• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembalian atas total aktiva merupakan ukuran efisiensi operasi yang relevan. Nilai ini mencerminkan pengembalian perusahaan dari seluruh aktiva (pendanaan) yang diberikan pada perusahaan. Ukuran ini tidak membedakan pengembalian berdasarkan sumber pendanaan .dengan menghilangkan dampak sumber pendanaan aktiva, analisis berpusat pada evaluasi dan peramalan kinerja operasi (John, Subramanyam dan Halsey 2003: 65)

Return on assets (ROA) merupakan salah satu rasio profitabilitas yang dapat mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dari aktiva yang digunakan. Return on assetsmerupakan perbandingan antara laba sebelum bunga dan pajak (EBIT) dengan total aktiva yang dimiliki perusahaan. Return on assets (ROA) yang positif menunjukkan bahwa dari total aktiva yang dipergunakan untuk beroperasi, perusahaan mampu memberikan laba bagi perusahaan. Sebaliknya apabila return on assets yang negatif menunjukkan bahwa dari total aktiva yang dipergunakan, perusahaan mendapatkan kerugian. Jadi jika suatu perusahaan mempunyai ROA yang tinggi maka perusahaan tersebut berpeluang besar dalam meningkatkan pertumbuhan.

Baik profit margin maupun total asset turnover tidak dapat memberikan pengukuran yang memadai atas efektivitas keseluruhan perusahaan. Profit margin tidak memperhitungkan penggunaan aktiva,sementara total asset turnover tidak memperhitungkan profitabilitas dalam penjualan. Rasio return on asset atau return on investment mengatasi kedua kelemahan tersebut. Peningkatan kemampuan perusahaan dapat terjadi jika ada peningkatan profit margin atau peningkatan total asset turn over atau keduanya. Dua perusahaan dengan profit margin dan total asset turnover yang berbeda dapat saja memiliki rasio ROA yang sama (Van Horne 2005:225).

Myers et al. (1984) dalam Christianti (2006) menyatakan bahwa terdapat hubungan negatif antara profitabilitasdengan leverage. Sedangkan Jensen (1986) dalam Christiati (2006) menyatakan terdapat hubungan positif antara leverage dengan profitabilitasjika pasar dalam mengontrol perusahaan tidak efektif.

2.1.6 Firm Size

Firm Size (Ukuran perusahaan) menunjukkan berapa aset atau kekayaan yang dimiliki perusahaan. Ukuran perusahaan ini diukur dengan menghitungtotal asset yang ada pada masing-masing perusahaan (Fidyati, 2003). Menurut Riyanto (1995), suatu perusahaan yang besar sahamnya tersebar sangat luas, setiap perluasan modal saham hanya akan memberikan pengaruh kecil terhadap hilangnya atau tergesernya pengendalian dari pihak dominan terhadap perusahaan bersangkutan. Sebaliknya, perusahaan yang kecil, dimana sahamnya tersebar hanya dilingkungan kecil, penambahan

jumlah saham akan memberikan pengaruh ya ng besar terhadap kemungkinan hilangnya control pihak dominan terhadap perusahaan bersangkutan.

Menurut Christianti (2006) perusahaan dengan ukuran yang lebih besar dan kompleks tidak mempunyai kendala untuk mendapatkan dana eksternal (hutang). Dengan begitu, perusahaan besar memiliki resistansi yang lebih tinggi terhadap kemungkinan kebangkrutan dibandingkan perusahaan kecil. Berarti semakin besar sebuah perusahaan maka semakin besar manfaat yang diperoleh dari penghematan pajak karena penerbitan hutang jangka panjang.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Titman dan Wessels (1988) serta Rajan dan Zingales (1995) mengatakan bahwa kemungkinan perusahaan yang besar mengalami kebangkrutan itu kecil, sehingga size return berhubungan positif dengan tingkat leverage yang diambil perusahaan.

Pada kenyataannya bahwa semakin besar suatu perusahaan maka kecenderungan penggunaan dana eksternal juga semakin besar. Hal ini disebabkan karena perusahaan yang besar memilikikebutuhan dana yang besar, dan salah satu alternatif pemenuhan kebutuhan dana yang tersedia menggunakan pendanaan eksternal. Size return mempunyai hubungan yang signifikan positif terhadap kebijakan leverage.

2.1.7 Asset Tangibility

Asset tangibility menunjukkan suatu kekayaan yang biasanya dapat dijadikan jaminan. Semakin banyak asset tangibility suatu perusahaan berarti semakin banyak collateral asset (jaminan) untuk bisa mendapatkan sumber dana eksternal berupa hutang, hal ini dikarenakan pihak kreditur akan

meminta collateral asset untuk memback-up hutang, (Christianti, 2006).Hal ini disebabkan oleh penggunaan aktiva tetap akan menimbulkan adanya beban tetap yang berupa fixed cost. Dan apabila perusahaan memakai modal asing, untuk membelanjakan aktiva tetapnya maka cost tetap yang akan ditanggungnya juga akan besar, (Mayangsari, 2001).

Haris dan Raviv (1991) dalam Christianti (2006) menyatakan perusahaan dengan level fixed assets yang rendah mempunyai lebih banyak masalah asymmetric information dibandingkan perusahaan dengan level fixed asset yang tinggi. Perusahaan dengan level fixed assets yang tinggi umumnya adalah perusahaan yang besar, yang dapat menerbitkan saham dengan harga yang fair sehingga tidak menggunakan hutang untuk mendanai investasinya.

