• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 10 November 1989. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari ayahanda bernama Zaza Harsza dan ibunda bernama Rohmani.

Penulis lulus dari Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 12 Jakarta Timur pada tahun 2007. Penulis melanjutkan pendidikan pada tahun yang sama di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Komputer, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Penulis pernah menjadi asisten praktikum Algoritma dan Pemrograman pada tahun 2009 dan asisten praktikum Bahasa Pemrograman pada tahun 2010.

Penulis melaksanakan Praktik Kerja Lapangan di Pusat Teknologi Elektronika Dirgantara, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) pada tanggal 28 Juni 2010 sampai tanggal 13 Agustus 2010.

1

PENDAHULUAN Latar Belakang

Wilayah peri-urban yang berkonotasi sebagai wilayah yang berada di sekitar kota dapat diartikan juga sebagai wilayah Pra- Urban. Istilah ini mengandung makna bahwa wilayah peri-urban merupakan wilayah batas antara perkotaan dan pedesaan (Yunus 2008). Terbentuknya wilayah peri-urban didorong oleh meningkatnya arus urbanisasi. Wilayah peri-urban ini dapat ditemukan di pinggiran perkotaan seperti di pinggiran Jakarta, Bogor, Surabaya, Bandung, dan kota-kota besar lainnya.

Salah satu persoalan di wilayah peri-urban adalah konversi lahan pertanian. Konversi lahan pertanian menjadi pemukiman di wilayah peri-urban jika tidak dipantau akan menjadi masalah baru. Persebaran “daerah hijau” sebagai wilayah tangkapan air juga akan berkurang. Wilayah perairan juga harus mendapat perhatian, mengingat air adalah sumber kehidupan. Oleh karena itu, pemantauan lahan pertanian, pemukiman, ruang terbuka hijau, dan wilayah perairan ini menjadi penting untuk daerah peri-urban.

Pemantauan wilayah peri-urban dapat dilakukan dengan teknologi penginderaan jauh (remote sensing). Teknologi ini memanfaatkan wahana satelit untuk melakukan pengambilan citra kenampakan bumi dari luar angkasa. Terdapat dua sistem pencitraan yang paling banyak dimanfaatkan, yaitu sistem pasif dan sistem aktif.

Citra penginderaan jauh sistem pasif memiliki kekurangan bila diimplementasikan pada wilayah tropika basah. Pengambilan citra oleh sensor ini hanya bisa dilakukan ketika langit cerah. Jika terhalang awan, citra yang diharapkan belum dapat diperoleh dalam rekaman tunggal. Oleh karena itu, wilayah tropika basah seperti Indonesia memerlukan mekanisme pemantauan satelit yang tidak terganggu oleh adanya awan, yaitu satelit SAR (synthetic aperture radar), di antaranya adalah TerraSAR-X.

Telaah pustaka menunjukan bahwa data TerraSAR-X telah banyak dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Rizal (2009) telah berhasil menggunakan data TerraSAR-X untuk memetakan sawah baku pada kawasan berbukit di Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Penelitian ini juga berhasil mengidentifikasi petakan sawah dan

mengestimasi luas sawah per-petak. Martinis et al. (2009) menunjukkan bahwa TerraSAR-X juga dapat dimanfaatkan untuk deteksi banjir pada tingkat near real time sehingga sangat bermanfaat untuk pemantauan kejadian bencana alam. Aplikasi citra satelit ini pada bidang pemantauan lahan basah juga telah dilakukan (Hong et al. 2010). Lisini et al. (2008) telah melakukan pemetaan menggunakan data TerraSAR-X untuk pemetaan wilayah urban (perkotaan). Pendekatan yang digunakan adalah ekstraksi ciri spasial dan elemen tekstur pada data SAR asli dan berhasil memetakan persebaran wilayah pemukiman, pepohonan, dan perairan. Penelitian ini memanfaatkan citra TerraSAR-X untuk membedakan berbagai tutupan lahan di wilayah peri-urban dengan metode klasifikasi pohon keputusan (decision tree). Pendekatan yang digunakan adalah berbasis rona dan ekstraksi ciri elemen tekstur. Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan aturan (rule) klasifikasi yang handal dan mudah dipahami untuk tujuan tersebut.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mengkaji metodologi yang implementatif untuk memantau tutupan lahan di kawasan peri-urban memanfaatkan data SAR resolusi tinggi TerraSAR-X.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan batasan sebagai berikut:

