• Tidak ada hasil yang ditemukan

Alergi adalah reaksi hipersensitifitas yang dipicu oleh reaksi imun. Alergi dapat diperantarai antibodi maupun seluler. Kebanyakan kasus yang diperantarai antibodi termasuk pada IgE isotipe, dan penderita disebut mengalami alergi yang diperantarai IgE (Johansson, 2004).

Menurut Putra IGK dan Suprihati W (1993), rinitis alergi adalah suatu gangguan hidung yang disebabkan oleh reaksi peradangan mukosa hidung diperantarai oleh imunoglobulin E (Ig E), setelah terjadi paparan alergen (reaksi hipersensitivitas tipe I Gell dan Comb). Gejala klinis rinitis alergi disebabkan oleh mediator kimia yang dilepaskan oleh sel mast, basofil dan eosinofil akibat reaksi alergen dengan Ig E spesifik yang melekat di permukaannya. Mediator yang paling banyak diketahui peranannya adalah histamin. Histamin akan menyebabkan hidung gatal, bersin-bersin, rinorhea cair dan hidung tersumbat. Rinitis alergi bersifat kronik dan persisten sehingga dapat menyebabkan perubahan berupa hipertrofi dan hiperplasi epitel mukosa dan dapat menimbulkan komplikasi otitis media, sinusitis dan polip nasi. Beberapa pendapat menyatakan bahwa pada rinitis alergi, edema mukosa selain terjadi di kavum nasi juga meluas ke nasofarings dan tuba auditoria sehingga dapat mengganggu pembukaan sinus dan tuba auditoria (Utami, 2010).

Rinitis alergi bersifat kronik dan persisten sehingga dapat menyebabkan perubahan berupa hipertrofi dan hiperplasi epitel mukosa dan dapat menimbulkan komplikasi otitis media, sinusitis dan polip nasi. Beberapa pendapat menyatakan bahwa pada rinitis alergi, edema mukosa selain terjadi di kavum nasi juga meluas ke nasofarings dan tuba auditoria sehingga dapat mengganggu pembukaan sinus dan tuba auditoria (Putra (1993) dalam Utami (2010)).

2.7.2. Klasifikasi

Gambar 2.11. Klasifikasi Rinitis Alergi (Munir, 2013)

Penilaian rinitis yaitu tingkat keparahannya dinilai dengan skor keparahan penyakit selama 14 hari terakhir dengan Visual Analogue Scales (VAS). Pasien diminta untuk mengevaluasi keluhannya pada garis horizontal sepanjang 100 mm, di mana 0 mm menunjukkan ketiadaan keluhan dan 100 mm sebagai keluhan yang serius (Terrehorst, 2002).

Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA) guidelines dulunya menggolongkan RA ke dalam empat kelompok, yaitu: mild intermittent (MI), moderate/ severe intermittent (SI), mild persistent (MP) and moderate/severe persistent (SP), dengan dasar keparahan gejala dan Quality Of Life (QOL). VAS dulunya digunakan untuk menilai keparahan gejala nasal. Namun, sekarang simptom yang bersifat individual seperti obstruksi hidung, rinorhea, bersin dan pruritus nasal tidak digunakan lagi. Kualitas hidup dinilai dengan Quality Of Life Questionnaire (RQLQ) (Bousquet, 2005).

2.7.3. Epidemiologi

Rinitis merupakan keadaan di mana terjadi peradangan pada mukosa hidung, 40% populasi mengalami rhinitis yang kebanyakan mengalami rinitis kronis yang mencapai 10-20% populasi dan prevalensinya terus meningkat. Rintis

alergi berat dapat menurunkan kualitas hidup, kualitas tidur dan performa. Rinitis alergi merupakan masalah kesehatan global dengan prevalensi yang terus meningkat serta dapat berdampak pada penurunan kualitas hidup penderitanya, berkurangnya produktivitas kerja dan prestasi sekolah, serta dapat mengganggu aktivitas sosial (Bousquet, et al., 2008). Prevalensi rinitis alergi di Indonesia mencapai 1,5-12,4% dan cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya. Di Indonesia aeroalergen yang tersering menyebabkan rinitis alergi yaitu tungau, dan tungau debu rumah (Nurcahyo dan Eko (2009) dalam Wisnu (2014)).

