• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR PUSTAKA

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 18 Desember 1982 dari ayah Soekarman dan Ibu Radiyem. Penulis merupakan putra pertama dari dua bersaudara. Tahun 2001 penulis lulus dari SMA N 1 Yogyakarta dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Universitas Gadjah Mada melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Penulis memilih fakultas Teknologi Pertanian, program studi Teknologi Industri Pertanian.

Penulis mulai tahun 2006 sampai sekarang bekerja di Departemen Field Crop processing, PT BISI International, Tbk., Kediri, Jawa Timur. Tahun 2010 penulis mendapatkan beasiswa dari PT BISI International, Tbk. untuk melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor. Penulis memilih mayor Ilmu dan Teknologi Benih, Departemen Agronomi dan Hortikultura.

Brooker DB, Arkema FWB, Hall CW. 1992. Drying and Storage of Grains and

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tahun 2011 konsumsi beras tercatat sebesar 139 kg/kapita/tahun dan jumlah penduduk Indonesia mencapai 237 juta jiwa, berarti konsumsi beras nasional pada tahun 2011 mencapai 33 juta ton (BPS 2012). Apabila kebiasaan mengkonsumsi nasi tidak dapat diubah maka akan berdampak besar pada ketahanan pangan nasional.

Jagung merupakan salah satu makanan alternatif pengganti nasi. Jagung memiliki kandungan nutrisi yang cukup tinggi. Suarni dan Widowati (2007) melaporkan bahwa kandungan karbohidrat jagung berkisar antara 72-73%, sedangkan proteinnya berkisar antara 8-11%.Tingginya nutrisi yang terkandung dalam jagung menjadikan komoditas tersebut layak dijadikan alternatif bahan makanan pokok pengganti nasi.

Jagung sebagai alternatif bahan makanan pokok pengganti nasi mempunyai beberapa kendala, salah satunya adalah semakin berkurangnya lahan pertanaman jagung. Tahun 2009 luasan areal pertanaman jagung mencapai 4 160 659 ha, selanjutnya tahun 2011 luasan areal pertanaman jagung berkurang menjadi 3 861 433 ha (BPS 2012), maka untuk memenuhi permintaan jagung nasional penurunan luasan lahan pertanaman jagung harus diimbangi dengan produktivitas hasil yang tinggi. Produktivitas hasil yang tinggi dapat dicapai dengan penggunaan benih bermutu.

Proses pengeringan yang lambat merupakan salah satu kendala yang dihadapi produsen benih dalam rangka penyediaan benih jagung yang bermutu. Menurut Babiker et al. (2010) pengeringan yang lambat dapat mengakibatkan rendahnya viabilitas benih yang dihasilkan. Kadar air benih yang tinggi menyebabkan inisiasi perkecambahan serta meningkatkan serangan fungi, sehingga menyebabkan benih kehilangan viabilitasnya.

Pengeringan yang lambat juga mengakibatkan menurunnya kapasitas produksi benih, akibatnya pemenuhan kebutuhan benih kepada konsumen menjadi terhambat. Upaya yang ditempuh untuk meningkatkan laju pengeringan adalah meningkatkan suhu udara pengeringan. Chakraverty dan Singh (2001) melaporkan bahwa suhu udara pengeringan di atas 50 °C menyebabkan protein terdenaturasi. Justice dan Bass (2002) juga menyatakan bahwa suhu udara pengeringan di atas 50 °C dapat meningkatkan laju evaporasi benih, namun dapat mengakibatkan tekanan kelembaban menjadi berlebihan sehingga merusak embrio dan menyebabkan benih kehilangan viabilitasnya.

Perlakuan prapengeringan perlu ditambahkan untuk mempertahankan viabilitas benih. Prapengeringan dapat dilakukan dengan cara menghembuskan udara suhu kamar menggunakan mesin blower dan dilakukan sebelum benih jagung diberikan perlakuan udara panas, sehingga proses evaporasi berlangsung secara bertahap.

