• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.2 Analisis Naskah

IV.2.4 Retoris

Struktur retoris berhubungan dengan cara wartawan menekankan arti tertentu. Hal ini bisa diamati dari pemilihan kata, idiom, grafik, gambar yang digunakan untuk memberi penekanan pada arti tertentu. Perangkat framing ini digunakan untuk menggambarkan observasi dan interpretasi sebagai sebuah fakta, atau untuk meningkatkan efektivitas sebuah berita.

Bagian Satu

• Sedang di bagian timur kota itu, terdapat ladang sumur gas milik Exxon Mobil. (Paragraf 3)

Penulis menggunakan metafora ‘ladang’ untuk menekankan bahwa di Lhokseumawe terdapat banyak sekali sumber daya alam, khususnya gas. Penggunaan kata ‘ladang’ memberi penekanan bahwa Lhokseumawe memang sumber gas selayaknya ladang yang siap diolah dan dipanen.

Jakarta hanya memberi sedikit keuntungan penjualan gas alam, pupuk, dan kertas ke daerah itu. (Paragraf 4)

Penulis menggunakan kata ‘Jakarta’ sebagai substitusi dari pemerintah pusat dalam kalimat ini. Penggunaan kata Jakarta menekankan sentimen bahwa semuanya berpusat di Jakarta. Framing penekanan sentimen terhadap pengelolaan yang berpusat di Jakarta mungkin tidak akan setajam jika penulis menggunakan frasa pemerintah pusat.

• Ironisnya, kekerasan masih berlangsung. GAM, kelompok separatis yang memproklamasikan kemerdekaan bangsa Aceh sejak 4 Desember 1978, juga makin meningkatkan perang gerilya, dari kota maupun di daerah pedesaan. (Paragraf 14)

Pada bagian ini, penulis menggunakan frasa ‘kelompok separatis’. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), separatis berarti orang atau golongan yang menghendaki pemisahan diri dari suatu persatuan; golongan (bangsa) untuk mendapat dukungan. Kata separatis digunakan untuk merujuk sebuah kelompok yang ingin melakukan sebuah pemisahan. Tentu saja penulis dalam hal ini mengambil sudut pandang dari sisi Indonesia. Bukan dari sisi masyarakat Aceh yang ingin memisahkan diri dari Indonesia. Jika penulis mengambil sisi dari masyarakat Aceh yang

menginginkan pemisahan, penulis mungkin mengganti frasa ‘kelompok separatis’ dengan frasa atau kata yang memberi citra positif terhadap GAM seperti ‘pejuang kemerdekaan’.

• Orang Aceh banyak yang tak suka militer Indonesia. (Paragraf 15)

Diksi ‘tak suka’ merupakan diksi yang paling halus untuk mengungkapkan kebencian, kemarahan atau segala diksi yang bersifat negatif lainnya. Namun penulis menggunakan diksi yang cenderung aman dan tidak memanas-manasi di bagian ini, yang merupakan bagian awal dari keseluruhan tulisan. Penulis tidak langsung membuat diksi yang tajam, tapi membiarkan pembaca menilai sendiri apa yang dirasakan oleh masyarakat Aceh terhadap militer Indonesia melalui tulisan yang menceritakan interaksi antara kedua belah pihak tersebut. meski demikian, pengunaan ‘Indonesia’ yang mengikuti kata ‘militer’ sendiri mengesankan bahwa Aceh bukan bagian dari Indonesia.

Bagian Dua

Seperti angin, informasi yang tak jelas kebenarannya itu, dengan cepat menyebar dari mulut ke mulut. (Paragraf 9)

Bagian ini menceritakan tentang proses desas-desus yang cepat sekali beredar di masyarakat Aceh. Penulis menggunakan perumpamaan ‘seperti angin’, yang cepat berpindah, tak terlihat namun efeknya terasa. Penulis juga menggunakan istilah ‘mulut ke mulut’ untuk menekankan bahwa desas-desus yang beredar ini merupakan hasil omongan dari orang

satu ke orang lainnya, tanpa ada sumber resmi yang menerangkan perkara ini.

