KRISTIAN EDO ZULFAMY C3408
DAFTAR LAMPIRAN
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.2 Respon Tingkah Laku Ikan Nila ( O niloticus ) selama Transportas
Respon tingkah laku merupakan salah satu cara ikan dalam menanggapi perubahan lingkungan. Respon tersebut dapat berupa aktivitas renang ikan, gerak tubuh ikan, gerak buka tutup insang, dan gerak sirip ikan. Pengamatan respon tingkah laku ikan selama simulasi transportasi juga merupakan gambaran fisiologis ikan selama proses transportasi berlangsung. Hasil pengamatan respon tingkah laku ikan nila selama transportasi disajikan pada Gambar 5.
(a)
(b)
(c)
Gambar 5 Respon tingkah laku ikan nila (O. niloticus) selama transportasi: (a) gerak tubuh; (b) gerak tutup insang; dan (c) gerak sirip (kontrol ; 0,25% ; 0,50% ; dan 0,75% )
Hasil pengujian menunjukkan bahwa pada menit ke-0, tingkah laku ikan pada kontrol dan perlakuan dengan konsentrasi 0,25%, 0,50%, dan 0,75% cenderung memiliki aktivitas yang normal karena ikan telah melalui proses aklimatisasi selama 15 menit sebelum pengujian dimulai. Aklimatisasi pada ikan dilakukan agar ikan menjadi lebih adaptif terhadap lingkungan barunya, sehingga
0 1 2 3 4 5 0 30 60 90 120 Sk a la Waktu (Jam) 0 1 2 3 4 5 0 30 60 90 120 Sk a la Waktu (Jam) 0 1 2 3 4 5 0 30 60 90 120 Sk a la Waktu (Jam)
dalam proses transportasi tingkat stres yang dicapai dapat direduksi. Gambaran visualisasi respon tingkah laku ikan nila selama transportasi dapat dilihat pada Lampiran 2.
Pada fase berikutnya, yaitu menit ke-30 hingga 60, tingkah laku ikan cenderung agak cepat, terutama pada perlakuan dengan konsentrasi 0,25%, 0,50%, dan 0,75%. Hal ini diduga karena pada perlakuan tersebut pengaruh ekstrak belum bereaksi secara optimal pada fisiologis ikan, sehingga efek perlakuan belum terlihat dominan pada tingkah laku ikan, sedangkan pada kontrol, tingkah laku ikan masih dalam kondisi normal, mengingat kondisi media kontrol (turbiditas) tidak terlalu berbeda dibandingkan menit sebelumnya.
Pada menit ke-90 efek perlakuan lebih terlihat dominan pada aktivitas tingkah laku ikan, dimana pada perlakuan dengan konsentrasi 0,25%, 0,50%, dan 0,75%, respon tingkah laku ikan cenderung lebih tenang dan lambat. Hal serupa tidak terjadi pada kontrol, dimana respon tingkah laku ikan kontrol meningkat seiring waktu pengamatan. Diduga penurunan kualitas air yang terjadi pada media kontrol merupakan faktor penyebabnya. Penurunan kualitas air yang terjadi dapat berupa meningkatnya kadar CO2, TAN, dan kekeruhan sehingga tingkat stres ikan
mempengaruhi aktivitas tingkah lakunya.
Gambar 5 menunjukkan bahwa pada menit ke-120 aktivitas tingkah laku ikan yang diberikan perlakuan penambahan ekstrak daun jambu biji buah merah cenderung normal, namun pada ikan kontrol, respon tingkah lakunya cenderung normal lambat. Perilaku yang cenderung normal dan lambat mengindikasikan tingkat kelelahan ikan akibat stres berkelanjutan selama transportasi.
4.3 Pengujian Suhu Media selama Transportasi
Suhu merupakan salah satu faktor fisik yang berperan dalam pengaturan keseimbangan fisiologis yang diperlukan bagi pertumbuhan dan reproduksi ikan. Kisaran toleransi setiap jenis ikan terhadap suhu memiliki rentang yang berbeda- beda. Maka dari itu, pengujian terhadap perubahan suhu media selama transportasi berlangsung dilakukan karena suhu merupakan faktor penting yang berperan menentukan keberhasilan transportasi. Perubahan suhu media selama pengujian transportasi ikan nila disajikan pada Gambar 6.
