• Tidak ada hasil yang ditemukan

dapat dalam satu kontinum, namun juga dapat hadir secara bersamaan. Moda produksi kapitalis berbasis pada penguasaan modal uang sebagai kekuatan produksi, sementara non-kapitalis lebih pada penguasaan atas tanah dan tenaga kerja. Sementara itu hubungan produksi menurut Russel (1989: 8-9) memiliki tiga tipe yakni egaliter, kelas, dan transisi atau antara.

Tipe egaliter menunjukkan tidak adanya eksploitasi antar aktor dalam proses produksi. Tipe egaliter mencakup cara produksi komunal dan komunis, dimana kepemilikan kekuatan produksi tidak pada pribadi tapi pada kelompok. Jika cara produksi komunal aturan penguasaan kekuatan produksi ditetapkan oleh kelompok melalui aturan adat, maka pada komunis diatur oleh Negara. Keduanya tidak mengenal kepemilikan pribadi tapi kepemilikan bersama. Semua anggota memiliki kekuatan produksi sama, sehingga hubungan produksi yang terbangun dalam masyarakat demikian bertipe egaliter karena tidak adanya buruh majikan.

Tipe kelas menunjukkan adanya aksploitasi antar kelas karena adanya dominasi kelas tertentu atas kelas lain. Kelas pengua sa menguasai seluruh kekuatan produksi sehingga ia merekut buruh untuk bekerja padanya. Dengan demikian ada dua kelompok pelaku produksi yakni pemilik kekuatan produksi dan pekerja dalam proses produksi. Tipe ini mencakup cara produksi Negara, Slavery, feudal, dan kapitalis. Cara produksi Negara menunjukkan negaralah yang memegang kekuasaan atas kekuatan produksi dan rakyat harus menyetor hasil produksi pada Negara. Cara produksi slavery

yang memegang kekuatan produksi adalah tuan tanah dimana mereka mengeksploitasi budak untuk memproduksi barang dan jasa. Sementara untuk feudal, kekuasaan tertinggi atas kekuatan produksi adalah Raja dan keluarganya, sementara rakyat bekerja padanya. Sementara cara produksi kapitalis, yang memegang kekuasaan atas kekuatan produksi adalah individu-individu yang menguasai kekuatan produksi dan mampu mengakumulasi surplus produksi untuk modal investasi .

Hubungan sosial produksi dalam perkembangan kapitalisme bermula dari tipe egaliter sebagai ciri masyarakat komunal (pra-kapitalis) menjadi tipe kelas sebagai ciri masyarakat perbudakan, negara, feudal, dan kapitalis dan menjadi tipe egaliter kembali sebagai ciri masyarakat komunis. Perubahan dari tipe egaliter menjadi tipe kelas terdapat masa transisi dimana hubungan sosial produ ksi bertipe antara/transisi. Tipe antara/ transisi mencakup cara produksi petani mandiri, kepemilikan sederhana

(simple property) dan sosialis. Dalam hubungan sosial produksi tipe transisi masih terdapat ciri-ciri egaliter, namun juga telah mulai mengembangkan kepemilikan pribadi

atas kekuatan produksi. Akumulasi modal untuk memupuk kekekuatan produksi mulai ada meski tidak memusat pada kelompok tertentu sebagaimana feudal ataupun kapitalis. Tipe transisi ini merupakan ciri khas hubungan produksi yang berkembang pada negara dunia ketiga termasuk Indonesia.

