Ritual Tulude adalah tradisi nenek moyang tentang makan bersama yang telah dilaksanakan dalam kurun waktu ratusan tahun oleh suku Sangihe. Ritual Tulude ini juga dipahami sebagai suatu proses penolak bala atau menolak segala sesuatu yang mendatangkan malapetaka dalam kehidupan masyarakat.43
3.3.1. Asal Kata.
Pada halaman empat dalam tulisan di bab I, telah diuraikan sedikit tentang pengertian kata Tulude. Penguraian itu ialah ritual Tulude merupakan ritual penolakan terhadap suatu kejadian buruk yang akan terjadi dalam kehidupan manusia. Pertanyaannya adalah dari mana asal kata Tulude? Kata ini berasal dari nama bulan dalam bahasa Sangihe. Bulan tersebut ditetapkan dalam perhitungan bintang Fajar yang letaknya 90o tegak lurus dengan ubun-ubun. Bintang Fajar itu disebut (Kadademahe Daluhe), sedangkan nama bulannya
41 Medarorô artinya memanggil arwah, dari kata dasar dorô yang berarti hinggap atau kemasukan. Arwah-arwah yang dipanggil adalah arwah leluhur atau arwah orang sakti. Biasanya dalam setiap kegiatan
medarorô, yang dilakukan adalah meminta obat untuk menyembuhkan orang sakit yang sedang sekarat, juga penyucian dan pembersihan diri atas penderitaan.
42 D. Brilman, Wilayah-Wilayah Zending Kita, 153.
disebut Tulude.44 (kecurigaan bahwa ritual Tulude adalah ritual penyembahan yang dilakukan 1 bulan sekali, bukan satu tahun sekali. Kemungkinan itu adalah ritual penyembahan bulan dilangit yang ke 8, 9, dan 10).- kapan penanggalan ritual ini? Apakah perhitungan bintang ini tidak dipengaruhi oleh perhitungan bintang dan bulan dalam kalender modern? Mengapa dia menjadi satu tahun sekali, bukan 1 bulan sekali? Jika memang 1 bulan sekali? Maka yang harus dicari adalah kebiasaan yang dilakukan setiap 1 bulan.
3.3.2. Arti Kata.
Ada beberapa pengertian dari kata Tulude yang dipahami oleh suku Sangihe. Mereka mengunakan kata “tulide” untuk memahami kata Tulude. Tulide terdapat dua pengertian yaitu; pertama, meluruskan perjalanan kehidupan di tahun yang baru. Kedua, cara meluruskan semua kesalahan yang pernah dilakukan oleh masyarakat di tahun yang berlalu. Kemudian arti kata ini juga dimengerti dari kata “menuhude” artinya mendorong cara hidup manusia untuk berjalan kedepan dengan penuh selamat.45
Pengertian yang lain tentang kata Tulude yaitu dipahami sebagai singkatan dari kata Tulung (penolong, menolong dan pertolongan), Lukade (penjaga atau menjaga),dan Dendingang (menyertai atau penyertaan). Oleh karena itu dalam hal ini Tulude diartikan sebagai ritual permohonan kepada Ghenggona Langi Duata Saluruang (Ilahi /Tuhan) untuk menolong, menjaga dan menyertai kehidupan seluruh suku Sangihe setiap saat.46
44 Wawancara (via Telephone), tanggal 11 April 2017, Bpk Semuel Ketua adat Kabupaten SITARO.
45 Wawancara, tanggal 26 April 2017, Bpk Semuel Ketua adat Kabupaten SITARO.
46 Wawancara (via telephon), tanggal 8 September 2017, Bpk. Alfian W.P. Walukow. Tetua Adat Sangihe.
3.3.3. Latar Belakang Pelaksanaan Ritual Tulude.
Pelaksanaan ritual Tulude ini dilatarbelakangi oleh beberapa hal yang terjadi dalam kehidupan suku Sangihe yaitu; terdapatnya pelanggaran hukum adat yang dilakukan oleh suku Sangihe. Perbuatan itu mereka sebut sebagai “nedosa”. Misalnya, anak perempuan dan orang tua laki-laki saling menyukai, sesama saudara saling menyukai, pemerkosaan, dan sebagainya. Kemudian, ketika mereka tidak menghargai alam, seperti meludah dilaut dengan sembarangan, menebang pohon dengan sembarangan, menghancurkan batu besar dengan sembarangan. Pelanggaran itu akan memberi dampak kepada para petani, nelayan, alam dan kehidupan masyarkat.