Tabel 2.10. Frekuensi Tanda dan Gejala pada Anak Sekolah dengan Rinitis Alergi di Shiraz (Akbaril, 2004)

2.7.4. Faktor Risiko

Menurut Sheikh (2014), beberapa faktor risiko RA mencakup: - Riwayat atopi keluarga

Rinitis alergi memiliki komponen genetik yang menyebabkan riwayat atopi keluarga menjadi faktor risiko rinitis alergi. Kemungkinan menderita rinitis alergi lebih besar pada riwayat atopi kedua orang tua dibandingkan dengan salah satu orang tua.

- Faktor pemicu

Selain bakat genetik, perlu adanya faktor pemicu spesifik seperti serbuk bunga, debu, spora jamur, hewan tertentu, atau debu saat membersihkan rumah.

Faktor risiko ini mencakup paparan dengan karpet, keadaan panas, lembab, tempat tidur yang berkutu. Kegemaaran atau hobi tertentu juga dapat meningkatkan paparan dengan serbuk sari.

2.7.5. Patogenesis dan Patofisiologi

Dulunya rinitis alergi hanya bersifat lokal di hidung, namunbukti terbaru menunjukkan seluruh salurannapas juga ikut dipengaruhi karena adanya hubunganfungsional antara saluran napas atas dan bawah. Contohnya, kedua saluran tersiti atas epitel bersilia yang tersiri atas sel goblet yang berfungsi melindungi saluran tersebut. Selain itu, lapisan submukosa keduanya terdiri atas kumpulan pembuluh darah, kelenjar mukus, sel penyokong, saraf, dan sel inflamasi. Maka dari itu, alergen pada rinitis alergi dapa juga berpengaruh pada asma. (Peter (2007) dan Bourdin (2009)).

Pada rinitis alergi, sejumlah sel inflamasi seperti sel mast, CD4+, sel T dan B, makrofag dan eosinofil menginfiltrasi lapisan hidung ketika kontak dengan alergen (kebanyakan tungau debu, partikel fekal, sisa kulit kecoa, animal dander, moulds, dan serbuk sari). Sel T menginfitrasi mukosa hidung terbanyak adalah sel Th-2 yang memicu dihasilkannya sitokin yang memicu Ig-E diproduksi oleh sel plasma. Produksi Ig-E memicu terbentuknya mediator seperti histamin dan leukotrien yang berperandalam vasodilatasi arteriol, peningkatan permeabilitas vaskular, hidung gatal dan berair, sekresi mukus, dan kontraksi otot polos. Mediator dan sitokin dilepaskan pada fase awal respon imun mendorong respon seluler terhadap inflamasi selama 4-8 jam (respon lambat) sehingga terjadi hidung yang tersumbat (Small, 2011).

Pada rinitis alergi, terjadi peningkatan permeabilitas vascular dan pengumpulan neutrofil serta eosinofil ke tempat terjadinya inflamasi. Asam arakidonat yang menjadi bahan pembentukan leukortrien dan lipoksin dapat menyebabkan bronkonstriksi, kontriksi arteriol. IgE dan basofil juga teraktifasi oleh antigen yang disebut alergen (Ganong, 2014).

Rinitis merupakan reaksi alergi tipe I. Histamin berperan pada reaksi ini dalam kontraksi otot polos pada usus, uterus, dan bronkus. Hal ini meningkatkan

resistensi jalan napas (bronkospasme) dan kejang perut. Adanya stimulasi pada saraf peka histamin di perifer menyebabkan gatal (Silbernagl, 2000).

Menurut Wallace (2008), gejala rinitis alergi diakibatkan oleh suatu kompleks alergen-pembawa radang mukosa yang dipicu sel setempat dan sel radang yang infiltratif dan sejumlah vasoaktif dan mediator proinflamasi yang saling mempengaruhi. Aktifasi saraf sensoris, kekurangan plasma, kongesti sinusoid pada vena juga berpengaruh. Rinitis alergi dapat didahului fase awal dan fase akhir. Masing masing fase bercirikan bersin, kongesti, rinorhea, tetapi kongesti predominan pada fase akhir.

