• Tidak ada hasil yang ditemukan

RELEVANSI PEMIKIRAN PENDIDIKAN KARAKTER KI HAJAR DEWANTARA DENGAN TOKOH PENDIDIKAN

A. Analisi Data

1. Pengertian pendidikan karakter

Definisi pendidikan karakter cukup beragam sesuai dengan versi dan sudut pandang keilmuan tertentu, pendidikan merupakan proses untuk mengubah jati diri seorang peserta didik untuk lebih manju (Listyarti, 2012: 2). Sedangkan karakter berasal dari bahasa inggris character, artinya

watak. Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa pendidikan adalah sebuah

tuntunan dalam hidup tumbuhnya anak-anak yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar anak-anak sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Ki Hajar Dewantara telah jauh berpikir dalam masalah pendidikan karakter, mengasah kecerdasan budi sungguh baik, karena dapat membangun budi pekerti yang baik dan kokoh, hingga dapat mewujudkan kepribadian (persoonlijkhheid) dan karakter (jiwa yang berasas hukum kebatinan). Jika itu terjadi orang akan senantiasa dapat mengalahkan nafsu dan tabiat-tabiatnya yang asli bengis, murka, pemarah, kikir, keras, dan lain-lain (Tamansiswa. 1977: 24).

Pendidikan karakter merupakan perpaduan antara kecerdasan ilmu dan kecerdasan berperilaku (akhlak), dimana di dalamnya terdapat unsur yang penting yaitu nilai moral yang mengatur hubungan antara individu dengan Sang Pencipta, individu dengan sesama manusia dan lingkungan. Akhlak Akhlak berasal dari Bahasa Arab yakni bentuk jamak dari kata khulk yang berarti budi pekerti, perangai tingkah laku atau tabiat (Nata, 2001: 3).

Pendidikan karakter dalam perspektif Ki Hajar Dewantara adalah daya dan upaya yang dilakukan untuk memajukan bertumbuhnya budipekerti, kekuatan batin, karakter, pikiran dan tubuh anak agar dapat mencapai kesempurnaan hidup, yaitu kehidupan dan penghidupan anak- anak peserta didik dapat selaras dengan dunianya. Keseimbangan cipta, rasa dan karsa juga menjadi salah satu indikasi tujuan pendidikan, yang merupakan penerapan dari pembelajaran aktif.

Berdasarkan pengertian pendidikan karakter yang diberikan oleh Ki Hajar Dewantara dan beberapa tokoh seperti John Dewey, Montessori, Megawangi, Lickona, Ghaffar, Kertajaya, Amin, Damayanti maka peneliti dapar melihat ada beberapa konsep kesamaan diantara tokoh-tokoh tersebut. Konsep tersebut adalah pendidikan berangkat dari sebuah proses, hal tersebut dapat peneliti pahami dari pengertian yang diajukan oleh para tokoh melalui kalimat pola untuk membentuk, proses pembaharuan,dan proses yang terjadi secara terus menerus. Selain itu pendidikan merupakan suatu upaya pembentukan watak tidak hanya menghasilkan teori tapi juga

dapat dipraktikan dalam kehidupan nyata, dan tidak hanya berorientasi pada nilai bagus, serta bertujuan untuk menghasilkan anak didik yang dapat berperilaku mencerminkan nilai karakter yang terpuji.

2. Konsep Pemikiran tentang Pendidikan Karakter

Berdasarkan uraian pembahasan konsep pendidikan karakter Ki Hajar Dewantara dan para ahli pada bab III diatas dapat ditarik benang merah bahwa ;

a. Tujuan pendidikan

Pendidikan karakter menurut Ki Hajar Dewantara adalah membangun anak didik menjadi manusia yang merdeka lahir batin, luhur akal budinya serta sehat jasmaninya untuk menjadi anggota masyarakat yang berguna dan bertanggung jawab atas kesejahteraan bangsa, tanah air serta manusia pada umumnya dan sifatnya itu kontinuitas, konvergensi dan konsentris (Suparlan. 1984 : 109). Sedangkan tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuam untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Berdasarkan pemaparan tersebut dapat ditarik benang merah bahwa tujuan pendidikan nasional

merupakan pengembangan dari konsep Ki Hajar yang mengusung keluhuran budi sebagai hasil dari pendidikan.