Dalam kondisi riel, dalam satu sistem sosial moda produksi tidak mungkin tunggal dan selalu hadir lebih dari satu moda produksi. Kehadiran secara bersama ini membentuk sebuah konstelasi, dan akan terjadi persaingan antar keduanya. Kehadiran secara bersamaan dua atau lebih moda produksi dimana salah satu cenderung mendominasi disebut sebagai formasi sosial. Dengan demikian, menjelaskan sistem sosial an sich menggunakan analisis moda produksi sangat tidak mungkin. Moda produksi menurut Budiman dalam Sitorus (1999:16) merupakan tipe ideal yang kurang mendekati kenyataan empiris. Dengan demikian analisis yang lebih cocok tentunya adalah analisis formasi sosial yang lebih mendekati kenyataan. Dengan mengetahui formasi sosialnya maka dengan sendirinya akan terlihat bagaimana perubahan struktur ekonomi lokal terjadi. Taylor (1979) juga mengungkapkan hal yang sama, dimana kajian tentang moda produksi sangat terbatas untuk memberi gambaran struktur sosial secara utuh. Kajian formasi sosial yang merupakan bentuk lebih menyeluruh atas struktur sosial lebih tepat digunakan.

Althouser dalam Taylor (1979:106) mengungkapkan bahwa formasi sosial merupakan perwujudan secara keseluruhan sejumlah praktek yang komplek dalam ekonomi, politik, ideology, dan teoritisasi. Praktis-praktis itu masing-masing memiliki perbedaan, namun berstruktur sama yakni bagaimana bahan dasar (raw material) ditransformasikan menjadi produk spesifik yang bernilai sosial. Transformasi tersebut terjadi karena adanya pengorganisasian buruh menggunakan alat produksi tertentu.

Praktis ekonomi terpusat pada tiga komponen utama yakni pekerja, alat produksi, dan tujuan dari kerja (produksi). Pekerja ada dua jenis yakni kapitalis (pekerja pasif) atau orang yang menguasai kapital atau alat produksi, sementara buruh (pekerja aktif) adalah orang yang langsung bersentuhan dengan alat untuk memproduksi sesuatu. Produk sebagai hasil kerja buruh menghasilkan surplus nilai yang mengalir pada pekerja pasif. Dalam setiap tipe masyarakat, aliran surplus dari pekerja aktif ke pekerja pasif selalu ada dengan pola yang berbeda-beda.

Praktik politik mengacu pada potensi alamiah moda produksi dominan untuk selalu mereproduksi sistem agar tetap bertahan. Moda produksi dominan harus membangun sistem politik, ideologi, dan nilai yang mendukung keberlangsungan moda

produksi. Di Jawa, penerbitan undang-undang Agraria (agrariche wet, 1870) oleh pemerintah Belanda adalah contoh keputusan politik yang kemunculannya didorong oleh kaum pengusaha swasta (sebagai pelaku moda produksi dominan) yang ingin berinvestasi dengan bebas. Pengakuan hak milik dan hak menguasai negara melalui pemerintah, yang merupakan ide dasar undang-undang agraria, akan memudahkan bagi swasta untuk menyewa tanah untuk usahanya. Sistem komunal dan kepemilikan Raja sebelumnya sangat menyulitkan perusahaan perkebunan berinvestasi di Jawa.

Praktik ketiga yakni praktik ideology, yang dibangun oleh moda produksi dominan (moda produksi kapitalis) untuk membenarkan/mengesahkan cara produksi yang mereka kembangkan. Mereka memproduksi pandangan bahwa hubungan produksi yang dikembangkan merupakan sesuatu yang sah dan tidak menimbulkan kerugian. Dalam bentuk nyata, ideology ini diemban oleh apparatus ideology bisa Negara, keluarga, gereja, juga apparatus lain. Althouser (1989) mengatakan apparatus ini ada dua yakni ISA (ideological state apparatus) dan SA (state apparatus). ISA proses produksi pandangan-pandangan kaum kapitalis untuk mengesahkan praktek hubungan produksi yang dikembangkan juga mempromosikan gaya hidup, sementara SA merupakan aparat penegaknya seperti polisi dan tentara.

Formasi sosial pada dasarnya memiliki unsur utama sebuah moda produksi dominan, yang berdampingan dengan moda produksi lain. Moda produksi dominan mengestraksi surplus tenaga kerja dari moda produksi lain. Moda produksi dominan selanjutnya membangun sistem ideology dan sistem politik untuk mengesahkan proses ekstraksi tersebut. Komplek relasi yang berisi proses ekstraksi demikian, disebut sebagai sebuah formasi sosial. Jadi dalam sebuah formasi sosial paling tidak ada dua moda produksi yang hadir secara bersamaan dimana salah satu terdominasi.

