• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. PELAKSANAAN DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

C. Ritual Sujud Penggalian

Selain sujud wajib yang dilakukan setiap hari, ada juga sujud penggalian yang dilakukan 5 kali dalam setahun. Berikut adalah jadwal sujud penggalian yang dilakukan di dalam Sapta Darma :

• Sebelum dan sesudah tanggal 21 April, sujud penggalian khusus wanita terutama ibu-ibu.

• 6-12 Juli, sujud penggalian khusus remaja.

• 22-27 September, sujud penggalian khusus petugas Sapta Darma.

• Pertengahan Oktober, sujud penggalian khusus warga.

• 20-27 Desember, sujud penggalian khusus tuntunan kabupaten ke atas sampai ke tuntunan Agung dan sekaligus memperingati turunnya wahyu sujud.

1. Gambaran Singkat Mengenai Ritual Sujud Penggalian

Ritual sujud penggalian sudah dilakukan sejak Bapak Panuntun Agung SRI GUTAMA masih hidup. Sujud penggalian ini dijalankan bersama-sama dan diasuh oleh satu atau dua orang tuntunan, dan beberapa orang pengawas. Hal ini dimaksudkan agar setiap anggota dapat langsung

diawasi sujudnya dan dapat diasuh serta dibimbing mutu kerokhaniannya, menurut kemampuan masing- masing tingkat pesujudannya.

2. Tujuan Sujud Penggalian

a. Membentuk ksatria utama yang berbudi luhur, berkepribadian dan berkewaspadaan tinggi. Sikap-sikap itulah yang nantinya akan memunculkan manusia- manusia yang dapat Memayu hayuning Bagya Buana.

b. Meningkatkan mutu kerokhanian para tuntunan dan warga Sapta Darma.

c. Menyempurnakan pengabdiannnya kepada Hyang Maha Kuasa dan pada umat manusia.

3. Inti Penggalian

a. Sujud dalam Sapta Darma adalah bukan hanya sujud wadag saja (jasmani), melainkan sujud rokhani (rasa).

b. Menanamkan pengertian kepada para penggali bahwa arti daripada sujud Sapta Darma dengan sebutan “Hyang Maha Suci sujud Hyang Maha Kuasa” betul-betul Hyang Maha Sucinya (Rokh Suci Manusia) yang sujud kepada Hyang Maha Kuasa.

c. Bahwa dalam ucapan “batin” artinya bukan “batin dalam arti jasmani” (pikir), melainkan “batinnya-rokhani”.

d. Dengan sujud penggalian, manusia akan dapat “Ngunduh (memetik) Wohing Pakarti”, atau mendapatkan pengertian kerokhanian.

e. Yang akan dicapai dalam sujud penggalian adalah “Wohing Pakartining Rasa” yang akan dapat menuju “Waskitaning Cahaya” yang akhirnya akan meningkat kepada “Waskitaning Pangandika” = kata-kata yang tepat dan benar.

f. Dalam tingkatan “Warangka Manjing Curiga” para warga penggali harus melepaskan sama sekali pamrih Rokhaniah dan Jasmaniah. 4. Tata Tertib Penggalian

a. Penggalian dilakukan bersama-sama di sanggar-sanggar di bawah bimbingan seseorang atau beberapa orang Tuntunan yang sudah pernah melakukan sujud penggalian. Disamping itu ada beberapa orang warga pengawas, guna mengawasi para warga yang sedang melakukan sujud penggalian.

b. Jumlah warga penggali satu kelompok terdiri dari 12 orang warga. Boleh diadakan dua, tiga atau empat kelompok, yang disesuaikan dengan besar kecilnya sanggar.

c. Lamanya penggalian ditentukan 12 malam berturut-turut atau apabila mungkin dapat dilakukan siang dan malam berturut-turut selama 6 hari, misalnya pagi mulai jam 09.00 sampai dengan jam 14.00 ; malam mulai jam 20.00 sampai jam 01.00.

d. Selama penggalian sujud dapat dilakukan tiga kali; misalnya dimulai dari jam 20.00, jam 22.00 dan jam 24.00 selesai, atau jam 19.00, jam 21.00 dan jam 23.00 selesai.

e. Tuntunan penggali harus luwes (supel) melihat keadaan warga, apabila keadaannya lesu, tuntunan harus bisa memberi semangat kembali dalam melakukan sujud penggalian.

f. Penggalian yang dimaksud adalah sekaligus merupakan peruwatan “Saudara Dua Belas” di dalam pribadinya masing- masing warga, untuk menuju “Jejering Satria Utama”, maka tidak mengherankan apabila warga penggali mengalami masa krisis, misalnya badan terasa lesu, sakit, bosan dan macam- macam hambatan lain yang dialami dalam penggalian. Masa krisis ini biasanya berjalan selama 3 hari, maka hendaknya Tuntunan penggalian memberitahu lebih dulu sebelum penggalian dimulai.

g. Sesudah hari kedua, pada waktu-waktu istirahat sesudah sujud, para warga penggali mulai melaporkan hasil pasujudannya kepada Tuntunan penggalian satu persatu diruang tersendiri untuk menghindari agar warga yang lain tidak turut mendengarkan.

h. Masing- masing warga penggali tidak boleh menceritakan hasilnya kepada warga yang lain.

i. Pada waktu-waktu tertentu sesudah hari ketujuh para warga penggali diberi pelajaran untuk berbicara di muka orang banyak, cara-cara berpidato dengan teknik tersendiri menurut Kerokhanian Sapta Darma. j. Para warga penggali dalam waktu-waktu senggang dirumah,

terutama tujuan KSD, Wewarah Tujuh, Simbol Pribadi Manusia dan Tali Rasa.