Hasil pengujian menunjukkan bahwa suhu media transportasi pada masing- masing perlakuan cenderung meningkat hingga akhir waktu pengamatan. Peningkatan suhu mulai terjadi dari menit ke-30 hingga 120. Perubahan suhu yang terjadi selama pengujian 25,40-26,93ºC. Kisaran suhu minimum yang dicapai selama pengujian terdapat pada perlakuan dengan konsentrasi 0,50%, sedangkan kisaran suhu maksimum yang dicapai selama pengujian terdapat pada konsentrasi 0,75%. Perubahan suhu yang terjadi selama pengujian masih lebih kecil dibandingkan hasil penelitian Novila (2012), yaitu 25,40-27,38ºC. Hal ini mengindikasikan pemberian ekstrak daun jambu biji daging buah merah lebih efektif menurunkan aktivitas tingkah laku biota selama transportasi.
Gambar 6 Grafik perubahan suhu media selama transportasi; huruf berbeda (a,b) pada grafik menunjukkan nilai berbeda nyata (kontrol ; 0,25% ; 0,50% ; dan 0,75% )
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan berupa perbedaan konsentrasi ekstrak daun jambu biji daging buah merah selama transportasi ikan nila memberikan pengaruh yang signifikan (P<0,05) terhadap perubahan suhu media transportasi pada menit ke-30, sedangkan pada menit ke-60, 90, dan 120, perlakuan ekstrak tidak berpengaruh signifikan (P>0,05) terhadap perubahan suhu media. Perubahan suhu yang terjadi dalam media pada masing-masing perlakuan masih dalam batas toleransi ikan nila. Sebagaimana dikemukakan Mjoun et al. (2010) yang menyatakan bahwa kisaran suhu optimum habitat ikan nila 22-29ºC. Perubahan suhu kontrol cenderung meningkat lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan ekstrak daun jambu biji daging buah merah. Aktivitas ikan pada media
b b a b 25,20 25,40 25,60 25,80 26,00 26,20 26,40 26,60 26,80 27,00 0 30 60 90 120 Su hu (ᵒ C ) Waktu (menit)
kontrol yang bersifat lebih agresif dibandingkan dengan ikan yang diberikan perlakuan ekstrak daun jambu biji diduga merupakan penyebabnya (Gambar 2).
Menurut Supriyanto et al. (2007), perubahan posisi yang sangat cepat mengakibatkan tingginya frekuensi gesekan antar molekul air, sehingga dapat menimbulkan panas yang menyebabkan suhu media kontrol lebih tinggi dibandingkan suhu media perlakuan lainnya. Peningkatan suhu tidak selalu berakibat pada kematian ikan (Irianto 2005), namun meningkatnya suhu dapat menyebabkan gangguan fisiologis berupa peningkatan laju metabolisme pada ikan (Ross & Ross 2008). Selama kisaran suhu media masih dalam batasan toleransi, maka sintasan hidup ikan selama proses transportasi tetap dapat dipertahankan (Junianto 2003).
4.4 Pengujian Oksigen Terlarut (DO) Media selama Transportasi
Oksigen diperlukan ikan untuk katabolisme yang menghasilkan energi bagi aktivitas berupa renang, reproduksi, dan pertumbuhan (Irianto 2005). Pentingnya peranan oksigen bagi kelangsungan hidup ikan, menjadikan oksigen sebagai salah satu parameter pengujian dalam penelitian ini. Hasil pengujian kadar oksigen terlarut dalam media selama transportasi berlangsung disajikan pada Gambar 7.
Gambar 7 Grafik perubahan kadar oksigen terlarut (DO) selama transportasi; huruf berbeda (a,b) pada grafik menunjukkan nilai berbeda nyata (kontrol ; 0,25% ; 0,50% ; dan 0,75% )
Konsentrasi oksigen terlarut pada masing-masing taraf perlakuan cenderung bersifat fluktuatif, yaitu pada menit awal pengujian hingga menit ke-30 konsentrasi oksigen media pada setiap perlakuan menurun drastis kemudian
a a b d b b b c 0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 7,00 8,00 9,00 0 30 60 90 120 Nila i D O ( m g /L ) Waktu (menit)
meningkat kembali seiring waktu pengamatan, namun hal demikian tidak terjadi pada kontrol. Konsentrasi oksigen terlarut kontrol terus mengalami penurunan hingga akhir pengamatan.