b. Dasar pendidikan karakter

Agama Islam meninggikan derajat orang yang menuntut ilmu, seperti dalam firman Allah Swt. Q. S. Al-Mujadillah: 11 ;

ِِ َسَْْي او ُحَسْفاَف ِسِلاَجَمْلا يِف اوُحَّسََْت ْمُكَل َليِق اَذِإ اوُنَماَء َنيِذَّلا اَهُّيَأاَي

اوُتوُأ َنيِذ َّلا َو ْمُكنِم اوُنَماَء َنيِذَّلا ُالله ِعَف ْرَي اوُزُشناَف اوُزُشنا َليِق اَذِإ َو ْمُكَل ُالله

}22{ ُُُريِبَِ َنو ُلَمْعَت اَمِب ُالله َو ٍتاَجَرَد َمْلِعْلا

Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Ayat di atas menjelaskan keutamaan menuntut ilmu bagi orang muslim, karena ilmu merupakan salah satu amal yang akan dibawa manusia hingga mati. Maka sebagai orang yang beriman hendaklah berlomba-lomba dalam menuntut ilmu agar dapat bermanfaat di dunia dan akhirat.

Pada masa penjajahan Ki Hajar Dewantara menganggap bahwa pendidikan kolonial tidak dapat memberikan peri kehidupan bersama, sehingga membuat rakyat Indonesia selalu bergantung pada penjajah.

Pendidikan nasional yang dimaksudkan Ki Hajar Dewantara adalah suatu sistem pendidikan baru yang berdasarkan kebudayaan sendiri dan mengutamakan kepentingan masyarakat (Djumur, 1974: 174).

Dasar pendidikan yang digunakan oleh Ki Hajar Dewantara

adalah pancadharma, yaitu kemerdekaan, kodrat alam, kebudayaan,

kebangsaan dan kemanusiaan. Trikon Ki Hajar Dewantara dapat

dijadikan sebagai dasar pengembangan pendidikan. Dalam

pengembangan pendidikan harus berkelanjutan dari budaya sendiri dan terus-menerus menuju ke asah kemajuan (kontuinitas) menuju kearah kesatuan kebudayaan dunia (konvergensi) dan tetap terus mempunyai sifat kepribadian dan ciri khas budaya sendiri dalam lingkungan kemanusian sedunia (konsentrisitas).

Penjabaran dari konsep tersebut antara lain yaitu terdapat dalam pancasila yang dijadikan dasar negara, selain itu juga tertulis dalam pembukaan UUD 1945, yang mana menerangkan pentingnya mencerdaskan generasi bangsa dan menghasilkan generasi yang cerdas secara ilmu dan perilaku.

c. Prinsip pendidikan karakter

Ki Hajar Dewantara berkeyakinan bahwa perjuangan pergerakan tidak akan berhasil tanpa kepandaian, karena pengetahuan merupakan kunci untuk meraih keberhasilan. Prinsip Ki Hajar Dewantara dalam mencerdaskan rakyat adalah pertama, keseimbangan antara cipta, rasa

dan karsa, kedua mendidik rakyat agar berjiwa kebangsaan dan berjiwa merdeka, serta menjadi kader-kader yang sanggup dan mampu mengangkat derajat nusa dan bangsanya sejajar dengan bangsa lain

yang merdeka. Ketiga, melibatkan tripusat pendidikan untuk

menghasilkan generasi yang cerdas secara ilmu dan akhlaknya. Ki

Hajar Dewantara telah menciptakan sistem pendidikan yang merupakan sistem pendidikan perjuangan. Falsafah pendidikannya adalah menentang falsafah penjajahan dalam hal ini falsafah Belanda yang berakar pada budaya Barat.

Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan secara umum sebagai daya upaya untuk mewujudkan perkembangan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intelektual) dan jasmani anak, menuju ke arah masa depan yang lebih baik. Kedewasaan akan tercapai pada akhir windu ketiga, yaitu tercapainya kesempurnaan hidup selaras dengan alam anak dan masyarakat. pendidikan tidak hanya dilakukan di sekolah, tapi dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja, dalam kegiatan formal maupun non formal, karena pengalaman merupakan guru terbaik dalam hidup.

