BAB II STUDI LITERATUR
2.5 Respon Gerakan Kapal di Gelombang
Nilai periode absolut pada gelombang yang telah dijelaskan pada sub-bab 2.4, bisa jadi
tidak sama dengan gelombang yang mengalami perubahan akibat kapal yang sedang berlayar.
Arah hadap kapal yang berlawanan dengan arah datangnya gelombang (head sea) akan
mengakibatkan datangnya gelombang yang berturut-turut menjadi lebih cepat dan gelombang
akan memiliki periode yang lebih pendek. Sebaliknya, jika kapal bergerak pada kondisi
following sea (kapal searah dengan datangnya gelombang) akan semakin menjauh dari
gelombang, dan memiliki periode yang lebih panjang. Jika gelombang datang dari salah satu sisi
kapal, maka tidak akan ada perbedaan antara periode gelombang dengan periode yang dialami
oleh kapal. Periode tersebut secara umum disebut sebagai periode encountering, yang akan
dijelaskan lebih lanjut pada sub-bab 2.5.6
2.5.1 Olah Gerak Kapal dalam 6-Derajat Kebebasan
Olah gerak kapal pada gelombang yang kompleks hanya dapat dianalisa dan dipelajari
dengan membagi menjadi beberapa komponen gerakan. Metode pembagian komponen yang
pertama adalah komponen gerakan translasi, yaitu surging terhadap sumbu-X, swaying terhadap
sumbu lateral-Y, heaving terhadap sumbu vertikal-Z. Secara berurutan terhadap sumbu yang
sama adalah gerakan rotasi, yaitu rolling, pitching, yawing. Pada Tabel 2.1 ditunjukkan mode
enam (6) derajat kebebasan kapal :
Tabel 2.1 Enam (6) Mode Derajat Kebebasan Gerakan Kapal.
Nama Gerakan Model Sumbu Positif Simbol
Surge
Translasi
Ke-Depan X
Sway Ke-Starboard Y
16
Roll
Rotasi
Starboard Down
Pitch Bow up θ
Yaw Bow to Port
Meskipun telah membagi olah gerak kapal yang rumit kedalam 6 komponen tersebut
diatas, pada prinsipnya untuk dapat menjelaskan secara lengkap mengenai permasalahan olah
gerak kapal yang rumit, pada analisis teoritis terhadap olah gerak kapal tetap masih
membutuhkan penyederhanaan terhadap permasalahannya. Pertama-tama, dengan
mengasumsikan bahwa perilaku olah gerak kapal berada dalam kondisi gelombang harmonis
sederhana (reguler waves). Selanjutnya, menganalisis perilaku kapal dalam gelombang acak
yang sesuai dengan kondisi pelayaran (irregukar waves), yang merupakan suatu representasi dari
komponen gelombang regular dengan jumlah yang sangat besar, sehingga dapat diambil hasil
akhir sebagai respons kapal dalam gelombang acak (Perez & Blanke, 2002).
Gambar 2.9 Notasi Umum dan Konvensi Simbol terhadap Deskripsi Olah Gerak Kapal
(SNAME, 1950).
Dari keenam mode olah gerak kapal, hanya tiga gerakan (heaving, rolling, pitching) yang
merupakan gerakan osilasi alami, ketiga jenis olah gerak kapal tersebut bekerja karena pengaruh
gaya atau momen akibat gelombang yang mempengaruhi kapal dari posisi keseimbangan
17
awalnya. Pada mode olah gerak surging, swaying, dan yawing, kapal tidak akan kembali ke
posisi kesetimbangan awalnya meskipun gaya yang mempengaruhi atau momen yang
mengakibatkan olah gerak kapal bekerja dari arah yang berlawanan dengan arah hadap kapal.
Meskipun pada kenyataannya olah gerak kapal dalam 6 mode gerakan kapal bekerja sebagai satu
kesatuan, hanya satu gerakan pada satu waktu yang akan dianalisa pada penelitian ini.
