Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 26 Desember 1974 sebagai anak ke sembilan dari sepuluh bersaudara dari pasangan Daromi (alm.) dan Siti Hindun. Pendidikan sarjana ditempuh pada Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya, Jurusan Ilmu-ilmu Sosial ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian IPB, lulus pada tahun 1999. Kesempatan untuk melanjutkan ke program magister pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan pada perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun 2010. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementrian Pertanian Republik Indonesia.
Penulis bekerja sebagai Peneliti Pertama di Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi sejak Tahun 2002 dan ditempatkan di Komplek Penelitian Pertanian Cimanggu Bogor. Bidang penelitian yang menjadi tanggung jawab peneliti ialah hidrologi.
Selama mengikuti program magister, penulis telah mempublikasikan makalah ilmiah berjudul Delineasi Wilayah Rawan Banjir Berdasarkan Aplikasi Model Hidrodinamik Serta Analisis Kerugian Lahan Sawah Di DAS Citarum Hulu pada Journal Sumberdaya Air yang diterbitkan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Air, Badan Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Air, Kementrian Pekerjaan Umum. Karya tersebut merupakan bagian dari program di S-2 penulis.
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
DAS Citarum merupakan DAS terbesar di Jawa Barat dibandingkan 39 DAS lainnya. Keberadaan DAS Citarum memiliki nilai strategis baik bagi Jawa Barat maupun secara nasional karena berfungsi sebagai sumber air baku untuk air minum, kegiatan industri, pembangkit listrik, irigasi untuk pertanian, perikanan serta untuk berbagai kebutuhan lainnya (BPLHD Jawa Barat, 2012). Dalam bidang pertanian porsi irigasi terbesar untuk memenuhi kebutuhan air irigasi di sentra produksi padi wilayah pantura Jawa Barat dipenuhi dari aliran Citarum. Sehingga dapat dipastikan kemandirian pangan terutama padi di Jawa Barat sangat menggantungkan pada kuantitas dan kualitas air sungai Citarum.
Kondisi Sungai Citarum Hulu pada saat ini sangat memprihatinkan. Dari sisi kualitas Sungai Citarum Hulu pernah mendapat predikat sungai terkotor di dunia (The Sun, 2009 dalam BPLHD Jawa Barat, 2011). Sedangkan dari sisi kuantitas permasalahan banjir merupakan kejadian rutin tahunan di wilayah hulu. Hal ini disebabkan karena berkurangnya fungsi kawasan lindung (hutan dan non hutan), berkembangnya permukiman tanpa perencanaan yang baik, dan budi daya pertanian yang tidak sesuai dengan kaidah konservasi yang menyebabkan banyaknya lahan kritis, kadar erosi yang semakin tinggi yang mengakibatkan sedimentasi di palung sungai, waduk, bahkan masuk ke jaringan prasarana air (BPLHD Jawa Barat, 2011).
Rajab (2010) menyatakan hampir setiap tahun selalu terjadi banjir pada wilayah DAS Citarum Hulu terutama di kawasan Cekungan Bandung. Selain karena curah hujan yang tinggi, banjir tersebut juga disebabkan karena rusaknya DAS akibat konversi lahan yang berlebihan serta deforestasi. Dapat dibayangkan ketika terjadi hujan ekstrim di wilayah DAS Citarum Hulu saja sudah terjadi banjir, lalu bagaimana dengan DAS Citarum Hilir yang mempunyai ketinggian di bawah DAS Citarum Hulu. Setiap kali kejadian Banjir di wilayah DAS Citarum tidak saja melanda permukiman penduduk tetapi juga merusak tanaman padi pada sentra produksi padi nasional di wilayah pantura Jawa Barat serta infrastruktur lain dengan tingkat kerugian yang tidak sedikit. Dalam intensitas dan frekuensi yang tinggi tentu saja hal ini dapat berpengaruh terhadap produksi padi nasional yang pada akhirnya akan mengganggu stabilitas ketahanan pangan.