Pendidikan karakter memiliki prinsip mengidentifikasi karakter secara komprehensif agar mencakup pemikiran, perasaan, dan perilaku, yang merupakan implikasi dari cipta, rasa dan karsa Ki Hajar Dewantara. Menciptakan lingkungan pendidikan yang memiliki kepedulian yang melibatkan tripusan pendidikan, kareba lingkungan

keluarga, sekolah, dan masyarakat merupakan lingkungan hidup anak (Asmani, 2011: 56).

d. Metode pendidikan karakter

Proses pendidikan karakter didasarkan pada totalitas psikologis yang mencakup seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif dan psikomotorik) dan fungsi totalitas sosiokultural dalam konteks interaksi dalam keluarga, satuan pendidikan (sekolah), dan masyarakat. berdasarkan totalitas psikologis dan sosiokultural pendidikan karakter dapat dikelompokan sebagai berikut ; pertama, olah hati, olah pikir, olah rasa/karsa, dan olah raga. Sesuai dengan penyataan Ki Hajar Dewantara bahwa pendidikan itu merupakan keseimbangan cipta, rasa,

dan karsa. Kedua, beriman dan bertaqwa, jujur, amanah, adil,

bertanggung jawab, berempati, berani mengambil resiko, pantang menyerah, dan rela berkorban. Ki Hajar Dewantara mengungkapan dalam tulisannya bahwa pendidikan itu akan menuntun manusia menuju

kemajuan tetapi tidak melupakan Yang Maha Pencipta. Ketiga, ramah,

toleran, saling menghargai, peduli, suka menolong, gotong royong, mengutamakan kepentingan umum, kerja keras, dan beretos kerja. Pusat pendidikan bukan hanya ada di sekolah dan di dalam keluarga tetapi juga di dalam masyarakat, dimana anak akan belajar tentang lingkungan

pendidikannya yaitu, lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat (Listyarti, 2012: 8).

Metode pendidikan karakter yang diusung oleh Ki Hajar

Dewantara adalah metode among, dimana pendidik hanya berperan

sebagai pembimbing yang mengarahkananak didiknya dan menjadi fasilitator belajar bagi muridnya. Sedangkan peserta didik dijadikan pusat pembelajaran karena siswa diminta untuk mencari sendiri apa yang akan dipelajari, dan guru hanya membantu memberi arahan. Dalam pendidikan sekarang lebih dikenal dengan pembelajaran aktif, dimana pembelajara dilakukan oleh siswa, materi berasal dari siswa dengan bimbingan guru, dan untuk siswa.

Pendidik juga berperan dalam memberi dorongan atau motivasi pada anak agar lebih rajin dalam melaksanakan tugas, dan yang paling penting harus dapat dijadikan teladan bagi anak didiknya. Ahli menyatakan bahwa pendidik atau guru yang dalam bahasa jawa berarti

digugu lan ditiru sesungguhnya menjadi jiwa bagi pendidikan karakter itu sendiri. Guru yang sifat hakikatnya hijau akan “beranak hijau”, dan

guru yang sifat hakikatnya hitam akan “beranak hitam”, karena guru

merupakan keteladanan yang dijadikan bagi anak didiknya.

e. Materi pendidikan karater

Pendidik harus memahami tentang kondisi psikis dari peserta didik dengan tujuan bahwa ketika materi pendidikan karakter disampaikan harus dapat dipahami dan dicerna secara utuh. Ki Hajar

Dewantara menyatakan dalam pelaksanaan pendidikan karakter haruslah sesuai dengan tingkatan umur para peserta didik, agar tujuan pendidikan dapat tercapai yaitu terbentuknya generasi muda yang cerdas intelektual dan budi pekertinya. Ki Hajar Dewantara membagi empat tingkatan dalam pengajaran pendidikan karakter, yaitu taman indria/ anak, taman muda, taman dewasa, taman madya dan taman guru. Dalam konteks kekinian direalisasikan dalam pendidikan sekarang yaitu Taman Kanak-kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Perguruan Tinggi.

Masing-masing jenjang memiliki konsep yang hampir sama, yang membedakan hanya unsur pendalaman materi, semisal di Taman Kanak-kanak peserta didik telah dikenalkan pada perilaku mendekatkan diri pada Yang Maha Kuasa (religius), dengan berdoa sebelum dan sesudah pelajaran. Di perguruan tinggi juga terdapat nilai religius tetapi konteksnya lebih mendalam seperti tasawuf, maksudnya sama yaitu

mendekatkan diri pada Allah Swt tetapi lebih mendalam

pemahamannya.

