• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN

6.2. Analisis Gender Terhadap Keberhasilan Program

6.2.1. Relasi Gender Masyarakat Desa Srogol

Desa Srogol merupakan desa yang sedang mengalami proses peralihan, yakni dari desa tradisional menuju desa modern. Perubahan ini ditandai dengan semakin berkurangnya penduduk desa yang bekerja sebagai petani. Pembangunan di segala bidang yang dilakukan oleh pemerintah, seperti pembangunan jalan dan fasilitas umum di wilayah Kecamatan Cigombong, memberikan dampak pada pergeseran perspektif masyarakat Desa Srogol terhadap peran perempuan dan laki-laki. Terlebih lagi dengan kehadiran Sekolah Polisi Negara (SPN) Lido di wilayah desa tersebut yang memperlakukan siswanya sama dan setara antara laki- laki dan perempuan, secara tidak langsung mulai memberikan pengaruh pada masyarakat terhadap perbedaan peran laki-laki dan perempuan. Penyetaraan laki- laki dan perempuan diawali dari diberikannya kesempatan yang sama antara laki- laki dan perempuan dalam menempuh pendidikan. Hal ini terlihat dari semakin banyaknya jumlah perempuan yang telah menamatkan pendidikan hingga jenjang sekolah menengah pertama.

Selain dalam hal pendidikan, perempuan juga mulai dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan publik seperti rapat desa, kegiatan penyuluhan, dan keorganisasian. Saat ini para perempuan juga diundang dalam setiap perundingan- perundingan di desa, namun kehadiran perempuan masih sedikit dibanding laki- laki. Ketidakhadiran perempuan mengakibatkan pendapat dan aspirasi perempuan jarang didengar karena lebih didominasi oleh laki-laki. Seperti yang diungkapkan oleh Ibu Sh, anggota BKM, sebagai berikut:

78   

“Sekarang mah perempuan selalu dapat undangan untuk hadir di acara- acara desa. Dulu pan ngga pernah, laki-laki saja yang diundang. Apalagi kalau lagi ada penyuluhan, pasti ibu-ibu diundang, tapi jarang yang hadir.”

Peralihan dari tradisional menuju desa semi modern, membuat hubungan atau relasi gender masyarakat Desa Srogol berubah. Relasi gender yang setara antara peran dan status laki-laki dan perempuan mulai terlihat hampir seluruh masyarakat Desa Srogol. Relasi gender yang setara tersebut memperlihatkan bahwa masyarakat Desa Srogol sudah tidak terlalu membeda-bedakan peran laki- laki dan perempuan. Tingkat relasi gender responden dapat dilihat pada Tabel 25. Tabel 25. Jumlah dan Presentase Responden Berdasarkan Tingkat Relasi Gender

dalam Rumah Tangga Responden, Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010

No. Tingkat Relasi Gender Jumlah (orang) Persen (%)

1. Tidak Setara 13 27,1

2. Setara 35 72,9

Total 48 100

Sumber: Data Primer, 2010

Tabel 25. menunjukkan bahwa sebagian besar responden (72,9 persen) tergolong pada tingkat relasi gender setara, yakni tidak membeda-bedakan peran laki-laki dan perempuan baik dalam rumah tangga maupun kegiatan publik, seperti mengikuti Program PNPM-P2KP. Bagi perempuan, ada beberapa hal yang harus mendapat persetujuan dari suami dan beberapa hal yang dapat diputuskan sendiri. Hal-hal yang dapat diputuskan sendiri berkaitan dengan mengatur rumah tangga sedangkan yang membutuhkan persetujuan suami berkaitan dengan keuangan dan kegiatan publik. Perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan ditunjukkan pada Tabel 26. berikut.

Tabel 26. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Relasi Gender yang Dianut di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010

No. Tingkat Relasi Gender Persentase (%) Tidak Setuju Setuju

1. Perempuan mengasuh anak 4

(8,3)

44 (91,7) 2. Perempuan tidak boleh memimpin

laki-laki

13 (27,1)

35 (72,9) 3. Perempuan tidak boleh menjadi

kepala keluarga

14 (29,2)

34 (70,8) 4. Perempuan tidak boleh mencari

nafkah/bekerja

37 (77,1)

11 (22,9) 5. Perempuan tidak boleh bekerja di

luar rumah

28 (58,3)

20 (41,7) 6. Perempuan tidak boleh

berpendidikan lebih tinggi daripada laki-laki

37 (77,1)

11 (22,9) 7. Perempuan tidak boleh

berpenghasilan lebih tinggi daripada laki-laki

32 (66,7)

16 (33,3) 8. Perempuan tidak boleh mengatur

keuangan keluarga

34 (70,8)