Perusahaan yang memiliki aset nyata yang besar, diharapkan risiko kegagalan dalam melunasi hutangnya menjadi lebih rendah dan hal ini memungkinkannya untuk menggunakan lebih banyak hutang. Sehingga antara aset nyata dan hutang memiliki hubungan positif. Hubungan positif ini didukung dari beberapa penelitian yang dilakukan di Negara-negara maju (Titman dan Wessels, 1988; Rajan dan Zingales, 1995), Sedangkan penelitian di negara berkembang memberikan hasil yang bervariasi. Beberapa penelitian di Negara berkembangan seperti Wiwattanakantang (1999) di Thailand, dan Um (2001) di Korea menemukan hasil terdapatnya hubungan positif antara aset nyata dan hutang. Sedangkan penelitian lain Booth et al, (2001) di 10 negara berkembang, dan Huang dan Song (2002) di China, menemukan bahwa aset nyata memiliki hubungan negatif terhadap utang.

Myers (1984) menyatakan bahwa penerbitan utang yang dijamin dengan aset akan mengurangi informasi yang asimetris sehubungan dengan biaya pendanaan. Perbedaan dalam informasi antara pihak-pihak yang terlibat memungkinkan terjadinya masalah moral hazard. Dengan kata lain, utang yang dijamin dengan aset mungkin dapat mengurangi informasi yang asimetris sehingga berdampak pada hubungan yang positif antara aset nyata dan utang.

2.2 Tinjauan Penelitian Terdahulu

Gina Aristasari (2006) melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan leverage perusahaan pada perusahaanfood and beverage yang sahamnya terdaftar di Bursa Efek Jakarta tahun 1996-2004. Dalam penelitian ini ditunjukkan bahwa faktorasset tangibility, profitability, size, business risk, dan growth opportunities secara serempak atau simultan berpengaruh secara signifikan terhadap leverage.

Penelitian Anisa’u Sa’diyah (2007) mengenai pengaruh asset tangibility, size, growth, profitability dan earning volatility terhadap leverage dengan pengujian pecking order theory atau static trade off dengan sampel perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta tahun 2002-2005 menemukan bahwa Perubahan leverage pada penelitian tahun 2002 sampai dengan tahun 2005 disebabkan oleh perubahan berbagai faktor penentu keputusan struktur modal perusahaan yang meliputi asset tangibility, firm size, growth, profitability, earning volatility. Perusahaan manufaktur di Indonesia lebih cenderung mengikuti Pecking order theory dalam menetapkan keputusan pendanaan perusahaan. Hal

ini diwujudkan dengan Atribut assets tangibility, growth, profitability dan earning volatility mempunyai pengaruh terhadap leverage perusahaan dan mendukung hipotesis POT dalam penentuan keputusan pendanaan

Tabel 2.1

Review Penelitian Terdahulu

Peneliti Judul Variabel Kesimpulan

Gina Aristasari (2006) Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kebijakan Leverage Perusahaan (Studi Kasus pada Perusahaan Food and Beverage yang Terdaftar di BEJ) Asset Tangibility, Profitability, Size, Business Risk, Growth

Opportunities

Faktor asset tangibility, profitability, size, business risk, dan

growth opportunities secara serempak atau simultan berpengaruh secara signifikan terhadap leverage. kelengkapan pengungkapan Anisa’u Sa’diyah (2007) Pengaruh Asset Tangibility, Size, Growth, Profitability, dan Earning Volatility terhadap Leverage pada Perusahaan Manufaktur di BEJ : Dengan Pengujian Pecking Order Theory atau

Static Trade Off

Asset Tangibility, Size, Growth, Profitability, dan Earning Volatility

Perubahan leveragedisebabkan oleh perubahan berbagai faktor penentu keputusan struktur modal perusahaan yang meliputi asset tangibility, firm size, growth, profitability, dan earning volatility.Perusahaa n manufaktur di Indonesia lebih cenderung mengikuti Pecking order theory dalam

menetapkan keputusan pendanaan perusahaan.

Beberapa perbedaan dari penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu:

1. Penelitian ini yang menggunakan data laporan keuangan periode pengamatan yaitu dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2010 dan jenis industri yang diteliti yaitu perusahaan Property & Real Estate, sedangkan pada peneletian sebelumnya seperti pada penelitian Gina menggunakan data laporan keuangan periode pengamatan dari tahun 1996 sampai dengan tahun 2004 dan jenis usaha yang diteliti yaitu perusahaan Food and Beverage.

2. Penelitian ini tidak menyertakan variabel bussines risk, dan growth opportunietiessedangkan pada peneletian sebelumnya seperti penelitian Gina menyertakan variabelbussines risk dan growth opportunieties.

3. Penelitian ini variabel Firm Size diukur dengan menggunakan logaritma natural dari total asset sedangkan dalam peneletian sebelumnya seperti pada penelitian Gina, Firm Size diukur dengan menggunakan logaritma natural dari penjualan.

Berdasarkan latar belakang masalah, tinjauan teoritis, dan tinjauan penelitian terdahulu, maka dapat dirumuskan kerangka konseptual penelitian pada gambar 2.1. H1 H2 H3 H4 Gambar 2.2 KERANGKA KONSEPTUAL

Dokumen terkait