Berdasarkan uraian di atas secara garis dapat ditarik kesimpulan bahwa adanya keterikatan yang erat antara konsep pendidikan karakter Ki Hajar Dewantara dan para tokoh pendidikan. Sebelum pendidikan karakter

booming pada tahun 2013 dalam kurikulum 2013, Ki Hajar Dewantara telah melangkah dengan konsep pendidikan karakter yang mengusung antara keseimbangan kecerdasan ilmu dan akhlak peserta didik sehingga

dapat menghasilkan generasi yang cerdas dan memiliki budi pekerti yang baik serta karakter yang religius, berani, tegas dan berpendirian teguh

3. Relevansi Pendidikan Karakter KHD dalam Pembentukan Karakter

Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan yaitu ;

“Menuntun segala kekuatan kodrat jang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya”

(Tamansiswa, 1977 : 20).

Pendidikan, umumnya berarti daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin dan karakter), pikiran (intellect) dan tubuh anak; dalam pengertian Taman siswa tidak boleh dipisah-pisahkan bagian-bagian itu agar supaya kita dapat memajukan kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik selaras dengan dunianya”( Tamansiswa, 1977: 14).

Berdasarkan uraian diatas pendidikan karakter menurut Ki Hajar Dewantara adalah membangun anak didik menjadi manusia yang merdeka lahir batin, luhur akal budinya serta sehat jasmaninya untuk menjadi anggota masyarakat yang berguna dan bertanggung jawab atas kesejahteraan bangsa, tanah air serta manusia pada umumnya dan sifatnya itu kontinuitas, konvergensi dan konsentris (Suparlan. 1984 : 109).

Sedangkan tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan

kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuam untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang

beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Berdasarkan pemaparan tersebut dapat ditarik benang merah bahwa tujuan pendidikan nasional merupakan pengembangan dari konsep Ki Hajar yang mengusung keluhuran budi sebagai hasil dari pendidikan. Dalam konsep Ki Hajar Dewantara yang menjadi pokok utama dalam pembentukan karakter adalah budi pekerti dan akhlak, dimana peserta didik menerapkan dari apa yang telah diterima dari lingkungan keluarga, sekolah dan juga masyarakat. Bukan hanya secara teori melainkan pada penerapannya dan juga prosesnya.

Pembentukan karakter pada anak harus dimulai dari lingkungan keluarga yang mana merupakan lingkungan pertama, karena dalam keluarga anak mendapat pendidikan. Sebagian besar dari kehidupan anak adalah dalam lingkungan keluarga, sehingga pendidikan paling banyak diterima oleh anak adalah dalam keluarga. Selanjutnya dalam lingkungan sekolah seorang pendidik atau guru yang oleh Ki Hajar Dewantara disebut

dengan pamong berperan cukup penting dalam pembentukan karakter

anak, karena kedudukan pendidik adalah sebagai teladan bagi anak didiknya, sehingga guru yang memiliki karakter baik tentu anak didiknya akan berperilaku baik, karena anak mencontoh dari apa yang mereka lihat.

Semboyan Ki Hajar Dewantara ing ngarso sung tulodho, ing madya

pendidik dalam proses pembentukan karakter, karena anak didik berada dalam usia yang labil sehingga mudah terpengaruh oleh hal-hal yang ada disekitarnya. Jadi sebagai seorang pendidik yang pasti harus dapat memberikan dan dijadikan teladan dan panutan bagi anak didiknya. Selain itu juga harus dapat memotivasi anak didiknya, memberikan dorongan baik secara moral ataupun material. Dan yang tidak kalah penting pendidik juga harus dapat bergaul dengan baik bersama anak didiknya, jangan sampai terdapat sekat antara pendidik dan anak didiknya sehingga tidak terjalin komunikasi yang baik.