Dampak bagi petani adanya serangan hama terhadap tanaman mereka. Dampak bagi nelayan, ikan akan sangat sulit untuk didapatkan dan cuaca dilaut sangat rawan. Dampak bagi masyarakat, mereka akan diserang wabah penyakit yang mengakibatkan kematian. Kemudian dampak bagi alam ialah terjadinya bencana alam, seperti jatuhnya angin puting beliung kedaerah pemukiman warga, terjadinya banjir karena badai hujan yang cukup lama, tanah longsor, dan gempa bumi. Maka dilaksanakanlah ritual mesundeng yang kemudian disebut sebagai ritual Tulude.47 Contoh bencana tersebut dapat dilihat dalam beberapa fenomena yang terjadi dalam kehidupan beberapa tahun lalu seperti banjir bandang yang pernah terjadi pada tanggal 11-12 Januari 2007,48 pada tanggal 8 Desember 2009,49 kemudian bencana 7 Januari 2017.50
47 Wawancara, tanggal 27 April 2017, Bpk Semuel Ketua adat Kabupaten SITARO.
48 https://bencanasulut.wordpress.com/2007/01/16/bencana-banjir-bandang-dan-tanah-longsor-di-kabupaten-kepulauan-sangihe/, (acced, 30 Oktober 2017).
49 http://penanggulangankrisis.kemkes.go.id/banjir-bandang-di-siau-tagulandang-biaro-sulawesi-utara-18-06-2016, (acced, 30 Oktober 2017).
50 http://regional.kompas.com/read/2017/01/14/10065621/fenomena.ledakan.di.bawah.laut, (acced, 30 Oktober 2017).
3.3.4. Tujuan Pelaksanaan Ritual Tulude.
Mereka percaya dan menyakini bahwa musibah tersebut adalah bagian dari murka atau kemarahan Ghenggona Langi kepada umat manusia atas dosa yang telah dilakukan. Sehingga ritual Tulude adalah bertujuan untuk memberikan pentahiran, supaya semuanya disucikan dari segala sesuatu yang salah. Ritual ini, mengandung permohonan doa kepada Ghenggona Langi agar memulihkan keadaan alam seperti sedia kala dan memberi pengampunan kepada orang-orang yang telah berbuat salah.51 Tujuannya agar diluputkan dari malapetaka yang menimpa, segala hama penyakit dihilangkan, supaya kebun mendapatkan hasil yang banyak. Demikian juga ikan-ikan akan berdatangan ke tempat-tempat yang dapat dijangkau oleh para nelayan.52 Proses pentahiran itu disebut “Menahulending Banua”.
3.3.5. Waktu Pelaksanaan Ritual Tulude.
Ritual ini sebelumnya dilaksanakan pada tanggal 31 Desember. Gagasan tentang pelaksanaan ritual tersebut, dilatarbelakangi oleh proses “Menahulending Banua”. Adanya proses “Menahulending Banua” itu berasal dari pertemuan antara Bobato’n Delahe (pemerintah kerajaan dan para tua-tua adat) dengan para Petua masyarakat, sehingga terjadilah kesepakatan bahwa ritual itu akan dilaksanakan pada tanggal 31 Desember. Kemudian hasil pertemuan tersebut disampaikan kepada Kapitalaung (kepala kampung) oleh