Segera sesudah spektra gelombang encounter telah diketahui, maka hal tersebut dipakai
sebagai acuan dengan pengaruhnya terhadap olah gerak kapal. Untuk dapat melakukan hal
tersebut, ada dua pendekatan yang telah dipakai secara umum dalam pemecahan permasalahan
dinamika kapal. Kedua metode tersebut mengacu pada asumsi untuk menyederhanakan
permasalahan, yaitu bahwa respon olah gerak kapal adalah linier dengan amplitudo gelombang
pada kasus gelombang reguler. Metode pertama merupakan pendekatan terhadap gaya dan
momen yang dihasilkan oleh tiap-tiap komponen reguler menggunakan rumusan untuk
rectangular parallelepiped dan memasukkan rumusan tersebut kedalam persamaan olah gerak
seperti yang telah diajukan oleh Kӓllstrӧm (1979). Metode kedua yang dipakai adalah metode
yang biasa disebut dengan Response Amplitude Operator (RAO) dan menggunakan hubungan
antara elevasi gelombang terhadap olah gerak kapal yang akan ditinjau. Metode ini
mengintegrasikan antara gaya dan momen pada luasan yang dikenai gelombang sebagai dasar
perhitungan beban, bentuk dari lambung dan kondisi pelayaran. Dewasa ini telah diperoleh
kesimpulan bahwa metode kedua memiliki hasil pendekatan respon dari olah gerak kapal yang
lebih akurat daripada metode pertama. Metode kedua atau yang umum disebut dengan RAO
akan dijelaskan lebih detail pada sub-bab 2.5.7
2.5.2 Sway
Pada banyak penelitian dan literatur yang ada, mode gerakan sway memiliki efek yang
tidak terlalu signifikan pada proses analisa olah gerak bangunan apung, baik pada bangunan
apung stasioner (tak bergerak) maupun pada analisa olah gerak bangunan apung melaju. Namun,
hal tersebut tidak senantiasa meniadakan efek pengaruh dari gerakan ini. Karakteristik kurva
respons bangunan apung pada mode tanpa kekakuan, yakni surge, sway, yaw tidaklah akan
mempunyai bagian yang melonjak secara tajam (memiliki respons yang tinggi) akibat resonansi,
bilapun ada kenaikan yang tajam pada bagian tertentu, maka hal tersebut adalah sebagai efek
kopel dengan gerakan lainnya (Djatmiko, 2012). Gambar 2.10 menunjukkan bahwa pada olah
gerak kapal tanpa mode kekakuan (surge, sway, dan yaw) tidak memiliki respon yang melonjak
tajam, jikapun ada kenaikan tajam hal tersebut merupakan efek kopel dengan gerakan lain.
18
Gambar 2.10 Grafik Perbandingan RAO Bangunan Apung Melaju (Djatmiko, 2012).
2.5.3 Heave
Gerakan heaving merupakan gerakan osilasi naik turun pada kapal. Sebagai contoh
gambarannya, kita anggap bahwa sebuah kapal turun lebih dalam ke dalam air dari posisi
kesetimbangan dan kemudian tiba-tiba dilepaskan. Sehingga gaya apung yang kemudian menjadi
lebih besar dari berat kapal tersebut.Saat itu kapal akan bergerak vertikal ke atas dari posisi
kesetimbangannya, sampai kapal terus bergerak naik karenamomentumnya. Namun setelah
beberapa saat hal itu terjadi berat badan kapal akan menjadi lebih besar dari gaya apung. Hal ini
akan cenderung memperlambat gerakan naik tersebut. Ketika kecepatan akhirnya nol, kapal
mencapai posisi ekstrim. Disaat itu karena beratnya lebih besar dari gaya apung kapal akan
bergerak vertikal kembali ke bawah. Kecepatan ke bawah akan meningkat sampai posisi
kesetimbangan tercapai saat daya apung bertambah menjadi sama dengan gaya berat. Namun,
karena momentum kapal akan bergerak lebih jauh ke bawah sampai posisi ekstrim tercapai, yaitu
posisi dimana kapal mulai bergerak ke arah sebaliknya. Tapi kapal tidak akan berhenti begitu
saja karena timbal balik dari gaya - gaya yang terjadi. Hal inilah yang membuat gerakan osilasi
sederhana terjadi. Gerak osilasi yang dikenal sebagai gerakan naik-turun, akan berlanjut tanpa
19
henti jika tidak ada gaya redaman yang muncul dalam arah yang berlawanan gerak. Gerakan ini
dikenal sebagai gerakan osilasi bebas. Namun jika ada redaman, gerakantersebut disebut osilasi
teredam.