Konsep tripusat pendidikan Ki Hajar Dewantara juga memiliki

kontribusi yang tinggi dalam pembentukan karakter anak, karena melalui pusat-pusat pendidikan inilah anak dapat memperoleh pembelajaran baik secara sengaja maupun tidak sengaja yang berupa pengalaman. Dan konsep tripusat pendidikan ini masih relevan diterapkan pada masa kini, terbukti dari lingkungan keluarga memiliki peran sebagai peletak dasar pendidikan akhlak dan pandangan agama, seddangkan sekolah merupakan pendamping yang berjalan beriringan dengan pendidikan keluarga sedangkan masyarakat merupakan pelengkap bagi pendidikan keluarga dan sekolah.

B. Implikasi Pendidikan Karakter KHD terhadap Pendidikan Nasional 1. Pendidikan karakter dalam pembentukan moral anak bangsa

Pendidikan karakter menjadi kebutuhan mendesak mengingat degradasi moral yang dialami generasi penerus bangsa ini. Pendidikan

karakter diharapkan mampu membangitkan kesadaran bangsa Indonesia untuk membangun fondasi kebangsaan yang kokoh. Dalam dunia pembelajaran untuk menghadapi berbagai tantanfan yang muncl seiring perkembangan zaman, UNESCO memberikan resep berupa empat pilar belajar yaitu, belajar untuk mengetahui learning to know, belajar untuk bekerja learning to do, belajar untuk hidup berdampingan learning to live together, dan belajar untuk menjadi manusia seutuhnya learning to be

(Suyono, 2011: 29).

Hasil penelitian banyak yang membuktikan bahwa karakter dapat mempengaruhi kesuksesan seseorang. Di antaranya, hasil penelitian di Harvard University, USA, yang menyatakan bahwa ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill), tetapi oleh kemampuan mengolah diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan bahwa kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20% oleh hard skill dan sisanya 80% oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung oleh kemampuan soft skill daripada hardskill. Hal ini mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter peserta didik sangat penting untuk ditingkatkan (Asmani. 2011: 48 ).

Ki Hajar Dewantara mengungkapkan dalam tulisannya perlunya menguasai diri atau mengelola diri (zelfbeheersching) yang disebutkan sebagai tujuan pendidikan. Karakter akan timbul dari bersatunya gerak fikiran, perasaan dan kehendak atau kemauan yang lalu menimbulkan

tenaga. Dengan adanya karakter tiap-tiap manusia berdiri sebagai manusia merdeka, yang dapat menguasai diri sendiri, inilah manusia beradab dan itulah maksud dan tujuan pendidikan dalam garis besarnya (Tamansiswa. 1977: 25).

Berdasarkan penyataan di atas dapat ditarik benang merah bahwa penguasaan diri adalah sesuatu yang penting dalam suatu proses pendidikan. Secara garis besar pemikiran Ki Hajar Dewantara dalam pendidikan adalah ;

a. Pendidikan merupakan suatu proses

Ki Hajar Dewantara menegaskan bahwa pendidikan tidak hanya berorientasi pada nilai akan tetapi pada proses pembelajaran tersebut. Anak didik tidak hanya paham teori tetapi dapat mempraktikan apa yang telah dipelajarinya dalam kehidupan nyata yaitu dalam bersikap dan berperilau kesehariannya. Sehingga mengajarkan kepada anak dalam belajar tidak hanya untuk mendapat nilai yang bagus tetapi juga harus paham dan dapat menerapkan apa yang telah dipelajari serta mengamalkannya.

b. Tripusat pendidikan

Mencerdaskan generasi penerus bangsa bukan hanya merupakan tugas dari lembaga pendidikan atau sekolah, melainkan tugas bersama antara lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan dan lingkungan

masyarakat. Lingkungan keluarga merupakan lingkungan pendidikan

mendapatkan pendidikan. Lingkungan keluarga yang utama, karena sebagian besar dari kehidupan anak adalah di dalam keluarga, sehingga pendidikan yang paling banyak diterima oleh anak adalah dalam keluarga. Ki Hajar Dewantara menegaskan bahwa tugas utama dari keluarga bagi pendidikan anak adalah sebagai peletak dasar bagi pendidikan akhlak dan pandangan hidup keagamaan.