Pada beberapa studi kasus, kriteria klinis digunakan untuk identifikasi subjek yang mengalami alergi nasal. Untuk konfirmasi, digunakan hapusan nasal untuk menilai kadar eosinofil. Hasil menunjukkan bahwa eosinofil nasal pada anak rinitis alergi jauh lebih tinggi daripada kelompok kontrol yang sehat. Eosinofil nasal mencampai hampir dua kali lebih tinggi saat tanda dan gejala rinitis ditemukan secara klinis. Temuan ini sesuai dengan efek ECF yang dihasilkan oleh eosinofil pada respon alergi awal. Maka disimpulkan bahwa jumlah eosinofil nasal berhubungan dengan tanda dan gejala rinitis alergi (Akbaril, 2004).

Pada rinitis alergi, banyak sel inflamasi, termasuk sel mast, CD4+, sel T, sel B, makrofag, dan eosinofil menginfiltrasi batas nasal pada paparan alergen penyerang (umumnya kebanyakan partikel fekal tungau debu rumah, sisa kecoa, serangan hewan, remah kue, dan polen). Sel T menginfiltrasi mukosa nasal predominan sel T helper 2 dan menghasilkan sitokin (interleukin 3, 4, 5, dan 13) dan memicu produksi imunoglobulin E yang kemudian memicu penghasilan mediator seperti histamin dan leukotrien. Hal ini menyebabkan dilatasi arteriol, peningkatan permeabilitas vaskular, rasa gatal, rinorhea, sekresi mukus, dan kontraksi otot polos. Mediator dan sitokin yang dihasilkan pada fase awal dari respon imun memicu resppon inflamasi seluler pada 4-8 jam berikutnya (fase akhir) yang menghasilkan kongesti (Small, 2011).

Kriteria klinis dapat mendeteksi alergi hidug yang ringan atau tidak terdeteksi. Mekipun begitu, uji tes diperlukan untuk medeteksi alergen, namun biasanya tidak dilakukan pada anak karena adanya efek samping seperti ketidaknyamanan, kekahawatiran dan biaya (Akbaril, 2004).

Menurut Kim (2008), rinitis alergi biasanya jarang teridentifikasi pada layanan primer. Pasien yang mengalami gejala pun dapat gagal mengenali dan mengeluhkan gejala tersebut sehingga tidak berkunjung ke dokter untuk penanganan gejala tersebut. Dokter juga gagal menanyakan gejala tersebut pada kunjungan rutin. Untuk itu, dalam mendiagnosis rinitis alergi diperlukan anamnesa, pemeriksaan fisik yang mendukung. Tes alergi yang mendukung juga diperlukan untuk membuktikan bahwa alergi merupakan penyebab rinitis tersbut.

a. Skin Prick Test

Ski-prick test dipertmbangkan untuk mengenali alergen spesifik penyebab rinitis. Caranya adalah dengan meletakkan alergenspesifik pada kulit lengan bawah atau punggung, lalu menusuk kulit untuk memaparkan ekstrak alergen ke epidermis. Selama 15-20 menit, responnya akan dapat dinilai berupa daerah putih yang dikelilingi daerah kemerahan. Uji yang lain adalah radioallergosorbent tests [RASTs]) namun SPT lebih murah dan lebih sensitif (Kim, 2008).

SPT dengan ekstrak alergen merupakan cara pada in vivo pada uji sensitivitas yang diperantarai IgE.Uji pada sejumlah alergen yang umum dapat mengeksklusi atopi (Potter, 2008).

b. Riwayat Penyakit dan Pemeriksaan Fisik

Tabel 2.12. Komponen anamnesa dan pemeriksaan fisik menyeluruh yang dicurigai rinitis, oleh Small et al.(2007)

Tanda dan gejala RA termasuk: bersin; gatal pada hidung, telinga, dan palatum; rinorhea; posnasal drip; kongesti; anosmia; nyeri kepala dan telinga; keluarnya air mata; mata merah dan bengkak; letih; drowsiness; dan malaise (Sheikh, 2014).

