• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.9. Rencana pengelolaan sumberdaya ikan bada

tekanan penangkapan terhadap sumberdaya ikan bada yang mengarah kepada gejala tangkap lebih. Beberapa indikasi tersebut adalah:

1. Jumlah ikan berukuran besar yang tertangkap lebih sedikit.

2. Ukuran maksimum ikan yang tertangkap 132 mm lebih kecil dibandingkan ukuran maksimumRasbora argyrotaenia 170 mm (Sterba,1969) dan panjang asimtotik ikan bada 180 mm.

3. Laju eksploitasi ikan bada yang tinggi 0,8 dan telah melebihi nilai laju eksplotasi optimum 0,5.

4. Hasil tangkapan ikan bada tahun 2006-2008 cenderung menurun.

Kondisi di atas harus diimbangi dengan suatu upaya pengelolaan agar pemanfaatan sumberdaya ikan bada di Danau Maninjau dapat berlangsung secara berkelanjutan, pemenuhan kebutuhan ikan dapat dipenuhi untuk generasi sekarang tanpa merugikan atau mengganggu generasi mendatang untuk memenuhi kebu- tuhannya (Hartoto, 2002). Sesuai dengan gambaran umum pengelolaan perikanan yang disampaikan oleh King (1995), maka gambaran umum sumberdaya ikan ba- da di Danau Maninjau adalah sebagai berikut:

a. Laju eksploitasi sumberdaya ikan bada saat ini 0,8.

b. Tujuan pengelolaan sumberdaya ikan bada di Danau Maninjau yaitu memenuhi kebutuhan protein dan sebagai sumber pendapatan.

c. Strategi pengelolaan yang akan dilakukan yaitu pemberian kesempatan ikan bada untuk berkembang, perbaikan habitat, dan pemeliharaan lingkungan ikan bada.

d. Oleh karena itu berdasarkan hasil survei singkat ini dapat diajukan beberapa saran atau peraturan yang bisa dipertimbangkan sebagai bagian dari rencana pengelolaan sumberdaya ikan bada, sesuai dengan strategi di atas yaitu:

1. Pengaturan alat tangkap

Pengaturan alat tangkap yang dimaksud dapat berupa pengaturan jenis alat tangkap maupun ukuran mata jaring alat tangkap yang digunakan. Alat tangkap yang umum digunakan untuk menangkap ikan bada yaitu jaring insang dengan ukuran mata jaring ¾ inch. Terdapat kecenderungan konsumen untuk memilih ikan yang ditangkap dengan alat tersebut karena dirasakan lebih gurih, disebabkan pada ikan dengan ukuran tersebut terdapat telur ikan yang sudah matang gonad namun belum sempat dikeluarkan (dipijahkan). Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan gonad ikan bada secara morfologis pada tiap ukuran mata jaring insang (Lampiran 11). Hasil pengamatan tersebut menunjukkan bahwa tingkat kematangan gonad (TKG) ikan yang tertangkap pada ukuran mata jaring adalah ikan jantan dengan TKG III dan IV; dan pada ukuran mata jaring ¾ adalah ikan betina dengan TKG III dan IV. Kondisi ini tentu akan mengancam keberadaan ikan bada pada masa yang akan datang karena kelangsungan dan evolusi suatu spesies tergantung pada proses reproduksi yang keberhasilannya tergantung pada alokasi sumberdaya, lokasi, dan waktu reproduksi yang ditentukan oleh strategi reproduksi spesies tersebut (Lagler et al., 1977 in

Welcomme, 2001). Upaya agar alokasi sumberdaya yang bereproduksi terpenuhi adalah dengan memberikan kesempatan pada ikan bada yang telah matang gonad untuk memijah terlebih dahulu sebelum ditangkap. Salah satu langkah teknis yang dapat dilakukan menurut Welcomme (2001) adalah dengan pembatasan ukuran mata jaring alat tangkap yang digunakan. Oleh karena itu, berdasarkan survei awal ini salah satu upaya pengelolaan ikan bada yang bisa diusulkan adalah pembatasan ukuran mata jaring yang digunakan yaitu mengoperasikan jaring insang dengan ukuran mata jaring yang lebih besar dari ¾ inch. Hal ini bertujuan agar sebelum tertangkap ikan bada yang sudah matang gonad telah memijah terlebih dahulu.

Selain pengaturan ukuran mata jaring, pembatasan jenis alat tangkap juga perlu dilakukan. Pengoperasian alat tangkap bagan seharusnya dilarang. Hal

ini karena alat tangkap bagan bersifat tidak selektif sehingga dapat menangkap ikan bada dengan ukuran sangat kecil. Berdasarkan panjang ikan hasil tangkapan bagan tersebut dapat disimpulkan bahwa bagan merupakan alat tangkap yang merugikan secara biologi dan tidak memberi keuntungan yang besar secara ekonomi. Hal ini karena banyak ikan yang belum sempat tumbuh mencapai ukuran yang cukup besar untuk dapat mendukung biomassa sehingga dapat menyebabkan tangkap lebih pertumbuhan (growth overfishing) (Sparre dan Venema, 1999)