Gambaran formasi sosial sebagai kehadiran dua atau lebih moda produksi dimana salah satu mendominasi telah ditemukan beberapa ahli. Jeffrey Paige dalam Roxborough (1986:103-104) menguraikan artikulasi berbagai moda produksi dalam masyarakat perkebunan dibedakan dalam lima artikulasi yakni sistem (1) Manor komersial atau hacienda. Merupakan usaha individual, tidak menggunakan tenaga mesin, dikerjakan secara hak usaha oleh buruh upahan lokal atau ulang alik setiap hari dari lahan subsistensi didekatnya. (2) perkebunan bagi hasil, merupakan juga bersifat individual, tidak menggunakan tenaga mesin, dikelola petani bagi hasil atau penyewa. (3) perkebunan yang menggunakan buruh migrasi, merupakan usaha individual, tidak menggunakan tenaga mesin, dan digarap oleh tenaga pindahan. (4) perkebunan

besar, perusahaan dimiliki oleh perusahaan swasta atau perusahaan pemerintah atau oleh individu, menggunakan mesin, serta tenaga kerja upahan dari wilayah itu untuk jangka waktu setahun atau lebih, dan (5) pertanian kecil milik keluarga, merupakan usaha individual, digarap pemilik dan keluarganya. Moda produksi kapitalis yang diartikulasikan dalam sistem perkebunan besarlah yang paling mendominasi, sehingga seluruh bangunan politik, norma, dan ideologi ditentukan olehnya.

Temuan Hiroyosi Kano (1990:182-183) di Desa Pagelaran, Kabupaten Malang, memperlihatkan masih adanya ciri produksi non-kapitalis dengan merujuk pada sistem pertanian padi sawah sebagai artikulasinya. Usaha padi sawah meski memiliki hasil cukup besar tidak menjadi pendorong bagi berkembangnya sektor kapitalis. Usaha padi sawah kurang terkomersialisasi, akibat orienta si produksi untuk keperluan sendiri dan sedikit dipertukarkan. Di sisi lain, pertanian tebu di sana sangat komersial sebagai artikulasi ciri kapitalis. Peran para pedagang sangat dominan dalam membawa usaha tani tebu menjadi usaha berciri kapitalis. Usaha tani tebu ini dikembangkan oleh perusahaan gula Krebet baru yang di introdusir penjajah Belanda. Perluasan tanaman tebu pada satu areal persawahan dapat menggeser tanaman padi. Hal ini menunjukkan dominasi tanaman tebu (artikulasi moda produksi kapitalis) atas tanaman padi (artikulasi moda produksi pertanian tradisional).

Penelitian Khan (1974:304) di Minangkabau melihat kehadiran tiga moda produksi bersamaan yakni : (1) Cara produksi subsistensi (subsistensi production) yakni usaha pertanian tanaman pangan dimana hubungan produksi terjadi dalam keluarga inti dan bersifat egaliter; (2) Produksi komersialis (petty commodity production) yakni usaha di pertanian dan luar pertanian yang (sudah) berorientasi pasar dimana hubungan produksi menunjukkan gejala eksploitasi surplus melalui hubungan kekerabatan, dan hubungan sosial produksi egaliter karena (umumnya keluarga/kerabat), namun bersifat kompetitif; (3) Produksi kapitalis yakni usaha padat modal yang berorientasi pasar dimana hubungan produksi mencakup hubungan struktur buruh-majikan/pemilik “modal” dan pemilik “tenaga”.

Lebih lanjut Khan menemukan usaha pandai besi (sebagai artikulasi moda produksi kapitalis) yang dulunya mendominasi tidak berkembang menjadi kapitalis malah semakin memperkecil produksinya (teratomisasi). Hal ini disebabkan oleh masuknya berbagai produk import yang menggeser dominasi produk lokal. Dominasi usaha pandai besi (kapitalis lokal) berakhir digantikan oleh moda produksi kapitalis dari luar (produsen barang import).