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pemberian ekstrak daun jambu biji daging buah merah pada media berpengaruh signifikan (P<0,05) terhadap nilai DO pada menit ke-90 dan 120, sedangkan pada menit ke-30 dan 60, perlakuan yang diberikan tidak berpengaruh signifikan (P>0,05) terhadap nilai DO media. Penurunan konsentrasi DO media pada menit awal pengujian disebabkan oleh stres adaptif ikan selama proses transportasi. Hal tersebut didukung pernyataan Junianto (2003) yang mengungkapkan bahwa stres dapat terjadi pada awal pengangkutan akibat perubahan kondisi lingkungan yang mendadak sehingga mengakibatkan konsumsi oksigen tertinggi terjadi pada 15 menit awal dari saat pengangkutan.
Pada menit berikutnya ikan telah beradaptasi dengan lingkungan barunya sehingga konsumsi oksigen ikan menjadi berkurang, ditambah lagi dengan pengaruh pemberian ekstrak sehingga aktivitas respirasi ikan nila mengalami penurunan. Gutiérrez et al. (2008) menyatakan, disamping memiliki sifat antialergi, antiinflamasi, dan analgesik, ekstrak daun jambu biji memiliki kemampuan menurunkan aktivitas sistem syaraf pusat serta memberikan efek sedatif. Faktor lain meningkatnya nilai DO juga dipengaruhi pemberian aerasi selama transportasi berlangsung, sehingga difusi oksigen dari atmosfer lebih cepat terjadi. Menurut Wynne & Wurts (2011), terdapat berbagai metode untuk meningkatkan kadar DO selama pengangkutan, salah satunya dengan aerasi. Aerasi dapat dilakukan pada transportasi ikan dengan kepadatan yang tinggi. Penggunaan aerasi dapat mempertahankan konsentrasi oksigen hingga minimal 6 mg/L selama pengangkutan. Selain itu, aerasi dapat mengurangi stres fisiologis yang berdampak terhadap kenaikan kadar amoniak.
Kisaran nilai DO yang dicapai selama pengujian adalah 2,70-8,00 mg/L, dimana nilai DO tertinggi dan terendah yang dicapai selama pengujian terdapat pada perlakuan dengan konsentrasi 0,25%. Sebagaimana dikemukakan Mjoun et al. (2010), kisaran nilai DO yang dicapai selama pengujian masih dalam batas toleransi ikan nila. Bahkan diungkapkan dalam penelitiannya ikan nila
merupakan jenis biota yang sangat toleran terhadap oksigen terlarut yang rendah dan mampu bertahan pada kisaran DO mencapai 0,1 mg/L. Namun demikian, kebutuhan DO yang paling optimum untuk menunjang kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan nila adalah >3 mg/L.
Oksigen merupakan gas yang memiliki kelarutan yang rendah di dalam air (Mallya 2007). Salmin (2005) mengungkapkan bahwa kecepatan difusi oksigen dari udara disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain kekeruhan air, suhu, salinitas, dan pergerakan massa air seperti arus. Kekurangan oksigen dapat berakibat pada mortalitas ikan. Sensitivitas terhadap kadar oksigen terlarut yang rendah sangat spesifik untuk setiap jenis ikan. Pada umumnya, apabila kandungan oksigen terlarut turun menjadi 3-4 mg/L, ikan akan mengalami stres (Irianto 2005).
4.5 Pengujian Nilai Karbon Dioksida (CO2) Media selama Transportasi
Karbon dioksida merupakan salah satu gas terlarut dalam air yang termasuk dalam parameter penentu kualitas air. Keberadaan gas ini dipicu oleh aktivitas respirasi, suhu, difusi gas dari atmosfer, dan pH media. Tingginya kadar karbon dioksida dalam air dapat mengganggu kondisi keseimbangan fisiologis ikan, atau bahkan dapat berakibat fatal misal kematian pada ikan. Hasil pengujian kadar karbon dioksida dalam media transportasi ikan nila disajikan pada Gambar 8.