k. Di dalam kamar penggalian para warga tidak diperbolehkan mempercakapkan soal-soal kejasmanian agar supaya suasana penggalian tetap pada “Sphere” suasana kerohanian.

l. Dalam kamar penggalian tidak diperbolehkan makan, minum dan merokok, untuk ini disediakan tempat lain.

m. Tempat duduk sebaiknya diundi untuk menjaga ketertiban, hal ini untuk melatih para peserta jangan mempunyai rasa iri hati ingin duduk di depan. Sebab dengan jalan diundi mereka akan merasa puas dengan pilihannya sendiri; dan nomornya harus diingat- ingat untuk mendapatkan giliran laporan.

n. Tuntunan, warga serta pengawas sama kewajiban dan tanggung jawabnya. Tuntunan, warga dan pengawas penggalian merupakan “Telu-teluning Atunggal” yang sinarnya saling mempengaruhi satu dengan yang lain. Para warga penggali diharuskan 15 menit sebelum pesujudan dimulai supaya siap di sanggar penggalian.

o. Para penggali diharapkan menggunakan waktu sebaik-baiknya karena para penggali akan mendapatkan penggemblengan langsung dari Hyang Maha Kuasa untuk menjadi Pelopor Budi Luhur bagi umat manusia dan menjadi rokhaniawan yang sejati.

5. Bahan-bahan Penggalian

Untuk dapat melaksanakan inti penggalian, maka penggalian dibagi ke dalam tiga tingkatan.

a. Pada Tingkatan Pertama

Para warga penggali harus dapat memisahkan Rasa dan Pangrasa, artinya segala angan-angan, pikiran, ciptaan-ciptaan dan gagasan-gagasan harus dihilangkan sama sekali, tinggal rasa yang meliputi seluruh tubuh atau “Rasa Sejati”.

Setelah itu getaran air suci yang keluar dari tulang ekor (tali- rasa) sedetik demi sedetik melalui ruas-ruas tulang punggung naik ke atas otak kecil menuju otak besar, setelah dahi menyentuh tikar maka getaran air suci akan berkumpul di ujung lidah yang merupakan “benda hidup” (atom berjiwa) atau “sari-sarinya hidup”.

Sari-sari hidup inilah yang akan mengisi gelombang-gelombang hidup yang dinamakan Radar.

Apabila terasa dingin di dada, maka mulailah warga penggali akan menemukan apa yang dinamakan “RADAR” (alat kewaspadaan rasa). Dari situ para warga akan dapat “ngunduh wohing pakartining rasa” yang dicapai dalam 5 hari. Pada hari ke 6, tuntunan akan mengadakan testing soal radar.

b. Pada Tingkatan Kedua

Pada tingkatan ini warga penggali akan mulai meneliti “Sapta Rengga”.

Dalam tingkatan ini terjadi “pisahing gembung dan kepala”, berarti para warga sama sekali sudah harus menghilangkan “angkara murka”, tinggalah meneliti atau memelihara Sapta Rengga nya. Untuk ini Sapta Rengga dari para warga akan mendapat pembersihan oleh sari-sarinya hidup (ge taran- getaran air suci) maka dapat dirasakan sehabis bungkukan kesatu, kedua, ketiga.

Setelah itu para warga penggali akan menemukan “terjadinya sabda” ialah “kumpulnya rasa dan cahaya” dan menemukan alat kontrolnya sekali. Di situ para warga akan dapat mencapai tataran “ngunduh wohing pakartining cahya” untuk memiliki “waskitaning pangandika”, “sabda waskita tunggal”. Disini “rasa liniputan dening cahya”.

Apabila warga sudah mencapai tingkatan ini maka segala kata-katanya harus betul-betul dijaga kebersiha nnya, karena sabdanya sudah gawat. Berbicaralah yang baik kepada siapapun.

Diluar penggalian, warga penggali dianjurkan untuk mempraktekkan sabdanya untuk menolong orang-orang yang dalam kegelapan (terjadi pada hari ketujuh dan kedelapan).

c. Pada Tingkatan Ketiga

Tingkatan ini adalah untuk memisahkan antara “Rasa”dan “Cahya” yang akhirnya nanti cahta akan menuju sentral (Hyang Maha Kuasa) inilah yang dinamakan “Curiga Manjing Warangka”, hal ini sudah terjadi dalam alam lain.

Cara pelaksanaanya :

Pada hari kesembilan para warga penggali agar dapat menutupi “Babahan Hawa Sanga” maka sujudnya harus betul-betul sudah menyerah bulat-bulat.

Pada hari kesepuluh, para warga penggali mulai meningkat kepada “Pudak Sinumpet”, inilah inti dari pada “Sujud Dasa Warsa”.

Dalam hal ini seakan-akan para warga penggali akan mendapatkan “cahya” dari “sentral” yang akan menutup ubun-ubun penggali.

Pada hari kesebelas, para warga penggali sudah harus mencapai “kukuding saudara sebelas” yang sudah mendapatkan pencaran sinar Sentral Hyang Maha Kuasa. Biasanya sujudnya sudah mengalami kebahagiaan.

Untuk ini para warga penggali diberi pelajaran “Racut dengan duduk” agar supaya betul-betul Hyang Maha Sucinya dapat menghadap Hyang Maha Kuasa.

Pada hari kedua belas, “Kukud saudara dua bela s” berarti telah “Jejer Satria Utama” maka untuk ini para warga penggali diberi pelajaran : racut dengan tata cara terlentang.

Dokumen terkait