Bagian Tiga

• Lantas diungkapkan pula perlakuan-perlakuan kejam dan tak adil dari "pemerintah Indonesia Jawa" sehingga orang tahu kenapa ada Aceh Merdeka dan kenapa mereka berjuang melepaskan diri dari Jakarta. (Paragraf 6)

Lagi-lagi penulis menggunakan ‘Jakarta’ sebagai ganti dari pemerintah pusat untuk menekankan bahwa memang kota ini yang menjadi sentra dari segala pengambilan kebijakan. Di awal kalimat ini, penulis juga membuat frasa ‘pemerintah Indonesia Jawa’ dengan menggunakan tanda kutip. Penggunaan kata ‘pemerintah Indonesia Jawa’ sudah cukup untuk menekankan bahwa pemerintah pusat hanya berorientasi pada Jawa, tidak pada pulau lain yang mengalami ketidakadilan. Sebelumnya, penulis juga mengutarakan bahwa negara hanya mengambil sumber daya alam tanpa memerhatikan daerah yang dimanfaatkan tersebut. ‘Pemerintah Indonesia Jawa’ cukup tajam untuk membuat frame bahwa pemerintah yang selalu dipimpin oleh orang Jawa, mayoritas berisi orang Jawa, berpusat di Jawa, selalu memikirikan kemaslahatan Jawa saja. Terlebih dengan adanya tanda kutip yang diimbuhkan penulis. Hal ini tentu saja semakin memberi penekanan terhadap istilah tersebut.

• Beberapa laki-laki yang sedang duduk minum kopi di warung, lari tunggang-langgang melihat tentara. (Paragraf 15)

KBBI mendefinisikan ‘tunggang langgang’ sebagai keadaan (lari dsb) dengan cepat, tetapi tidak menentu arahnya dan kadang-kadang terjatuh karena ketakutan; pontang-panting. Diksi ‘tunggang langgang’ yang digunakan penulis di sini menekankan bahwa masyarakat Aceh sangat ketakutan melihat tentara hingga berlarian tak tentu arah. Definisi yang termaktub di KBBI sangat sesuai dengan konteks yang dimaksudkan oleh penulis di bagian ini.

Bagian Empat

• Beberapa bulan terakhir dia bolak-balik Banda Aceh dan Lhokseumawe akibat situasi kota gas itu yang panas. (Paragraf 1)

Penulis menggunakan dua metafora dalam kalimat ini. Pertama adalah ‘kota gas’. Kota gas memberi penekanan bahwa Lhokseumawe merupakan sumber gas alam yang sangat besar di Indonesia sehingga ia layak disebut dengan kota gas. Kata ‘panas’ di sini sendiri bukan berarti suatu kondisi dengan temperatur tinggi. Penulis menggunakan diksi ini sebagai metafora untuk mengistilakan bahwa kondisi yang ada di Lhokseumawe semakin genting dan rawan. Kondisi ini yang kemudian dianalogikan dengan suhu atau temperatur.

• Sabtu sebelumnya, Azhari sudah mendengar kabar ada intel tentara hilang di Cot Murong. Azhari memutuskan meliput. (Paragraf 8)

Tentara yang hilang tersebut sebenarnya adalah seorang sersan. Namun di sini penulis menekankan bahwa ia sedang mendapat tugas untuk

memata-matai melalui penggunaan diksi ‘intel’. Jika ditelaah lebih jauh, kata ini sendiri mempunyai makna terselubung. Intelijen seharusnya lebih sulit ditandai dibanding tentara lain karena biasanya menyamar. Fakta bahwa seorang intelijen tentara bisa hilang saat bertugas menunjukkan bahwa pihak tentara sudah kebobolan.

Bagian Lima

• Penumpang dalam Kijang sepertinya tentara berpakaian preman, pengawal Sugiono. (Paragraf 12)

Pada kalimat ini terdapat dua buah leksikon yang bisa diamati. Yang pertama adalah penggunaan kata ‘Kijang’. ‘Kijang’ di sini bukan berarti hewan, namun merek sebuah mobil. Penulis menyebutkan merek yang sudah awam di telinga masyarakat Indonesia. Penggunaan merek ini membuat pembaca langsung tahu bagaimana bentuk dan kapasitas mobil ini tanpa penulis membuat penjelasan tentang kendaraan ini. Namun penggunaan ini akan menyulitkan pembaca yang tidak mengetahui merek mobil ini.

Penulis juga menggunakan leksikon ‘berpakaian preman’. Jika ditilik secara eksplisit, preman sebenarnya tidak memiliki seragam atau kostum tertentu. Penggunaan kata ‘berpakaian preman’ yang dilekatkan pada pihak militer biasanya mengacu pada pihak militer yang tidak mengenakan seragam atau baju resmi militer. Tapi penulis tidak mengatakan bahwa tentara ini ‘tidak mengenakan seragam’, melainkan

‘berpakaian preman’. Padahal belum tentu para tentara ini mengenakan pakaian yang identik dengan preman.