Perumusan Masalah

Proses pengeringan yang lambat merupakan salah satu kendala yang dihadapi produsen benih dalam rangka penyediaan benih jagung bermutu. Tingginya kadar air benih menyebabkan inisiasi perkecambahan serta meningkatkan serangan fungi, sehingga mengakibatkan benih kehilangan viabilitasnya. Pengeringan yang lambat

2

juga menyebabkan turunnya kapasitas produksi, akibatnya pemenuhan kebutuhan benih kepada konsumen menjadi terhambat dan menyebabkan meningkatnya biaya produksi.

Salah satu upaya yang ditempuh untuk meningkatkan laju pengeringan adalah meningkatkan suhu udara pengeringan. Suhu tinggi pada proses pengeringan dapat meningkatkan laju pengeringan, sehingga proses pengeringan dapat berlangsung lebih cepat. Suhu tinggi pada proses pengeringan juga mempunyai resiko. Benih dengan kadar air tinggi apabila langsung dikeringkan dengan suhu tinggi menyebabkan senyawa-senyawa kimia di dalam benih menjadi rusak, akibatnya viabilitas benih menjadi rendah.

Perlakuan prapengeringan perlu ditambahkan, sehingga proses evaporasi berlangsung secara bertahap. Manfaat lain perlakuan prapengeringan adalah dapat menghemat biaya produksi. Proses evaporasi selama perlakuan prapengeringan menyebabkan turunnya kadar air benih, sehingga penggunaan mesin pemanas lebih singkat dan konsumsi bahan bakar dapat lebih dihemat.

Kombinasi perlakuan prapengeringan dan suhu udara pengeringan diduga cukup efektif untuk meningkatkan laju pengeringan serta mempertahankan viabilitas benih jagung. Perlu dilakukan suatu penelitian untuk mengetahui kombinasi yang optimum antara perlakuan prapengeringan dan suhu udara pengeringan, sehingga proses pengeringan berjalan efektif dan efisien.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah meningkatkan efisiensi pengeringan benih jagung melalui pengembangan rancangan sistem pengeringan dan melakukan kombinasi perlakuan prapengeringan dengan suhu udara pengeringan untuk mendapatkan mutu benih yang maksimum.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan alternatif metode pengeringan benih jagung, sehingga proses pengeringan berjalan efektif dan efisien.

Ruang Lingkup Penelitian

Benih jagung yang digunakan dalam percobaan pengeringan adalah benih jagung yang masih terdapat pada tongkol jagung, sehingga percobaan pengeringan yang dilakukan masih berupa pengeringan tongkol jagung. Percobaan dilakukan menggunakan 4 set mini box dryer.

Benih jagung yang digunakan dalam percobaan adalah benih jagung varietas BISI 222, dengan kadar air awal berkisar 30-33% dan dikeringkan sampai kadar air 11-12%. Benih jagung yang digunakan dalam percobaan merupakan benih jagung yang dipanen pada bulan Juni 2012 dan diperoleh dari lahan pertanian di desa Sawentar, Blitar, Jawa Timur.

Penelitian menganalisis pengaruh perlakuan prapengeringan dan suhu udara pengeringan terhadap mutu fisik dan fisiologis benih jagung, serta menganalisis kelayakannya apabila perlakuan pengeringan tersebut dikembangkan. Metode analisis kelayakan menggunakan analisis B/C Ratio.

3

2

TINJAUAN PUSTAKA

Benih Jagung

Secara struktural biji jagung yang telah matang terdiri atas 4 bagian utama, yaitu: perikarp, embrio, endosperma (cadangan makanan), dan tip cap.Perikarp merupakan lapisan pembungkus biji yang berubah cepat selama proses pembentukan biji, berfungsi menjaga embrio dari organisme pengganggu dan mencegah kehilangan air.

