• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2 Pengujian Keterawetan Kayu

4.2.1 Retensi Bahan Pengawet

Setiap cara pengawetan yang digunakan bertujuan untuk memasukkan bahan pengawet sedalam dan sebanyak yang dipersyaratkan. Menurut Nandika et al. (1996), efektivitas pengawetan kayu tidak hanya ditentukan oleh sifat-sifat yang dimiliki oleh bahan pengawet, akan tetapi juga ditentukan oleh jumlah bahan pengawet yang masuk ke dalam kayu (retensi) dan kedalamannya (penetrasi).

Berdasarkan Gambar 10 dapat dilihat bahwa nilai retensi tertinggi pada metode rendaman dingin terjadi pada kayu limus sebesar 2.35 kg/m3.Sedangkan nilai terendah pada kayu duku yaitu sebesar 1.45 kg/m3. Pada metode rendaman panas dingin retensi tertinggi terjadi pada kayu duku sebesar 4.15 kg/m3 sedangkan terendah pada kayu durian sebesar 3.71 kg/m3.

Keterangan :

P1 : Metode rendaman dingin P2 : Metode rendaman panas dingin DR : Durian L : Limus DK : Duku

Gambar 10 Nilai retensi bahan pengawet.

Kayu duku pada metode rendaman dingin mengasilkan nilai terendah, sedangkan pada metode rendaman panas dingin, kayu duku mencapai retensi tertinggi dibandingkan kayu durian dan limus. Hal ini terjadi karena diduga pada kayu duku mengandung banyak getah yang pada saat rendaman dingin getah tersebut menghalangi bahan pengawet masuk ke dalam kayu. Sedangkan pada metode rendaman panas dingin diduga terjadi pencucian getah tersebut sehingga bahan pengawet yang masuk ke dalam kayu lebih banyak.

Berdasarkan data yang diperoleh, nilai retensi yang dicapai dalam penelitian ini belum memenuhi standar SNI 03-5010.1-1999 karena syarat retensi yaitu sebesar 8 kg/m3 untuk penggunaan di bawah atap dan 11 kg/m3 untuk penggunaan di luar atap. Sedangkan retensi yang dicapai dalam penelitian ini hanya berkisar 1.45-2.35 kg/m3 untuk metode rendaman dingin dan 3.71-4.15 kg/m3 untuk metode rendaman panas dingin.

Berdasarkan nilai retensi yang direkomendasikan oleh produsen bahan pengawet Diffusol CB yaitu dengan nilai retensi sebesar 5-8 kg/m3 juga tidak tercapai. Artinya kayu durian, limus, dan duku termasuk dalam kayu yang sulit diawetkan sehingga perlu adanya modifikasi pengawetan panas dingin dengan waktu pemanasan yang lebih dari 4 jam atau dengan vakum tekan. Seperti yang diungkapkan oleh Batubara (2006) bahwa sifat keterawetan kayu dapat digunakan untuk menduga cara pengawetan yang efisien terhadap suatu jenis kayu. Jenis

1.89 2.35 1.45 3.71 4.1 4.15 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 P1DR P1L P1DK P2DR P2L P2DK R e te n si (k g/m 3) Kode Sample

kayu yang mempunyai keterawetan tinggi dapat diawetkan dengan proses yang sederhana, sebaliknya kayu yang mempunyai sifat keterawetan rendah harus diawetkan dengan proses vakum tekan dan mungkin pula harus memakai pengukusan terlebih dahulu agar porinya terbuka sehingga bahan pengawet lebih mudah untuk masuk ke dalam kayu. Hasil analisis ragam retensi bahan pengawet disajikan pada Tabel 16.

Tabel 16 Analisis ragam retensi bahan pengawet

Sumber DB JK KT F Pr > F

Metode*** 1 32.63547000 32.63547000 195.72 0.0001 Jenis_kayu** 2 1.20712667 0.60356333 3.62 0.0423 MetodeoJenis_kayu** 2 1.40222000 0.70111000 4.20 0.0272 Keterangan : * = tidak nyata ; ** = nyata ; *** = sangat nyata

Hasil analisis ragam pada Tabel 16 menunjukkan bahwa metode pengawetan, jenis kayu dan interaksi antara keduanya memiliki pengaruh yang nyata terhadap retensi bahan pengawet. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi pengaruh bersama antara metode pengawetan dan jenis kayu terhadap retensi bahan pengawet. Dari hasil penelitian ini, pada umumnya metode pengawetan panas dingin 2 kali lebih tinggi nilai retensinya daripada metode rendaman dingin. Hal ini dapat dilihat dari nilai retensi pada kayu durian dan limus meningkat hampir 2 kali sedangkan pada kayu duku hampir 3 kali pada saat menggunakan metode rendaman panas dingin. Hal ini terjadi karena pada metode panas dingin dilakukan proses pemanasan terlebih dahulu, sehingga udara yang terdapat dalam sel-sel kayu memuai dan sebagian keluar dari kayu tersebut. Ketika larutan didinginkan, udara yang masih tertingggal di dalam kayu berkontraksi menghisap larutan masuk ke dalam kayu.

Tabel 17 Uji Duncan interaksimetode dan jenis kayu terhadap retensi

Duncan Grouping Mean Interaksi A 4.1440 pd-duku A 4.0960 pd-limus A 3.7100 pd-durian B 2.3520 d-limus C B 1.8920 d-durian C 1.4480 d-duku

Berdasarkan hasil uji jarak Duncan (Tabel 17), pengujian menunjukkan bahwa metode rendaman dingin berbeda sangat nyata dengan metode rendaman panas dingin. Interaksi antara metode rendaman panas dingin dengan ketiga jenis kayu tidak berpengaruh nyata terhadap retensi bahan pengawet. Namun interaksi antara metode rendaman dingin dengan jenis kayu berpengaruh nyata terhadap retensi bahan pengawet. Hal ini disebabkan pada metode rendaman dingin tidak ada perlakuan panas sehingga masuknya bahan pengawet tergantung pada sifat fisis kayu (berat jenis).