Kejadian banjir di daerah DAS Citarum Hulu terjadi Hampir setiap tahun pada puncak musim penghujan dengan intensitas hujan yang menghasilkan limpasan permukaan yang tinggi. Wilayah-wilayah yang sering tergenangi banjir adalah Bandung Selatan dan Timur terutama di Kec. Baleendah, Dayeukolot, Bojongsoang dan Majalaya. Hasil analisis wilayah potensi banjir awal tahun 2010 didapatkan luas wilayah yang berpotensi banjir sangat tinggi adalah 3.343,3 ha, berpotensi tinggi 4.871,3 ha dan berpotensi sedang 6.905,6 ha Untuk wilayah- wilayah yang berpotensi banjir sangat tinggi terletak di sekitar titik pertemuan sungai seperti Sungai Citarik, Cikeruh dan Cirasea di Kec Bojongsoang dan S. Cikapundung-Cisangkuy di Kec. Bojongsoang dan Baleendah serta di sepanjang bantaran sungai (Era Baru News, 2010).
2
Upaya penanganan dan manajemen banjir di kawasan DAS sebenarnya sudah lama dilaksanakan, namun peta wilayah banjir sebagai peta kerja yang berbasis citra beresolusi tinggi berbasis model hidrodinamik (berdasarkan rata- rata air dengan debit yang dinamis) belum tersedia. Oleh karena itu peta potensi wilayah banjir di DAS Citarum Hulu dengan pendekatan tersebut merupakan sebuah keharusan yang sangat mendesak. Peta ini sangat dibutuhkan oleh berbagai instansi yang berhubungan langsung dengan pengelolaan DAS Citarum Hulu, diantaranya Perum Jasa Tirta II sebagai pengelola Waduk Jati Luhur yang bersumber langsung dari sungai Citarum. Setiap kejadian banjir Perum Jasa Tirta II selalu kesulitan untuk mengambil tindakan preventif maupun tindakan antisipasi karena peta potensi wilayah banjir yang dapat digunakan sebagai peta kerja belum tersedia. Penanganan saat ini yang dilakukannya hanya memetakan wilayah banjir dengan cara pemantauan langsung. Padahal wilayah banjir dan genangan akan berubah-ubah sesuai dengan kuantitas hujan yang terjadi.
Kejadian ini juga dialami oleh berbagai instansi lain seperti Kementerian Pertanian yang sangat perduli dengan produksi padi di kawasan pantura Jawa Barat sebagai salah satu sentra produksi padi nasional yang mendapat pengairan dari saluran irigasi Tarum Barat dan Tarum Timur yang dikelola oleh Perum Jasa Tirta II. Demikian juga dengan Kementrian Kimpraswil dan Kementerian lainnya yang sangat membutuhkan peta wilayah banjir ini untuk antisipasi, mitigasi dan strategi penanganan bencana banjir Pantura Jawa Barat. Prediksi kerugian secara ekonomi juga menjadi salah satu hal yang perlu diperhatikan. Dengan adanya prediksi ini diharapkan strategi penanganan banjir menjadi lebih komprehensif, juga dimasa mendatang, perencanaan pembangunan dan pengembangan wilayah dapat dilakukan dengan mengintegrasikan peta kerja tersebut ke dalam strategi yang disusun.
Kerangka Berpikir Teoritis
Upaya mengantisipasi dapat dilakukan melalui dua pendekatan terpadu (integrated approach), yaitu: (1) aspek prakiraan (forecasting) curah hujan (2) aspek deliniasi (deliniation) wilayah rawan banjir dan kekeringan. Pada aspek pertama, secara teoritis masalah banjir dan kekeringan akan dapat diminimalkan resikonya apabila kemampuan prakiraan musim dapat dilakukan lebih awal dan akurat. Sedangkan pada aspek kedua, zonasi wilayah rawan banjir perlu dilakukan untuk menyusun strategi antisipasi yang lebih terfokus. Pada aspek ini deliniasi wilayah banjir secara temporal/antar waktu (dinamis) dapat digunakan untuk mengilustrasikan pergeseran dan atau peningkatan wilayah rawan banjir yang memungkinkan untuk melakukan prediksi wilayah banjir di masa mendatang. Dalam penelitian, kedua pendekatan ini akan dilakukan sehingga keluaran akhir dari hasil proses analisis dapat diciptakan beberapa peta zonasi wilayah banjir yang dinamis, bersolusi tinggi, menyerupai kejadian yang sesungguhnya serta telah mengintegrasikan aspek prediksi perubahan tutupan lahan.
Peta spasial banjir di wilayah DAS Citarum Hulu secara temporal dibuat dengan tiga model skenario waktu banjir, yaitu 10, 25 dan 100 tahunan. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa perubahan tutupan lahan akan terus berlanjut hingga 100 tahun ke depan, dengan demikian penyusunan peta banjir
3
disesuaikan dengan prediksi perubahan tutupan lahan. Secara lengkap model kerangka berpikir teoritis dari penelitian ini disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Diagram alir kerangka berpikir teoritis penelitian pemetaan daerah rawan banjir di DAS Citarum Hulu.
