• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

C. Restorative Justice

a. Pengertian Restorative Justice (Keadilan Restorative)

Restorative Justiceatau keadilan restorative adalah suatu proses penyelesaian yang melibatkan pelaku, korban, keluarga mereka dan pihak lain yang terkait dalam suatu tindak pidana, secara bersama-sama mencari penyelesaian terhadap tindak pidana tersebut dan implikasinya dengan menekankan pemulihan dan bukan pembalasan.23

b. Pelaksanaan Restorative Justice Di Indonesia

Di Indonesia pengembangan konsep Restorative

Justicemerupakan sesuatu yang baru, yang mana kota Bandung menjadi salah satu tempat pelaksanaan Pilot Unicef tentang pengembangan konsep Restorative Justicepada tahun 2003.

Restorative Justiceadalah suatu proses pengalihan dari proses pidana formal ke informal sebagai alternative terbaik penanganan terhadap

22Effendi, Rusli.1993.Asas Hukum Pidana Bagian 2. Ujung Pandang : Lembaga kriminologi Universitas Hasanuddin. Hal. 5-6.

18 Anak yang berhadapan dengan hukum dengan cara semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama memecahkan masalah untuk menangani akibat perbuatan Anak di masa yang akan datang.

Tindak pidana, khususnya tindak pidana yang dilakukan oleh Anak, dilihat sebagai suatu pelanggaran terhadap manusia dan hubungan antara manusia, yang menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, pelaku dan masyarakat dalam mencari solusi perbaikan, rekonsiliasi dan menenteramkan hati.

Restorative Justicemerupakan upaya untuk mendukung dan melaksanakan ketentuan yang diatur dalam Pasal 16 ayat 3 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu bahwa “penangkapan, penahanan atau tindak pidana penjara Anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir”.

Pengadilan negeri ibaratnya adalah muara, yang menerima dan mengadili perkara-perkara yang dilimpahkan dari kejaksaan negeri. Dari daftar perkara pidana Anak pada Kepaniteraan Pidana Pengadilan Negeri Bandung selama 1 tahun terakhir (Januari 2004-Mei 2005) tercatat selama 70 (tujuh puluh) perkara Anak, yang usianya berkisar antara 13 (tiga belas)

19 tahun sampai dengan 18 (delapan belas) tahun yang pada saat perkara dilimpahkan hampir semua terdakwa berada di dalam tahanan.24

Sejalan dengan tujuan Restorative Justice, Pengadilan Negeri Bandung telah membuat ruang sidang dan ruang tunggu khusus Anak dan memisahkan terdakwa Anak yang di tahan dari terdakwa dewasa sejak saat yang bersangkutan tiba dari rutan.

Terdakwa Anak yang menunggu waktu persidangan ditempatkan di ruang tunggu khusus dengan didampingi oleh orang tua atau keluarganya dan atau petugas Bapas dan di ruangan itu disediakan pula buku-buku bacaan Anak-Anak dan remaja yang merupakan sumbangan dari Unicef (United Nation Children and Education Fund).

Ruang sidang Anak itu sendiri, tempat bagi terdakwa Anak, sengaja tidak diberi tulisan “terdakwa” dengan pertimbangan psikologis si Anak agar merasa aman, bebas, dan tidak merasa dipermalukan selama menjalankan persidangan.

Selanjutnya dalam hal penututan pidana dari jaksa penutut umum, jarang sekali ditemukan adanya tuntutan pidana melainkan tindakan agar apabila terdakwa Anak tersebut terbukti bersalah, dijatuhi tindakan dikembalikan kepada orang tua atau setidak-tidaknya sesuai/pas dengan lamanya terdakwa Anak tersebut berada dalam tahanan sementara.