Dalam kasus osilasi bebas, perbedaan perpindahan kapal ke posisi ekstrim atasnya dari
posisi kesetimbangan adalah sama besarnya dengan perbedaan perpindahan dari posisi
kesetimbangan ke posisi ekstrem terendah. Besarnya ini dikenal sebagai amplitudo gerakan
heaving. Waktu yang diperlukan untuk satu siklus lengkap gerak disebut periode heaving,
sehinga gerakan heaving menjadi gerak harmonik sederhana. Karena periode osilasi tersebut
merupakan gerakan independen dari amplitudonya, sehingga dikenal sebagai natural period.
Frekuensi gerakan tersebut juga disebut frekuensi natural kapal.
Namun, ketika ada redaman, amplitudo gerakan naik-turun secara bertahap menurun
sampai kapal akhirnya berhenti di posisi kesetimbangan. Periode akan sedikit lebih besar dalam
kasus osilasi teredam. Sekarang anggaplah bahwa kapal sedang terombang-ambing vertikal naik
dan turun dengan kekuatan fluktuasi pada periode natural. Tetapi karena redaman,
penyimpangan segera hilang dan osilasi steady-state berlangsung mereka ini dikenal sebagai tiga
gaya osilasi, di mana amplitudo dan frekuensi gerak bergantung pada amplitudo dan frekuensi
dari gaya yang menariknya. Redaman juga akan mempengaruhi amplitudo gaya osilasi. Secara
umum, persamaan gerakan bangunan umum dapat dirumuskan sebagai berikut (Bhattacaryya,
1978) :
𝐹(𝑦) = 𝐴𝑍 ̈+ B𝑍̇ + 𝐶𝑍 (2.7)
Sehingga jika dalam kasus mode gerakan heaving, berikut adalah empat komponen utama
yang dapat diuraikan dari pers. (2.7) diatas adalah (Bhattacharyya, 1978) :
1. Gaya inersia, dimana saat kapal mengalami gerakan osilasi, seperti yang dirumuskan
sebagai berikut :
𝐹
1(𝑦) = −𝑎 ∗ 𝑧̈ (2.8)
Dimana, aadalah virtual mass atau massa kapal ditambah dengan added mass dan 𝑧 ̈=
d
2z/d
2t adalah percepatan vertikal. Besarnya added mass adalah :
An = C*𝜌∗𝜋∗𝛽
𝑛8 (2.9)
2. Damping force, merupakan gaya yang selalu menghambat osilasi model, seperti persamaan
berikut :
20
𝐹𝑜(𝑦) = 𝐵 ∗ 𝑍̇ (2.10)
3. Restoring Force atau konstanta spring, dimana selalu membawa kapal kepada keadaan
yang konstan :
F2(y) = C.Z (2.11)
Dimana C adalah konstanta restoring atau pengembali dan Z adalah displasemen kapal
pada pusat gravitasi (CG) dari kapal. Besar koefisien restoring force adalah C = pgAwp (A
adalah beban pada bidang garis air).
4. Exciting Force atau encountering force, yang mana bekerja pada massa kapal, yaitu :
𝐹 = 𝐹
𝑜∗ cos 𝜔
𝑒∗ 𝑡 (2.12)
Dimana Fo adalah amplitude of encountering, 𝜔
𝑒adalah circular frequency of the
encountering force, dan t adalah waktu.
2.5.4 Roll
Persamaan matematis dari gerakan rolling analog dengan dengan gerakan pitching seperti
dijabarkan sebagai berikut :
𝑎𝑑𝑑𝑡
2𝜙
2+ 𝑏𝑑𝜙𝑑𝑡 + 𝑐𝜙 = 𝑀0𝑐𝑜𝑠 𝜔𝑒𝑡 (2.13)
Dimana, 𝑎(𝑑
2𝜙 𝑑𝑡⁄
2) adalah momen Inersia, 𝑎 merupakan virtual mass moment dari
inersia untuk gerakan rolling dan 𝑑
2𝜙 𝑑𝑡⁄
2adalah percepatan angular dari gerakan rolling.