Inglett (1987) menyatakan bahwa Embrio merupakan miniatur tanaman yang terdiri atas: plumula, radikula, scutellum, dan koleoptil. Bewley dan Black (1985) juga menyatakan bahwa embrio terbentuk dari penggabungan gamet jantan dan gamet betina. Endosperma terbentuk dari perpaduan antara satu sel generatif jantan dan dua inti polar. Endosperma berperan sebagai cadangan makanan. Tip cap adalah bagian yang menghubungkan biji dengan janggel. Struktur benih jagung disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Struktur benih jagung

Benih jagung memiliki lapisan aleuron yang terbentuk pada saat benih mencapai periode pemasakan biji. Lapisan aleuron terletak diantara kulit biji dengan endosperma (Bewley dan Black 1985).

Justice dan Bass (2002) menyatakan bahwa embrio benih jagung lebih terlindung dibandingkan dengan embrio benih kacang-kacangan. Cadangan makanan pada jagung disimpan pada endosperma, sedangkan pada kacang-kacangan disimpan pada kedua kotiledon atau keping biji.

Jagung tergolong tanaman serealia yang mengandung karbohidrat. Karbohidrat bersifat higroskopis, sehingga mudah menyerap dan menahan air dari lingkungannya (Justice dan Bass 2002). Kandungan asam lemak yang dimiliki benih jagung (oleat dan linoleat) mudah teroksidasi baik secara spontan maupun enzimatis, sehingga dapat menurunkan viabilitas benih (Copeland dan Mc Donald 2001).

Vigor Benih

Vigor benih merupakan kemampuan benih untuk tumbuh normal dalam kondisi optimum maupun suboptimum (Sadjad et al. 1999). Vigor adalah karakter benih yang ditunjukkan melalui kecepatan dan keseragaman pertumbuhan benih,

4

kemampuan benih untuk tumbuh normal pada kondisi suboptimum, dan viabilitasnya tetap tinggi setelah disimpan (ISTA 2010).

Vigor benih merupakan karakter kuantitatif yang dikendalikan oleh gen-gen (Qun et al. 2007). Soltani et al. (2001), diacu dalam Qun et al. (2007) melaporkan bahwa genotipe benih berpengaruh nyata terhadap daya berkecambah, berat kering kecambah normal, dan keserempakan tumbuh.

Menurut Copeland dan Mc Donald (2001) dan Qun et al. (2007) vigor benih ditentukan oleh 3 faktor utama, yaitu: komposisi genetik benih, lingkungan selama perkembangan benih, dan lingkungan penyimpanan benih. TeKrony dan Hunter (1995) juga menyatakan bahwa genotipe benih jagung berpengaruh nyata terhadap vigor benih.

Keadaan suboptimum (misalnya: kekeringan, rendahnya kandungan unsur hara dalam tanah, dan suhu ekstrim di lingkungan) yang tidak menguntungkan di lapangan dapat menambah segi kelemahan benih dan mengakibatkan turunnya persentase perkecambahan serta lemahnya pertumbuhan selanjutnya (Sadjad 1993). Vigor benih dicerminkan oleh dua informasi tentang viabilitas, masing-masing kekuatan tumbuh dan daya simpan benih (Mugnisjah 1990).

Vigor daya simpan adalah suatu parameter vigor benih yang ditunjukkan dengan kemampuan benih untuk disimpan dalam keadaan suboptimum (misalnya: fluktuasi suhu dan kelembaban udara ruang simpan yang tinggi). Benih yang memiliki vigor daya simpan tinggi mampu disimpan untuk periode simpan yang normal dalam keadaan suboptimum dan akan lebih panjang daya simpannya jika disimpan dalam ruang simpan dengan kondisi yang optimum (Sadjad et al. 1999). Lestari dan Mariska (2006) menyatakan bahwa mekanisme vigor benih di penyimpanan berkaitan dengan kemampuan benih mengatur cadangan makanan agar tetap tinggi dan enzim-enzim tidak mengalami kerusakan.

Vigor kekuatan tumbuh merupakan vigor benih pada periode III (periode kritikal) dimana benih mampu tumbuh di lapang untuk menjadi tanaman normal dan berproduksi normal pada kondisi suboptimum atau mampu berproduksi di atas normal pada kondisi optimum (Sadjad et al. 1999). Lestari dan Mariska (2006) menambahkan bahwa mekanisme terbentuknya kekuatan tumbuh benih dalam menghadapi kondisi kekeringan adalah mengatur proses metabolisme di dalam benih dengan membentuk senyawa prolin dan akar lebih panjang.