Mayore (Kepala adat), dan Kapitalaung menyampaikannya kepada semua
anggota masyarakat.53
51 Wawancara, tanggal 27 April 2017, Bpk Semuel Ketua adat Kabupaten SITARO.
52 Wawancara, tanggal 27 April 2017, Bpk Semuel Ketua adat Kabupaten SITARO.
Dalam perkembangannya, bulan pelaksanaan ritual ini telah berubah menjadi bulan Januari. Hal ini dilatarbelakngi oleh lima hal sebagai berikut:
Pertama, pada tanggal 31 Januari 1425 terbentuknya kerajaan pertama di Sangihe. Kerjaan tersebut adalah Kerajaan Tampunganglawo, yang dipimpin oleh raja Gumansalangi atau biasa disebut Madellu. Raja Gumansalangi (Madellu) memiliki permaisuri yang bernama Kondaasa atau dikenal sebagai Sangiang Mekila.54
Kedua, tepatnya tanggal 31 Januari menurut tradisi lisan suku Sangihe, adanya legenda dua orang kaka beradik yang meninggal diterpa badai pada saat mereka berada di Laut. Hal itu terjadi karena mereka telah melanggar etika kehidupan yang terdapat dalam hukum adat suku Sangihe. Oleh karena itu, pada tanggal 31 Januari dilaksanakanlah ritual pentahiran kesalahan tersebut, yang dikenal dengan Menuhude atau disebut ritual Tulude.55
Ketiga, tanggal 31 Januari merupakan hari dimana terjadinya fenomena alam yang dikenal dengan peristiwa Kadademahe Daluhe (Bintang Fajar berada pada posisi tegak lurus 90o di atas ubun-ubun, tepat pada pukul 00.00).56
Keempat, ketika tiba pada tanggal 1 Januari – 31 Januari suku Sangihe memiliki kebiasaan untuk berkunjung kepada keluarga, tetangga, kenalan, dengan cara naik turun rumah, bahkan dari desa ke desa. Hal ini dilakukan setiap hari sampai pada tanggal 31 Januari. Ketika pertama kali pertemuan itu terjadi, mereka saling berjabat tangan dengan penuh rasa bahagia. Maksud kunjungan tersebut adalah untuk saling meminta maaf atas kesalahan,
54 Wawancara (via telephone), tanggal 10 September 2017, Bpk. Samalukang, Petua Adat Sangihe Kecamatan Tamako.
55 Wawancara, tanggal 27 April 2017, Bpk Semuel Ketua adat Kabupaten SITARO.
kesalahpahaman, dan pertengkaran yang telah dilakukan, kemudian memberikan maaf kepada orang yang telah datang untuk meminta maaf. Integrasi ini diakhiri dengan suatu ucapan syukur bersama dalam ritual Tulude. Oleh karena itu dalam prosesi ritual itu maka Mayore Labo dengan suara nyaring meneriakan TU – LU – DE. Ungkapan itu memberi tanda bahwa hari-hari sial, dimana seluruh dendam karena kesalah telah berakhir, dan harus mempersiapkan diri untuk memasuki hari-hari yang baru dengan sikap hidup yang penuh kebaikan.57
Kelima, 31 Januari adalah tanggal dan bulan dimana Kabupaten Sangihe dan Talaud berdiri. Hal ini berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Talaud, Nomor 3 Tahun 1995, yang ditetapkan pada tanggal 21 September 1995 tentang Penetapan Hari Lahirnya Daerah Kepulauan Sangihe dan Talaud. Maka ritual Tulude menjadi bentuk pengucapan syukur bersama atas kelahiran Kabupaten Sangihe dan Talaud.58
Meskipun dalam pelaksanaan ritual Tulude telah ditetapkan tanggalnya, akan tetapi tanggal 31 Januari tersebut tidaklah mutlak. Hal ini dikarenakan ritual tersebut dalam pelaksanaanya tergantung pada situasi dan kondisi masyarakat setempat. Karena itulah ada yang mengadakan ritual adat Tulude setelah lewat tanggal 31 Januari. Misalnya pada tanggal 3 februai suku Sangihe yang ada di Kota Manado melaksanakan ritual tersebut di tugu lilin yang berlokasi di daerah pelabuhan. 59
57 A. Horohiung, Sekilas Budaya Bohusami, 34.
58 Dokumen PERDA Kabupaten Sangihe dan Talaud, Nomor 3 Tahun 1995. Tentang penetapan hari berdirinya Daerah Kabupaten Sangihe dan Talaud. Perlu diketahui bahwa pelaksaaan upacara adat Tulude
sejak tanggal 31 Januari 1995, didahului dengan pelaksanaan sidang DPRD Tingkat II Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Talaud.
59 http://suarasulutnews.co.id/2017/02/walikota-gsvl-pesta-adat-tulude-ikut-memperkaya-budaya-manado/, (acced 9 September 2017).
