• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.4. Aspek Legal dan Lingkungan

4.5.12. Resiko Pertukaran Mata Uang Asing

c. Penurunan kapasitas produksi Batas penurunan = 60% +

x (80%-60%)

= 70%

4.5.12. Resiko Pertukaran Mata Uang Asing

Pertukaran mata uang asing akan mempengaruhi industri MES, hal ini disebabkan harga bahan baku metil ester mengacu pada nilai mata uang asing yaitu dolar. Mata uang asing ini ditukarkan dengan mata uang domestik menggunakan tarif pertukaran. Fluktuasi tarif pertukaran ini dapat menimbulkan ketidakpastian operasi usaha.

Saat industri MES melakukan pembelian bahan baku metil ester, rupiah berada pada nilai tukar dasar Rp 9.035/1 U$, laba bersih industri MES sebesar Rp. 7.755.549.000 pada tahun pertama dan Rp. 10.632.014.000 pada tahun kesepuluh. Kemudian untuk nilai asetnya sebesar Rp. 36.156.065.000 pada tahun pertama dan Rp. 115.613.978.000 pada tahun kesepuluh.

Bila terjadi depresiasi mata uang sebesar 5% dimana rupiah menjadi relatif lebih lemah dan dapat membeli lebih sedikit dolar, maka laba bersih industri MES menurun 20% menjadi Rp. 6.179.397.000 pada tahun pertama dan menurun 17% yaitu sebesar Rp. 8.868.541.000 pada tahun kesepuluh. Nilai asset perusahaan juga menurun 4% menjadi Rp. 34.645.347.000 pada tahun pertama dan menurun 15% menjadi Rp. 98.534.987.000 pada tahun kesepuluh.

Selanjutnya, bila terjadi depresiasi sebesar 10%, maka laba bersih industri MES menurun 41% yaitu hanya sebesar Rp. 4.601.247.000 pada tahun pertama dan menurun 33% yaitu Rp. 7.102.819.000 pada tahun kesepuluh. Nilai aset perusahaan juga menurun 8% menjadi Rp. 33.132.252.000 pada tahun pertama dan menurun 30% menjadi Rp. 81.433.796.000 pada tahun kesepuluh.

Sebaliknya, bila terjadi apresiasi mata uang sebesar 5% dimana rupiah menjadi relatif menguat, maka laba bersih industri MES meningkat 20% menjadi Rp. 9.335.696.000 pada tahun pertama dan

meningkat 17% menjadi Rp.12.399.986.000 pada tahun kesepuluh. Nilai aset perusahaan juga meningkat 4% menjadi Rp.37.671.537.000 pada tahun pertama dan meningkat 15% menjadi Rp. 132.737.369.000 pada tahun kesepuluh.

Selanjutnya, bila terjadi apresiasi mata uang sebesar 10% maka laba bersih industri MES meningkat 41% menjadi Rp. 10.910.354.000 pada tahun pertama dan meningkat 33% menjadi Rp. 14.161.802.000 pada tahun kesepuluh. Nilai aset perusahaan juga meningkat 8% menjadi Rp. 39.181.285.000 pada tahun pertama dan meningkat 30% menjadi Rp. 149.800.726.000 pada tahun kesepuluh. Rincian pengaruh nilai tukar terhadap keuangan industri MES ditunjukan pada Lampiran 13 dan Lampiran 14

Hasil analisis sensitivitas menunjukan apresiasi rupiah akan membuat industri ini layak didirikan sebaliknya depresiasi rupiah membuat industri ini cenderung menjadi tidak layak dijalankan. Pada saat nilai rupiah terapresiasi, industri MES memiliki nilai NPV positif, IRR lebih besar dari 21%, dan B/C ratio lebih dari 1. Sebaliknya, saat nilai rupiah terdepresiasi 5%, terjadi penurunan pada berbagai kriteria kelayakan namun industri ini masih bisa dijalankan karena NPV positif Rp. 9.328.839.000, IRR 16%, B/C Ratio 1,52. Saat nilai rupiah terdepresiasi 10%, industri MES menjadi tidak layak dijalankan dengan nilai NPV negatif Rp. 775.117.000, IRR yang hanya 10%, B/C ratio 0,96. Rincian analisis sensitivitas ditunjukan pada Tabel 37.