Rinitis dikatakan intermiten saat durasi total dari episode inflamasi kurang dari 6 minggu, dan persisten saat gejala terus berlanjut selama setahun. Gejala dikatakan ringan ketika pasien dapat tidur normal dan dapat beraktifitas normal (termasuk bekerja dan bersekolah); gejala ringan biasanya intermiten. Gejala dikatakan sedang/berat ketika pasien tidak

dapat tidur dengan lelap dan aktifitas sehari-hari juga terganggu. Klasifikasi ini penting dalam penanganan pasien (Small, 2011).

Gejala yang akan segera muncul ketika menghirup alergen termasuk bersin, khususnya saat bangun pagi, hidung yang berair, gatal di kerongkongan atau saat batuk akibat posnasal drip, mata berair dan gatal yang mungkin terlihat merwarna merah muda; telinga, hidung, dan kerongkongan yang gatal. Gejala lain yang akan muncul belakangan seperti kekakuan hidung yang kebanyakan terjadi pada anak-anak, bernapas dengan mulut akibat hidung yang tersumbat, menggosok hidung, mata yang sensitif cahaya, merasa lelah, gampang marah dan murung; gangguan tidur, batuk yang berkepanjangan, ada tekanan pada telinga, dan rasa tidak nyaman di wajah. Bisa juga tempak lingkaran hitam di bawah mata (allergic shiners). Telinga umumnya terlihat normal pada RA, disarankan melakukan pemeriksaan otoskopi pneumatik untuk menilai fungsi tuba. Pemeriksaan sinus mencakup palpasi dan adanya nyeri tekan dan tapping dari gigi yang ada pada maksila dengan penurunan lidah merupakan bukti terjadinya sensitifitas. Orofaring posterior juga harus diperiksa untuk mengetahui adanya posnasal drip, dada dan kulit harus diperiksa hati-hati untuk mengetahui adanya asma atau dermatitis (Small, 2011). Menurut Spector (2003), ada beberapa poin untuk menilai keparahan gejala nasal dan non-nasal, yaitu:

• Menilai tingkat keparahan gejala nasal

Gejala rinitis termasuk hidung gatal, bersin, kongesti nasalis, rinorhea dan drainase posnasal. Meskipun keparahan pasien sering sinila dengan gejala predominan (seoerti kekakuan hidung), kenyataan muncul juga gejala lainnya. Hal ini menyulitkan penentuan tingkat keparahan rinitis. Dengan menanyakan keparahan gejala individual menggunakan 7-point visual analog scale, interval data digeneralisasikan dengan memperkirakan error yang lebih rendah dan ketepatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan 5-point equal interval.

Perkiraan gejala harus sejalan dengan evaluasi keparahan rinitis yang meliputi:

(1) ada tidaknya episode bersin (2) jumlah bersin tiap episode

(3) banyaknya jaringan nasal yang terkena dalam periode tertentu

(4) seberapa besar pembengkakan yang terlihat melalui pemeriksaan fisik dan rinoskopi anterior

(5) berbagai teknik rinometrik lainnya,

• Menilai tingkat keparahan gejala non-nasal

Pasien dengan rinitis biasanya memiliki gejala non-nasal sebelumnya. Gejala ini termasuk gejala okular, seperti gatal, bengkak, lakrimasi, dan kemerahan. Pasien juga dapat mengeluh gatal di kerongkongan meskipun tidak ada sekret, iritasi kerongkongan, dan/atau batuk. Gejala telinga termasuk menurunnya fungsi dengar. Saat gejala hidung menjadi berat, dapat terjadi bersamaan dengan gatal pada telinga dan palatum. Mungkin ada hubungannnya dengan aerasi dan drainase sinus paranasal, yang mengakibatkan nyeri kepala, dan tekanan pada wajah atau nyeri. Gejala sistemik yang mungkin muncul adalah kelemahan, malaise, lelah, nafsu makan menurun, penurunan kognitif, berhubungan dengaan RA. Ketika gejala ini ditemukan secara umum pada pasien rinitis, tidak termasuk skala keparahan rinitis. Regimen tingkat keparahan gejala non-nasal sama dengan gejala nasal (Spector, 2003). Tes ini penting untuk konfirmasi penyebab rinitis alergi. Tes kerokan kulit merupakan cara yang sangat dipertimbangkan untuk mengenal alergen spesifik yang memicu rinitis. Tes ini biasanya menggunakan alergen seperti polen, serangan hewan, mold, dan tungau debu rumah. Selain itu dapat dilakukan tes kerokan kulit menggunakan IgE spesifik (seperti Radio-Allergo-Sorbent Tests [RASTs]). Tes kulit ini secara umum sensitif dengan biaya yang efektif, dan punya manfaat lebih banyak (Small, 2011).