Ciri-ciri Struktu r Ekonomi Lokal

Uraian tentang ciri-ciri struktur ekonomi pasti merupakan analisis pada aras umum sebagai generalisasi realitas-realitas ekonomi oleh peneliti sebelumnya. Dengan demikian generalisasi tersebut belum masuk pada konteks lokal dimana penelitian ini dilakukan. Oleh karena itu kajian pustaka ciri-ciri ekonomi lebih bersifat untuk mengantarkan pemahaman peneliti saja.

Ekonomi lokal dalam kajian ini dimaknai bagaimana struktur ekonomi sebagaimana uraian diatas dilihat dalam konteks lokal. Lokal artinya merujuk pada satu komunitas ter tenntu yang batasa n ruang maupun besar komunitasnya jelas. Lokal berarti menunjuk pada daerah, kesatuan kehidupan sosial didalamnya beserta seluruh dinamikanya. Dalam hal ini, ekonomi lokal berarti merujuk pada ekonomi desa penelitian sekaligus sebagai batas wilayah untuk membedakan dengan daerah lebih luas misalnya kota Batu, jawa Timur, atau Indonesia.

Dalam sosiologi, perubahan struktur ekonomi tidak dimaknai dengan perubahan pendapatan, perubahan suku bunga, penyerapan tenaga kerja, atau peningkatan secara kuantitatif berbagai indikator ekonomi sebagaimana ahli ekonomi. Perubahan ekonomi dimaknai sebagai perubahan pola interaksi sosial sekelompok masyarakat terkait aktifitas-aktifitasnya dalam usaha memenuhi kebutuhan hidup. Interaksi sosial hingga menghasilkan produk (untuk memenuhi kebutuhan) dinamakan proses produksi, sementara cara-cara bagaimana sumberdaya diatur untuk menghasilkan produk disebut sebagai cara produksi. Dengan demikian, ada kemungkinan dalam masyarakat berkembang lebih dari satu cara produksi.

Struktur ekonomi sebagaimana dikemukakan di atas paling tidak ada dua tipe dalam perkembangan masyarakat, yakni non-kapitalis dan kapitalis. Yang pertama merujuk pada moda produksi masyarakat sebelum kapitalisme pasar berkembang di Eropa, berupa jenis-jenis moda produksi asli masyarakat setempat. Khusus untuk Negara bekas jajahan sebagaimana Indonesia, ciri-ciri tradisional menggambarkan struktur ekonomi terutama sebelum penjajahan datang. Struktur ekonomi sendiri berisi interelasi moda-moda produksi yang berarti interelasi berbagai tipe pola penguasaan kekuatan produksi dan hubungan-hubungan sosial yang mengorganisasikan produksi, distribusi dan pertukaran barang dan jasa dalam suatu masyarakat.

Struktur ekonomi non kapitalis hasil produksi tidak untuk dipertukarkan dalam arti komersial, namun untuk digunakan bersama secara sosial. Sementara itu hasil produksi sistem kapitalis sebaliknya, dimana hasil produksi dipertukarkan dalam pasar

dan sedikit digunakan bersama secara sosial. Dengan demikian, struktur ekonomi non- kapitalis produksi berorientasi pada “nilai guna”, sementara kapitalis pada “nilai tukar”. Yang satu berdimensi sosial karena berasas nilai guna, sementara yang lain berdimensi keuntungan karena berasas nilai tukar (Sanderson 2003:112).

Struktur ekonomi non-kapitalis atau kapitalis dalam tradisi Marxis dimaknai sebagai kehadiran dua atau lebih moda produksi dimana salah satu cenderung mendominasi, atau yang dikenal dengan konsep formasi sosial. Struktur ekonomi dalam pengertian Sanderson di atas terbangun atas berbagai kegiatan produksi yang masing-masing memiliki ciri khusus. Dengan demikian, struktur ekonomi juga dapat dimaknai sebagai kehadiran dua atau lebih moda produksi dalam satu sistem sosial yang oleh Russel (1989) dan Olin T. Wright (1999) dimaknai sebagai formasi sosial. Jadi, menganalisis struktur ekonomi pada dasarnya adalah menjelaskan dinamika komponen-komponen penyusunnya yakni moda-moda produksi.