Tabel 37. Analisis sensitivitas terhadap nilai tukar mata uang.

Kriteria kelayakan Basis Depresiasi rupiah Depresiasi rupiah Apresiasi rupiah Apresiasi rupiah 5% 10% 5% 10% NPV (ribuan Rp) 19.420.228 9.328.839 (775.117) 29.536.750 39.618.351 IRR (%) 22 16 10 27 33 B/C Ratio 2,09 1,52 0,96 2,66 3,22 PBP (tahun) 4,9 5,8 7,1 4,2 3,6

V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1. KESIMPULAN

Industri surfaktan MES berbasis metil ester dari minyak kelapa sawit layak untuk dilaksanakan dengan hasil analisis terhadap kriteria investasi NPV Rp.19.420.228.000, IRR 22%, B/C Ratio 2,09, dan PBP hampir 5 tahun.

Berdasarkan hasil analisis sensitivitas, industri ini masih layak dijalankan dengan maksimum kenaikan harga beli bahan baku metil ester 7,7%, penurunan harga jual MES maksimal sebesar 4,5%, dan penurunan kapasitas produksi maksimal sebesar 70%. Analisis titik impas menunjukan pada tahun pertama industri ini harus menjual minimal sebesar 2.118.442 kg, pada tahun kedua sebesar 1.923.857 kg kemudian pada tahun ketiga menurun menjadi 1.729.273 kg dan terus menurun hingga pada tahun kesepuluh titik impas berada pada 1.501.341 kg. Dari analisis resiko pertukaran mata uang asing, depresiasi rupiah akan menyebabkan penurunan laba bersih dan nilai aset sebaliknya apresiasi rupiah meningkatkan laba bersih dan nilai aset. Depresiasi rupiah sebesar 10% telah membuat, industri ini menjadi tidak layak untuk dijalankan.

5.2. SARAN

Untuk memperdalam hasil penelitian ini perlu dilakukan kajian mendalam dari segi perluasan pasar. perluasan pasar nya untuk aplikasi selain untuk EOR, seperti misalnya untuk Coal Dust Supreessant (CDS), bioremediasi di lahan bekas tambang, bahan pencuci untuk tangki-tangki di industri, dan lain sebagainya. Kajian lebih mendalam juga perlu dilakukan pada lokasi industri yang lebih mendekati konsumen.

DAFTAR PUSTAKA

Adami, I. 2008. The Challenge of the Anionic Surfactant Industry In Surfactant From Sources. Biorenewable Resources 5:10-13.

Apple, J. M. 1990. Tata Letak Pabrik dan Penanganan Bahan. Mardiono dan Nurhayati, penerjemah; Sutalaksana, I.Z, Penyunting. Penerbit ITB, Bandung. Terjemahan dari Plant Lay Out and Material Handling. 3rd Edition.

Aprobi, 2011. Daftar Produsen Biodiesel. Jakarta:Aprobi.

Behrens W, P.M. Hawranek. 1978. Manual for the Preparation of Industrial Feasibility Studies. Vienna:United Nations and Expanded Edition.

BP Migas, [Home page of BP Migas]. 2011. Last update. http://www.bpmigas.go.id/wp- content/uploads/2011/02/Edisi.67.pdf

Departemen Energi dan Sumber Daya dan Mineral. 2007. Program Peningkatan Produksi Minyak dan Gas Bumi. Jakarta : Departemen ESDM.

Tarif dan PTKP. [Homepage of Direktorat Jenderal Pajak]. 2010. Last update. http://www.pajak.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=5006&Itemid=167&limitsta rt=1.[1 November 2010]

Foster, N. C. 2004. Manufacture of Methyl Ester Sulphonates and Other Derivates. AOCS Press (9): 1-27.

Georgeiou G. S.C. Lin dan M.M. Shara. 1992. Surface Active Compounds from Microorganism. Journal of Biotech 10 : 60-65

Green D.W, Willhile P. 1998. Enhanched Oil Recovery. New Jersey :Tichardson Tx. Inc. Publication . Harsono, 1984. Manajemen Pabrik. Bandung :Balai Aksara.

Husnan dan Suwarsono.1991.Studi kelayakan Proyek: Konsep, Teknik, dan Penyusunan Laporan. Jakarta:BPFE.