3.3.6. Persiapan Pelaksanaan Ritual Tulude.
Dalam proses pelaksanaan ritual Tulude ada beberapa bagian yang terdapat di dalamnya. Bagian-bagian tersebut merupakan kebiasaan yang telah disakralkan oleh suku Sangihe, melalui berbagai kebiasaan bersama. Berikut adalah bagian-bagian dalam proses persiapan dalam ritual Tulude:
3.3.6.1. Dalam Kehidupan Bermasyarakat.
Didalam ruang kehidupan bersama suku Sangihe terdapat pantangan yang harus diketahui dan ditaati, sebelum ritual Tulude ini diklaksanakan. Pantangan itu adalah: pertama, tidak boleh ada yang melakukan perkara nedosa (berzinah, membunuh, mencuri, membuang anak dan sebagainya). Kedua, Tidak boleh ada pertengkaran, tetapi perlu menjaga hubungan yang baik antara orang tua dengan anak, kakak beradik, bersaudara kandung ataupun tiri, dengan tetangga dan siapa saja yang berinteraksi dengan kita.60
3.3.6.2. Membentuk Panitia Pelaksana.
Satu bulan sebelum ritual adat Tulude dilaksanakan, pembentukan Panitia Pelaksanan, yang melibatkan para Petua adat, tokoh-tokoh masyarakat, tokoh-tokoh agama bahkan Pemerintah. Yang tugasnya seperti: mengurus pelaksanaan, mengatur persiapan, menyusun acara, dan mengkoordinir masyarakat dalam rangka pengadaan konsumsi.61
60 Wawancara, tanggal 29 April 2017, Bpk. Muntiaha, Petua adat Kabupaten SITARO Kecamatan Ondong.
61 Wawancara, tanggal 29 April 2017, Bpk. Muntiaha, Petua adat Kabupaten SITARO Kecamatan Ondong.
3.3.6.3. Kelengkapan Ritual Adat Tulude.
Dalam hal ini, ada beberapa bagian yang dapat dilihat sebagai kegiatan bersama masyarakat dalam rangka persiapan ritual Tulude:62
Pertama, menyiapkan tempat pelaksanaan ritual Tulude. Tempat pelaksanaan berpusat di rumah adat yang cukup besar, atau Balelawo, yakni sejenis gedung pertemuan umum masa kini. Dimasa sekarang, ritual adat Tulude dilaksanakan di tempat terbuka yang ditentukan oleh masyarakat.
Kedua, menyiapkan kue adat Tamo Banua. Kue Tamo merupakan kue adat masyarakat Sangihe yang mendapat penghormatan tertinggi dalam pesta adat. Pemberlakuan terhadap kue Tamo ini dalam prosesi ritual sebagai berikut; Kue Tamo diusung dan diiringi oleh satu barisan adat yang terdiri dari unsur bobat’n Delahe yakni pemimpin ritual yang disebut Mayore Labo dan dikawal oleh Kapita. Kemudian semua yang ada dalam prosesi ritual itu diwajibkan berdiri untuk menghormati kue Tamo tersebut, dan setelah itu kue Tamo diletakkan di atas sebuah meja khusus. Bagi suku Sangihe kue Tamo Banua melambangkan persatuan dan kesatuan; kesuksesan dan keberhasilan; serta suatu isyarat kepada kita, bahwa seorang pemimpin harus menjamin nilai kemanusiaan, moral dan berlaku bijaksana dalam kehidupannya. Kue adat ini, dibuat lima hari sebelum pelaksanaan ritual Tulude yang dihiasi dengan buah-buahan seperti mangga, langsat, nenas,
62 Untuk Kabupaten Sangihe, upacara adat Tulude tingkat Kabupaten dilaksanakan di Pendopo Rumah Jabatan Bupati, sedangkan di tingkat Kecamatan atau desa, tergantung kesepakatan antara mereka masyarakat di Kecamatan atau desa tersebut. Untuk Kabupaten SITARO dilaksanakan di tiap kecamatan dan desa, hasil wawancara, tanggal 29 April 2017, Bpk. Muntiaha, Petua adat Kabupaten SITARO Kecamatan Ondong.
manggis, pisang dan tomat; kepiting yang sudah masak; udang dan ketupat.
