• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ritual sebagai Spirit Ketahanan Pangan dan Ketahanan Hayati di Bali

Dalam dokumen Sumber Daya Perempuan dalam Ritual Subak (Halaman 30-36)

Menyikapi pendapat dari McCauley and Lawson (2002) bahwa sebenarnya ada tiga hal yang harus dijelaskan untuk menjawab perta-nyaan-pertanyaan tentang keefektifan ritual yaitu adanya penjelasan tentang bentuk ritual agama, hubungan ritual dengan agama dan bagai-mana keefektifan kegiatan ritual yang dilaksanakan baik oleh individu maupun secara kolektif. Kedua peneliti ini membahas bahwa ritual adalah bahasa personal yang menentukan sistem ritual yang dilaksa-nakan sehingga kedua keterikatan ini akhirnya menghasilkan istilah “Symbolic Cultural-System”. Penulis mengartikan bahwa ritual juga merupakan simbol dari sistem budaya. Sebenarnya hal ini juga yang terjadi pada masyarakat Hindu di Bali bahwa ritual merupakan bagian dari agama yang mereka anut, sehingga akan sangat terikat dengan

kepercayaan dan keyakinan akan adanya kekuasaan Tuhan, dan bagi masyarakat yang beragama kepercayaan akan Tuhan adalah mutlak.

Geertz (1979) pun menyatakan bahwa agama Hindu di Bali terikat dengan kebudayaan Bali, sehingga kadang kala ritual agama akan sangat bias dengan pelaksanaan ritual adat. Hal ini sebenarnya sudah menimbulkan sikap apriori sebagian masyarakat yang kurang memaknai ritual itu sendiri. Misalnya kegelisahan sebagian masyarakat Hindu di Bali terutama generasi muda akan keefektifan ritual yang dilakukan di tengah semakin banyaknya mereka yang terlibat dengan budaya luar dan industri pariwisata yang memilki ketentuan waktu yang sangat ketat. Hal ini penulis anggap sebagai sebuah pertanyaan praktis dari generasi muda, oleh karena mereka dari sisi pemahaman dan keterlibatan dalam pelaksanaan ritual sangat kurang, sehingga penghayatan secara mendalam akan ritual yang dilakukan pun sangat dangkal. Sebagian dari mereka hanya berpikiran praktis bahwa hidup memerlukan pekerjaan yang mendatangkan sesuatu untuk pemenuhan kebutuhan, sedangkan dari sisi pemahaman bahwa agama mengajarkan untuk selalu menghargai suatu kekuasaan yang tidak terlihat sangatlah penting. Esensi dari ritual yang sangat intensif dilakukan oleh umat Hindu di Bali, karena masyarakat Hindu masih sangat menekankan pelaksanaan ritual sebagai sebuah penghayatan religius untuk menda-patkan perlindungan dari Sang Pencipta.

Berbeda dengan pendapat Geertz (1992), adat (yang di sana disebut agama adat) bahwa ritual yang dilakukan secara personal memiliki tujuan yang lebih bersifat pribadi sesuai dengan keperluan individu tersebut, akan tetapi kadangkala dianggap lebih tidak penting dibandingkan dengan ritual kolektif yang dilakukan di aras keluarga dan juga di pura-pura yang lebih besar. Ini merupakan salah satu ciri yang mampu membuat agama Hindu di Bali sebagai salah satu modal keberlanjutan Bali dan keeratan hubungan antar komunitas yang semakin kuat. Demikian juga dengan adanya keeratan bonding antara anggota masyarakat dalam pelaksanaan ritual juga melambangkan bagaimana masyarakat Bali masih memiliki keeratan hubungan selain dengan Tuhan, juga dengan para leluhur termasuk untuk kesejah-teraan.

Geertz (1990) masih belum membahas bagaimana perasaan dan keyakinan dari masyarakat pelaku ritual secara individu terhadap makna ritual yang dilakukan, karena Geertz melihat bahwa pelaksana ritual tidak mempermasalahkan apa yang mereka pikirkan bagaimana perasaan mereka atau kepercayaan mereka yang penting seolah mereka sudah mampu melaksanakan ritual yang diwajibkan terasa sudah cukup (disini diistilahkan dengan theatre). Dari pembahasannya ini maka Geertz (1990) sebenarnya belum menemukan pemaknaan individu yang melaksanakan ritual tersebut. Geertz (1990) hanya melihat bahwa dalam pelaksanaan ritual akan terjadi hubungan yang harmonis antara individu pelaksana ritual terutama pada saat pelaksanaan ritual kolek-tif. Jadi sebenarnya Geertz (1990) pun telah mengakui bahwa ritual terutama yang dilakukan secara kolektif akan merupakan sebuah modal ataupun spirit untuk membina hubungan antar masyarakat pelaksana ritual untuk tetap menjaga hubungan yang harmonis di antara mereka.

Sebagai penekanan pada hasil kajian dari Geertz (1990) bahwa notifikasi dari keberadaan dan pengakuan agama dan keeratan hubungan antara umat Hindu di Bali adalah dengan adanya pelak-sanaan ritual yang dilakukan secara kolektif. Bagaimana kewajiban yang bersifat resiprositas mampu mengeratkan masyarakat pada waktu yang bersamaan mengikat mereka pada tujuan yang sama, sehingga ritual mengandung nilai kebersamaan yang merupakan spirit masya-rakat untuk bertindak bersama dalam hubungan yang saling mengisi (resiprositas).