Menurut Sadjad et al. (1999) vigor kekuatan tumbuh dapat dinyatakan dalam tiga tolok ukur yaitu kecepatan tumbuh, keserempakan tumbuh, dan vigor spesifik. Kecepatan tumbuh diperhitungkan sebagai akumulasi kecepatan tumbuh setiap hari dalam unit tolok ukur persentase per hari. Benih vigor menunjukkan nilai kecepatan tumbuh yang tinggi, karena mampu berkecambah cepat pada waktu yang relatif lebih singkat. Benih yang kurang vigor akan berkecambah normal untuk jangka waktu yang lebih lama.

Kecepatan tumbuh diukur dengan jumlah tambahan perkecambahan setiap hari atau etmal dalam kurun waktu perkecambahan pada kondisi optimum. Unit peubah kecepatan tumbuh adalah % per hari atau % per etmal. Secara teoritis, kecepatan tumbuh maksimal adalah 50% per etmal apabila benih tumbuh normal 100% sesudah dua etmal (Sadjad 1993).

Ilyas (1986) melaporkan bahwa peubah kecepatan tumbuh benih berkorelasi paling erat dengan produksi kedelai per hektar dibandingkan daya berkecambah, keserempakan tumbuh, tinggi bibit, tinggi tanaman, dan jumlah buku produktif.

5 Sadjad et al. (1999) juga menyatakan kecepatan tumbuh benihlebih berpengaruh terhadap vigor kekuatan tumbuh, karena pertumbuhan vegetatif berikutnya menunjukkan lebih berdampak oleh kecepatan tumbuh benih daripada tolok ukur lain.

Hasil penelitian Saenong (1986) pada benih jagung dan kedelai menunjukkan bahwa benih jagung dan kedelai yang dipanen dalam variasi umur dari 76 hari sampai 111 hari untuk jagung dan 101 hari untuk kedelai menunjukkan pola kenaikan nilai kecepatan tumbuh benih, sehingga kecepatan tumbuh benih juga dapat diaplikasikan untuk perkiraan tercapainya masak fisiologis.

Benih bervigor tinggi akan menunjukkan keragaan yang baik di lapangan (Qun et al. 2007). Benih yang memiliki vigor rendah akan berakibat terjadinya kemunduran yang cepat selama penyimpanan benih. Semakin sempitnya keadaan lingkungan dimana benih dapat tumbuh, maka akan mengakibatkan kecepatan berkecambah benih menurun, kepekaan akan serangan hama dan penyakit meningkat, serta meningkatnya jumlah kecambah abnormal dan rendahnya produksi tanaman (Sadjad 1993).

Qun et al. (2007) menambahkan bahwa sintesis protein embrio cenderung lebih rendah pada benih yang vigornya rendah. Sattler et al. (2004) juga menyatakan bahwa apabila vitamin E di dalam benih terdegradasi, maka menyebabkan daya simpan benih menjadi rendah.

Pengujian vigor benih lebih mencerminkan keragaan benih di lapang daripada uji daya berkecambah, dikarenakan uji daya berkecambah meniadakan kondisi suboptimum yang terjadi di lapang (Qun et al. 2007). Metode uji vigor benih dapat dibagi ke dalam beberapa kelompok, yaitu: uji pada kondisi cekaman, uji biokimia, dan uji pertumbuhan serta evaluasi kecambah. Uji vigor yang termasuk biokimia adalah uji konduktivitas listrik. Metode pengusangan cepat (AAT) termasuk dalam uji kondisi cekaman (Venter 2000).

Metode uji vigor benih dapat diterapkan setelah memenuhi beberapa syarat diantaranya metode tersebut harus murah, mudah dilakukan, tepat guna, bersifat obyektif, dapat dikembangkan dan berkorelasi dengan pertumbuhan benih di lapang (Copeland dan Mc Donald 2001).