Perumusan Masalah
Kejadian banjir di DAS Citarum Hulu yang selalu terjadi setiap tahun memerlukan penangan yang sangat strategis. Sebelum melakukan perencanaan penanganan yang lebih jauh maka karakteristik debit sungai Citarum Hulu perlu dipahami untuk dapat memprediksi sebaran dan luasan banjir serta dampak kerugian yang ditimbulkan. Pendekatan yang dilakukan dapat dimulai melalui deskwork study dengan memahami pola debit dari data pencatatan pada stasiun- stasiun debit sungai baik pada sungai utama maupun pada anak-anak sungai terpenting yang mengalir dan masuk ke sungai utama.
Analisis tutupan lahan dan pemahaman tentang topografi DAS Citarum Hulu diperlukan guna mengintegrasikan hasil analisis deskwork sudy menjadi sebuah peta rawan banjir sebagai peta kerja yang dapat digunakan dalam rangka antisipasi dan mistigasi bencana banjir di kawasan DAS Citarum Hulu. Lebih jauh peta kerja ini dapat digunakan untuk menghitung dampak kerugian tanaman padi yang diakibatkan oleh kejadian banjir. Seperti diketahui bahwa padi merupakan
Pembangunan yang tidak ramah lingkungan menyebabkan rusaknya DAS
Anomali Iklim dan kejadian hujan ekstrim
Tindakan antisipasi dan mitigasi bahaya banjir
yang kurang tepat
Ketersedian Peta Banjir hanya berskala tidak detail
Diperlukan Peta Banjir berskala detail sebagai
peta kerja
Prediksi kejadian banjir dan taksiran kerugian
Solusi dan Langkah Tindakan (Upaya
Mitigasi)
Perencanaan pembangunan wilayah
yang lebih tepat dan terarah
4
sumber pangan pokok utama di Indonesia. Kurangnya pasokan padi dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumsi nasional dapat berakibat fatal terhadap kemandirian pangan dan stabilitas politik dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu dampak banjir terhadap tanaman padi perlu dikuantifikasi dengan tepat. Hingga saat ini kerugian padi akibat banjir hanya dilihat dari seberapa luas tanaman padi yang rusak akibat banjir. Sebenarnya masih ada satu jenis kerugian yang harus diperhitungkan, yaitu kehilangan hasil padi sebagai respon adaptif terhadap tinggi genangan dan lama genangan. Faktor ini sangat penting mengingat kejadian banjir di Citarum Hulu sering melanda bertepatan pada saat tanaman padi pada masa vegetatip. Tidak sedikit petani membiarkan tanaman yang terkena banjir untuk tumbuh dan menghasilkan daripada mengelurkan modal kembali untuk menanam. Hal ini tentunya berdampak pada produksi yang menjadi jauh dibawah produksi normalnya sehingga menimbulkan kerugian yang cukup nyata.
Berdasarkan penjelasan tersebut maka tiga buah permasalahan yang harus dijawab dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana memahami karakteristik debit sungai dan banjir DAS Citarum Hulu?
2. Berapa luasan dan bagaimana sebaran wilayah rawan banjir di DAS Citarum Hulu?
3. Berapa potensi kerugian banjir terhadap tanaman padi di wilayah DAS Citarum Hulu?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan tersebut maka penelitian bertujuan untuk:
1. Menganalisis karakteristik debit sungai dan debit banjir Citarum Hulu, Jawa Barat.
2. Menyusun peta rawan banjir di DAS Citarum Hulu, Jawa Barat skala 1:100.000 pada beberapa skenario periode ulang banjir 2, 25 dan 100 tahunan 3. Menganalisis potensi kerugian tanaman padi yang ditimbulkan akibat banjir
dan genangan di wilayah DAS Citarum Hulu, Jawa Barat
Manfaat
Keluaran penelitian yang berupa peta rawan banjir di DAS Citarum Hulu, Jawa Barat skala 1:100.000 pada beberapa skenario periode ulang banjir 2, 25 dan 100 tahunan dapat bermanfaat bagi instansi-instansi, seperti IPB yang dapat menelaah kejadian banjir di DAS Citarum Hulu dari sisi keilmuan dan Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, sebagai balai penelitian dibawah otoritas Kementerian Pertanian yang salah satunya mempunyai tugas meneliti dan mengkaji kejadian banjir dan kekeringan kaitanya terhadap pertanian dalam kasus ini di wilayah pantura Jawa Barat, Perum Jasa Tirta II, sebagai otoritas pelaksana teknis pengelolaan Waduk Jatiluhur dan irigasi wilayah pantura Jawa Barat yang sebagian besar sumberdaya airnya berasal dari DAS Citarum, Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kotamadya Bandung serta berbagai Kementerian dalam rangka antisipasi, mitigasi serta perencanaan wilayah yang lebih komprehensif.