Ketaren, S. Minyak dan Lemak Pangan. 2008. Jakarta: UI Press.

Kredit Investasi [Homepage of Bank Mandiri]. [online]. 2010. Last update. http://www.bankmandiri.co.id/article/corporate-ki.asp. [1 Desember 2010].

Karsa, D.R. 2006. What are surfactants? In: Richard D. Fan (ed). Chemistry and Technology of Surfactant. Oxford : Balckwell publishing, pp 2-13.

Kementrian Energi Sumber Daya Mineral. 2010. Data Warehouse Pusat Data dan Informasi Energi dan Sumber

Daya mineral: Produksi Minyak Bumi PerTahun.

http://www.dtwh2.esdm.go.id/dtwh3/mod_pri/index.php?page=detail_og_prod_tahun_ft. [ 20 Desember 2010]

Kementrian Energi Sumber Daya Mineral. 2010. EOR diperlukan untuk Tingkatkan Produksi Migas. http://www.migas.esdm.go.id/wap/?op=Berita&id=1964 [29 Desember 2010]

Kementrian Energi Sumber Daya Mineral. 20101. Tantangan, Upaya, dan Strategi Industri Migas 2011. http://www.migas.esdm.go.id/ [20 Desember 2010]

Kementrian Perindustrian. 2009. Peta panduan (Road Map) Pengembangan Klaster Industri Pengolahan Kelapa Sawit. Jakarta: Deperin.

Kementrian Pertanian, 2010. Outlook Komoditas Pertanian Perkebunan. Pusat Data dan informasi Pertanian;Jakarta.

Kementrian Pertanian, 2010. Luas Areal, Produksi, Eksport dan Jumlah Kepala Keluarga 12 Komoditi utama Perkebunan. Kementrian Pertanian, Jakarta.

Kotler, P. 2008. Prinsip-Prinsip Pemasaran. Jakarta:UI press.

Lemigas, 2006. Kajian Injeksi Surfaktan. Pusat penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas :Jakarta

Lemigas, 2008. Prospect of Surfactant for Chemichal Flooding. Makalah pada Seminar Teknologi Surfaktan dan Aplikasinya pada Industri Migas untuk Peningkatan Produksi Minyak, 28-29 Agustus 2008. Machfud, Agung, Y. 1990. Perencanaan Tata Letak Pada Industri Pangan. Bogor :PAU Pangan dan Gizi-IPB Myers, D.2006. Surfactant Science And Technology Third Edition. New jersey:A John Willey &Sons.

Naibaho, P.1998. Teknologi Pengolahan Kelapa Sawit. Medan. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Park, C.S. 2007. Contemporary Engineering Economics. New Jersey. Pearson Education Inc. Pahan I. 2008. Panduan Lengkap Kelapa Sawit. Depok: Penebar Swadaya.

Peters, M.S, Klaus D.T, Ronald E.W. 2004. Plant Design and Economic Chemichal Engineering. New York:Mc Graw Hill.

Pertamina Ep, 2011. Bp Migas Ajak Kontraktor Lakukan EOR.http://www.pertamina-ep.com/id/berita-terkini- dari-industri/2011/01/28/bp-migas-ajak-kontraktor-lakukan-eor. [9 Februari 2011]

Pertamina. [Home page of Pertamina]. Last up date.

http://www.pertamina.com/download/wartapertamina/2009/wpjanuari2009.pdf [ 27 Maret 2011] Robert, D. dan Guisti, L. 2008. Chemistry of Methyl Ester Sulfonate In: Surfactant From Sources.

Biorenewable Resources 5: 14

Sihotang, A.A.A. 2010.Pengaruh Proses Bleaching dan Netralisasi Terhadap Karakteristik Surfaktan Metil Ester Sulfonat dari Metil Ester CPO (Crude Palm Oil). Skripsi. IPB: Bogor

Soeharto.1999. Manajemen Proyek dari Konseptual Sampai Operasional. Jakarta:Erlangga. Sutojo, S.2002. Studi Kelayakan Proyek. Malang: Direktorat jenderal Pendidikan Tinggi. Thomas, S. 2007. Enhanched oil recovery- an overview. Oil & Gas Science Technology 63:9-19 Umar, H. 2005. Studi Kelayakan Bisnis. Jakarta:PT. Gramedia Pustaka Utama.

Dokumen terkait