4.2.2 Penetrasi

Penetrasi atau penembusan bahan pengawet ke dalam kayu merupakan salah satu kriteria keberhasilan tindakan pengawetan kayu. Jika penetrasi kayu semakin dalam, maka proses pengawetan dinilai baik. Berdasarkan Gambar 11 dapat diketahui bahwa penetrasi boron memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan nilai penetrasi tembaga. Hal ini menunjukkan bahwa penetrasi boron lebih dalam memasuki kayu daripada penetrasi tembaga. Nilai ini terjadi untuk kedua metode dan semua jenis kayu.

Pada metode rendaman dingin, nilai penetrasi boron dan tembaga diantara ketiga jenis kayu relatif tidak banyak berbeda. Namun demikian, penetrasi pada kayu limus relatif lebih tinggi daripada dua jenis yang lain. Pada metode rendaman panas dingin, penetrasi boron maupun tembaga mengalami peningkatan dibanding dengan rendaman dingin, tapi perbandingannya diantara jenis kayu relatif kecil. Penetrasi boron pada kayu duku meningkat hingga 11 mm. Hal ini terjadi diduga karena kayu duku mengalami pencucian getah pada saat rendaman panas dingin sehingga senyawa boron yang masuk relatif lebih dalam.

Keterangan :

P1 : Metode rendaman dingin P2 : Metode rendaman panas dingin DR : Durian L : Limus DK : Duku

Gambar 11 Nilai penetrasi boron dan tembaga.

Berdasarkan SNI 03-5010.1-1999, persyaratan penetrasi kayu yang akan digunakan untuk di bawah atap dan di luar atap yaitu sebesar 5 mm. Dari pengujian, kayu durian, limus, dan duku yang menggunakan metode pengawetan rendaman panas dingin memenuhi persyaratan tersebut baik untuk penetrasi boron maupun tembaga. Sedangkan pada metode rendaman dingin belum memenuhi persyaratan SNI untuk ketiga jenis kayu. Berdasarkan hasil analisis ragam pada Tabel 18 dapat diketahui bahwa interaksi antara metode dan jenis kayu yang digunakan berpengaruh nyata terhadap penetrasi boron.

Tabel 18 Analisis ragam penetrasi boron

Sumber DB JK KT F Pr >F

Metode*** 1 300.83333333 300.83333333 311.21 0.0001 Jenis_kayu ** 2 9.26666667 4.63333333 4.79 0.0177 Metode0Jenis_kayu** 2 10.86666667 5.43333333 5.62 0.0100 Keterangan : * = tidak nyata ; ** = nyata ; *** = sangat nyata

Berdasarkan uji lanjut Duncan (Tabel 19) dapat dilihat bahwa metode rendaman panas dingin nyata lebih dalam penetrasinya dibandingkan dengan metode rendaman dingin. Pada metode rendaman dingin, penetrasi boron dalam kayu durian, limus, dan duku tidak berbeda nyata. Sedangkan pada metode

2 3 3 8 8 11 0 1 0 8 7 8 0 2 4 6 8 10 12 P1DR P1L P1DK P2DR P2L P2DK P e n e tra si (m m ) Kode Sample Boron Tembaga

rendaman panas dingin, penetrasi boron dalam kayu duku nyata lebih tinggi dibanding dalam kayu durian dan limus.

Tabel 19 Uji Duncan interaksimetode dan jenis kayu terhadap penetrasi boron Duncan Grouping Mean Interaksi A 10.6000 pd-duku B 8.2000 pd-durian B 8.2000 pd-limus C 3.0000 d-limus C 2.6000 d-duku C 2.4000 d-durian

Berdasarkan analisis ragam pada Tabel 20 dapat diketahui bahwa metode pengawetan berpengaruh sangat nyata terhadap penetrasi tembaga. Sedangkan jenis kayu dan interaksi antara metode dan jenis kayu tidak berpengaruh nyata. Metode rendaman panas dingin lebih dalam penetrasinya dibandingkan dengan metode rendaman dingin. Menurut Nandika et al. (1996), tujuan pemanasan pada metode rendaman panas dingin berfungsi untuk mengeluarkan udara dan uap air dari rongga sel kayu. Sedangkan pendinginan menyebabkan seolah-olah terjadi vakum dalam rongga sel kayu yang dengan sendirinya menarik larutan bahan pengawet masuk. Untuk mengatasi kevakuman ini, tekanan udara cenderung menekan bahan pengawet masuk kedalam kayu.

Penetrasi tembaga bernilai lebih kecil daripada penetrasi boron. Hal ini diduga karena daya fiksasi senyawa tembaga lebih cepat dibandingkan dengan daya fiksasi senyawa boron. Daya fiksasi merupakan kemampuan keterikatan senyawa bahan pengawet terhadap dinding sel kayu. Sehingga pada saat tembaga berfiksasi dengan sel-sel kayu dibagian permukaan, menjadi penghambat masuknya senyawa tembaga lainnya.

Tabel 20 Analisis ragam penetrasi tembaga

Sumber DB JK KT F Pr > F

Metode*** 1 448.53333333 448.53333333 115.01 0.0001 Jenis_kayu * 2 1.06666667 0.53333333 0.14 0.8729 Metode0Jenis _kayu* 2 6.66666667 3.33333333 0.85 0.4380 Keterangan : * = tidak nyata ; ** = nyata ; *** = sangat nyata

Dokumen terkait