Upaya melaksanakan perintah UU agar penjatuhan pidana penjara terhadap Anak merupakan upaya terakhir (ultimum remedium) maka

20 putusan yang terbaik berupa tindakan untuk mengembalikan terdakwa Anak kepada orang tuanya untuk dididik dan dibina sebagaimana mestinya. Adanya upaya pelaksanaan Restorative Justicetidak berarti bahwa semua perkara Anak harus dijatuhkan putusan berupa tindakan dikembalikan kepada orang tua, karena hakim tentunya harus memperhatikan kriteria-kriteria tertentu, antara lain:

1. Anak tersebut baru pertama kali melakukan kenakalan (first offender); 2. Anak tersebut masih sekolah;

3. Tindak pidana yang dilakukan bukan tindak pidana kesusilaan yang serius, tindak pidana mengakibatkan hilangnya nyawa, luka berat atau cacat seumur hidup, atau tindak pidana yang mengganggu/merugikan kepentingan umum; dan

4. Orang tua/wali Anak tersebut masih sanggup untuk mendidik dan mengawasi Anak tersebut secara lebih baik.25

Sistem peradilan pidana Anak sendiri sebenarnya sudah baik, namun buruknya sebuah sistem tetaplah kembali pada kemauan dan kemampuan para pelaksanaannya untuk mengutamakan kepentingan dan perlindungan serta memberikan yang terbaik kepada Anak yang berhadapan dengan hukum dengan prinsip “the best interest of the children”.

21 Hambatan pelaksanaan Restorative Justicedi Bandung.Pertama aturan yang berlaku dalam sistem hukum yang ada mewajibkan polisi dan jaksa penuntut umum untuk menindaklanjuti perkara-perkara yang masuk.Artinya setiap perkara yang masuk dalam sistem peradilan pidana

diharapkan polisi melakukan tindakan untuk melakukan

penangkapan.Selanjutnya dilakukan penahanan.Dengan adanya

penahanan yang dilakukan, polisi berusaha untuk menyelidiki kasusnya guna melimpahkan perkara ke pihak kejaksaan untuk dilakukan penututan.Penuntutan pihak kejaksaan tesebut selanjutnya dilimpahkan pada pihak pengadilan untuk dilakukan persidangan untuk membuktikan pada pihak pengadilan untuk dilakukan persidangan untuk membuktikan tindak pidana yang dilakukan tersangka.Tahapan-tahapan tersebut dianggap merupakan kewajiban aparat penegak hukum untuk melakukan tindakan semestinya dilakukan sehingga sulit melakukan tindakan pengalihan pada penanganan kasus Anak.

Hambatan kedua yang dihadapi oleh penuntut umum, bahwa berdasarkan aturan yang berlaku jaksa penuntut umum wajib mengajukan rencana tuntutan kepada atasannya dan atasan itulah yang berwenang memutuskan pidana atau tindakan apa yang akan dituntukan kepada

terdakwa, sehingga dalam melaksanakan konsep Restorative

Justicetersebut harus ada pemahaman secara menyeluruh bagi semua komponen pelaksanaan peradilan pidana Anak. Artinya pemahaman yang

22 sama harus tertanam secara menyeluruh dalam setiap individu di instansi yang terkait dalam sistem peradilan pidana Anak.26

Karakteristik pelaksanaan Restorative Justicedi Bandung:

1. Pelaksanaan Restorative Justicedi Bandung ditujukan untuk membuat pelanggar bertanggung jawab untuk memperbaiki kerugian yang ditimbulkan oleh kesalahannya;

2. Memberikan kesempatan kepada pelanggar untuk membuktikan kemampuan dan kualitasnya dalam bertanggungjawab atas kerugian yang ditimbulkannya, di samping itu untuk mengatasi rasa bersalah secara konstruktif;

3. Penyelesaian kasus tindak pidana yang dilakukan melibatkan korban atau para korban, orang tua dan keluarga pelaku, orang tua dan keluarga korban, sekolah, dan teman sebaya;

4. Penyelesaian dengan konsep Restorative Justiceditujukan untuk menciptakan forum untuk berkerja sama dalam menyelesaikan masalah yang terjadi;

5. Menetapkan hubungan langsung dan nyata antara kesalahan dengan reaksi sosial.

Berdasarkan karakteristik Restorative Justicedi atas maka ada persyaratan yang harus dipenuhi untuk dapat terlaksananya Restorative Justice, yaitu:

23 1. Harus ada pengakuan atau penyataan bersalah dari pelaku; 2. Harus ada persetujuan dari pihak korban untuk melaksakan

penyelesaian di luar sistem peradilan pidana Anak yang berlaku; 3. Persetujuan dari kepolisian atau dari kejaksaan sebagai institusi

yang memiliki kewenangan diskresioner;

4. Dukungan komunitas setempat untuk melaksanakan

penyelesaian di luar sistem peradilan pidana Anak.