Pembedaan atas “produksi untuk dipakai” atau “produksi untuk dijual” tidaklah mungkin ada secara mutlak dalam sektor ekonomi. Dalam ekonomi non-kapitalis masih ada barang dan jasa yang dipertukarkan meski jumlahnya sedikit. Fungsi barang untuk ditukar sekunder saja bagi sektor ekonomi non-kapitalis. Hal ini berarti produksi untuk dipakai tidak benar jika dianggap hanya untuk subsistensi anggotanya saja. Demikian juga dengan ketidak samaan sosial berdasar pada produksi untuk dipakai, bukan pada besarnya kekayaan sebagaimana ekonomi kapitalis.

Dalam sektor ekonomi non-kapitalis, kekuatan-kekuatan produksi penguasaannya sangat bervariasi. Penguasaan terhadap sumberdaya potensial untuk aktifitas produksi ini akan menentukan organisasi sosial apa yang terbangun. Sanderson (2003:113) melihat pali ng tidak ada empat pola penguasaan yakni komunisme primitive, pemilikan keluarga besar (lineage ownership), pemilikan oleh pemimpin (chiefly ownership), dan pemilikan signeureal8. Meski demikian sektor kepemilikan ini tidak representative seluruh jenis kepemilikan dalam sektor ekonomi non-kapitalis, dan masih ada variasi-variasi tertentu.

8 Kepemilikan ini menunjuk pada masyarakat pemburu dan peramu yang primitive, dimana kepemilikan sumberdaya utama dimiliki bersama. Pemilik an keluarga besar adalah kepemilikan berdasar atas lineage (kadang klan) atas sumberdaya utama. Keluarga-keluarga ini menguasai sumber utama yang biasanya tanah. Chiefly ownership menunjuk kepemilikan oleh ketua atau pemimpin yang kuat (dapat suku atau raja). Sementara itu signeureal lebih mengarah pada kepemilikan oleh sekelompok kecil anggota masyarakat atau sering disebut tuan tanah., lebih lanjut lihat Sanderson, Sosiologi Makro: Sebuah Pendekatan Terhadap Sebuah Realita Sosial, Rajawali Press, Jakarta, 2003.

Hubungan produksi yang terbangun dalam kepemilikan komunal primitive lebih cenderung egaliter, atau bahkan tidak ada ikatan herarkhis dalam produksi. Namun demikian dalam kegiatan-kegiatan perburuan tentu saja mengenal kelompok-kelompok yang terorganisasi, yang lebih banyak dibedakan atas keahlian. Kepemilikan keluarga besar berbeda dimana keanggotaan kelompok menjadi faktor penting dalam mengakses sumberdaya. Chiefly ownership hubungan produksi ditentukan oleh pemimpin dan ia harus menyerahkan sebagian hasil agar hak untuk melakukan produksi tetap diperoleh. Dan untuk kepemilikan signeureal, peranan tuan tanah sangat besar dimana hubungan produksi didominasi para pemilik tanah yang didapatkan secara turun temurun, jika ada orang memakai maka ada kewajiban- kewajiban tertentu (Sanderson 2003:113-117).

Sementara itu, menurut Eric Wolf (1983:84-88) pola penguasaan ini dalam masyarakat tradisional berawal dari sistem komunal menuju pada penguasaan pribadi. Kepemilikan menentukan hak-hak penguasaan, yang dikenal sebagai hak “Domain”. Ada tiga pola penguasaan utama yakni patrimonial domain, prebendal domain, dan mercantile domain9. Selain itu juga dikenal administrative domain, yakni penguasaan oleh Negara yang memiliki kekuasaan tertinggi atas tanah. Tipe-tipe penguasaan ini dapat juga hadir secara bersamaan dalam satu sistem sosial. Sementara itu dalam masyarakat kapitalis modern kepemilikan lebih didominasi kepemilikan pribadi dapat diperjual belikan layaknya komoditi yang lain.