14 (29,2) 9. Perempuan tidak boleh memutuskan

masalah keluarga

28 (58,3)

20 (41,7) 10. Perempuan tidak boleh menentukan

pendidikan anak

40 (83,3)

8 (16,7) 11. Perempuan tidak boleh ikut serta

dalam kegiatan publik/organisasi

37 (77,1)

11 (22,9)

12. Perempuan tidak boleh

menyampaikan pendapat

38 (79,2)

10 (20,8) 13. Perempuan tidak boleh menjadi

pemimpin organisasi

38 (79,2)

10 (20,8) Sumber: Data Primer, 2010

Berdasarkan Tabel 26. terlihat bahwa walaupun telah terjadi pergeseran perspektif mengenai perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan sebagai akibat dari modernisasi, ternyata masih terdapat beberapa hal yang tidak berubah. Masih adanya perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan berakibat pada masih terjadinya ketidakadilan gender baik marginalisasi, stereotype, maupun subordinasi. Marginalisasi terjadi di dalam keluarga yakni perempuan tidak boleh memimpin laki-laki (72,9 persen) dan perempuan tidak boleh menjadi kepala

80   

keluarga (70,8 persen). Hal ini dituturkan oleh Bapak Lk, suami Ibu Lh sebagai berikut:

“Ya memang tidak boleh atuh dek. Di dalam Al Quran tertulis, bahwa laki-laki sebagai pemimpin, sebagai imam dalam segala hal. Laki-laki lah yang memimpin perempuan dan keluarga. Makanya istri harus patuh sama suami.”

Penuturan yang sama juga dikemukakan oleh Ibu Tt, pedagang katering, berikut:

“Setuju neng, memang harus begitu, laki-laki lah yang jadi pemimpin. Kan di ajaran agama ada yah, laki-laki yang menjadi imam dalam keluarga. Ya pokoknya mah perempuan tidak boleh memimpin laki-laki, itu namanya kurang ajar.”

Stereotype atau pelabelan terhadap perempuan masih dialami oleh responden dan masyarakat Desa Srogol pada umumnya. Sebanyak 91,7 persen responden setuju bahwa perempuan adalah makhluk lemah lembut dan tidak rasional (66,7 persen). Hal ini menandakan bahwa walaupun telah menjadi desa modern, stereotype terhadap perempuan masih terjadi, seperti yang diungkapkan oleh Ibu Rd, seorang ibu rumah tangga, sebagai berikut:

“Iya atuh neng, perempuan mah emang harus begitu, lemah lembut. Ntar kalau kasar, laki-laki pada takut. Perempuan kan sebagai ibu, jadi harus lemah lembut sama anaknya. Tapi yah ada saatnya perempuan mah harus tegas, apalagi waktu anak nakal, yah harus dimarahin”

Pelabelan bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah lembut menjadi dasar dalam menentukan pengasuhan anak dan mengurus rumah tangga. Pekerjaan mengurus rumah tangga yang harus dilakukan oleh perempuan menunjukkan masih terjadi subordinasi terhadap perempuan, yaitu perempuan hanya melakukan kegiatan-kegiatan domestik saja. Mengasuh dan merawat anak diyakini sebagai kodrat perempuan oleh sebagian besar responden (91,7 persen). Hal ini dibenarkan oleh Ibu Lh, pedagang kredit, yaitu:

“Mengasuh anak itu memang kodrat perempuan neng. Ibulah yang harus mengasuh anak dari kecil, kan ibu juga yang mengandung anak. Yang membentuk sikap anak itu ya ibu. Kalau bapak mah, kan harusnya cari nafkah buat keluarga, kalau istri ya mengasuh anak. Saling bantu lah.”

“Ya harus perempuan lah yang mengasuh anak. Suami mah tugasnya kerja cari duit buat makan, lamun perempuan ya ngurus anak, beres- beres rumah. Masa suami kita suruh mengurus anak, ya mana bisa atuh, ngurus diri sendiri saja kadang ngga bisa, makanya perlu ada istri, biar semua kerjaan beres.”

Selain mengurus anak, pekerjaan mengatur keuangan keluarga juga dibebankan pada perempuan. Hal ini ditunjukkan dari sebanyak 70,8 persen perempuan setuju bahwa perempuan yang harus mengelola keuangan keluarga. Dalam hal ini, perempuan diberi kesempatan untuk mengatur keluar masuknya uang dalam rumah tangga, namun laki-laki masih menjadi pengambil keputusan berapa uang yang akan diberikan kepada istri dan berapa uang yang digunakan untuk keperluan bulanan. Seperti yang diungkapkan oleh Ibu Tt, pedagang katering, sebagai berikut:

“Ya memang kerjaan perempuan atuh neng yang mengatur keuangan keluarga. Kan perempuan mah lebih teliti. Kalau dipegang laki-laki, bakal habis tuh, buat beli macem-macem yang tidak penting, kayak rokok.”

