• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rekonstruksi Proses Peneriban Tanah Terlantar

Dalam dokumen Monografi Penelitian Sistematis 2013 1 (Halaman 89-96)

D. Pelaksanaan Peneriban dan Pendayagunaan Tanah di Kabupaten Blitar

2. Rekonstruksi Proses Peneriban Tanah Terlantar

Penelitian ini menyajikan rekonstruksi proses penertiban tanah terlantar oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar. Dari rekonstruksi ini akan terlihat bagaimana kebijakan penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar dipahami oleh birokrasi/pelaksana kebijakan, kendala yang dihadapi dan upaya mengatasinya, serta keluaran hasilnya. Dengan mengetahui proses dan mekanisme yang ditempuh oleh pelaksana di lapangan menjadi dapat dimengerti kemudian bahwa di kabupaten Blitar tidak terdapat satupun luasan tanah yang ditetapkan dan diputuskan oleh BPN RI Pusat sebagai tanah terlantar.

Di sisi lain penelitian ini juga menunjukkan bagaimana tanah terlantar dipahami oleh masyarakat dan telah didayagunakan, dan dalam batas pengertian itu, dilakukan penguasaan dan pemanfaatan berupa penggarapan tanah pertanian, pendirian rumah sehingga terbentuk perkampungan temporer maupun permanen.

Kedua perspektif di atas mencerminkan dialektika antara regulasi dan aksi (batas dan peluangnya), antara kondisi yuridis dan faktual yang tidak jarang memiliki gambaran yang berseberangan. Dalam analisa proses pembentukan kebijakan (policy as policy-making)19, diskursus mengenai

“tanah terlantar” yang dinarasikan oleh regulasi sebagai “yang tidak 19 Peralihan cara pandang terhadap kebijakan dari semula “analisa tentang kebijakan” menuju

“analisa tentang proses pembuatan kebijakan” mengajak melihat bagaimana isu yang nantinya menjadi kebijakan itu dinarasikan dan diwacanakan, aktor dan jaringan yang mempengaruhi

isu, dan kondisi politik serta kepentingan yang melingkupi isu tersebut. Lihat, Wolmer, W. and Scoones, I , An Introduction to Policy Processes. IDS: Brighton, 2005

diusahakan atau dimanfaatkan sesuai dengan dasar pemberian haknya” sehingga dapat didayagunakan untuk tujuan “pelaksanaan reforma agraria”, hanya memenuhi interest politik belaka yang dalam praktiknya memiliki banyak keterbatasan baik yang dirasakan oleh birokrasi pelaksana maupun narasi yang dipraktikkan oleh masyarakat. Narasi terakhir ini justru tidak terakomodir di dalam diskursus mengenai tanah terlantar. 1) Memasukkan tanah sengketa sebagai tanah terlantar

PP Nomor 11 (2) Tahun 2010 memerinci objek tanah yang bisa dinyatakan sebagai tanah terlantar. “Obyek penertiban tanah terlantar meliputi tanah yang sudah diberikan hak oleh Negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya.”

Mengacu pada peraturan di atas, BPN Kabupaten Blitar merasa bahwa akan banyak HGU di Kabupaten Blitar yang dapat diindikasi sebagai tanah terlantar. Umumnya dinyatakan sebagai terlantar sebab (1) banyak terjadi peralihan pemanfaatan tanah dari komoditas yang ditetapkan dalam SK HGU menjadi jenis komoditas lain, (2) tidak dipergunakan sebab kondisi ekonomi perusahaan yang labil, (3) peralihan oleh penggunaan lain baik oleh perusahaan maupun masyarakat dalam bentuk penggarapan, pendudukan, dan pendirian pemukiman. Hampir semua perkebunan di Blitar memiliki kondisi demikian yang jika dirunut lebih lanjut kondisi perkebunan tersebut adalah dalam keadaan sengketa dan konlik.

Terdapat hubungan erat antara tanah terlantar dengan sengketa dan konlik. Dengan diterlantarkannya tanah oleh perusahaan dan atau status yang dianggap tidak jelas karena berakhirnya masa HGU/ ijin maka tanah akan dimanfaatkan oleh masyarakat sehingga terjadi peralihan pemanfaatan, penggunaan, bahkan penguasaan yang berujung sengketa antara pihak perkebunan dengan masyarakat atau konlik antar-masyarakat. Di sisi lain mayoritas tanah perkebunan di Blitar adalah dalam kondisi sengketa yang sebagaimana disebutkan di muka, memiliki akar sejak zaman dahulu. Tatkala Kanwil BPN Propinsi Jawa Timur meminta agar semua wilayah kerja Kabupaten