Adapun kasus yang bisa dilaksanakan penyelesaiannya dengan konsep Restorative Justiceadalah:

1. Kasus tersebut bukan kasus kenakalan Anak yang

mengorbankan kepentingan orang banyak dan bukan

pelanggaran lalu lintas jalan;

2. Kenakanalan Anak tersebut tidak mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, luka berat atau cacat seumur hidup; dan

3. Kenakalan Anak tersebut bukan kejahatan terhadap kesusilaan yang serius yang menyangkut kehormatan.

Kasus yang dapat di selesaikan dengan Restorative Justiceadalah kasus yang telah masuk dalam sistem peradilan pidana atau kasus yang belum masuk dalam sistem peradilan pidana (belum bersentuhan dengan sistem peradilan pidana).

Metode penyelesaian yang dilakukan dalam Restorative Justiceadalah sesuai dengan kebiasaan bermusyawarah yang telah

24 melembaga dalam masyarakat, dapat mengakomodasi keterlibatan masyarakat atau pihak ketiga lainnya dalam proses penyelesaian (bukan hanya korban dan pelaku) dan tujuan yang hendak dicapai melalui proses musyawarah adalah untuk memulihkan segala kerugian dan “luka” yang telah diakibatkan oleh peristiwa kenakalan Anak tersebut.

Pihak-pihak yang dilibatkan dalam Restorative

Justice(musyawarah pemulihan) adalah :

1. Korban dan keluarga korban. Keterlibatan korban dan keluarga korban dalam penyelesaian secara Restorative Justicetersebut penting sekali. Hal ini dikarenakan selama ini dalam sistem peradilan pidana, korban kurang dilibatkan padahal korban adalah pihak yang terlibat langsung dalam konflik (pihak yang menderita kerugian). Dalam musyawarah tersebut suara atau kepentingan koraban penting untuk didengar dan merupakan bagian dari putusan yang akan diambil. Selanjutnya kenapa keluarga korban dilibatkan sebab umumnya dalam masyarakat Indonesia, konflik pidana sering menjadi persoalan keluarga, apalagi bila korban masih di bawah umur.

2. Pelaku dan keluarganya. Pelaku merupakan pihak yang mutlak dilibatkan, karena keluarga pelaku dipandang perlu untuk dilibatkan lebih disebabkan karena usia pelaku yang belum dewasa (Anak). Pelibatan keluarga pelaku juga

25 dipandang sangat penting karena keluarga sangat mungkin menjadi bagian dari kesepakatan dalam penyelesaian seperti halnya dalam hal pembayaran ganti rugi atau pelaksanaan kompensasi lainnya.

3. Wakil masyarakat. Wakil masyarakat ini penting untuk mewakili kepentingan dari lingkungan di mana peristiwa pidana tersebut terjadi. Tujuannya agar kepentingan-kepentingan yang bersifat publik diharapkan tetap dapat terwakilkan dalam pengambilan putusan. Adapun kriteria wakil masyarakat yaitu tokoh masyarakat atau pihak yang dianggap tokoh masyarakat setempat (memiliki legitimasi sebagai wakil masyarakat), tidak memiliki kepentingan dalam kasus yang dihadapi (dapat bertindak mandiri). Memperhatikan keseimbangan gender agar aspirasi perempuan senantiasa terwakili dalam pengambilan keputusan.