Sedangkan, 𝑏(𝑑𝜙 𝑑𝑡⁄ ) merupakan damping moment, b merupakan koefisien damping moment
dan 𝑑𝜙 𝑑𝑡⁄ kecepatan sudut.
Sebagai penyederhanaan kasus, damping moment didasarkan pada asumsi bahwa linear
dengan kecepatan sudut 𝑑𝜙 𝑑𝑡⁄ . Besaran koefisien cϕ pada pers. (2.13) adalah momen
pengembali, dimana c adalah koefisien momen, dan ϕ adalah perpindahan gerakan rolling dalam
sudut atau radian.
Pada kasus olah gerak rolling, fluktuasi besaran exciting moment M
o*cos 𝜔
𝑒bergantung
pada frekuensi gelombang papasan 𝜔
𝑒. Jika sekarang semua koefisien telah disesuaikan dengan
mode gerak rolling, maka olah gerak rolling dari kapal dapat ditentukan (Rameswar, 1978).
2.5.5 Arah Gelombang
Pada saat bangunan laut berada pada lokasi operasinya, baik dalam mode stasioner
maupun dalam kondisi melaju dengan kecepatan tertentu maka bangunan laut akan menghadapi
gelombang yang dapat saja berpropagasi dari berbagai arah. Dalam hal permasalahan olah gerak
21
kapal, arah eksitasi gelombang akan mempunyai dampak intensitas gerakan yang berbeda-beda
dalam 6-derajat kebebasannya.
Dari banyak referensi mengenai teori gerakan bangunan laut dapat disimpulkan suatu
konvensi umumm, bahwa arah gelombang (μ) didefinisikan sebagai sudut antara propagasi
gelombang dengan arah laju kapal. Selanjutnya, arah gelombang 𝜇 sebesar 0
oditetapkan bila
arah datangnya gelombang searah dengan melajunya kapal. Sebaliknya, jika arah propagai
gelombang berlawanan dengan arah datangnya gelombang, maka 𝜇 = 180
o. Dengan kata lain
bahwa μ= 0
oadalah gelombang yang datangnya dari arah buritan kapal, sedangkan 𝜇 = 180
oadalah gelombang yang datangnya dari arah haluan kapal. Sehingga didapat asumsi lainnya
bahwa 𝜇 = 90
odan 𝜇 = 270
oadalah jika datangnya gelombang datang dari sisi kapal (Djatmiko,
2012).
Gambar 2.11 Definisi Sudut Hadap Kapal terhadap Arah Gelombang.
Lebih lanjut, untuk lengkapnya adalah istilah yang lazim digunakan untuk menjelaskan
arah gelombang datang. Pertama, gelombang yang mempunyai arah 𝜇 = 0
odisitilahkan sebagai
following seas atau following waves, yang merupakan gelombang buritan. Agar diperhatikan,
pemilihan kata seas dan waves keduanya dapat dinyatakan sebagai gelombang. Kedua,
gelombang yang mempunyai nilai 𝜇 = 180
odiistilahkan sebagai head seas atau gelombang
haluan. Ketiga, gelombang yang mempunyai nilai 𝜇 = 90
odan 𝜇 = 270
odiistilahkan sebagai
beam seas atau gelombang sisi. Perlu dicatat bahwa gelombang dengan nilai 𝜇 = 90
oadalah
gelombang yang datang dari arah sisi kiri kapal (portside), sedangkan arah gelombang yang
22
mempunyai nilai 𝜇 = 270
oadalah gelombang yang datang dari arah sisi kanan kapal (starboard).
Jenis-jenis arah gelombang yang lain adalah arah gelombang yang datang secara menyilang
terhadap laju kapal, namun tidak dibahas lebih lanjut dalam penelitian kali ini.