Bagian Enam

• Wajah para laki-laki itu seperti marah, gusar dan tak sedikit yang beringas. (Paragraf 3)

Beringas dalam KBBI berarti liar. Penggunaan kata ini biasanya mengacu pada perilaku hewan buas. Penulis yang mengistilahkan perilaku manusia dengan ‘beringas’ memberi penekanan bahwa para laki-laki ini memang sudah sangat berang.

Bagian Tujuh

• Tak sedikit yang panas hatinya mendengar kabar tentara akan menyerang kampung sehingga mereka merasa perlu membawa senjata tajam untuk bela diri. (Paragraf 11)

Panas hati merupakan idiom untuk mengungkapkan kemarahan yang dirasa atau pun rasa sakit hati. Penulis menggunakan metafora ini untuk menggambarkan bagaimana perasaan yang dialami oleh masyarakat Aceh saat tahu tentara akan kembali masuk kampung dan menyerang mereka.

Bagian Delapan

• Bunyinya bagai suara dengungan puluhan ribu lebah. (Paragraf 7) Penulis menggunakan idiom dengungan puluhan ribu lebah untuk menekankan ramainya suara yang dibuat oleh para demonstran. Adegan

yang dibangun pada paragraf ketujuh di bagian kedelapan ini menunjukkan bahwa massa semakin reaktif saat melihat ada kamera yang merekam aksi mereka. Penulis juga menambahkan kutipan ‘Allah Akbar’ di akhir paragraf untuk memberi tahu pembaca apa saja yang diteriaki oleh massa, selain yang telah dijelaskan di paragraf sebelumnya seperti ‘Merdeka’ dan ‘Hidup referendum’.

• Faisal berkata lagi, semalam ada provokator yang menyusup ke kampung mereka, yang ditudingnya sebagai tentara yang menyamar. (Paragraf 28)

Penulis mengambil poin utama paragraf ini dari Faisal. Di sini Faisal menjelaskan kalau ada tentara yang menyamar untuk memprovokasi sesama warga kampung. Terlihat bahwa penulis sangat hati-hati untuk menunjukkan bahwa ini adalah pernyataan yang dibilang Faisal. Di awal paragraf penulis menulis ‘Faisal berkata lagi, …’ untuk menunjukkan bahwa ini masih pernyataan Faisal, meskipun ditulis dalam kalimat tidak langsung dan di paragraf yang berbeda dengan kutipan sebelumnya. Penulis juga menambahkan kata ‘yang ditudingnya’ untuk menekankan bahwa ini juga masih pernyataan Faisal, bukan kesimpulan penulis.

Memang penggunaan kata ‘provokator’ di sini cukup menohok, terlebih dengan penegasan bahwa provokator tersebut adalah tentara yang menyamar.

Penulis menggunakan idiom ‘bagaikan geledek yang menyambar’ untuk mewakili suara senjata yang meletus keras dengan tiba-tiba. Idiom ini menunjukkan bahwa apa yang dilakukan oleh pihak militer tidak disangka-sangka. Penulis juga menjelaskan di paragraf tersebut kalau demonstran terkejut dengan aksi yang dilakukan militer pada saat itu.

• Perasaannya campur aduk saat melihat tentara melepaskan tembakan bertubi-tubi, mengarahkan muntahan peluru ke arah orang-orang yang sebagian masih berusaha lari dari tempat itu. (Paragraf 65)

Diksi ‘muntahan’ mengesankan bahwa peluru yang dikeluarkan sudah tidak bisa dikendalikan. Peluru terus-terusan keluar dan tidak terkontrol. Diksi ini memberi penekanan kalau tentara terus mengarahkan pelurunya ke massa, meskipun mereka sudah berusaha lari dari tempat itu.

Bagian Sembilan

• Azhari seperti orang linglung setelah kerja maraton. (Paragraf 14)

KBBI menjelaskan bahwa maraton adalah perlombaan lari jarak jauh (10 km atau lebih) atau terus-menerus (tanpa berhenti). Penulis menggunakan kata ‘maraton’ untuk menekankan bahwa Azhari benar- benar bekerja secara terus-menerus, tanpa henti. Ini juga menjelaskan bahwa wartawan tidak bisa berhenti bekerja setelah terjadinya pertistiwa tersebut.