Hubungan produksi yang terbangun pada domain-domain di atas memiliki sifat yang hampir sama dengan pembagian Sanderson. Patrimonial mengacu pada kepemilikan keluarga besar, prebendal pada signeureal, sementara dalam mercantile

kepemilikan pribadi penuh. Karena kepemilikan pribadi, maka hubungan produksi mengarah pada hubungan herakhis antara pemilik dan buruh, meski keluarga juga masih berperanan. Sementara itu untuk administrative domain, hubungan produksi terbangun dalam usaha keluarga dengan kewajiban tertentu pada pemerintah berupa

9

Patrimonial domain, menunjuk pada penguasaan berdasar kelompok atau garis keturunan dimana orang yang berada diatasnya harus membayar upeti karen atanggal diatasnya. Sistem Kebekelan di Jawa, dimana tanah adalah milik raja dan massa rakyat pengarap merupakan contoh domain ini. Prebendal domain menunjuk penguasaan berdasar atas pemberian karena jabatan tertentu dan berhak atas hasilnya. Namun ada juga model kutipan sebagian hasil tani oleh pejabat dari tanah raja sebagai upah jabatan. Ini dapat kita lihat pada sistem tanam paksa dimana kepala Desa berhak mendapat bagian dari hasil tanam paksa. Dan terakhir mercantile domain menunjuk pada kepemilikan individu dan dapat dipertukarkan bahkan diperjualbelikan dalam pasar, dan tanah menjadi komoditi. Lihat Eric Wolf, 1983, Petani Suatu Tinjauan Antropologis, CV. Rajawali, Jakarta

pajak (tunai dan tenaga kerja). Model kuli kenceng, kuli kendo, dan tlosor di Jawa merupakan contoh baik corak domain ini.

Untuk pedesaan Indonesia, dan Jawa pada khususnya, kepemilikan pribadi atas tanah telah terjadi sejak diperkenalkannya culturestelsel oleh Belanda. Tanah- tanah raja telah diberikan hak kepemilikannya pada petani dengan kewajiban- kewajiban tertentu yang harus dipenuhi seperti pajak dan kerja bakti. Kita ketahui tanah merupakan kekuatan produksi dominan hingga saat ini. Sementara itu hubungan produksi ada yang bersifat egaliter, kelas, juga campuran. Namun menjadi ciri umum yang selalu ada di setiap Desa Jawa dan kiranya juga di Desa -Desa Asia Tenggara, adala h dominasi pola hubungan patron klien (Hayami dan Kikuchi 1984: Hunsken 1998: Scott 2000: Antlov 2002).

Perkembangan Kapitalisme dan Transformasi Ekonomi Lokal

Pengaruh kapitalisme di Negara dunia ketiga, sebagian besar masuk melalui proses kolonialisasi/penjajahan. Kapitalisme yang berkembang di Negara dunia ketiga sering disebut sebagai kapitalis pinggiran (peripheral capitalism) atau juga kapitalis semu. Hal ini menandakan adanya perbedaan antara pertumbuhan ekonomi kapitalis di Negara dunia ketiga dengan Eropa (Beaud, 2001). Kapitalisme di pusat pertumbuhan industri bersamaan dengan pertanian, sementara di pinggiran industri tumbuh melalui ekstraksi pertanian. Di pinggiran transformasi struktural tidak terjadi secara seimbang antar sistem ekonomi, dimana satu cenderung didominasi.