dan Kota mengusulkan data tanah terindikasi terlantar, maka tidak terelakkan bagi Kantah Kabupaten Blitar untuk memasukkan semua data tanah bersengketa sebagai usulan tanah terindikasi terlantar. “Dahulu (waktu memasukkan data) seluruh kebun dikategorikan sebagai tanah terlantar bahkan tanah sengketa seringkali dianggap sebagai tanah terlantar.”20 Bagi pelaksana di BPN Kabupaten Blitar, terjadi kesulitan memisahkan antara data tanah bersengketa dengan tanah terlantar, sehingga yang dilakukannya kemudian adalah menyerahkan semua data kepada Kanwil BPN Jawa Timur agar dilakukan veriikasi dan penilaian oleh Panitia C.

“Jadi luasanya berdasarkan sengketa yang dipermasalahkan. Alasannya yang dikuasai tidak sesuai dengan prosedur atau data yang ada. Jadi di sini juga sulit untuk mengkategorikan lahan tersebut terlantar atau tidak. Untuk BPN sendiri tidak bisa membedakan atau mengkategorikan mana lahan sengketa atau mana lahan terlantar karena data yang masuk adalah seluruhnya sengketa. Jadi data yang masuk tidak ada kategori tanah terlantar. Dengan kondisi tersebut bisa jadi Blitar tidak ada tanah tanah terlantar. 21

BPN Kabupaten Blitar sebenarnya sejak awal telah menyadari tumpang-tindih dan tidak-tepatnya dikategorikan tanah sengketa sebagai tanah terlantar.

“Pemahaman antara sengketa dan terlantar berbeda antara BPN dengan masyarakat. Secara teknis di BPN menjadi wilayah sendiri- sendiri, seharusnya tanah terlantar adalah tanah yang clear n clean. Jadi di lapangan bisa kita lihat memang tanah dikerjakan tidak sesuai dengan aturan. Padahal pada faktanya untuk pulau Jawa bisa dibilang tidak ada tanah terlantar, jika ada hampir seluruh lahan sudah digarap oleh warga.”22

Terdapat kondisi dan keterbatasan yang dihadapi pelaksana kebijakan tatkala dituntut menjalankan kebijakan dengan kerangka program dan tenggat waktu tertentu.

20 Kasie Pengendalian Tanah BPN Kabupaten Blitar yang membidangi masalah tanah terlantar, wawancara pada 12 Juli 2013.

21 Kasie Pendaftaran Tanah BPN Kabupaten Blitar, yang pada waktu pengusulan data tahun 2010 menjadi Kasie Pengendalian Tanah, wawancara 13 Juli 2013.

“Berkaitan dengan tanah terlantar, pada waktu itu adalah kejar tayang. Di sini banyak kasus yang ambigu yaitu antara tanah terlantar ataukah tanah sengketa. Kalaupun itu sengketa tidak bisa dimasukkan kedalam tanah terlantar atau sebaliknya. Dan kalau tidak ada kejelasan terkait dua hal tersebut maka permasalahan akan semakin rumit. Karena pada dasarnya sebenarnya semua perkebunan di Blitar ini bisa masuk tanah terlantar.23

Menyadari kerumitan tersebut BPN Kabupaten Blitar tetap mengajukan data awal kepada Kanwil BPN Propinsi Jawa Timur mengenai tanah terindikasi terlantar yang diambil dari data tanah sengketa. Data-base dalam tabel ini ini menunjukkan bahwa total luasan tanah terindikasi terlantar adalah 3.601,4639 ha dengan pemegang hak yang berbeda-beda.

Tabel 3. Data Awal Tanah yang Terindikasi Terlantar Kab. Blitar, 2010

No. Nama Pemegang Hak Jenis Hak/Dasar

Penguasaan Luas

Luasan Tanah yang Terindikasi

Terlantar 1. PT. BLITAR PUTRA, Gadungan,

Gandusari

HGU 386,400 80

2. PT. ROTOREJO, Gadungan, Sumberagung, Gandusari

SK Hak 464,972 92,2550

53

3. PT. Kismo Handayani, Soso, Gandusari HGU 368.000 26 4. PT. Sari Bumi Kawi, Suber Urip, Doko HGU 955,500 255 5. PT. Veteran Sri, Modangan, Nglegok HGU 165,000 plus

58,9375

200

6. PTPN XII, Penataran, Nglegok HGU 328,660 70 7. PT. Setia Mukti Raya, Karangrejo, Garum HGU 612,000 150 8. PT. NV Perkebunan dan Perdagangan Dewi