Bagian Sepuluh

‘Topi taliban’ bisa menimbulkan stigma tersendiri dengan penggunaan kata taliban. Terlebih karena topi merupakan salah satu atribut yang cukup kuat untuk menunjukkan latar belakang seseorang. Namun sebenarnya topi taliban sudah menjadi salah satu mode, termasuk di Indonesia. Model topi yang seperti penggabungan antara topi pet dan topi pramuka putri ini kerap dijual dalam berbagai warna dan bahan.

Hal yang perlu ditekankan di sini adalah karena diksi ‘taliban’ sendiri sudah mengandung stigma. Sehingga pembaca yang tidak mengetahui tentang mode tentunya mempunyai pemikiran bahwa lelaki yang mendesak wartawan tersebut merupakan penganut paham tersebut. Penulis juga tidak menjelaskan lebih lanjut perihal penggunaan topi ini.

• Azhari sempat terpelongokarena baru kali itu dia melihat ada orang dari Aceh Merdeka. (Paragraf 29)

Longo dalam KBBI berarti terbuka mulut karena heran. Penulis menceritakan bahwa Azhari, salah satu wartawan, terkejut saat pertama kali berjumpa personel dari Aceh Merdeka. Diksi ‘terpelongo’ di sini menunjukkan kalau Azhari sempat bengong dan membuka mulutnya karena tidak menyangka bisa bertemu langsung dengan anggota Aceh Merdeka, terlebih karena pemberitaan yang tidak menyenangkan.

• Tragedi ini kemudian lebih dikenal sebagai Peristiwa Simpang Kraft. (Paragraf 37)

Penulis menggunakan diksi ‘peristiwa’ sebagai padanan kata untuk kejadian di Simpang Kraft ini. Pemilihan ini termasuk hati-hati karena kata

‘peristiwa’ tidak mengandung kesan negatif. Peristiwa dalam KBBI berarti kejadian (hal, perkara); kejadian yang luar biasa (menarik perhatian); yg benar-benar terjadi. Berbeda dengan media pada umumnya yang menyebut peristiwa ini dengan Tragedi Simpang Kraft. Tragedi sendiri dalam KBBI berarti peristiwa yang menyedihkan.

• … bagaimana sebuah drama berdarah sekali lagi terkelupas dengan brutal dari Aceh. (Paragraf 38)

Penulis menggunakan diksi ‘drama berdarah’ dalam kalimat ini untuk menyimpulkan kejadian Simpang Kraft. Kesan yang ditimbulkan dari drama berdarah adalah kisah menyedihkan yang diikuti dengan pertumpahan darah. Penulis juga menambahkan ‘terkelupas dengan brutal’ di akhir kalimat. Kalimat ini mengesankan kalau penulis ingin memberi penekanan bahwa kejadian ini merupakan seuatu kejadian yang mengenaskan.

Bagian Sebelas

• Kini prajurit-prajurit Arhanud Rudal dan Bataliyon 113 semuanya sudah wajah baru. (Paragraf 8)

‘Wajah baru’ di sini artinya anggota atau personel baru. Diksi yang digunakan sebenarnya tidak terlalu berpengaruh dalam konstruksi pesan dalam pemberitaan konflik ini. Penulis sepertinya menggunakan ini sebagai variasi dibanding dengan menggunakan bahasa yang umum.

‘Tak ketahuan rimbanya’ merupakan sebuah idiom untuk menjelaskan ketidakjelasan keberadaan sesuatu atau seseorang. Idiom ini juga tidak terlalu berpengaruh dalam konstruksi pesan. Penulis menggunakan ini sebagai substitusi bahasa yang umum untuk menjelaskan bahwa Sersan Aditia yang sejak awal tulisan dikabarkan menghilang, tetap tidak diketahui keberadaan dan kabarnya hingga berita ini diturunkan.

• Rasa curiga itulah yang saya tangkap pada seorang anak muda. (Paragraf 17)

‘Curiga’ sebenarnya adalah sebuah kata yang umum digunakan. Namun pemilihan kata di sini tidak memiliki korelasi dengan penjelasan yang ada selanjutnya. Kalimat yang ada tidak mengesankan bahwa pemuda tersebut curiga. Tulisan yang ada menjelaskan bahwa anak muda tersebut merasa apatis karena ia sudah terlalu banyak berbicara dengan orang-orang dari Lembaga Swadaya Masyarakat dan wartawan, namun sama sekali tidak ada perubahan dan dampak yang berarti.