5
TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Banjir
Banjir merupakan fenomena alam yang sangat biasa kita ketahui. Hampir setiap kejadian hujan ekstrim, fenomena banjir sering terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta, Semarang dan Bandung. Banjir banyak terjadi pada kawasan yang biasanya banyak dialiri oleh aliran sungai. Secara sederhana banjir dapat didefinisikan sebagai hadirnya air di suatu kawasan luas sehingga menutupi permukaan bumi kawasan tersebut. Dalam cakupan pembicaraan yang luas, kita bisa melihat banjir sebagai suatu bagian dari siklus hidrologi, yaitu pada bagian air di permukaan bumi yang bergerak ke laut. Dalam siklus hidrologi kita dapat melihat bahwa volume air yang mengalir di permukaan Bumi dominan ditentukan oleh tingkat curah hujan, dan tingkat peresapan air ke dalam tanah.
Menurut Windarta (2009), dilihat dari bentuk kejadian banjir dapat dikategorikan banjir bandang dan banjir menggenang. Banjir bandang adalah luapan air yang datangnya secara tiba tiba dan menimbulkan kerusakan akibat kecepatan arus air. Sedangkan banjir genangan yang biasanya terjadi di hilir dan dataran rendah, adalah banjir yang menimbulkan kerusakan/gangguan akibat genangan air. Peristiwa terjadinya bencana banjir melibatkan dua fenomena yaitu: kejadian banjir dan keberadaan manusia dan harta benda di daerah kejadian. Dengan demikian, jika terjadi luapan/genangan air yang mengganggu kehidupan manusia (melanda manusia dan harta benda) maka terjadilah bencana.
Kadri (2007) menyebutkan bahwa penyebab terjadinya banjir ditinjau dari aspek hidrologi dan hidrolika antara lain adalah:
1. Penurunan kualitas DAS bagian hulu karena adanya perubahan penataan lahan yang mengakibatkan erosi dan koefisien aliran air menjadi tinggi.
2. Urbanisasi yang mengurangi daerah penyerapan air dan meningkatkan koefisien aliran air.
3. Intensitas curah hujan yang besar.
4. Pengurangan daerah tampungan, seperti kerusakan situ, danau dll.
5. Bangunan pengendali banjir tidak memadai akibat pemeliharaan yang buruk. 6. Kapasitas alir dan tampung sungai menurun akibat sedimentasi dan sampah. 7. Infrastruktur pada badan air akan menurunkan kapasitas alir sungai
8. Sistem operasi yang kurang optimal pada bangunan pengendali banjir, seperti pintu air.
Sistem Informasi Geografis
Definisi SIG selalu berkembang, bertambah, dan bervariasi. Pada bagian ini akan diterangkan beberapa definisi SIG yang diambil dari beberapa literatur. Reynolds (1997) menyatakan bahwa Sistem Informasi Geografis adalah kumpulan data spasial referensi (yaitu data yang memiliki titik lokasi geografis) dan peralatan yang diperlukan untuk bekerja dengan data, antara lain komputer, lemari file, kalkulator (jika ada), pena, pensil, penyusunan meja, dan lain-lain. Sedangkan Aini (2007) menjelaskan bahwa Sistem Informasi Georafis atau
6
Georaphic Information Sistem (GIS) merupakan suatu sistem informasi yang berbasis komputer, dirancang untuk bekerja dengan menggunakan data yang memiliki informasi spasial (bereferensi keruangan) dengan beberapa aksi yang dapat dilakukan seperti meng-capture, mengecek, mengintegrasikan, memanipulasi, menganalisa, dan menampilkan data yang secara spasial mereferensikan kepada kondisi bumi.
