• Tidak ada hasil yang ditemukan

Relasi dan Aliansi Gramatikal .1 Relasi Gramatikal

Dalam dokumen BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI (Halaman 26-33)

HIERARKI PELAKU DAN PENDERITA PELAKU : Agen

2.2.3 Relasi dan Aliansi Gramatikal .1 Relasi Gramatikal

Konsep dasar relasi gramatikal berdasar pada pendapat yang dikemukakan oleh Comrie (1989:65), yang menyebutkan bahwa relasi gramatikal adalah bagian-bagian atau unsur dari kalimat yang dikategorikan sebagai Subjek (S), Objek Langsung (OL), dan Objek Tak-Langsung (OTL). Tiga relasi gramatikal tersebut adalah relasi yang bersifat sintaksis, dan ada relasi yang bersifat semantis,

yaitu: lokatif, benefaktif, dan instrumental, yang secara kolektif disebut relasi oblik Blake (dalam Artawa, 2000:490). Relasi-relasi gramatikal dalam hal ini memberikan suatu konsep yang tepat, baik tentang cara kerja bahasa pada umumnya, maupun bahasa-bahasa tertentu.

Comrie (1989), menyebutkan bahwa prototipe (hakekat asal) subjek adalah adanya keterkaitan antara agen dan topik. Secara lintas bahasa, subjek itu adalah agen dan juga topik. Sementara itu, objek adalah argumen yang mengalami tindalakan yang dinyatakan oleh verba transitif. Argumen yang mengalami tindakan yang dinyatakan oleh verba tersebut menduduki posisi kedua pada hierarki fungsi gramatikal setelah subjek (Verhaar, 1999; Jufrizal, 2007). Objek langsung (OL) dan objek tidak langsung (OTL) harus muncul bersamaan pada klausa dengan verba dwitransitif, misalnya verba beri dalam bahasa Indonesia (Jufrizal, 2007:51).

a) Kesubjekan

Li (ed) (dalam Jufrizal, 2007:33) menyatakan subjek secara lintas bahasa mempunyai ciri dan sifat-perilaku yang khas. Sifat-perilaku ini dapat dikelompokkan menjadi empat sifat, yaitu: (i) sifat perilaku otonomi; (ii) sifat-perlaku kasus; (iii) peran semantis; dan (iv) dominasi langsung. Keempat sifat ini memiliki karakter kesubjekan yang berbeda-beda pengungkapannya, yang dijelaskan di bawah ini.

Sifat perilaku otonomi subjek meliputi: (a) keberadaanya bebas (independent existence); (b) ketidaktergusuran/ sangat diperlukan (indispensability); (c) rujukan sendiri (autonomous reference). Sifat perilaku pemarkah kasus meliputi: (a) subjek kalimat intransitif umumnya tidak dimarkahi

jika setiap FN dalam bahasa tersebut tidak bermarkah; (b) FN yang mengubah penanda kasusnya pada pengkausatifan termasuk subjek; (c) FN yang mengubah penanda kasus nominalisasi tindakan termasuk subjek. Peran semantis (agen, pasien) dari subjek diperkirakan menjadi bentuk verba utama. Berdasarkan peran semantis ini, kesubjekan meliputi: (a) subjek jika hanya satu biasanya mengungkapkan agen (dari tindakan); (b) subjek biasanya mengungkapkan frasa tujuan (addressee phrase) dalam bentuk imparatif; (c) subjek biasanya memperlihatkan posisi pemarkah kasus yang berkesesuaian dengan verba yang sama dengan FN penyebab dalam kalimat kausatif.

Pengujian sifat-perilaku subjek didasari oleh sifat-perilaku gramatikal yang telah dilakukan oleh Artawa (1998: 11-17) terhadap bahasa Bali. Menurutnya, karena subjek adalah relasi gramatikal, maka penentuan/penetapan subjek suatu bahasa hendaknya didasarkan pada sifat perilaku gramatikalnya sendiri. Berdasarkan hal ini, kesubjekan dapat dilihat berdasarkan pengertian: (1) pronominal tidak-terang (PRO), (2) pengembangan penjangka (quantifier float), (3) perelatifan (relativisation). Sehingga, temuan data kesubjekan BBT dalam penelitian ini dianalisis berdasarkan pengujian yang dilakukan Artawa (1998).