Pengusangan Cepat pada Benih

Pengusangan cepat merupakan salah satu metode yang digunakan untuk pengujian vigor benih. Pengusangan cepat adalah percepatan laju kerusakan benih dengan perlakuan suhu dan kelembaban udara tinggi (95%), sehingga kadar air meningkat dan menyebabkan kemunduran benih lebih cepat (ISTA 2010).

Sadjad et al. (1999) menyatakan bahwa simulasi daya simpan dilakukan dengan cara merekayasa faktor fisik kondisi simpan secara nyata (ekonik) maupun tidak nyata (simbolik). Daya simpan benih ortodoks menurun akibat suhu dan kelembaban nisbi udara yang tinggi, sehingga untuk mengetahui daya simpannya dilakukan rekayasa pengusangan cepat, yaitu dengan meninggikan kedua faktor tersebut secara ekstrim, sehingga terjadi devigorasi secara cepat.

Suhu yang tinggi selama proses pengusangan dapat meningkatkan proses metabolisme benih, sedangkan kelembaban yang tinggi dapat meningkatkan kadar air benih sehingga mengakibatkan aktivitas enzim hidrolitik dan respirasi benih meningkat. Justice dan Bass (2002) menyebutkan bahwa semakin lama proses

6

respirasi berlangsung, maka semakin banyak pula cadangan makanan benih yang digunakan.

Perombakan cadangan makanan benih menyebabkan terjadinya serangkaian proses metabolisme, sehingga dapat menurunkan viabilitas benih. Belo dan Suwarno (2012) juga menyatakan bahwa kondisi udara yang lembab dan panas mengakibatkan proses metabolisme benih berjalan cepat, sehingga menyebabkan berkurangnya energi, akibatnya deteriorasi benih menjadi lebih cepat.

Demir dan Mavi (2010) menyatakan bahwa benih mengalami kerusakan akibat perlakuan kelembaban udara yang tinggi karena benih adalah makhluk hidup yang apabila disimpan pada kondisi suboptimum (suhu dan kelembaban udara tinggi) terjadi proses katabolisme yaitu peroksidasi lipid yang mengakibatkan kerusakan membran serta menghasilkan produk sampingan yang beracun sehingga menyebabkan benih mengalami penurunan vigor. Degradasi membran menyebabkan (1) hilangnya kontrol permeabilitas membran, ditunjukkan meningkatnya nilai DHL (Daya Hantar Listrik), (2) hilangnya energi yang dibutuhkan pada proses biosintesis dan kecepatan respirasi bertambah, (3) cadangan makanan di embrio habis, (4) viabilitas dan vigor benih menurun, (5) kehilangan resistensi pada kondisi stres lingkungan, dan (6) mempercepat proses deteriorasi benih (Addai dan Katanka 2006). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perlakuan suhu dan kelembaban udara yang tinggi dapat menurunkan viabilitas benih dengan cepat, sehingga dapat digunakan untuk menduga vigor daya simpan benih. Peng et al. (2011) melaporkan bahwa kondisi pengusangan cepat untuk benih gandum yang optimal adalah suhu 55 °C dan kelembaban udara 90%. Ashraf dan Habib (2011) menyatakan bahwa suhu 41 °C dan kelembaban udara 100% merupakan kondisi yang optimum pada pengusangan benih Fraxinus excelsior.

Pengusangan cepat juga dapat dilakukan secara kimiawi dengan cara merendam benih dalam cairan etanol atau metanol.Hasil penelitianBelo dan Suwarno (2012) menunjukkan bahwa benih padi yang direndam dalam larutan etanol 96% selama 4.0 menit daya berkecambahnya turun menjadi 60%, sedangkan apabila direndam selama 4.4 menit daya berkecambahnya turun menjadi 50%. Farooq et al. (2006) juga melaporkan bahwa benih padi varietas Super-Basmati yang direndam dalam larutan etanol selama 48 jam akan mengalami kematian, meskipun kadar etanolnya sangat rendah, yaitu: 1% hingga 15%.