Teknologi SIG mengintegrasikan operasi-operasi umum database, seperti query dan analisa statistik, dengan kemampuan visualisasi dan analisa yang unik yang dimiliki oleh pemetaan. Kemampuan inilah yang membedakan SIG dengan Sistem Informasi lainya yang membuatnya menjadi berguna berbagai kalangan untuk menjelaskan kejadian, merencanakan strategi, dan memprediksi apa yang terjadi.
Sistem ini pertama kali diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1972 dengan nama Data Banks for Develompment (Rais, 2005 dalam Aini, 2007 ). Munculnya istilah Sistem Informasi Geografis seperti sekarang ini setelah dicetuskan oleh General Assembly dari International Geographical Union di Ottawa Kanada pada tahun 1967. Dikembangkan oleh Roger Tomlinson, yang kemudian disebut CGIS (Canadian GIS-SIG Kanada), digunakan untuk menyimpan, menganalisa dan mengolah data yang dikumpulkan untuk inventarisasi Tanah Kanada (CLI- Canadian Land Inventory) sebuah inisiatif untuk mengetahui kemampuan lahan di wilayah pedesaan Kanada dengan memetakan berbagai informasi pada tanah, pertanian, pariwisata, alam bebas, unggas dan penggunaan tanah pada skala 1:250.000. Sejak saat itu Sistem Informasi Geografis berkembang di beberapa benua terutama Benua Amerika, BenuaEropa, Benua Australia, dan Benua Asia
Subsistem dan Komponen Sistem Informasi Geografis
Ada empat subsistem dalam Sistem Informasi Geografis (Prahasta, 2001) :
1. Data Input Subsistem ini bertugas untuk mengumpulkan dan mempersiapkan
data spasial dan atribut dari berbagai sumber. Subsistem ini pula yang bertanggungjawab dalam mengkonversi atau mentransformasikan format- format data-data aslinya kedalam format yang dapat digunakan oleh SIG.
2. Data Output Subsistem ini menampilkan atau menghasilkan keluaran seluruh
atau sebagian basis data baik dalam bentuk softcopy maupun bentuk hardcopy
seperti : Tabel, grafik, peta dan lain-lain.
3. Data Management Subsistem ini mengorganisasikan baik data spasial maupun
atribut ke dalam sebuah basis data sedemikian rupa sehingga mudah dipanggil,
diupdate dan diedit.
4. Data Manipulation & Analysis Susbsistem ini menentukan informasi-
informasi yang dapat dihasilkan oleh SIG. Selain itu, subsistem ini juga melakukan manipulasi dan permodelan data untuk menghasilkan informasi yang diharapkan.
SIG merupakan sistem kompleks yang biasanya terintegrasi dengan lingkungan sistem-sistem komputer yang lain di tingkat fungsional dan jaringan. Sistem SIG terdiri dari beberapa komponen berikut (Gistut, 1994 dalam Prahasta, 2001) :
7 1. Perangkat Keras Pada saat ini SIG tersedia untuk berbagai platform perangkat keras mulai dari PC desktop, workstations, hingga multiuser host yang dapat digunakan oleh banyak orang secara bersamaan dalam jaringan komputer yang luas, berkemampuan tinggi, memiliki ruang penyimpanan (harddisk) yang besar, dan mempunyai kapasitas memori (RAM) yang besar.
2. Perangkat Lunak Bila dipandang dari sisi lain, SIG juga merupakan sistem
perangkat lunak yang tersusun secara modular dimana basis data memegang
peranan kunci. Setiap subsistem diimplementasikan dengan menggunakan
perangkat lunak yang terdiri beberapa modul, hingga jangan heran jika ada perangkat SIG yang terdiri dari ratusan modul program (*.exe) yang masing- masing dapat dieksekusi sendiri.
3. Data dan Informasi Geografi SIG dapat mengumpulkan dan menyimpan data
dan informasi yang diperlukan baik secara tidak langsung dengan cara
mengimpornya dari perangkat-perangkat lunak SIG yang lainnya maupun
secara langsung dengan cara mendigitasi data spasialnya dari peta dan memasukkan data atributnya dari tabel-tabel dan laporan laporan.
4. Manajemen sebuah proyek SIG akan berhasil jika dikelola dengan baik dan
dikerjakan oleh orang yang memiliki keahlian tepat pada semua tingkatan.