Sri, Ngadirenggo, Wlingi

HGU 319,645 198,103

180

9. PT. Tri Windu, Ngadirenggo, Wlingi HGU 174,420 185,670

50

10. PT. Semen Dwima Agung, Ringinrejo, Wates

HGU 56,738 287,190

50

11. Puskopad, Ngeni dan Ngadipuro Kec. Wonotirto dan Serang-Pangunggrejo

Tanah erfpacht 211,749 511,073

12. Dephankam Cq TNI AU, Pojok-Ponggok Hak Pakai 17,890 15,000

17,890 15,000 13 PERHUTANI, Ampelgading, Selorejo Tanah Negara - 60

14 PERHUTANI, Ngadirenggo, Wlingi Tanah Negara - 100 15 PERHUTANI, Semen Gandusari Tanah Negara - 46 16 PERHUTANI, Krisik Gandusari Tanah Negara - 35 17 PERHUTANI, Plumbangan Doko Tanah Negara - 110 18 PERHUTANI, Banjarsari Wonotirto Tanah Negara - 213 19 PERHUTANI, Tambakrejo, Wonotirto Tanah Negara

bekas hak barat (Hak erfpacht)

- 350

20 PERHUTANI, Rejoso, Binangun Tanah Negara bekas hak barat (Hak erfpacht)

- 525

21 PERHUTANI, Semen Gandusari Tanah Negara bekas hak barat (Hak erfpacht)

- 18

22 PERHUTANI, Tulungrejo Wates Tanah Negara bekas hak barat (Hak erfpacht)

- 313

23 PERHUTANI, Bululawang, Bakung Tanah Negara bekas hak barat (Hak erfpacht)

- 20

24 PERHUTANI, Pohgajih, Selorejo Tanah Negara bekas Pangonan

- 137

JUMLAH 3.601,463 ha

Sumber : BPN Kab. Blitar, 2010

2) Memasukkan tanah instansi pemerintah dan non-yurisdiksi BPN sebagai tanah terlantar

Basis data yang diusulkan oleh BPN Kabupaten Blitar memasukkan sejumlah 24 HGU dan Ijin lokasi sebagai tanah terindikasi terlantar. Pemegang hak dan ijin terdiri dari 9 perkebunan swasta, 1 perkebunan negara, 2 lembaga militer, dan 12 Perhutani. Mengacu pada ketentuan pasal (3b) dari PP No 11 Tahun 2010, maka semestinya perkebunan negara atau yang dikuasai pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung tidak termasuk obyek penertiban tanah terlantar. Tanah Perhutani juga di luar jangkauan PP 11 Tahun 2010 ini sebab berada didalam yurisdiksi Kementerian Kehutanan. Dalam hal ini memasukkan Perhutani dan PTPN XII dalam daftar tanah terlantar tidaklah tepat.

Kekeliruan itu tidak terelakkan mengingat pengusulan tersebut berangkat dari data sengketa. Ke-24 HGU dan Ijin Usaha di atas memiliki tingkat ekskalasi sengketa dan konlik agraria yang variatif.

3) Hasil veriikasi dan penilaian lebih lanjut Panitia C

Mengacu pada indikasi perubahan pemanfaatan dan jenis tanaman, beberapa tanah perkebunan dapat diindikasi sebagai tanah terlantar. Sebagai contoh adalah tanah perkebunan PT. Kruwuk Rotorejo di Gadungan, dengan SK Hak No.3/VIII-1998 seluas 557,227 ha. Sesuai dengan SK, perkebunan ini semestinya melakukan usaha penanaman cengkeh, kopi dan karet. Akan tetapi perusahaan ini melakukan perubahan tanaman menjadi tanaman tebu yang secara resmi kemudian mendapatkan SK Bupati Blitar No. 188/374/409.012/Kpts/2012 tentang Pemberian Izin Usaha Budidaya Perkebunan. BPN Kabupaten Blitar sendiri dalam posisi turut di dalam pengurusan perubahan komoditas tersebut.

“Menurut BPN istilah tanah terlantar itu adalah yang tidak sesuai SK HGU, misal tanaman kopi tapi ditanami tebu. Ini bisa dikatakan tanah terlantar. Akan tetapi dalam perkembangannya kadang-kadang dalam hal ini (perkebunan) membutuhkan modal, sehingga berusaha di tengah-tengah tanaman tersebut ditanami tanaman lain dengan mengantongi ijin dari dinas perkebunan.” 24

Dengan perkebunan melakukan perubahan tanaman seizin dari dinas perkebunan, maka BPN tidak dapat mengusulkannya sebagai tanah terindikasi terlantar.