Ketiga, menyiapkan pakaian adat dan atribut-atributnya. Setiap perlengkapan pakaian adat itu dibuat sesuai dengan fungsi yang dipahami oleh suku Sangihe. Seperti warna pakaian dan beberaps atribut pelengkap pakaian adat.
Keempat, menyiapkan para personil adat. Adapun para personil adat itu ialah, mereka yang membawakan dan mengucapkan kata-kata adat pada ritual Tulude antara lain; Pemimpin ritual, yang disebut Mayore Labo; Pemimpin pembawa kue adat Tamo Banua, seseorang yang akan menyerahkan dan menerima kue adat Tamo Banua di lokasi ritual; Pimpinan grup-grup kesenian; Pimpinan barisan adat; Pembawa acara Menahulending; Pembawa Kakumbaede, Tatengkamohong, Sasalamate; serta Pemotong kue adat Tamo Banua.
Kelima, menyiapakan atraksi-atraksi kesenian tradisional diantaranya tarian tradisional seperti Salo, Alabadiri, Ransa’n Sahabe, Bengko, Gunde, Upase dan Tatumania. Musik tradisional seperti
Tagonggong, Nanaungang, Oli, dan Musik Bambu; Vokal seperti
Sasambo, Kakumbaede, Tatengkamohong, Masamper.
3.3.7. Penggunaan Perlengkapan Adat Dalam Ritual Tulude. 3.3.7.1. Pakaian Adat.
Pakaian adat Tepu. Pakaian adat ini dipakai oleh Raja dan petinggi lainnya. Yang membedakannya ialah warna dari pakaian yang digunakan. Warna kuning emas untuk raja, kuning atau putih sebagai
simbol pegawai tinggi, warna biru sebagai simbol pegawai menengah, dan warna biru dan atau ungu sebagai simbol pegawai rendah.
Pakaian adat Baniang. Dipakai oleh pemipin ritual adat Tulude, serta para petua adat yang menghadiri ritual Tulude.
3.3.7.2. Atribut Adat.
Soho U Wanua adalah kalung panjang yang dipakai oleh pemimpin adat dan pelaksana ritual Tulude.
Paporong/Umbe adalah ikat kepala yang dibuat berbentuk segitiga. Dipakai baik oleh pemimpin masyarakat, Petua adat, masyarakat yang menghadiri ritual Tulude. Yang membedakannya ialah bagi masyarakat bagian ujung dari bentuk segitia dilipat kebawah, sedangkan untuk raja tetap memiliki ujung yang taja.
Salikuku/Papehe adalah ikat pinggang yang dipakai oleh pemimpin adat, pemimpin ritual Tulude, pasukan pembawa kue Tamo, raja serta petinggi-petingginya.
Bawandang Liku adalah selendang panjang yang dipakai oleh perempuan yang bertugas dalam tari-tarian. Bagi perempuan yang berketurunan raja mereka memakai selendang yang hampir sama, tetapi kedua ujungnya diberi lipatan Sembilan.
3.3.7.3. Alat Musik Tradisional.
Musik Bambu. Dipakai untuk mengiring pesta makan dalam ritual Tulude. Juga sering dipakai untuk mengiring lagu penutupan ritual.
Musik Oli, dipakai dalam proses pemujaan kepada Ghenggona
Musik Tagongong, dipakai untuk mengiring sasambo, tari-tarian, serta sebagai tanda dimulainya ritual Tulude.
Musik Nanaungang, dipakai sebagai pemberi tanda bahwa akan
dibukanya acara ritual Tulude. 3.3.7.4. Nyanyian Adat.
Sasambo adalah ungkapan permohonan dan pujian kepada
Ghenggona Langi yang dikalimatkan dalam bentuk bahasa sasahara. Hal ini dilakukan oleh pemimpin Petua adat.
Kakumbaede adalah ungkapan permohonan dalam model
nyanyian dengan menggunakan bahasa sastra. Hal ini bisa dibawakan dalam bentuk solo (pemimpin ritual) maupun secara bersama-sama.
Mebawalese adalah cara bernyanyi yang dibawakan secara berkelompok untuk melantunkan syair sastra secara berbalasan. Hal ini dilaksanakan ketika acara makan bersama.