Aplikasi HEC-RAS Dalam Penanganan Banjir
Penelitian tentang banjir dengan mengintegrasikan sistem informasi geografis di Indonesia sudah banyak dilakukan. Tetapi batasan penelitian yang digunakan terlalu luas yang ditandai dengan kecilnya ukuran skala peta. Hal ini dimaksudkan agar informasi wilayah rawan banjir di seluruh Indonesia dapat ditampilkan dalam satu lembar peta. Informasi tersebut memang sangat bermanfaat namun tidak mungkin untuk digunakan sebagai peta kerja. Sebaran wilayah rentan banjir banyak dibuat per pulau, padahal dalam kenyataannya peta- peta tersebut tidak menjadi valid ketika digunakan di lapangan. Oleh karena itu pendekatan baru yang lebih mendekati kenyataan merupakan kebutuhan yang sangat mendesak.
Pendekatan yang telah diperkenalkan pada awal tahun 2000 adalah pendekatan model hidrolika yang diintegrasikan ke dalam sistem informasi geografis. Beberapa literatur berikut menjelaskan penelitian tentang penggunaan model hidrolika dalam mereduksi banjir yang dilakukan di luar Indonesia. Untuk mempermudah integrasi antara model hidrolika, hidrologi dan sistem informasi geografis. US. Army Corps. Of Engineer mengembangkan HEC-GeoHMS dan HEC-GeoRAS. Hasil program ini merupakan hasil analisis model yang kemudian dianalisis secara spasial dengan menggunakan perangkat lunak SIG seperti ArcView. ArcView akan bekerja dengan optimal apabila digunakan data peta DEM (Digital Elevation Mode ) yang umumnya dibangkitkan berdasarkan data radar atau foto udara yang akurat. Sedangkan data tutupan lahan dapat secara baik digunakan peta berdasarkan citra satelit.
Pitocchi dan Mazzoli (2001) juga menggunakan sistem model ini untuk proses perencanaan dan manajemen banjir di DAS Romagna disesuaikan dengan standar kebutuhan database. Mereka menerangkan bahwa Interface HEC- GeoRAS membentuk Shape file pada ArcView sebagai hasil dari hitungan HEC-
8
RAS, shape file ini yang kemudian dapat diaktifkan di layar untuk mengetahui daerah rawan banjir. Apabila telah didapatkan daerah genangan, kemudian dapat diekplorasi lebih lanjut mengenai kerugian yang akan terjadi seperti beberapa banyak rumah atau bangunan yang akan terendam, kerusakan lahan pertanian atau peruntukan lain, berapa jumlah jiwa yang harus diungsikan dan lain-lain serta keberadaan database spasial yang terkait dalam ArcView.
Model extension ini memungkinan menanggulangi aspek dua dimensi pada aliran melalui hubungan antara geometri sungai dengan model dijital terrain dalam bentuk format Triangulated Irregular Network (TIN). Dengan ekstensi ini, keluaran didapatkan dari HEC-RAS untuk setiap potongan penampang diinterpolasikan antara potongan penampang, termasuk didalamnya kedalaman air dan kecepatan air permukaan. Model ini memungkinkan untuk memetakan daerah genangan banjir untuk hidrograf banjir pada perioda ulang tertentu. Sistem ini secara khusus dikembangkan untuk keperluan rekonstruksi kurva debit dan neraca air pada DAS tersebut dan memberikan hasil mengambarkan hubungan debit dan kedalaman dalam kondisi muka air tinggi dan rendah dengan memperhatikan parameter aliran.
Secara terpisah Fongers (2002) melakukan studi hidrologi di DAS Ryerson dan menghasilkan hasil yang baik untuk memprediksi volume limpasan dan aliran puncak banjir melalui kondisi langsung permukaan tanah pada hujan dengan perioda ulang 2, 10 dan 100 tahunan. DAS Ryerson dibagi menjadi sub-sub DAS kecil yang kemudian direpresentasikan ke dalam elemen hidrologi pada HEC- HMS. Secara rinci dilakukan uji terhadap berbagai Curve Number agar diperoleh nilai yang paling sesuai untuk setiap sub-sub DAS tersebut dan sekaligus diuji untuk setiap perioda ulang tertentu. Lebih jauh Fongers (2002) menyatakan bahwa sistem ini dapat dikembangkan untuk pengelola hujan badai (stormwater) secara efektif dan menjabarkan kemungkinan untuk mengembangkan manajemen stormwater untuk daerah hulu DAS.
Perlunya metoda hitungan kerugian banjir diperkuat oleh Sanders dan