(1) Frasa nomina tidak-terang (PRO)

Teori Penguasaan dan Pengikatan (Government and Binding Theory) yang dikembangan oleh Chomsky menyatakan bahwa subjek klausa dengan verba tak terbatas dinukilkan sebagai FN tidak-terang (noun-overt noun phrase) dan diwujudkan sebagai PRO (dalam Artawa, 1998:14). Dalam bahasa Inggris ditemukan perbedaan antara verba terbatas (finite-verbs) dan verba tak-terbatas

(non-finite verbs). Verba terbataas menghendaki subjek, yang dapat diungkapkan sebagai persona/jumlah persesuaian rujuk-silang terhadap verba dengan FN, atau dengan persesuaian FN. Verba terbatas biasanya tidak menghendaki subjek, baik secara morfologis maupun sintaksis.

(2) Pengambangan Penjangka

Moussay (dalam Jufrizal 2007: 37) menyatakan bahwa pengambangan penjangka adalah kata bantu bilangan (quantifier) tak takrif yang merupakan penentu penunjuk jumlah. Penjangka tak takrif dalam BBT pada umumnya dipakai dalam menyatakan (i) jumlah tidak pasti, sedikit; bermacam-macam, berjenis-jenis ‘marragam’ (ii) jumlah distributif: tiap, setiap, tiap-tiap ‘ganup’ (iii) jumlah kolektif: semua,segala, segenap ‘sudena’. Penjangka yang menunjukkan jumlah tidak pasti dan distributif ( i) dan (ii) dalam kalimat BBT digunakan pada posisi sebelum FN. Sedangkan pejangka yang menunjukkan jumlah kolektif, dapat diletakkan sebelum atau sesudah FN.

(3) Perelatifan

Dalam menganalisis perelatifan BBT, strategi perelatifan dihubungkan dengan kesubjekan dalam klausa transitif dengan verba dasarnya. Berbeda dengan bahasa Inggris yang merelatifkan semua relasi gramatikalnya (Artawa, 1998:15).

(b) Objek dan Oblik

Struktur Objek (OL dan OTL)

Cole (ed) dalam Jufrizal (2007:51), menyatakan bahwa O dalam bahasa-bahasa Bantu ditentukan dengan tiga perilaku dasar, yakni: (1). O adalah FN yang mengontrol prefiks O yang dapat muncul pada verba; (2). O adalah FN (sekurang-kurangnya dalam konteks netral) yang secara langsung mengikuti verba; (3). O adalah FN yang dapat dinaikkan ke posisi S melalui proses penafsiran. Selain itu, Butt (1999: 49-51) menyimpulkan bahwa verba transitif mempunyai S dan argumen kedua. Argumen kedua ini disebut O.

Objek merupakan argumen yang mengalami tindakan yang dinyatakan oleh transitif. Argumen yang mengalami tindakan yang dinyatakan oleh verba tersebut menduduki posisi kedua pada hierarki fungsi gramatikal setelah S (Verhaar, 1999). Objek langsung (OL) dan objek tidak langsung (OTL) harus muncul bersamaan pada klausa dengan verba dwitransitif.

Butt (1999: 48) menyebutkan bahwa secara lintas bahasa, pemasifan merupakan pengujian yang paling baik untuk menentukan keobjekan. Lebih lanjut Butt menafsirkan bahwa melalui pemasifan, FN O dalam kalimat aktif menjadi S kalimat pasif; S aktif diwujudkan sebagai NULL (dihilangkan dalam kalimat pasif). Secara lintas bahasa, pemasifan merupakan pengujian yang paling baik untuk menentukan keobjekan. Dalam bahasa Inggris, pemasifan klausa yang mempunyai verba dwitransitif mempunyai tiga argumen, yaitu: S, OL, dan OTL. Baik OL maupun OTL masing-masing dapat menjadi subjek kalimat pasif. Hal ini menyebabkan posisi merupakan pembeda antara OL dan OTL; OTL berada

langsung setelah verba, diikuti OL. Butt (1999: 49) memperlihatkannya dalam contoh berikut ini.

(a) She gave him the book. (AKT) ‘Dia memberinya buku itu.’ (b) He was given the book (PAS) ‘Dia diberi buku itu.’

(c) The book was given him (PAS) ‘Buku itu diberikan kepadanya.’