Pengungkapan tersebut diperkuat oleh Ibu Em, ibu rumah tangga, berikut:

“Selama ini pendapatan cuma dari suami, kan saya tidak bekerja. Tapi suami selalu memberi uang buat bulanan, nah saya yang mengatur, mau dipakai apa saja. Biasanya mah buat beli belanja sayur, beras, kebutuhan dapur saja neng.”

Dari beberapa pemaparan di atas mengenai peran perempuan yang tidak berubah setelah terjadi modernisasi di Desa Srogol, dapat disimpulkan bahwa peran-peran perempuan yang tidak berubah umumnya berkaitan dengan pekerjaan domestik perempuan, yakni dalam hal mengurus rumah tangga. Sedangkan dalam pekerjaan atau kegiatan publik masih didominasi oleh laki-laki, walaupun saat ini perempuan mulai terlihat aktif dalam perundingan dan keorganisasian di desa. Adapun peran yang berubah meliputi perempuan bekerja dan perempuan dalam organisasi. Sebanyak 77,1 persen responden menyatakan bahwa perempuan boleh bekerja dan berpendidikan lebih tinggi daripada laki-laki. Pendidikan yang lebih tinggi daripada laki-laki berdampak pada jenis pekerjaan yang dapat diambil oleh perempuan lebih beragam daripada laki-laki sehingga tidak ada salahnya jika

82   

penghasilan perempuan lebih tinggi daripada laki-laki (66,7 persen). Seperti yang diungkapkan oleh Ibu Sr, pedagang, berikut:

“Tidak setuju lah neng, siapa bilang perempuan tidak boleh lebih pinter daripada laki-laki? Justru sekarang pan lebih banyak murid perempuan daripada laki-laki di sekolah-sekolah. Itu karena perempuan lebih pinter daripada laki-laki, makanya naik kelas terus.”

Penuturan yang sama diungkapkan juga oleh Ibu Lh, seorang pedagang kredit sebagai berikut:

“Boleh kalau pendidikan perempuan lebih tinggi daripada laki-laki. Pendidikan itu juga pengaruh ke pekerjaan kan. Kalau perempuan pintar ya pasti dapat pekerjaan bagus. Makanya tidak apa-apa kalau ternyata penghasilan istri lebih tinggi daripada suami. Kan pekerjaan istri lebih bagus daripada suami. Di sini banyak kok neng, istrinya kerja jadi karyawan, suaminya ngojek.”

Perubahan peran lain yang terjadi di Desa Srogol adalah mulai dilibatkannya perempuan dalam organisasi atau kegiatan-kegiatan desa. Sebanyak 77,1 persen responden menyatakan bahwa perempuan boleh mengikuti kegiatan publik dan menyampaikan pendapat (79,2 persen). Bahkan 79,2 persen responden mengungkapkan bahwa perempuan bisa menjadi pemimpin organisasi, seperti yang dituturkan oleh Ibu Em, ibu rumah tangga, bahwa:

“Ya boleh boleh saja kalau perempuan jadi pemimpin organisasi. Pan sekarang banyak yah, perempuan jadi ketua organisasi. Presiden dulu juga ada yang perempuan. Selama memimpinnya bener mah, boleh-boleh saja atuh.”

Walaupun banyak responden yang menyatakan bahwa perempuan dapat menjadi anggota organisasi bahkan dapat menjadi pemimpin organisasi, fakta di lapangan menunjukkan bahwa keterlibatan perempuan dalam organisasi di desa masih minim. Jumlah perempuan yang menjadi anggota organisasi desa seperti LPM, BKM, masih sedikit jika dibandingkan dengan laki-laki. Begitupula dalam setiap kegiatan publik seperti perundingan-perundingan desa, laki-laki masih mendominasi. Keterlibatan perempuan dalam organisasi hanya terlihat pada kegiatan yang berkaitan dengan pekerjaan domestik seperti pengajian dan PKK.

Berikut ini adalah gambar salah satu kegiatan publik yang dilakukan oleh perempuan di Desa Srogol, yaitu pengajian rutin ibu-ibu di RW 03.

Gambar 7. Kegiatan Pengajian Ibu-Ibu di RW 03, 2010

Telah diberinya kesempatan yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam kegiatan publik tidak dimanfaatkan sepenuhnya oleh perempuan. Kehadiran perempuan yang tidak lebih banyak daripada laki-laki mengakibatkan suara atau aspirasi perempuan kurang didengar, sehingga program-program yang berjalan di desa, umumnya merupakan program yang berdasarkan keputusan dan kebutuhan laki-laki.