Pengusangan cepat secara kimiawi juga dapat dilakukan menggunakan uap etanol. Belo dan Suwarno (2012) melaporkan bahwa padi gogo (varietas Wairarem, Batutegi, dan Limboto) dapat mempertahankan daya berkecambah dan indeks vigornya relatif paling lama, dengan waktu pengusangan 2.4 jam sampai 4.8 jam dan 0.8 jam sampai 4.8 jam dalam deraan uap etanol, dibandingkan padi sawah (varietas Membramo dan Inpari-1) 3.2 jam dan padi rawa (varietas Seilalan, Inpara- 1 dan Batanghari) 1.6 jam sampai 3.2 jam.

Pian (1981) menyatakan bahwa perlakuan benih dengan uap etanol dapat meningkatkan kandungan etanol dalam benih yang mengakibatkan perubahan sifat molekul makro yang berpengaruh terhadap enzim, membran sel, mitokondria dan organel lainnya yang berperan dalam perkecambahan benih.

Benih jagung yang dimundurkan secara cepat dengan perlakuan uap etanol menunjukkan peningkatan kadar alkohol dalam benih, dan berpengaruh sangat nyata terhadap mundurnya viabilitas benih. Manfaat dari pengusangan cepat benih

7 secara kimia adalah waktu yang digunakan lebih cepat dan cendawan tidak mampu berkembang (Pian 1981).

Pengeringan

Pengeringan adalah proses pengeluaran air dari suatu bahan pertanian menuju kadar air kesetimbangan dengan udara sekeliling atau pada tingkat kadar air dimana mutu bahan pertanian dapat dijaga dari serangan jamur, aktivitas serangga dan enzim (Henderson dan Perry 1976). Surki et al. (2010) menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas pengeringan, yaitu: suhu udara, kelembaban udara, dan kecepatan udara pengeringan.

Justice dan Bass (2002) menambahkan bahwa syarat pengeringan benih adalah evaporasi uap air dari permukaan benih harus diikuti oleh perpindahan uap air dari bagian dalam ke permukaan benihnya. Surki et al. (2010) mengemukakan bahwa kurangnya kecepatan aliran udara pada proses pengeringan akan mengakibatkan lingkungan menjadi jenuh, sehingga air yang berada di dalam benih tidak dapat keluar.

Summer dan Williams (2009) juga menyatakan bahwa dalam pengeringan, udara memiliki dua fungsi, yaitu sebagai medium pemanas dan sebagai medium pembawa air. Henderson dan Pabis (1961) menjelaskan bahwa mekanisme pengeringan sering diterangkan melalui teori tekanan uap. Air yang diuapkan terdiri atas air bebas dan air terikat. Air bebas berada di permukaan bahan dan yang pertama kali mengalami penguapan.

Menurut Henderson dan Perry (1976) proses pengeringan terdiri atas dua periode yaitu periode pengeringan dengan laju tetap/konstan dan periode dengan laju menurun. Periode pengeringan dengan laju tetap merupakan periode perpindahan massa air yang berasal dari permukaan bahan.

Perpindahan massa air terjadi karena perbedaan tekanan uap air antara permukaan bahan dengan udara pengering. Perpindahan massa air akan terus berlangsung sampai air bebas pada permukaan telah hilang. Pengeringan dengan laju menurun akan berlangsung setelah pengeringan laju konstan selesai (Henderson dan Perry 1976).

Proses hilangnya uap air juga dapat dijelaskan bahwa dengan tingginya suhu udara di sekitar bahan akan mengakibatkan gaya dorong antara permukaan bahan dengan udara ruang pengering semakin meningkat. Semakin besar perbedaan suhu antara udara ruang pengering dengan permukaan bahan, maka semakin tinggi gaya dorong yang terjadi, sehingga mengakibatkan penguapan kadar air dari bahan (Irawati 2008). Migrasi air dan uap terjadi karena perbedaan konsentrasi atau tekanan uap pada bagian dalam dengan bagian luar biji (Thahir 1986).