Tabel 2.13. Scoring for Allegic Rhinitis (SFAR) (Bousquet, 2005)

Tes alergi IgE sebaiknya dilakukan namun hasilnya mungkin beragam tergantung dengan usia pasien, paparan alergen, dan karakteristik tampilan tes tersebut. Hasil positif menunjukkan adanya sensitisasi, tetapi tidak sama dengan klinis alergi. Tes IgE juga tidak menunjukkan tingkat keparahan karena dapat berhubungan ataupun tidak berhubungan dengan penyakit tersebut. Untuk itu dibutuhkan tes serum multialergen untuk mendukung skrining penyakit atopi. Sedangkan tes antibodi IgE spesifik tidak membantu dalam diagnosa alergi (Sicherer, 2012).

Visual Analogue Scales (VAS) merupakan alat yang mudah digunakan untuk menilai keparahan RA (Demoly, 2013). Seperti yang kita ketahui, RA terdiri atas beberapa gejala klasik seperti, bersin, rinorhea, dan obstruksi nasal. RA juga berhubungan dengan malfungsi pasien sehari-hari, gangguan tidur, masalah emosional, ketidakmampuan beraktivitas dan fungsi sosial. Meskipun begitu, tidak diketahui apakah skoring quality of life (QOL), ketidakmampuan bekerja, dan tidur dapat dipengaruhi sesuai dengan keparahan dan lama dari RA tersebut (Bousquet, 2005).

c. Laboratorium dan Pencitraan

Tes laboratorium yang dilakukan pada umumnya mencakup tes alergi kulit, radioallergosorbent test (RAST), total serum IgE, total blood eosinophil count. Pencitraan dilakukan untuk diagnosis dan evaluasi dari RA meliputi: radiografi, Computed tomography scan (CT-scan), Magnetic resonance imaging (MRI) (Sheikh, 2014).

2.7.7. Penanganan

Penangan rintis alergi mencakup dua hal, yaitu: menghindari alergen dan pengobatan farmakologis (Plaut, 2005). Tujuan pengobatan rinitis alergi adalah untuk meringankan gejala. Piliha terapi yang tersedia mencakup oral, kortikosteroid intranasal, antagonis reseptor leukotrien, dan imunoterapi alergen.

Tabel 2.14. Bagan pengobatan dalam tatalaksana rinitis alergi

Tabel 2.15. Pilihan Pengobatan Farmakologi untuk rinitis alergi (Small, 2011)

Menurut Plaut (2005), menghindari alergen bukan sepenuhnya berarti tetap berada di dalam rumah. Sebuah studi meta-analisis menunjukkan menghindari tungau debu rumah menggunakan filter HEPA (High-efficiency particulate air), akarisida, dan matras dan mencuci kasur dengan air panas dapat

menurunkan jumlah tungau debu rumah dan skor gejala rinitis. Berikut efektivitas dari beberapa terapi:

a. Antihistamin oral

Walaupun antihistamin generasi pertama efektif secara klinis, penggunaannya hanya terbatas sebagai anti-kolinergik dan efek sedasi. Belakangan ini, generasi keduanya kurang memilik efek sedasi dan efek yang minimal untuk hidung tersumbat meskipun dapat menangani hidung gatal dan mata berair. Akhirnya disarankan penggunaan generasi pertama saat akan tidur dan generasi kedua saat waktu aktif bekerja (Plaut, 2005). b. Kortikosteroid nasal

Dipercaya sebagai terapi lini pertama pada rinitis alergi sedang dan parah. Pada rintis alergi ringan biasanya digunakan antihistamin generasi kedua. Menurut Weiner (1998) dalam Plaut (2005), sebuah studi meta-analisis telah membandingkan efektivitas antihistamin oral dan kortikosteroid nasal terhadap gejala rinitis alergi. Diperoleh manfaat klinis yang signifikan pada kortikosteroid nasal dibandingkan dengan antihistamin oral pada gejala hidung tersumbat dan bersin. Namun, tidak ditemukan perbedaan yang signifikan terhadap gejala pada mata.