3.3.7.5. Tari-tarian.
Tari Gunde adalah tarian yang dipakai untuk menjemput tamu raja dan para petinggi lainnya untuk memasuki tempat ritual Tulude. Juga dipakai dalam proses Menahulending Banua (mengembalikan keselarasan bumi dan manusia).
Tari Salo adalah tarian yang mengkisahkan kejadian
peperangan dan dilaksanakan dalam proses makan bersama.
Tari Upase adalah tarian yang berada paling depan dalam mengawal para tamu, kue Tamo, dan petinggi adat yang memasuki tempat ritual Tulude.
3.3.8. Tahap-tahap Pelaksanaan Tulude.
Ada beberapa tahapan pelaksanaan ritual Tulude. Berikut pelaksanaan ritual Tulude:63
3.3.8.1. Mesahune atau Memangsale (Pemberitahuan).
Pagi hari menjelang fajar (subuh) pada tanggal 31 Januari, pukul 04.00, para personil adat, memukul/membunyikan tagonggong, mengelilingi tempat pelaksanaan ritual adat Tulude, dengan irama
ganding mekui ana u wanua. Hal ini dimaksudkan untuk
memberitahukan kepada seluruh masyarakat bahwa hari itu akan dilaksanakan ritual adat Tulude. Biasanya ritual adat Tulude dilaksanakan pada sore hari, pukul 17.00 atau pukul 18.00. Pada pukul 16.00, tagonggong kembali dibunyikan, sebagai tanda ajakan kepada anggota masyarakat agar segera datang ke lokasi ritual. Kemudian diadakanlah pertunjukkan kesenian yaitu tari Salo, dan hanya dilakukan oleh anggota regu Salo, sedangkan kapita nanti akan menari menjelang acara penutupan. Barisan adat (Petua adat yang tidak bertugas) siap dan berada pada tempatnya masing-masing, sesuai petunjuk Mayore Labo, melalui pimpinan unit, untuk menjemput raja-raja atau pejabat pemerintah ataupun tamu. Pukul 17.00 semua peserta hadir ditempat ritual. Pukul 18.00, Nanaungang (gong besar) dibunyikan 3 kali, pertanda ritual adat Tulude dimulai. Pemerintah setempat dengan pakaian adat, bertindak sebagai tuan rumah sudah berada di lokasi
63 Wawancara (via telephone), tanggal 12 September 2017, Bpk. Muntiaha, Petua adat Kabupaten SITARO Kecamatan Ondong. Wawancara (via telephone), tanggal 17 September 2017, Bpk. Semuel, Ketua Adat SITARO. Wawancara (via telephone), tanggal 19 September 2017, Bpk. Bpk. Alfian W.P. Walukow. Tetua Adat Sangihe.
dimana ritual akan dilaksanakan dan siap menerima tamu yang diundang.
3.3.8.2. MeghauseSake (Penjemputan Tamu).
Menerima atau menjemput tamu yang dimaksud di sini adalah menerima tamu ritual yang diundang oleh pihak pemerintah setempat. Pada ritual adat Tulude di masa sekarang, pejabat pemerintah yang diundang adalah Gubernur Sulawesi Utara bersama ibu, yang disebut Malambem Banua Liune (Gubernur) dan Wawu Boki (Istri Gubernur). Meghause Sake dilakukan oleh para Petua adat dan diarak dengan tarian. Di depan panggung, mereka dijemput oleh pasukan Alabadiri dan Gunde sebagai tanda penghormatan. Pasukan Alabadiri adalah pasukan yang memegang Kulubalang (terbuat dari batang sagu berbentuk dua kerucut yang dihiasi burung “lendei” kecil) di tangan kanan, dan Kaliu (sejenis perisai yang bagian tengahnya terdapat alur) di tangan kiri, sambil membungkukkan badan. Tarian ini melambangkan kemakmuran dalam kebersamaan, kebebasan dan kedamaian. Artinya, pemerintah yang baik akan selalu dihargai dan dicintai oleh rakyat. Sedangkan untuk tarian
Gunde dengan sikap Memidura, melambangkan penghormatan.