2.5.6 Frekuensi Gelombang Papasan
Frekuensi gelombang merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi perilaku
bangunan apung yang bergerak, salah satunya adalah kapal. Hal tersebut dikarenakan oleh
adanya perubahan frekuensi pada nilai tertentu akan menimbulkan kondisi resonansi atau
magnifikasi respons. Perubahan frekuensi ini tidak lain adalah karena adanya kecepatan relatif
antara gelombang dan kapal yang melaju. Sebagai akibatnya, perubahan tersebut akan memberi
pengaruh terhadap hasil-hasil perhitungan parameter-parameter ataupun koefisien
hidrodinamika, yang akhirnya memberikan hasil akhir berupa respons yang berbeda-beda pula
(Djatmiko, 2012).
Frekuensi yang berubah karena gelombang berpapasan dengan kapal yang sedang melaju
disebut frekuensi gelombang papasan atau encountering wave frequency, sering disingkat
sebagai frekuensi papasan atau encountering frequency, yang diberikan notasi sebagai 𝜔
𝑒.
Uraian yang seksama tentang frekuensi papasan dapat diberikan sebagai berikut [Bhattacaryya,
(1978), Journée & Pinkster (2002)], dengan mengacu pada Gambar 2.12 dibawah ini :
Gambar 2.12 Bangunan Laut Melaju di Gelombang dengan Arah 𝝁.
Gambar 2.12 menunjukkan kapal yang sedang melaju dengan kecepatan Vs diatas
gelombang yang berpropagasi dengan sudut μ dan berkecepatan c. Dengan demikian komponen
23
Vs yang berada pada arah propagasi gelombang adalah Vs*Cos μ, sedangkan kecepatan relatif
antara kapal terhadap gelombang adalah c-Vs*cos μ. Adapun waktu yang diperlukan oleh kapal
untuk melintas dari satu puncak gelombang ke puncak gelombang berikutnya (Periode
gelombang) adalah :
𝑇𝑒 = 𝜆
𝑤𝑐− 𝑉
𝑠∗cos 𝜇 (2.14)
Berdasarkan kesepakatan konvensi yang telah dijelaskan pada sub-bab 2.5.5, perlu dicatat
bahwa dalam hal gelombang berpropagasi dari arah buritan kapal maka waktu yang dibutuhkan
oleh kapal untuk mencapai dua puncak gelombang yang berurutan akan lebih lama dibandingkan
dengan bangunan apung diam. Dengan demikian, periode papasan 𝑇
𝑒akan mempunyai periode
yang lebih besar daripada periode riilnya. Namun, sebaliknya jika gelombang berpropagasi dari
arah yang berlawanan dengan kapal, maka periode papasan akan lebih kecil daripada periode
riilnya. Jika kemudian kita meninjaunya dari segi frekuensi yang merupakan harga kebalikan
dari periode, maka frekuensi papasan 𝜔
𝑒dari gelombang yang berpropagasi dari arah buritan
kapal akan mempunyai nilai yang lebih kecil dibandingkan dengan frekuensi riilnya. Begitupun
sebaliknya jika gelombnag berpropagasi dari arah yang berlawanan dengan kapal, maka
frekuensi papasan akan memiliki nilai yang lebih besar daripada frekuensi riilnya.
Periode merupakan jarak temporal antara satu puncak gelombang ke puncak berikutnya,
yang bila ditinjau secara spasial akan merupakan panjang gelombang, yang mempunyai korelasi
sebagai berikut :
𝜆𝑤 = 𝑐 ∗ 𝑇 (2.15)
Maka jika disubstitusikan ke pers. (2.14) maka akan dihasilkan persamaan baru, yaitu :
𝑇𝑒 = 𝑐− 𝑉𝑐∗𝑇
𝑠
∗cos 𝜇 = 1−(𝑉 𝑇
𝑠
⁄ )∗ cos 𝜇𝑐 (2.16)
Jika persamaan (2.16) didefinisikan sebagai frekuensi papasan, maka akan diperoleh
persamaan sebagai berikut :
2𝜋
𝜔
𝑒= 1− (𝑉2𝜋 𝜔⁄
𝑠