Gambar 8 Grafik perubahan nilai karbon dioksida (CO2) selama transportasi;
huruf berbeda (a,b) pada grafik menunjukkan nilai berbeda nyata (kontrol ; 0,25% ; 0,50% ; dan 0,75% ) a a;b b a a a b c c a b d 0,00 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00 12,00 14,00 16,00 0 30 60 90 120 Nil a i CO 2 ( m g /L ) Waktu (menit)
Konsentrasi CO2 pada masing-masing perlakuan cenderung memiliki pola
perubahan yang sama. Kondisi media perlakuan dengan konsentrasi 0,50% dinilai lebih bersifat fluktuatif dibandingkan kontrol dan perlakuan lainnya. Kenaikan konsentrasi CO2 pada perlakuan dengan konsentrasi 0,50% mulai terjadi pada
menit ke-0 hingga 60. Kondisi yang serupa juga dialami kontrol dan perlakuan dengan konsentrasi 0,75%, namun peningkatan yang terjadi tidak sebesar media perlakuan dengan konsentrasi 0,50%. Hal ini diduga pola aktivitas respirasi ikan perlakuan dengan konsentrasi 0,50% lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya, sehingga mengakibatkan terjadinya akumulasi karbondioksida yang lebih tinggi dalam media.
Faktor utama dominasi tingginya aktivitas respirasi ikan perlakuan dengan konsentrasi 0,50% diduga karena ukuran ikan juga mempengaruhi aktivitas respirasi ikan, dimana pada perlakuan tersebut memiliki bobot ikan paling rendah, yaitu 773,50 g. Budiardi et al. (2005) mengungkapkan bahwa tingkat konsumsi oksigen ikan yang berukuran lebih kecil relatif lebih tinggi dibandingkan ikan yang berukuran lebih besar. Pada menit selanjutnya ikan sudah mulai beradaptasi sehingga aktivitas respirasi ikan menurun, selain itu pemberian perlakuan ekstrak juga memberikan pengaruh terhadap menurunnya aktivitas respirasi ikan.
Pada menit ke-60 hingga 90 konsentrasi karbon dioksida yang terdeteksi dalam media cenderung mengalami penurunan, namun hal serupa tidak terjadi pada perlakuan dengan konsentrasi 0,25%. Penurunan kadar karbon dioksida pada perlakuan dengan konsentrasi 0,25% telah terjadi lebih awal pada menit sebelumnya. Penurunan konsentrasi CO2 dalam media diduga akibat turunnya
aktivitas respirasi ikan dan penambahan aerasi pada media. Penurunan aktivitas ikan pada kontrol diduga karena ikan mengalami kelelahan, sedangkan pada perlakuan ekstrak menurunnya pola respirasi diduga akibat adanya pengaruh ekstrak daun jambu biji. Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa kisaran perubahan konsentrasi CO2 yang terjadi selama pengujian sebesar 1,9-16,7 mg/L
dengan konsentrasi minimum terdapat pada perlakuan dengan konsentrasi 0,25% dan konsentrasi maksimum terdapat pada perlakuan dengan konsentrasi 0,50%.
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan berupa pemberian ekstrak daun jambu biji daging buah merah berpengaruh signifikan (P<0,05)
terhadap konsentrasi CO2 media transportasi pada menit ke-30, 60, dan 90,
sedangkan pada menit ke-120 perlakuan ekstrak daun jambu biji daging buah merah tidak berpengaruh signifikan (P>0,05) terhadap perubahan konsentrasi CO2
media transportasi. Gomes et al. (2006) mengungkapkan bahwa nilai kristis karbon dioksida selama proses transportasi bergantung pada spesies. Nilai kritis untuk spesies ikan subtropis sebesar 40 mg/L, sedangkan untuk spesies ikan tropis nilai kritisnya mencapai 140 mg/L. Berdasarkan hal tersebut diketahui bahwa konsentrasi karbon dioksida media selama pengujian masih jauh lebih rendah dibandingkan nilai kritisnya.
