah, yaitu tujuan umum yang mencakup keseluruhan dimensi syari’ah secara holistik (kulli), baik yang berkaitan dengan masalah ibadah (al-‘ibādāt), hubungn sosial kemasyrakatan (al-mu’āmalāt), keluarga ( al-uṣrah), tindak pidana kejahatan (al-jinayāt), dan pemberian sanksi kejahatan (al-‘uqūbāt). Kemudian ditambahkan maqasid baru seperti keadilan (al-‘adālah), kemudahan dan menghilangkan kesulitan (at-taisir wa raf’ al-kharaj). Kedua,

maqāṣid al-khāṣṣah, yaitu tujuan yang dikhususkan pada satu bab dari bab-bab syari’ah yang ada. Seperti maqāṣid pada bidang ekonomi (mu’āmalah al-māliyah), misalnya perlindungan dari memonopoli dalam hukum ekonomi, penimbunan kebutuhan pokok yang dibutuhkan pasar, perlindungan transaksi dari unsur spekulasi (al-garār), dan eksploitasi (ar-ribā). Maqāṣid pada bidang hukum

al-Maqāṣid al-Maqāṣid al-Kulliyyah Taṣawwūr Jadid Li al-Maqāṣid aḍ-Ḍarūriyyāt al-Hājiyyāt at-Tahsiniyyāt Maqāṣid al-Juz’iyyah Maqāṣid al-Khāṣṣah Maqāṣid al-‘Āmmah

dalam peradilan (al-qaḍā’), seperti perlindungan terhadap keselamatan para saksi dalam perkara pidana atau perdata, dan larangan kepada hakim yang sedang marah menetapkan vonis hukum, maqāṣid pada bidang hukum keluarga, seperti kesejahtraan anak dalam keluarga. Ketiga, maqāṣid al-juz’iyyah, yaitu tujuan parsial yang meliputi setiap hukum syara’ yang dimaksudkan oleh asy-Sy ri’,

seperti tujuan tertentu diwajibkan berwudu, ṣalat fardu, puasa ramaḍān, diharamkan berbuat zina, larangan mengkonsumsi narkoba (al-khamr), dan yang semacamnya. Semua dimensi yang dimasukkan dalam maqāṣid formulasi baru tersebut adalah sebagai penyempurna dan melengkapi kekurangan dan kelemahan jangkauan cakupan tingkatan maqāṣid tradisional.

4. Jangkauan orang yang diliputi oleh maqāṣid. Dalam upaya menyempurnakan dan melengkapi kekurangan maqāṣid tradisional yang dalam penetapan lima kebutuhan pokok atau lima nilai universal lebih diarahkan untuk kemaslahatan individu, baik pada masalah agama, jiwa, keturunan, akal, harta, dan kehormatan, maka para ulama uṣῡl al-fiqh

kontemporer memperluas cakupan dan jangkauan orang dengan memasukkan dimensi-dimensi baru yang dapat mengakomodir kebutuhan pokok masyarakat (al-jamā’ah), dan bangsa (al-ummah) sebagai pengembangan.

Dalam maqāṣid tradisional, jika untuk memelihara agama, setiap orang dilarang murtad23 dan sanksinya dihukum bunuh, untuk memelihara jiwa dilarang membunuh dan sanksinya berupa qiṣāṣ, untuk memelihara keturunan dilarang zina dan ancaman sanksinya dikenakan seratus kali dera, dan diperbolehkan perkawinan, untuk memelihara akal dilarang mengkonsumsi narkoba (al-khamar) dan sanksinya dikenakan empat puluh kali dera, untuk memelihara harta dilarang mencuri dan sanksinya dipotong tangan, dan untuk menjaga kehormatan dilarang mencemarkan nama baikorang lain (al-qażf) dan sanksinya delapan puluh kali dera,

23Maksudnya adalah orang-orang yang melakukan tindakan keluar dari agama Islam dengan kesadarannya sendiri, karena tidak setia pada ajaran agamanya, dan pindah memeluk agama lain.

maka dalam maqāṣid formulasi baru diorientasikan dengan memasukkan dimensi-dimensi baru pada enam kebutuhan pokok tersebut. Secara skematis, lihat bagan berikut ini.

BAGAN 4

Maqāṣid Klasik Maqāṣid Kontemporer - Hifẓ ad-din, seperti dilarang murtad

dan sanksinya dibunuh (man baddala dinahu faqtulῡh).

Diorientasikan pada memelihara, melindungi, menghormati kebebasan beragama, dan kepercayaan.

- Hifẓ an-nafs, seperti dilarang membunuh dan sanksinya qiṣāṣ

(Q.S. al-Baqarah (2): 178-179).

Diorientasikan pada keharusan menjaga, dan memelihara kesehatan (al-‘aql as-salim fi al-jism as-salim). - Hifẓ an-nasl, dicontohkan dengan

diharamkan zina (Q.S. an-Nῡr (24): 2) dan diperintahkan nikah (Q.S. an-Nῡr (24): 32).

Diorientasikan pada perduli keluarga dengan keharusan orang tua melindungi anak, isteri, memenuhi kebutuhan (hak-hak) anak, dan isteri. - Hifẓ al-aql, dicontohkan dengan

mengkonsumsi khamar (Q.S. al-Baqarah (2): 219) dan al-Māidah (5), 90-91, dan sanksinya didera 40-80 kali dera.

Diorientasikan pada keharusan belajar disepanjang hidup dengan menuntut ilmu, memberantas buta aksara, memberantas taklid, membangun sumber daya manusia, dan melakukan penelitian-penelitian ilmiah.

- Hifẓ al-māl, dicontohkan dengan seseorang dilarang mencuri, dan sanksinya dikenakan hukum potong tangan (Q.S. al-Māidah (5): 38).

Diorientasikan pada bantuan sosial,

pembangunan ekonomi, dan

pengembangan ekonomi. - Hifẓ al-‘ird, dengan dilarang

seseorang menuduh dan

mencemarkan nama baik orang lain (Q.S. an-Nῡr (5): 4).

Diorientasikan pada menjaga dan melindungi harkat dan martabat kemanusiaan, dan Hak Asasi Manusia (HAM).

Berdasarkan bagan tersebut terlihat jelas perbedaan muatan dan dimensi

ad-ḍarῡriyyah al-khams antara maqāṣid klasik (tradisional) dan kontemporer. Ibn ‘Asyūr misalnya, hifẓ ad-din dipahami dan diinterpretasikan dengan sama sekali baru, yaitu dengan ‘kebebasan berkeyakinan’ (al-hurriyyah). Dasar yang dijadikan pertimbangan dari pemahaman dan interpretasi demikian ini adalah Q.S. al-Baqarah (2), ayat 256:

  

Dokumen terkait