1. Jenis tutupan lahan dibedakan menjadi 6 (enam), yaitu tubuh air, sawah, pemukiman padat, pemukiman menengah, vegetasi berkayu, dan industri.

2. Filter tekstur yang digunakan pada

penelitian ini ada 4 (empat) filter, yaitu

mean, variance, datarange, dan entropy. 3. Data yang digunakan adalah data polarisasi

linier ganda TerraSAR-X di Sidoarjo, Jawa Timur.

TINJAUAN PUSTAKA Wilayah Peri-urban

Hogrewe et al. (1993) dan Iaquinta & Drescher (2000) memaparkan bahwa wilayah peri-urban sebagai batas antara perkotaan dan pedesaan memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1. Secara geografis berada di pinggiran

wilayah urban, 2. Pemukiman tersebar,

2 3. Tata letak yang rumit,

4. Ketersediaan air terbatas, 5. Vegetasi berkayu sedikit, 6. Kepadatan penduduk tinggi, dan 7. Tempat perubahan sosial yang dinamis.

Radar

Radar merupakan sistem penginderaan jauh aktif karena dapat menyediakan sendiri sumber energinya. Sistem mengiluminasi medan dengan energi elektromagnetik, mendeteksi pantulan energi dari medan, dan mencatat pantulan energi sebagai sebuah citra. Sistem radar beroperasi secara bebas pada berbagai kondisi pencahayaan dan umumnya tidak tergantung pada cuaca.

Radar merupakan singkatan dari “radio detection and ranging” bekerja pada spektrum elektomagnetik dengan panjang gelombang 1 mm - 1 m. Panjang gelombang sinyal radar menentukan bentangan yang terpencar oleh atmosfer. Semakin besar panjang gelombang maka semakin kuat daya tembus gelombang. Panjang gelombang yang digunakan berpengaruh pada citra yang diperoleh (Sabins 2007 dalam Handayani 2011).

SAR Polarimetri

Polarisasi gelombang elektromagnetik menggambarkan orientasi vektor bidang elektrik pada titik yang diberikan selama satu periode gerakan (Ban 1996 dalam Handayani 2011). Kedalaman penembusan dari sumber gelombang mikro tergantung pada polarisasi dan frekuensi gelombang (Sabins 2007 dalam Handayani 2011). Gelombang sinyal radar dapat ditansmisikan atau diterima dalam polarisasi yang berbeda. Sinyal dapat disaring sehingga gelombang dibatasi hanya pada satu bidang datar yang tegak lurus arah perjalanan gelombang (tenaga yang tidak terpolarisasi menyebar kesemua arah tegak lurus arah perambatannya).

Suatu sinyal SAR (Synthetic Aperture Radar) dapat ditransmisikan pada bidang mendatar (H) ataupun tegak (V). Oleh karena itu, terdapat empat kemungkinan kombinasi sinyal transmisi dan penerimaan yang berbeda, yaitu dikirim Horizontal diterima Horizontal (HH), dikirim Horizontal diterima Vertikal (HV), dikirim Vertikal diterima Horizontal (VH), dan dikirim Vertikal diterima Vertikal (VV). Citra dengan polarisasi searah (parallel polarization) dihasilkan dari paduan HH dan VV. Citra polarisasi silang (cross polarization) dihasilkan dari paduan HV atau VH (Lillesand

dan Kiefer 1990 dalam Handayani 2011). Berbagai obyek dapat mengubah polarisasi energi radar yang dipantulkan sehingga bentuk polarisasi sinyal sangat memengaruhi kenampakan obyek pada citra yang dihasilkan (Sabins 2007 dalam Handayani 2011)