Pengaruh pemberian ekstrak tidak memberikan dampak langsung terhadap penurunan konsentrasi CO2, melainkan melalui suatu tahap penurunan aktivitas
respirasi yang ditunjukkan melalui respon tingkah laku ikan nila. Faktor lain tereduksinya gas karbon dioksida selama proses transportasi adalah penggunaan aerasi. Hal ini didukung oleh Swann (1993) dan Hargreaves & Brunson (1996), yang menyatakan bahwa tingkat karbon dioksida yang tinggi dalam suatu media transportasi dapat direduksi dengan aplikasi aerasi mekanis atau mengisikan gas oksigen ke dalam wadah transportasi hingga terbentuk ruang kolom udara pada aplikasi transportasi sistem tertutup. Selain itu, keberadaan gas karbon dioksida dalam air juga dipengaruhi sifat kelarutan gas dan pola respirasi ikan. Kadar karbon dioksida lebih dari 12 mg/L biasanya sudah bersifat mematikan, tetapi penggunaan aerasi yang baik dapat menurunkan tingkat toksisitas karbon dioksida hingga konsentrasi di atas 100 mg/L (Irianto 2005).
Hargreaves & Brunson (1996) mengungkapkan, ikan dapat melepaskan karbon dioksida melalui insang sebagai respon terhadap perbedaan konsentrasi karbon dioksida dalam darah ikan dan lingkungannya. Jika konsentrasi karbon dioksida lingkungan tinggi, ikan akan mengalami kesulitan untuk mengurangi konsentrasi karbon dioksida dalam tubuhnya, sehingga akan terjadi akumulasi CO2 dalam darah ikan. Akumulasi ini menghambat kemampuan hemoglobin,
membawa molekul oksigen dalam darah untuk mengikat oksigen dan dapat menyebabkan ikan menjadi stres bahkan mati.
4.6 Pengujian Nilai pH Media selama Transportasi
Derajat keasaman (pH) merupakan salah satu parameter penting yang menentukan tingkat kelangsungan hidup ikan. Apabila nilai pH media tidak kondusif, maka akan menimbulkan gangguan kronis pada ikan, antara lain terhambatnya pertumbuhan, stres berkelanjutan hingga kematian. Hasil pengujian aplikasi ekstrak daun jambu biji daging buah merah terhadap nilai pH media selama transportasi ikan nila disajikan pada Gambar 9.
Hasil pengujian menunjukkan bahwa nilai pH media transportasi pada masing-masing perlakuan cenderung mengalami kenaikan hingga akhir waktu pengamatan. Peningkatan nilai pH media transportasi mulai terjadi pada menit ke-30 hingga menit ke-120. Kisaran nilai pH media transportasi selama pengujian 5,66-6,53, dimana nilai pH tertinggi dan terendah yang dicapai selama pengujian terdapat perlakuan ekstrak dengan konsentrasi 0,75%. Hasil analisis statistik menunjukkan, bahwa pemberian perlakuan berupa perbedaan konsentrasi ekstrak daun jambu biji daging buah merah selama transportasi ikan nila memberikan pengaruh yang signifikan (P<0,05) terhadap nilai pH media transportasi pada menit ke-30, sedangkan pada menit ke-60, 90, dan 120 perlakuan yang diberikan tidak memberikan pengaruh yang signifikan (P>0,05) terhadap nilai pH media transportasi.
Gambar 9 Grafik perubahan nilai pH selama transportasi; huruf berbeda (a,b) pada grafik menunjukkan nilai berbeda nyata (kontrol ; 0,25% ; 0,50% ; dan 0,75% )
Perubahan nilai pH yang terjadi selama pengujian masih dalam batas toleransi, walaupun pada menit ke-30 terdapat perlakuan yang berbeda nyata. Hal
a b a b 5,60 5,80 6,00 6,20 6,40 6,60 6,80 7,00 0 30 60 90 120 Nila i pH Waktu (menit)
itu didukung oleh hasil penelitian Ath-thar et al. (2010), yang menyatakan bahwa ikan nila memiliki kisaran toleransi tehadap nilai pH 5-8, dan mampu tumbuh dengan optimum pada pH 7. Nilai pH memiliki pengaruh terhadap ketahanan hidup ikan nila, semakin jauh dari kisaran pH optimal, ketahanan hidup akan semakin berkurang. Sedangkan Mjoun et al. (2010) dalam publikasinya melaporkan bahwa kisaran nilai pH lingkungan ikan nila mencapai 3,7-11, namun kisaran optimum untuk menunjang pertumbuhannya 7-9.