Berger and Luckman (1990) justru lebih menekankan pada bagaimana peran individu di dalam berpartisipasi dalam kegiatan bersama. Dalam kegiatan kolektif akan terjadi interaksi antara individu yang menghasilkan sebuah hubungan yang saling mengeratkan. Lebih lanjut dalam karyanya ini mereka ingin lebih melihat secara logis bagaimana hubungan individu dalam masyarakat baik dari sisi realitas objektif maupun subjektif, sehingga dipahami bagaimana keyakinan akhirnya terbentuk dari kegiatan keseharian dan pengalaman individu yang bersangkutan. Dari realitas yang dialami individu akhirnya ter-cermin dalam realitas masyarakat.

Jadi pernyataan Geertz (1989) bahwa pelaksanaan ritual yang dilakukan secara personal hanya bermakna bagi individu itu ternyata tidak sepenuhnya dapat diterima, karena dengan adanya pemaknaan secara personal terhadap ritual yang dilaksanakan maka pada saat individu tersebut terbentuk dalam masyarakat maka akan terjadi akumulasi pemaknaan yang lebih kuat terhadap sesuatu yang dilaku-kan sehingga keyakinan secara kolektif adilaku-kan dapat terbentuk juga. Menurut Berger and Luckman (1990) sebenarnya ada tahapan dalam mencari penjelasan secara logis tentang bagaimana realitas sosial ter-konstruksi di masyarakat di mana menurut mereka semua aktivitas manusia adalah merupakan proses habitualisasi. Kalau dikaitkan dengan pemikiran Bourdieu (1990) tentang pembentukan habitus, maka di dalam proses habitualisasi akan selalu ada unsur modal, ranah (area) dan praktik. Kalau ritual yang dilakukan masyarakat Hindu di Bali merupakan habitus, maka memang terbentuk karena ritual meru-pakan kegiatan keseharian masyarakat. Seperti telah dikemukakan dalam bab empiris bahwa selain ritual secara kolektif yang dilaksana-kan oleh anggota subak, ternyata mereka juga melaksanakan ritual secara personal, yang tentu saja merupakan tanggung jawab hubungan antar individu dengan Tuhannya.

Jadi ritual sebagai habitus masyarakat Hindu di Bali termasuk bagi anggota Subak Wongaya Betan terbentuk menjadi sebuah kegiatan kolektif yang mampu memberdayakan masyarakat dalam pelestarian katahanan pangan dan ketahanan hayati di daerah penelitian. Subak merupakan modal kolektif dalam pelestarian pertanian di Bali, maka dengan melaksanakan ritual dalam setiap fase kegiatan pertanian, akan mendorong kesadaran dan keterikatan anggota subak akan situasi religius dari pelaksanaan ritual. Dengan adanya kesadaran dan pem-buktian sanksi-sanksi ritual yang dialami anggota subak akan terjadi internalisasi personal terhadap situasi religius yang akan membentuk pemaknaan individu. Pemaknaan individu akan terintegrasi secara bertahap secara kolektif sehingga akan terjadi habitualisasi dalam komunitas.

Gambar 25 menunjukkan model tata kelola katahanan pangan dan ketahanan hayati yang idealnya dilakukan oleh pemerintah dan elemen terkait, di dalam usaha mentransfer kebijakan ketahanan pangan dan ketahanan hayati kepada masyarakat. Dari Gambar ini dapat dijelaskan bahwa peran keluarga, komunitas dalam hal ini subak dengan aturan ritual yang mengikat dan meng’habitus’, mampu mengimplementasikan kebijakan pemerintah pada kegiatan nyata yaitu penjaminan ketahanan pangan dan ketahanan hayati. Gambar ini juga menunjukkan ada peran yang spesifik bagi perempuan anggoa subak dalam hal pelaksanaan ritual. Perempuan bebas mengekspresikan perannya dalam ritual, baik dalam pembuatan keputusan hingga tanggung jawab pelaksanaannya. Sehingga dengan model ini isu kese-taraan peran yang masih menjadi wacana bagi pemerhati gender terbantahkan. Justru dalam pelaksanaan ritual terjadi pembagian peran yang khas di antara gender, sehingga isu gender tidak menjadi masalah yang harus diperdebatkan. Walaupun model yang penulis rancang ini masih memungkinkan untuk dikembangkan, tetapi dalam tulisan ini penulis berharap bahwa dengan model ini akan terlihat bagaimana pemberdayaan kearifan lokal pada masyarakat harus memadukan kebijakan pemerintah dengan kebijakan lokal yang berlaku di tingkat komunitas. Untuk kasus pada penelitian ini kebijakan lokal adalah kebijakan subak yang tetuang dalam awig-awignya.

Kebijakan Internal (awig-awig) Pembangunan Berkelanjutan Laki-laki Komunitas di Kawasan Budaya Dunia (Culture heritage) Regional dan Nasional Kebijakan eksternal (pemerintah)

Ketahanan Pangan dan Hayati

* Pertanian Organik Subak (Subak

Wongaya Betan) Kebijakan Ketahanan

Pangan dan Hayati UU No. 7 Tahun 1996 UU No. 4 Tahun 2006

Dalam dokumen Sumber Daya Perempuan dalam Ritual Subak (Halaman 30-36)

Dokumen terkait