2. Perbaikan Habitat

Salah satu langkah yang dapat dilakukan dalam upaya perbaikan habitat adalah dengan membuat pelindung (shelter). Pembuatan pelindung bisa berfungsi untuk meningkatkan lapisan untuk produksi makanan alami ikan dan untuk mengumpulkan ikan-ikan berukuran yang bisa ditangkap (Lagler, 1970), meningkatkan peluang keberhasilan pemijahan, dan meningkatkan tempat berlindung yang aman. Menurut McComas (2003) struktur buatan ini tidak hanya dapat mengumpulkan ikan tetapi juga dapat meningkatkan jumlah ikan. Pelindung dapat dibuat dari bahan alami berupa pohon kayu yang tumbang ataupun dari bahan buatan. Pelindung dikenal dengan istilah “rasau” di Danau Maninjau. Pembuatan “rasau” telah pernah disosialisasikan kepada beberapa kelompok nelayan di Danau Maninjau. Pembuatan pelindung ini dapat dilakukan pada semua stasiun pengambilan ikan contoh baik di pantai barat maupun pantai timur.

Selain pelindung buatan, secara alami peningkatan struktur juga dapat dilakukan dengan penanaman pohon di tepian danau. Akar pohon di tepian danau akan menstabilkan pinggiran danau, sedangkan rantingnya akan menyediakan naungan bagi ikan dan mengurangi gulma yang tumbuh di tepian danau. Dalam hal ini dibutuhkan jangka waktu beberapa tahun sebelum pohon-pohon tersebut berperan dalam peningkatan struktur habitat (McComas, 2003).

3. Kualitas air

Lingkungan perairan sebagai tempat hidup ikan bada seharusnya dijaga agar kualitasnya tetap pada kondisi yang optimum bagi kehidupan ikan bada. Danau Maninjau merupakan danau multifungsi sehingga kualitas air yang baik

tidak hanya akan berdampak positif bagi ikan bada tetapi juga bagi organisme dan kepentingan lainnya termasuk bagi keberlanjutan kegiatan perikanan budidaya dengan sistem KJA. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa telah ba- nyak hasil penelitian yang melaporkan bahwa kualitas air Danau Maninjau terus menurun dari waktu ke waktu karena berbagai sumber pencemar. Sumber bahan pencemar tersebut diantaranya limbah pertanian; limbah domestik dari kegiatan rumah tangga, rumah makan ataupun perhotelan; dan limbah kegiatan budidaya ikan KJA yang telah melampaui daya dukung perairan danau. Pada umumnya limbah domestik dan limbah pertanian yang masuk ke Danau Maninjau bersifat

diffuse-source point artinya bahwa limbah yang masuk tidak melalui satu sistem tunggal, namun tersebar di sekitar danau. Secara umum limbah yang bersifat

diffuse-source point lebih sulit untuk dikontrol.

Bapedalda Sumbar (2001) in Marganof (2007) melaporkan bahwa penyebab utama penurunan kualitas air Danau Maninjau adalah akibat dari kegiatan perikanan KJA yang sudah melampaui daya dukung perairan danau. Berdasarkan hal tersebut upaya yang dapat ditempuh adalah membatasi jumlah KJA di Danau Maninjau sesuai dengan daya dukung danau. Langkah tersebut seharusnya diambil dengan kesadaran dan melibatkan semua pihak terkait agar dampak sosial-ekonomi yang timbul dapat diminimumkan. Hal ini karena kegia- tan perikanan KJA telah memberi kesempatan kerja baru bagi masyarakat setempat. Langkah lain yang dapat diambil adalah pengolahan limbah yang masuk ke danau secara biologi, misalnya menggunakan tumbuhan air. Namun, langkah ini harus didahului dengan penelitian ilmiah.

Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa penyusunan rencana pengelolaan perikanan membutuhkan survei intensif mengenai perikanan tersebut termasuk dalam hal ini perikanan bada. Beberapa aspek biologi sumberdaya ikan bada masih belum dikaji lebih lanjut seperti aspek reproduksi secara menyeluruh, aspek makanan dan kebiasaan makan, serta kaitannya dengan lingkungan atau habitat ikan bada. Informasi lengkap mengenai biologi dan ekologi ikan bada diperlukan agar langkah-langkah teknis pengelolaan sumberdaya ikan bada yang sesuai dapat dilaksanakan. Aspek biologi reproduksi dan makanan akan menjadi masukan dalam menetapkan pembatasan musim dan wilayah penangkapan.

Menurut Lagler (1970) kajian yang kontinu mengenai umur dan pertumbuhan akan menunjukkan fluktuasi yang normal dari suatu periode ke periode lainnya. Oleh karena itu penelitian mengenai dinamika populasi ikan bada juga perlu dilakukan secara kontinu agar interpretasi yang tepat pada hasil pengambilan contoh tunggal yang dilakukan saat ini dapat diketahui. Pada akhirnya melalui studi yang intensif dapat dibuat suatu kebijakan pengelolaan yang efektif dan tujuan pengelolaan sumberdaya ikan bada dapat tercapai.

Dokumen terkait