Peningkatan nilai pH yang terjadi selama pengujian diduga karena adanya pengaruh akumulasi amoniak dalam media. Amoniak, baik dalam bentuk terionisasi maupun tidak terionisasi merupakan jenis basa lemah yang keberadaannya dalam media air dapat mempengaruhi nilai pH media. Pengaruh total amoniak nitrogen (TAN) terhadap nilai pH juga ditentukan konsentrasi TAN yang terdapat dalam media.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa nilai TAN kontrol yang terukur dalam media jauh lebih tinggi dibandingkan perlakuan ekstrak, namun tingginya nilai TAN kontrol masih dalam batasan konsentrasi yang rendah sehingga pengaruhnya terhadap nilai pH tidak begitu signifikan. Sedangkan kondisi media yang diberi ekstrak cenderung lebih bersifat basa dibandingkan kontrol (Gambar 9). Hal ini diduga akibat pengaruh substansi penyusun ekstrak daun jambu biji yang sebagian besar bersifat basa, sehingga selama pengujian nilai pH media yang diberi perlakuan lebih tinggi dibandingkan nilai pH kontrol. Menurut Sanda et al. (2009), daun jambu biji mengandung komponen flavonoid, yaitu kuersetin. Kuersetin mengandung sejumlah gugus hidroksil bebas dan merupakan senyawa polar (Sukarianingsih 2006).
Nilai pH yang yang tinggi dan cenderung meningkat pada media juga diduga akibat rendahnya akumulasi CO2 dalam air akibat pemberian perlakuan
ekstrak, sehingga pola respirasi ikan nila uji menurun. Wurts & Durborow (1992) mengungkapkan bahwa konsentrasi CO2 dapat meningkat tinggi akibat hasil
respirasi. Gas CO2 yang dilepaskan organisme akuatik selama respirasi akan
berinteraksi dengan air sehingga membentuk asam karbonat yang bersifat dapat menurunkan pH, sebagaimana terlihat dalam reaksi di bawah ini:
Perubahan nilai pH media yang cenderung meningkat selama pengujian disebabkan oleh keadaan ion hidroksil yang lebih besar dibandingkan ion hidrogen (Irianto 2005). Menurut Ath-thar et al. (2010), peningkatan ion hidroksil dapat dipicu dari tingkat ekskresi amoniak yang tinggi selama transportasi. Sedangkan penurunan pH menurut Yada dan Ito (1997), dapat disebabkan oleh tingginya kadar CO2 dalam perairan. Penurunan nilai pH dapat menyebabkan
menurunnya tingkat plasma sodium pada ikan nila, sehingga semakin rendah nilai pH media, maka sintasan ikan akan semakin rendah. Selain itu, Ath-thar et al. (2010) mengungkapkan pula bahwa pada pH asam dan basa, ikan harus beradaptasi lagi untuk dapat hidup, sehingga energi yang ada pada tubuhnya yang seharusnya digunakan untuk tumbuh, digunakan untuk menyesuaikan diri dengan kondisi pH asam dan basa. Susanto et al. (2009); Ath-thar et al. (2010) menyimpulkan bahwa kondisi demikian tentunya dapat mengganggu pertumbuhan ikan nila.
4.7 Pengujian Total Amoniak Nitrogen (TAN) media selama Transportasi
Amoniak merupakan sebagian fraksi kecil dari total nitrogen yang diekskresikan oleh ikan melalui urin (Hoar & Randall 1969). Selama proses transportasi akan terjadi akumulasi amoniak dalam media transportasi. Amoniak yang terbentuk merupakan hasil katabolisme protein yang bersifat toksik bagi ikan (Wright & Anderson 2001). Hasil pengujian aplikasi ekstrak daun jambu biji daging buah merah terhadap nilai TAN selama transportasi ikan nila disajikan pada Gambar 10.
Hasil pengujian bahwa nilai TAN media transportasi pada masing-masing perlakuan cenderung mengalami kenaikan hingga akhir waktu pengamatan. Peningkatan nilai TAN pada media transportasi mulai terjadi pada menit ke-30 hingga menit ke-120. Kisaran nilai TAN media transportasi selama pengujian adalah 0,07-1,92 mg/L, dimana nilai TAN tertinggi yang dicapai selama pengujian terdapat pada kontrol. Pemberian perlakuan berupa perbedaan konsentrasi ekstrak daun jambu biji daging buah merah selama transportasi ikan nila berpengaruh signifikan (P<0,05) terhadap nilai TAN media transportasi pada setiap waktu pengamatan.