c. Leukotriene-Receptor Antagonists

Menurut Wilson (2004) dalam Plaut (2005), montelukas menurunkan skor gejala rinitis sehari-hari dibandingkan dengan plasebo. Sementara dengan kortikosteroid nasal menunjukkan penurunan sebagian gejala.

d. Mast-Cell Stabilizers

Menurut Bousquet (2001) dalam Plaut (2005), Cromolyn lebih efektif digunakan sebelum terpapar dengan alergen, seperti ketika seseorang yang alergi terhadap bulu kucing akan mengunjungi seseorang yang memiliki kucing, dan sebagainya.

e. Pengobatan Mata

Menurut Donshik (2000) dalam Plaut (2005), studi RCT menunjukkan penurunan gejala gatal pada mata sehingga mudah untuk tidur.

f. Imunoterapi alergen

Menurut Small (2011), imunoterapi alergen secara bertahap meningkatkan jumlah alergen pasien sampai dosis efektif yang cukup untuk menciptakan respon imun untuk melawan alergen.

g. Terapi Lainnya

Menurut Small et al (2007) dan Lee (2009) dalam Small (2011), dekongestan intranasal dan oral (seperti: pseudoepinefrin) berguna untuk meredakan hidung tersumbat pada pasien RA. Tetapi, efek samping seperti agitasi, insomnia, nyeri kepala dan palpitasi dapat terjadi pada penggunaan dalam jangka waktu lama. Penggunaannya kontraindikasi pada pasien dengan hipertensi tak terkontrol dan penyakit arteri koroner akut, sehingga penggunaanya tidak boleh lebih dari 5-10 hari.

2.7.8. Prognosis

Menurut Greisner (1998), meskipun RA dapat muncul pada masa bayi, prevalensinya meningkat pada anak muda dan mencapai puncak pada masa kecil dan remaja sampai menurun dengan bertambahnya umur. Dalam satu studi longitudinal, 738 mahasiswa yang telah lulus dievaluasi dan menjalani tes kulit menunjukkan adanya riwayat alergi dan asma. Usia rata-rata dari kelompok ini pada saat studi adalah 40 tahun. Selama 23 tahun setelah studi asli, 131 orang baru mengalami gejala alergi di samping 175 orang yang sudah didiagnosis ketika mereka mahasiswa perguruan tinggi, total sebesar 306. Pada saat 23 tahun follow-up, perbaikan telah dicatat oleh 54,9% (168/306) yang terkena, dengan kecenderungan peningkatan persentase peningkatan dengan usia yang lebih muda dari timbulnya gejala alergi. Di antara mereka yang membaik, 41,6% (70/168) menggambarkan diri mereka bebas gejala, sedangkan 58,3% sisanya (98/168) yang lebih baik atau tidak bebas dari gejala. Pada pasien yang menerima vaksinasi alergen rumput untuk jangka waktu 3 sampai 4 tahun, sekitar 50% dari pasien terus memperoleh manfaat klinis sampai 3 tahun setelah imunoterapi telah dihentikan.

2.7.9. Komplikasi

Infeksi sinus merupakan komplikasi RA yang sering terjadi. Gejalanya mencakup hidung tersumbat dan nyeri pada wajah (SAMJ, 1996). RA yang berlama-lama dapat menyebabkan: infeksi sinus, telinga tersumbat, infeksi telinga, dan memburuknya gejala asma (Thompson, 2011). Dapat terjadi otitis media efusi. Pada RA terjadi penyumbatan tuba Eustakius sehingga memicu proses inflamasi. Tekanan negatif telinga tengah dan adanya transudat menjadi faktor kronisitas otitis media (SAMJ, 1996). Selain itu, gangguan tidur atau apnea, overbite akibat nafas melalui mulut yang berlebihan, kelainan palatum, dan disfungsi tuba Eustakius juga dapat terjadi (Sheikh, 2014).

Dokumen terkait