Lingkungan sekolah adalah pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pendidikan sekolah berperan penting sebagai pendamping dari pendidikan dalam keluarga. Lingkungan keluarga dan sekolah tidak dapat terlepas dari tatanan kehidupan sosial dalam masyarakat dimana keluarga dan sekolah itu berada, hal tersebut menunjukan pentingnya pendidikan masyarakat sebagai pelengkap pendidikan anak dalam keluarga dan sekolah.

c. Sistem among sebagai metode pembelajaran

Kata among berasal dari bahasa jawa yang berarti menjaga anak kecil dengan penuh kecintaan, maksudnya memimpin atau memajukan anak-anak dengan menjaga jangan sampai mendesak pikiran, perasaan dan kemauan anak didik. Meskipun anak diberi kebebasan, tetapi tidak

berarti menurut sekehendak hatinya. Sistem among mendidik anak

Tanggung jawab pendidikan bukan hanya milik lingkungan sekolah tetapi lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat juga berperan penting di dalamnya. Pertama, keluarga merupakan lembaga pendidikan tertua, bersifat informal, yang pertama dan utama dialamai oleh anak serta lembaga pendidikan yang bersifat kodrati, orang tua bertanggung jawab memelihara, merawat, melindungi, dan mendidik anak agar tumbuh adn berkembang dengan baik. Kedua, tidak semua tugas mendidik dapat dilaksanakan oleh orang tua dalam keluarga, terutama dalam hal ilmu pengetahuan dan berbagai macam keterampilan. Sekolah membantu orang tua mengerjakan kebiasaan- kebiasaan yang baik serta menanamkan budi pekerti yang baik,

memperoleh kecakapan-kecakapan seperti membaca, menulis,

berhitung, menggambar serta ilmu-ilmu lain sifatnya mengembangkan kecerdasan dan pengetahuan pelajaran etika, keagamaan, estetika, membenarkan benar atau salah, dan sebagainya. Ketiga, masyarakat merupakan lingkungan keluarga dan sekolah. Pendidikan yang dialami dalam masyarakat ini, telah mulai ketika anak-anak untuk beberapa waktu setelah lepas dari asuhan keluarga dan berada di luar dari pendidikan sekolah.

d. Trikon sebagai dasar pengembangan pendidikan

Proses pembelajaran dalam pendidikan senantiasa mengalami perkembangan, dimana perkembangan tersebut mengarah pada penyempurnaan pendidikan untuk menghasilkan generasi yang bermutu

tinggi. Ki Hajar Dewantara menyatakan perkembangan pendidikan dalam trikon yang berbunyi;

“Bahwa dalam mengembangkan dan membina kebudayaan

nasional, harus merupakan kelanjutan dari budaya sendiri (kontuinitas) menuju kearah kesatuan kebudayaan dunia (konvergensi) dan tetap terus mempunyai sifat kepribadian dalam lingkungan kemanusian sedunia (konsentrisitas). Dengan demikian jelas bagi kita bahwa terhadap pengaruh budaya asing, kita harus terbuka, disertai

sikap selektif adaptif dengan pancasila sebagai tolak ukurnya”

(Tamansiswa. 1977 : 206).

Dalam perkembangannya pendidikan itu berkelanjutan dari yang terdahulu sampai sekarang berlanjut, menyempurnakan yang budaya terdahulu, dan menuju ke arah persatuan budaya dunia serta tidak ada unsur individual dalam pendidikan dan harus berjalan beriringan. Selain itu yang tidak penting adalah tidak boleh melupakan budaya sendiri dalam artian menjaga keaslian budaya sendiri dalam proses pendidikan.

2. Penanaman pendidikan karakter di sekolah

Pengembangan pendidikan karakter adalah keterkaitan antara komponen-komponen karakter yang mengandung nilai-nilai perilaku. Hal ini dapat dilakukan secara bertahap dan saling berhubungan antara pengetahuan nilai-nilai perilaku dengan sikap atau emosi yang kuat untuk melaksanakannya, baik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara (Asmani, 2011: 86).

Pendidikan karakter tidak hanya melibatkan aspek moral knowing,

tetapi juga moral feeling dan moral action. Ki Hajar Dewantara

membaginya menjadi empat tingkatan dalam pengajaran pendidikan karakter, adapun materi pendidikan karakter tersebut yaitu ;

a. Taman indria dan taman anak usia 5-8 tahun

Tahap penanaman adab. Adab atau tata krama bisa dilihat dari

Dokumen terkait