Setelah itu, Mayore Labo memberikan aba-aba penghormatan oleh unit kebesaran adat kepada Malambe Banua Liune dan Wawu Boki. Kemudian Malambe Banua Liune dan Wawu Boki menerima “Bawatung Sake” yakni kata-kata adat untuk mempersilahkan masuk dan mengambil tempat yang sudah disediakan, dengan dipayungi payung kebesaran adat.
3.3.8.3. KumuiMenulude (Ajakan untuk melaksanakan ritual Tulude).
Mayore Labo menyampaikan kata pengantar yang di dalamnya
berisi ajakan untuk mengikuti ritual dalam bahasa adat yang diakhiri kata TU...LU…DE…, dengan keras dan suara agak ditarik panjang, disambut dengan pukulan tagonggong dalam waktu kurang lebih lima menit. Hal ini menandakan ritual adat Tulude dimulai.
3.3.8.4. Mekaliomaneng (Doa).
Doa biasanya dipimpin oleh anggota dewan adat Sangihe dalam bahasa sastra daerah.
3.3.8.5. Tamo Banua Dimolong Banala (Kue Adat Tamo Memasuki Bangsal Utama).
Kue adat Tamo Banua, diarak dengan tari-tarian menuju bangsal utama. Mayore Labo mengundang semua yang hadir dalam ritual itu untuk berdiri, sebagai bentuk penghormatan. Kue Tamo dikawal oleh barisan adat yang dipimpin oleh seorang Petua adat diiringi dengan tari Upase pada posisi, sebagai berikut:
Berjalan paling depan adalah Petua adat.
Urutan kedua adalah kue adat Tamo
Urutan ketiga adalah barisan adat, termasuk ibu-ibu tukang pembuat kue Tamo.
Setelah pasukan pembawa kue adat tiba di depan tempat ritual berlangsung, pemimpin barisan adat mengucapkan kata-kata adat penyerahan Tamo Banua (Penenggong Tamo Banua). Selesai
mengucapkan kata-kata adat, Tamo Banua diserahkan dan diterima oleh Mayore Labo dengan kata-kata adat pula (Mendae Tamo Banua).
3.3.8.6. LahoroDudato (Pengantar Kata).
Dibawakan oleh Petua adat, bertujuan untuk memberitahukan maksud dan tujuan dilaksanakan ritual adat Tulude kepada semua masyarakat yang hadir dalam ritual tersebut.
3.3.8.7. Kakumbaede atau Mangumbaede.
Kakumbaede memuat pokok-pokok pikiran yang
melatarbelakangi pelaksanaan suatu acara adat. Hal ini dibacakan atau diucapkan menjelang acara puncak yakni proses Menahulending. Dalam ritual adat Tulude, Kakumbaede terdiri atas beberapa bagian yang tersusun sebagai berikut:
Lahaghotang (Argumentasi)
Pada bagian ini, disampaikan pokok-pokok pertimbangan berdasar pada ajaran atau budaya tentang hidup dan kehidupan manusia, baik sebagai mahkluk individu maupun makhluk sosial.
Lahakane (Kecenderungan)
Pada bagian ini mengungkapkan suatu kecenderungan ke arah kesimpulan yang biasa diambil.
La’ala e(Pelengkap)
Untuk memperoleh ketegasan tanggapan perlu mempertimbangkan faktor-faktor lain yang dianggap penting, sebagai pelengkap apa yang sudah tercantum pada Lahaghotang.
La’ansuhe (Harapan)
Berisi harapan dan doa yang diyakini supaya diterima oleh Ilahi dan membawa manfaat bagi semua, sejalan dengan tujuan pelaksanaan ritual Tulude..
Hakane (Penegasan)
Penegasan yang lazimnya mengulangi apa yang sudah di tulis atau yang sudah dinyatakan dalam Lahakane.
3.3.8.8. Menahulending.
Secara harafiah Menahulending adalah usaha untuk mendinginkan sesuatu yang dianggap panas. Menahulending dari asal kata Tahulending yang artinya pendingin. Yang dimaksud dengan panas di sini adalah suatu situasi yang terjadi akibat adanya bencana alam, krisis kekuasaan, wabah penyakit, hama tanaman, kekacauan, dan lain-lain. Ada tiga sasaran yang perlu diberi pendingin, yaitu: pemerintah, masyarakat, dan alam.