IV. 3 Pembahasan

Penulis membuka tulisan dengan deskripsi tentang Lhokseumawe dan sekitarnya pada bagian satu. Beberapa tokoh utama juga diperkenalkan pada bagian ini, namun porsi tentang kota Lhokseumawe dan sekitarnya lebih menonjol dengan adanya deskripsi mengenai bentang alam dan bagaimana sumber daya alam dikerok oleh pemerintah pusat. Penulis juga menceritakan tentang ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat Aceh dan riwayat kekerasan yang

dialami masyarakat Aceh. Bagian ini memberi pemahaman bagi orang-orang yang sebelumnya tidak terlalu memahami riwayat konflik Aceh.

Penulis kemudian beralih ke adegan saat warga Krueng Geukeuh saling bertukar informasi mengenai tentara yang akan kembali masuk ke kampung. Pada bagian dua ini, penulis menjelaskan mengapa masyarakat Aceh trauma dengan tentara. Penjelasan mengenai kegelisahan masyarakat Krueng Geukeuh masih dilanjutkan di bagian tiga. Penulis memaparkan alasan kenapa tentara masuk ke perkampungan. Bagian ini juga memuat informasi mengenai masyarakat Aceh yang biasanya menggunakan acara-acara keagamaan untuk menyebarkan propaganda. Penulis juga menggunakan diksi ‘pemerintah Indonesia Jawa’ sebagai substitusi kata ‘pemerintah pusat’. Hal ini jelas mengandung sentimen tersendiri karena pusat pemerintahan berada di Jawa, dikuasai oleh orang Jawa, dan pembangunan jelas berpusat di Jawa. Hal ini juga terkait dengan ketidakadilan yang diterima rakyat Aceh, seperti yang dibahas di bagian satu.

Bagian empat dibuka dengan suasana yang berbeda dengan sebelumnya. Setting di warung kopi membuat ritme yang sebelumnya naik kembali tenang. Bagian ini menggambarkan bagaiman wartawan-wartawan yang menjadi tokoh utama dalam tulisan ini mendapat informasi bahwa warga Krueng Geukeuh akan melakukan demonstrasi.

Bagian lima sendiri menceritakan tentang bagaimana kondisi di lokasi demonstrasi dari sudut pandang Azhari, asisten koresponden kantor berita Antara. Bagian enam juga masih bercerita tentang demonstrasi yang dilakukan massa, namun dari sudut pandang keempat wartawan RCTI. Pada bagian ini penulis

menunjukkan kalau mereka sebagai wartawan juga sempat mendapat sambutan yang dingin oleh para demonstran. Mereka tidak mudah mendapat akses untuk liputan. Sikap ini kemudian luluh ketika ada orang yang lebih dihormati mengatakan kalau mereka tidak berbahaya.

Tulisan selanjutnya mendeskripsikan mengenai kondisi Simpang Kraft, tempat terjadinya tragedi tersebut. Penulis kembali menggambarkan tentang massa yang semakin memanas pada bagian tujuh ini. Penulis menceritakan bagaimana massa terbagi ke dua titik konsentrasi, dan massa yang berada di depan markas Arhanud Rudal malah sempat melempar batu ke markas tersebut dan membakar sepeda motor milik tentara. Sementara itu, Camat Dewantara juga diboyong ke Simpang Kraft untuk mendinginkan suasana karena massa di sana sudah saling berhadapan dengan pihak militer.

Bagian delapan sendiri menceritakan tentang kondisi yang sudah mendingin di Simpang Kraft. Penulis menguatkannya dengan mendeskripsikan bagaimana massa dan tentara saling berbagi api rokok, serta bagaimana tentara bisa berteduh dan tertawa ringan melihat demonstran yang pasang gaya di depan kamera wartawan. Tempo tulisan tiba-tiba naik saat ada bala bantuan datang untuk tentara. Setelah adanya truk yang membawa personel tambahan, tentara menembaki massa secara terus-menerus, tak terkontrol. Penulis pun memperkuat bagian ini dengan menceritakan bagaimana wartawan menyaksikan ini semua dan melihat para korban setelah penembakan usai. Detail yang dibangun penulis dalam mendeskripsikan korban sangat kuat, sehingga bisa membuat miris pembaca.

Bagian sembilan menggambarkan mengenai aktivitas wartawan setelah adanya kejadian tersebut. Penulis menceritakan tentang mereka yang kerap mendapat teror dan dipersulit saat meliput di lapangan karena adanya ketidakpahaman masyarakat tentang berita TVRI yang direlai RCTI. Bagian sepuluh juga masih menceritakan tentang kesulitan wartawan pascakejadian Simpang Kraft. Bedanya adalah penulis menambahkan kalau berita asli yang diliput oleh wartawan RCTI sudah tayang di televisi. Adanya pemberitaan itu paling tidak bisa menunjukkan apa yang sebenarnya terjadi di Simpang Kraft, selain dari sudut pandang pihak militer.