Adapun tempat pelaksanaan musyawarah pemulihan yaitu pada tingkat rukun warga (RW) di lingkungan dimana kasus kenakalan Anak tersebut terjadi (tempat kejadian perkara/TKP) atau di sekolah, khususnya dalam hal kenakalan yang terjadi di sekolah, baik pelaku maupun korbannya berasal dari sekolah yang sama.27

26 Syarat-syarat keputusan hasil musyawarah Restorative Justiceyang diambil adalah:

1. Dapat dilaksanakan oleh para pihak sendiri tanpa memerlukan bantuan instansi penegak hukum dalam sistem peradilan pidana;

2. Putusan tidak bersifat punitif, tetapi lebih merupakan solusi dengan memperhatikan kepentingan terbaik dari Anak, korban dan masyarakat seperti restitusi (ganti rugi) atau community service order berupa kewajiban kerja sosial; 3. Putusan didasarkan pada adanya kesepakatan semua pihak

yang terlibat dan dapat dilaksanakan; dan

4. Pengawasan pelaksanaan putusan dilakukan sendiri oleh masyarakat dan atau dengan bantuan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) sebagai fasilitator.28

c. Hambatan Pelaksanaan Restorative Justice

Pelaksanaan Restorative Justicedi berbagai Negara menunjukkan beberapa keberhasilan. Beberapa Negara telah melaksanakan dan berhasil dalam pelaksanaan Restorative Justicedalam penanganan kasus tindak pidana yang dilakukan oleh Anak dengan memakai bentuk-bentuk yang sesuai dan mempunyai akar di Negara masing-masing. Namun, disamping keberhasilan berbagai Negara dalam pelaksanaan

27 konsep Restorative Justicedidapati juga hambatan atau tantangan dalam pelaksanaannya di berbagai Negara tersebut.

Hambatan yang dialami oleh berberapa Negara dalam pelaksanaan Restorative Justicedi antaranya pada pelanggaran yang sangat serius yang dilakukan oleh Anak. Kebanyakan pelanggaran serius yang dilakukan oleh Anak di Negara Canada akan dikembalikan ke peradilan formal untuk mendapatkan hukuman penjara. Untuk tipe pelaku tertentu Restorative Justicebukan merupakan pilihan yang tepat, karena tidak semua atau ada beberapa tindak pidana serius atau pelaku tertentu yang harus diasingkan dari lingkungan dengan alasan keamanan umum. Adanya kesulitan untuk membuat rasa percaya masyarakat terhadap pelaksanaan Restorative Justicepada kasus-kasus yang berat. Selain itu, alasan adanya tindakan residivis oleh pelaku Anak setelah menjalani proses Restorative Justicemembuat pertanyaan masyarakat apabila harus mengulangi proses tersebut beberapa kali terhadap pelaku yang sama.

Terjadinya re-offending terhadap Anak pelaku setelah menjalankan Restorative JusticemembuatAnak harus menjalani proses peradilan formal kembali. Kegagalan Restorative Justicedikarenakan gagalnya pelaksanaan kesepakatan restitusi oleh pelaku.

Pelaksanaan Restorative Justiceyangdilaksanakan dengan

kurangnya pelatihan dalam mengatasi konflik dan teknik

28 karena itu, peran pelaksana Restorative Justicesangat membantu sukses atau tidaknya dalam pelaksanaan. Selain itu, apabila tidak dipersiapkan dengan baik mengenai hak-hak dan tanggung jawab masing-masing pihak dalam mediasi maka proses tidak akan menemukan hasil sebagaimana dan diharapkan. Apabila korban tidak mendapat pendampingan, baik oleh walinya, lembaga Anak maupun pihak pendukungnya maka akan membuat perasaan diintimidasi dan dikorbankan kembali pada korban, terlebih lagi jika pelaku yang hadir dan pihak keluarganya berkeinginan keras untuk mencapai kesepakatan.29

Tanpa sumber daya manusia yang ikut berperan, maka Restorative Justicehanya sebagai nama dari proses tanpa hasil yang terbaik bagi semua pihak yang ikut serta.30

Dokumen terkait