Gambar 10 Grafik perubahan nilai TAN selama transportasi; huruf berbeda (a,b) pada grafik menunjukkan nilai berbeda nyata (kontrol ; 0,25% ; 0,50% ; dan 0,75% )
Gambar 10 menunjukkan bahwa kenaikan nilai TAN dalam media transportasi meningkat seiring meningkatnya aktivitas metabolisme yang digambarkan melalui respon tingkah laku ikan nila (Gambar 5). Diduga peningkatan yang terjadi akibat akumulasi metabolit hasil ekskresi selama kegiatan transportasi berlangsung. Rentang nilai TAN yang terakumulasi dalam
media masih dalam batas normal sehingga tidak bersifat toksik bagi ikan. Mjoun et al. (2010), menyatakan bahwa ikan nila mampu bertahan dalam kisaran
amoniak hingga 7 mg/L dan kisaran optimum nilai TAN pertumbuhan ikan nila, yaitu <0,05 mg/L.
Peningkatan kadar amoniak terutama berasal dari pemberian pakan yang berlebihan dan populasi dekomposer untuk menguraikan amoniak tidak memadai sehingga berakibat pada ekskresi amoniak oleh ikan cukup tinggi. Syamdidi et al. (2006) mengungkapkan bahwa kondisi stres juga akan menstimulasi lapisan luar adrenalin mengeluarkan sejumlah kortisol dan memacu perubahan protein tubuh menjadi asam amino yang kemudian akan terurai menjadi amoniak. Akibatnya, produksi amoniak pada kondisi tersebut akan meningkat. Tingkat toksisitas amoniak dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain spesies ikan, kadar garam, tingkat paparan amoniak, lama paparan, dan pengaruh aklimasi yang diberikan sebelumnya (Irianto 2005).
Nilai berbeda nyata antara perlakuan dan kontrol yang terjadi pada setiap menit pengamatan mengindikasikan aplikasi ekstrak daun jambu biji daging buah
b d c c a c b b a a a a a b a a 0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 1,20 1,40 1,60 1,80 2,00 0 30 60 90 120 Nil a i T AN (m g /L ) Waktu (menit)
merah mampu menghambat produksi metabolit ikan selama transportasi berlangsung. Demikian juga pada waktu pengamatan selanjutnya, dimana perlakuan berupa pemberian ekstrak memiliki nilai TAN terukur yang lebih rendah dibandingkan kontrol, sehingga dapat disimpulkan bahwa tingkat efektivitas ekstrak yang diberikan makin meningkat seiring tingginya level konsentrasi ekstrak.
Hasil penelitian Adnyana et al. (2004), menyatakan bahwa ekstrak daun jambu biji daging buah merah pada konsentrasi tertentu mampu menekan frekuensi defekasi yang berbeda nyata dibandingkan kontrol, namun apabila konsentrasi yang diberikan terlalu tinggi, maka bisa jadi frekuensi penurunan defekasi tidak terlihat berbeda nyata. Hal tersebut diduga karena konsentrasi ekstrak yang terlalu tinggi dapat mempengaruhi fisiologis hewan uji yang mengakibatkan efek obat tidak begitu terlihat dominan.
Birdi et al. (2010); Gutiérrez et al. (2008), ekstrak kasar daun jambu biji memiliki suatu komponen aktif berupa kuersetin. Kuersetin merupakan senyawa golongan flavonoid yang memiliki aktivitas biologis. Kuersetin dilaporkan memiliki banyak manfaat bagi kesehatan manusia, antara lain proteksi terhadap jantung, aktivitas antikanker, pencegahan terhadap katarak, aktivitas antiviral, dan antiinflamasi. Selain itu, kuersetin mampu menghambat ekskresi air dan pelepasan asetilkolin.
4.8 Pengujian Tingkat Turbiditas Media selama Transportasi
Turbiditas merupakan ukuran kejernihan air yang menunjukkan berapa banyak material tersuspensi dalam air. Nilai turbiditas diukur berdasarkan satuan NTU (nephelometric turbidity unit). Pengukuran terhadap material tersuspensi