Di Indonesia, penelitian tentang tranformasi struktur ekonomi pedesaan sebenarnya sudah lama dilakukan. Kajian banyak fokus pada dampak masuknya kolonialisme pada struktur ekonomi lokal terutama terkait dengan (1) transformasi ekonomi non kapitalis menjadi kapitalis kolonial, dan (2) implikasi atau pengaruh sistem ekonomi kolonial terhadap perkembangan ekonomi lokal paska kolonial. Studi Booke (1953) melihat adanya dua sistem ekonomi yang berdampingan antara perkebunan Belanda yang bersifat modern dengan pertanian tradisional yang bersifat subsistensi. Booke menyebutnya sebagai dualisme ekonomi. Terjadi co-exsistence dimana satu sistem berkembang dengan caranya sendiri tanpa mengganggu sistem lain. Dengan demikian pertanian tr adisional akan memiliki pola perkembangan sendiri, demikian juga ekonomi kapitalis modern. Namun selanjutnya dibuktikan bahwa hubungan yang terjalin bukan co-existence tapi proses dominasi sistem ekonomi kalonial atas ekonomi lokal.

Hal yang sama terjadi pada struktur lokal di daerah bekas koloni Perancis di Kenya, Afrika Barat. Ekonomi pedesaan meski telah terrintegrasi pada sistem kapitalis melalui perdagangan internasional reproduksi sistem lokal tetap terjadi. Temuan Freidberg (2003) memperlihatkan perdagangan hortikultura dari pedesaan Kenya ke Uni Eropa meski telah dilakukan standar isasi sesuai dengan nilai di Eropa tetap dimaknai secara lokal oleh penduduk Kenya. Konstruksi kolonial bagaimanapun tetap melekat erat pada jaringan pemasaran itu.

Kartodirdjo dalam Lindblad (2000:268-269), mengatakan bahwa umumnya perkebunan mengatur pertanian komersial dan karena itu cepat sekali mendominasi ekonomi pedesaan secara luas. Dengan kemampuan modal dan fasilitas kebun dapat mengembangkan produksi yang terpisah dengan pertanian secara fisik, tapi terjadi hubungan eksploitatif dimana ekonomi desa lebih banyak melayani ekonomi perkebunan. Hal itu tidak hanya dalam hal teknis produksi, tapi juga pada sisi ideology dimana perkebunan tetap mempertahankan struktur tr adisional sebagai sumberdaya utama di pedesaan.

Sistem tradisional diintegrasikan dalam struktur produksi perkebunan untuk menekan biaya operasional. Patron petani tetap pada otoritas lokal, sementara buruh mengiblat pada perkebunan. Secara perlahan perke bunan melalui struktur lokal melakukan eksploitasi atas sumberdaya desa melalui kerja rodi dan pajak-pajak. Apa yang terjadi? E konomi desa hanya berkembang di dalam desa saja sementara perkebunan berkembang keluar terkait dengan perekonomian luar desa.

Selama dua dasa warsa setelah kemerdekaan adalah waktu yang cukup kondusif bagi petani lokal di sekitar perkebunan untuk mengembangkan produksinya. Tema-tema penelitian pedesaan berkisar pada kerja-kerja program pemerintah untuk meningkatkan produksi pangan bagi pembangunan ekonomi. Pada masa ini tidak ada tema penelitian tentang proses transformasi pedesaan setelah keluarnya Belanda. Perekonomian desa tetap berkembang setelah Belanda keluar memasuki masa-masa kemerdekaan. Berbagai program pembangunan mulai dirintis ditingkat desa untuk meningkatkan produksi pertanian. Kebijakan nasionalisasi perkebunan Belanda merubah patron para buruh pada Negara sementara ekonomi desa mulai bekembang akibat peningkatan produksi dan pertumbuhan penduduk.

Seluruhnya berbalik saat peristiwa 1965 meletus dan struktur ekonomi pedesaan kembali goyah. Kebijakan pemerintah kembali dominan dan memberi warna berbeda pada ekonomi pedesaan. Modernisasi pertanian melalui revolusi hijau

digalakkan hingga keseluruh pelosok desa. Cara produksi lama digantikan dengan cara baru demikian juga teknologinya. Investasi dibuka lebar baik di kota maupun

Dokumen terkait