“Menurut BPN tidak bisa dikategorikan sebagai tanah terlantar, karena (BPN) ikut terlibat didalam panitia permohonan hak dan di dalamnya dilampirkan surat ijin resmi dari dinas perkebunan.”25

Selanjutnya basis data tanah terlantar tahun 2010 tersebut diatas dikaji ulang oleh Kanwil BPN Jawa Timur sehingga dihasilkan data terakhir berupa data base tanah terindikasi terlantar dengan hak guna usaha total luasannya 579 ha dan data base tanah terindikasi terlantar dengan dasar penguasaan (Ijin Lokasi) seluas 511, 0739 ha.

24 Kasie Pendaftaran Tanah BPN Kabupaten Blitar, yang pada waktu pengusulan data tahun 2010 menjadi Kasie Pengendalian Tanah, wawancara 13 Juli 2013.

Tabel 4. Tanah Terindikasi Terlantar (HGU) Kab. Blitar setelah Diverikasi

No Nama Pemegang Hak Status Tanah Luas (Ha)

1. PT. Rotorejo HGU no.4,1 53 2 PT. Kismo Handayani HGU no.2 26 3 PT. Veteran Sri HGU no.3,5 200

4 PTPN XII HGU no.9 70

5 PT. NV Perkebunan dan Perdangangan Dewi Sri

HGU no.8,12 180 6. PT. Tri Windu HGU no.10,11 50

7 Gunung Nyamil di Desa Ngeni Ngadipiro, dan Wonotirto, Penggungrejo

Ijin lokasi oleh Puskopad Kodam Brawijaya 511,073 Total 578 + 511,073 = 1089,073 Sumber : Kantor Badan Pertanahan Negara Kab. Blitar, 2010

Tanah terindikasi terlantar dalam bentuk HGU perkebunan seluas 578 ha. Sedangkan tanah terlantar dalam kuasa Ijin Lokasi adalah 511,073 ha. Kedua jenis lisensi penguasaan dimasukkan dalam data. Data terakhir hasil seleksi tanah terindikasi terlantar di Kab. Blitar inilah yang kemudian diusulkan ke BPN RI Pusat untuk ditetapkan sebagai tanah terlantar. Akan tetapi sampai dengan tahun 2013 di Kabupaten Blitar tidak ada satupun luasan tanah perkebunan yang ditetapkan sebagai tanah terlantar.

4) Tidak ada yang ditetapkan sebagai tanah terlantar

Sampai dengan tahun 2013 di Kabupaten Blitar tidak ada satupun luasan tanah perkebunan berdasarkan HGU maupun Ijin Lokasi yang ditetapkan sebagai tanah terlantar oleh SK Kepala BPN RI.

Melihat proses yang berlangsung sebagaimana telah diuraikan di atas, dapat diduga bahwa tidak adanya penetapan sebagai tanah terlantar itu disebabkan beberapa faktor. Di antaranya adalah: (1) Pengusulan data indikasi tanah terlantar didasarkan pada identiikasi

luasan dan pemegang hak atas tanah yang masuk dalam kategori sengketa dan konlik. Secara nomenklatur, pengurusan pengendalian tanah yang menangani masalah terlantar dibedakan dengan pengurusan penyelesaian sengketa dan konlik pertanahan. Namun data tanah terlantar yang diajukan oleh Seksi Pengendalian diambil dari data sengketa dari Seksi Sengketa. Jika data semacam itu terus diproses, maka akan menambah kerumitan baru. Kondisi tanah yang clear and clean mestinya menjadi syarat sehingga memudahkan proses penertiban; (2) Data-base tanah terindikasi terlantar tahun 2010 seperti tersebut diatas disusun untuk memenuhi target luasan tanah terlantar di Jawa Timur; (3) Jangkauan regulasi berangkat dari kondisi yuridis yang sulit dan atau tidak mempertimbangkan kondisi aktual sebagai tanah terlantar atau tanah dengan pemanfaatan, penggunaan, dan penguasaan (pihak) lain.

Di dalam konteks dan kondisi wilayah yang sarat konlik, pelaksanaan penertiban tanah terlantar sulit dilakukan. Regulasi ini memang menyisir wilayah yang clear and clean dan cenderung menghindari sengketa dan konlik. Jika dibayangkan kebijakan mengenai tanah terlantar ini sebagai pelaksanaan reforma agraria (RA), sementara RA bertujuan memperbaiki ketimpangan penguasaan tanah dan upaya penyelesaian konlik yang ada, maka kebijakan tentang tanah terlantar ini jauh dari cita-cita tersebut. Dalam praktik di Blitar, hal tersebut terkonirmasi.

3. Tanah Terlantar dan Pendayagunaannya dalam Pandangan

Dalam dokumen Monografi Penelitian Sistematis 2013 1 (Halaman 89-96)