Struktur Oblik (OBL)

Relasi oblik (OBL) merupakan kelompok argumen yang bukan subjek dan juga tidak sesuai dengan bentuk objek. Oblik tidak mengalami proses sintaksis yang mempengaruhi objek sebagai pemasifannya. Oblik umumnya berupa frasa preposisonal (Butt, 1999:50). Dari segi bentuknya, oblik umumnya berupa frasa preposisional yang menyerupai adjung (adjunct) atau keterangan. Perbedaan oblik dan adjung terletak pada kehadiran predikatnya. Oblik lazimnya menghendaki adanya kehadiran predikat verba, sedangkan adjung merupakan fungsi gramatikal yang tidak memiliki verba.

Dalam penelitian ini pengujian sifat perilaku subjek, objek, dan oblik BBT didasarkan pada sifat perilaku gramatikal. Hal ini disebabkan relasi gramatikal diperlukan untuk mencapai tiga sasaran teori bahasa, yaitu (1) merumuskan kesemestaan bahasa; (2) menetapkan karakteristik setiap konstruksi gramatikal yang ada pada bahasa-bahasa alami; (3) membangun suatu tatabahasa yang memadai untuk setiap bahasa.

2.2.3.2 Aliansi Gramatikal

Pengertian dasar aliansi gramatikal adalah sistem atau kecenderungan persekutuan gramatikal di dalam atau antarklausa dalam satu bahasa secara tipologis (Jufrizal, 2004). Sistem aliansi gramatikal merupakan sistem pengelompokan peran sintaksis-semantis S, A, dan P klausa bahasa yang bersangkutan (Payne, 2002:129). Aliansi gramatikal memiliki hubungan antara argumen-argumen dengan predikat pada tataran struktur yang bebas dari pengaruh semantis dan pragmatis. Aliansi gramatikal ini mempunyai fungsi-fungsi semesta (universal) dalam berkomunikasi dengan menganalisis sifat-perilaku formal yang khas pada bahasa tersebut. Payne (2002-132) lebih lanjut menerangkan bahwa sifat-perilaku gramatikal yang paling banyak secara langsung menentukan aliansi gramatikal tersebut adalah: (1) pemarkah kasus; (2) pemarkah referensi pelibat pada verba; dan (3) tataurutan konstituen.

Sebuah bahasa yang mempunyai sistem aliansi gramatikal akusatif dikatakan sebagai bahasa bertipologi akusatif; S (satu-satunya argumen pada klausa intransitif) diperlakukan sama secara gramatikal dengan argumen A(agen) klausa transitif, dan perlakuan yang berbeda diberikan kepada P(pasien) klausa transitif. Bahasa dengan sistem aliansi ergatif dikatakan sebagai bahasa bertipologi ergatif; S diperlakukan sama dengan P, dan perlakuan yang berbeda diberikan kepada A. Sebuah bahasa dikatakan sebagai bahasa aktif apabila sistem aliansi gramatikalnya menunjukkan bahwa sekelompok S berprilaku sama dengan A (Sa) dan sekelompok S yang berprilaku sama dengan P (Sp) dalam satu bahasa. Perlakuan yang sama (atau berbeda) dalam hal ini dapat terjadi pada tataran morfologi dan/atau sintaksis. Perlu diingat bahwa tidak semua bahasa bertipologi

ergatif secara morfologis juga ergatif secara sintaktis, dan begitu pula pada tipologi yang lainnya (lihat Artawa, 2004, 2005).

Menurut Payne (2002:140), berdasarkan kemungkinan logis sistem pengelompokan S, A, dan P bahasa-bahasa di dunia, menyebutkan ada lima kemungkinan yang ada, yaitu:

(1). S = A, ≠ P (2). S = P, ≠ A (3). S ≠ A, ≠ P (4). A = P, ≠ S (5). S = A, = P

Sistem pengelompokan (1) dan (2) dimiliki oleh banyak bahasa, sistem seperti (3) dan (5) sangat jarang adanya, dan sistem seperti (4) tidak ada ditemukan (lihat juga Dixon, 1994).

Pengujian tipologis yang dilakukan untuk memperoleh sebuah simpulan bahwa BBT memiliki satu tipe bahasa tertentu, dilakukan dengan mencermati struktur klausa/kalimat BBT. Pencermatan klausa tersebut dilakukan dengan mengamati struktur verba, struktur koordinatif, subordinatif, dan superordinatif dalam kalimat. Pengujian tipologis lebih lanjut dilakukan melalui uji pivot melalui penganalisisan keberterimaan konstituen agen atau pasien pada rujuk silang subjek. Hal ini menjadi arah temuan penelitian tipologi BBT tersebut.

Dalam dokumen BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI (Halaman 26-33)

Dokumen terkait