TerraSAR-X

TerraSAR-X merupakan satelit buatan Jerman. TerraSAR-X pertama kali diluncurkan pada 15 Juni 2007 dari Baikonur, Kazakstan. TerraSAR-X termasuk satelit dengan sensor aktif. TerraSAR-X menggunakan radar X-band

berkualitas tinggi untuk pemantauan bumi di orbit polar pada ketinggian antara 512 km hingga 530 km. TerraSAR-X dirancang untuk melaksanakan tugas selama lima tahun (Gambar 1). TerraSAR-X menggunakan radar dengan panjang gelombang 31 mm dan bekerja pada frekuensi 9,6 GHz.

Gambar 1 Ilustrasi satelit TerraSAR-X (Infoterra 2011).

TerraSAR-X memiliki kelebihan yaitu independen terhadap kondisi cuaca dan pencahayaan, artinya satelit ini dapat melakukan pencitraan meskipun daerah yang diamati terhalangi oleh awan. Hal ini dapat dilakukan karena satelit ini menggunakan sensor elektromagnetik gelombang mikro. TerraSAR-X juga dapat diandalkan untuk menyediakan citra radar dengan resolusi hingga 1 m (Lisini et al. 2008).

Fitur teknis TerraSAR-X antara lain: • X-band SAR (panjang gelombang 31 mm,

frekuensi 9.6 GHz),

single, dual, dan quad polarisasi, • sudut geometri akuisisi: side-looking, • perulangan orbit: sun-synchronous dawn-

dusk,

repetition rate: 11 hari; karena petak

overlay, waktu kembali 2,5 hari dapat dicapai,

3 • ketinggian orbit berkisar dari 512 km

hingga 530 km, dan

• tiga operasional imaging mode: Spotlight,

StripMap, dan ScanSAR.

Speckle Noise

Gelombang radar dapat memengaruhi secara konstruktif atau destruktif untuk menghasilkan piksel terang dan gelap yang dikenal sebagai speckle noise. Speckle noise

biasa terlihat di sistem penginderaan radar.

Speckle noise dalam data radar diasumsikan memiliki model kesalahan multiplikative

(perkalian) dan harus dikurangi sebelum data dapat dimanfaatkan. Idealnya, speckle noise di citra radar harus benar-benar dihapus, namun dalam praktiknya noise ini dapat dikurangi secara signifikan. Secara umum, speckle noise

dapat dikurangi dengan pengolahan multi-look

atau spatial filtering.

Spatial filtering dikategorikan ke dalam dua kelompok yang berbeda, yaitu non-adaptive

dan adaptive. Fast Fourier Transform (FFT) adalah contoh non-adaptive filtering. Mean,

median, Lee-Sigma, Local-Region, Lee,

Gamma MAP, dan Frost filtering adalah contoh adaptive filtering (Mansourpour et al.

2006).

Hamburan Balik (Backscatters)

Koefisien hamburan balik (backscatter coefficient) adalah ukuran kuantitatif dari intensitas energi yang balik ke antena. Hamburan balik radar banyak dipengaruhi oleh karakteristik permukaan, seperti kekasaran permukaan (Sabins 2007 dalam Handayani 2011). Oleh karena itu, hasil interpretasi Radar ditentukan oleh hamburan balik (backscatter) dari obyek yang diterima kembali oleh sensor.

Menurut Freeman dan Durlen (1998), terdapat tiga mekanisme scattering dasar (Gambar 2):

surface scattering (single bounce):

hamburan dari suatu permukaan objek • double bounce scattering: hamburan dari

pemantul sudut dihedral, permukaan pemantul dapat terbuat dari bahan dielektrik yang berbeda, misalnya interaksi tanah- batang pohon untuk hutan

volume (canopy) scattering: hamburan yang berkaitan dengan hamburan acak total, sehingga gelombang yang terhambur adalah gelombang yang sepenuhnya tak terpolarisasi.