Pengeringan dengan laju menurun akan berhenti hingga tercapai kadar air kesetimbangan. Kadar air kesetimbangan merupakan kadar air terendah yang dapat dicapai pada suhu dan kelembaban tertentu (Henderson dan Perry 1976).

Syaiful (2007) mengemukakan bahwa pengeringan terjadi melalui penguapan cairan dengan pemberian panas ke bahan basah yang akan dikeringkan. Sumber panas pada proses pengeringan dapat disediakan melalui konveksi (pengering langsung), konduksi (pengering sentuh atau tak langsung), dan radiasi. Seluruh cara pengeringan, kecuali dielektrik, menyediakan panas pada objek yang dikeringkan

8

sehingga panas harus berdifusi ke dalam padatan dengan cara konduksi. Cairan harus bergerak ke atas bahan sebelum diangkut keluar oleh udara pembawa.

Laju Pengeringan

Laju pengeringan adalah banyaknya massa air yang dapat dikeluarkan dari bahan per satuan waktu. Laju penurunan kadar air sangat cepat pada awal proses karena kandungan air bahan masih tinggi, akibatnya perbedaan antara kadar air bahan dengan kadar air pada saat kadar air setimbang sangat besar, sehingga perbedaan tekanan uap pada permukaan bahan dengan tekanan uap air pada ruang semakin besar, akibatnya laju transfer massa akan semakin cepat (Falade et al. 2006; Irawati et al. 2008; Ndukwu 2009).

Faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya laju pengeringan adalah kadar air awal bahan, suhu udara pengeringan, kecepatan udara pengeringan, kelembaban udara, dan lama waktu pengeringan (Chakraverty dan Singh 2001; Madamba dan Yabes 2004). Hasil penelitian Seifi dan Alimardani (2010) pada biji jagung menunjukkan bahwa besar kecilnya air yang diuapkan dari dalam biji sangat dipengaruhi oleh porositas biji. Jumlah air yang diuapkan pada biji dengan porositas rendah lebih sedikit daripada jumlah air yang diuapkan pada biji dengan porositas tinggi.

Doymaz (2004a) juga melaporkan bahwa peningkatan suhu udara pengeringan menyebabkan meningkatnya laju pengeringan biji kacang hijau. Suhu udara tinggi mengakibatkan massa air yang diuapkan semakin banyak, sehingga pengeringan lebih cepat. Laju pengeringan biji kacang hijau pada berbagai taraf suhu udara pengeringan disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Laju pengeringan biji kacang hijau pada berbagai taraf suhu udara pengeringan dengan kecepatan udara pengeringan 1 m/s (Doymaz 2004a)

Mesin Pengering Tipe Tumpukan

Pengeringan tipe tumpukan terdiri atas 2 jenis, yaitu: dapat dipindah-pindahkan, dan tidak dapat dipindah-pindahkan. Mesin pengering tipe tumpukan yang dapat

9 dipindahkan terkadang disertai alat pemanas. Mesin pengering tumpukan dapat berupa gerbong yang dirancang khusus, sehingga memungkinkan udara yang telah dipanaskan dapat naik ke atas melalui tumpukan benih. Mesin pengering tipe tumpukan yang tidak dapat dipindahkan biasanya berupa bin, drum lajur, atau drum berputar (Justice dan Bass 2002).

Reay dan Baker (1985) menyatakan bahwa pengering tipe tumpukan memiliki beberapa keuntungan, yaitu: konstruksinya sederhana, biaya perawatan dan pembuatannya relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan tipe-tipe pengering yang lain. Beberapa contoh mesin pengering tipe tumpukan yaitu: BatchFluidized Bed Dryers, Well-Mixed Fluidized Bed Dryers, Internally Heated Fluidized Bed Dryers, Vibrated Fluidized Bed Dryers, dan Fluidized Bed Dryers Granulator.

Karakteristik Kipas pada Mesin Blower

Berdasarkan karakteristik alur dan pola aliran udara yang melewati kipas,

Dokumen terkait