Bagian sebelas berisi tentang epilog apa yang terjadi beberapa tahun setelah kejadian Simpang Kraft. Penulis menceritakan nasib semua tokoh yang terkait dalam tulisan ini juga bagaimana kondisi Simpang Kraft sekarang. Penulis juga memberi penekanan bahwa masyarakat Aceh sudah apatis untuk meminta keadilan.

Secara keseluruhan tulisan ini menceritakan secara kronologis, mulai dari akar permasalahan hingga akhir kejadian Simpang Kraft yang menambah trauma masyarakat Aceh terhadap militer. Ketidakjelasan alasan militer untuk menembaki massa yang berdemonstrasi secara tiba-tiba membuat pembaca mengerti kenapa ada banyak sekali korban dalam peristiwa tersebut.

Tulisan ini memang mengisahkan tentang kekerasan yang dialami masyarakat Aceh, namun penulis tidak terlihat lebih berat ke salah satu pihak. Penulis bisa memaparkan apa yang tidak baik di masyarakat Aceh, dan apa yang tidak baik pada militer. Semuanya disampaikan apa adanya. Hal ini bisa diamati

dari pemilihan diksi ‘dakwah GAM’ yang mengacu pada propaganda yang disampaikan melalui kegiatan-kegiatan keagamaan. Penulis memaparkan dengan detail apa arti dari sebutan itu, apa saja isi propagandanya dan bagaimana biasanya hal itu dilangsungkan. Penulis juga tidak menutup-nutupi sentimen masyarakat Aceh terhadap pemerintah pusat.

Pemaparan-pemaparan yang transparan seperti ini mengesankan tulisan ini merupakan karya yang apa adanya, tanpa sentimen. Meskipun menceritakan tentang kekerasan yang dialami masyarakat Aceh, tapi tidak serta-merta memojokkan pihak militer. Penulis juga menambahkan fakta di akhir tulisan bahwa orang yang termasuk pentolan saat demonstrasi di Simpang Kraft ternyata adalah anggota Aceh Merdeka. Penulis memang tidak secara vulgar mengatakan bahwa pihak Aceh Merdeka berada dalam peristiwa ini, namun membiarkan pembaca menyimpulkan sendiri dari apa yang dia paparkan. Hal ini dilakukan penulis sebagaimana temuannya di lapangan, tanpa mereduksi fakta apa pun.

Poin penting yang termaktub dalam tulisan ini adalah adanya informasi atas apa yang diberitakan media pada saat itu, sekaligus dampak sosiologis dan psikologisnya. Penulis mencantumkan bagaimana pihak militer, melalui TVRI memberi pengumuman resmi bahwa tindakan yang diambil pihak militer semata- mata untuk mempertahankan diri dari massa yang mengamuk. Pemberitaan ini yang kemudian dilansir dan direlai oleh berbagai media. Penulis merangkum itu secara runut sehingga pembaca bisa terbawa dalam kondisi yang terjadi pada saat itu. Pemahaman ini juga membantu pembaca untuk mengkonstruksi sebuah pemahaman baru mengenai konflik Aceh.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

V. 1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil temuan data yang telah disajikan dalam bab sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Analisis yang dilakukan terhadap naskah jurnalisme sastrawi Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft menunjukkan bahwa pemberitaan konflik yang mengambil sudut pandang dari orang yang tidak terlibat konflik—dalam berita ini wartawan—bisa meminimalkan subjektivitas dari dua pihak yang berseteru, dalam hal ini militer dan masyarakat Aceh. Pemilihan sudut pandang dari pihak yang bertikai tentu cenderung akan lebih defensif atau membela pihak sendiri dan menyalahkan pihak lain. Sedangkan pemilihan narasumber dari pihak luar yang turut mengalami kejadian tersebut— dalam hal ini wartawan—bisa membuat berita sesuai dengan kejadian sebenarnya, tanpa ada persepsi maupun sentimen dari awal.

2. Konstruksi yang dibangun penulis dalam naskah berita yang diteliti adalah penunjukan fakta bahwa tentara bersalah karena telah menembaki masyarakat yang sedang berdemonstrasi. Pihak tentara juga berkata di media bahwa tindakan itu merupakan wujud pembelaan diri, yang

Dokumen terkait