Gambar 2 Ilustrasi tiga meknisme scattering

dasar: (a) canopyscatter, (b) double-

bounce scatter, (c) surface scatter

(Freeman dan Durlen 1998).

Lee Filtering

Lee filter didasarkan pada asumsi bahwa

mean dan variance dari piksel yang penting adalah sama dengan lokal mean dan variance

dari semua piksel dalam suatu kernel. Rumus yang digunakan untuk Lee filter (Lee 1981 dalam Mansourpour et al. 2006):

= + − dengan =1 = + = !" # $ ℎ $ & $ +' ( + 1 $ ℎ $ & $ ) − $ ℎ $ & $ Transformed Divergence (TD)

Keterpisahan spektral pada berbagai sensor merupakan isu yang penting dikaji sebelum metode klasifikasi diterapkan (Panuju et al.

2010). Penelitian ini menggunakan nilai

Transformed Divergence (TD) untuk

4 kelas yang berbeda, yang dihitung dengan

rumus:

* += 2 -1 − . /− +1 238

+= 0.5 789 − 9+:89;<− 9+;<:=

+0.5 9;<− 9+;< > − >+ > − >+ ?

* = @ @;<< ∑@;<< ∑@+ B<* +

dengan * adalah nilai Transformed Divergence, > adalah nilai rataan vektor kelas ke-i, 9 adalah nilai matriks koragam kelas ke- i, m adalah jumlah kelas, tr adalah fungsi trace dalam aljabar matriks, T adalah fungsi transposisi. Nilai TD berkisar antara 0 sampai dengan 2. Semakin mendekati nilai TD=2, maka dua kelas tersebut semakin terpisah secara baik (Richards & Jia 2006 dan Panuju et al. 2010).

Convolution Kernel

Semua filter dihitung dalam lingkup area lokal menerapkan strategi convolution kernel. Proses konvolusi diilustrasikan pada Gambar 3 (Trisasongko 2002). Ukuran kernel filter

tekstur yang diamati pada penelitian ini adalah sebesar 3x3, 5x5, 7x7, 9x9, 11x11, 13x13, dan 15x15 piksel. Hal ini dilakukan untuk mengamati kemampuan tiap filter tekstur dalam berbagai ukuran kernel untuk menyelesaikan masalah keterpisahan pasangan kelas.

Gambar 3 Proses konvolusi dengan kernel 3x3 piksel: (a) citra awal (b) citra hasil konvolusi.

Texture Filtering

Fitur tekstur berisi informasi mengenai distribusi variasi derajat keabuan (grayscale) dalam channel tertentu (Haralick et al. 1973 dalam Trisasongko 2002). Penelitian ini menggunakan pendekatan texture filtering

untuk mendapatkan fitur tekstur. Terdapat empat macam filter tekstur yang diamati pada penelitian ini, yaitu data range, mean,

variance, dan entropy. Data range adalah selisih antara nilai piksel terbesar dengan nilai

piksel terkecil dalam kumpulan nilai piksel tertentu. Mean adalah rataan dari kumpulan nilai piksel yang diamati. Variance adalah ukuran penyebaran nilai, yaitu seberapa jauh suatu nilai piksel berada terhadap rataan dari kumpulan nilai piksel. Entropy adalah ukuran sebaran peluang, yaitu sebuah ukuran (variasi atau keragaman) yang didefinisikan pada distribusi probabilitas kejadian yang diamati (Trisasongko 2002).

Klasifikasi Pohon Keputusan (Decision Tree) Decision tree adalah sebuah struktur pohon, dimana setiap simpul (node) pohon merepresentasikan atribut yang telah diuji, setiap cabang merupakan suatu pembagian hasil uji, dan node daun (leaf) merepresentasikan kelompok kelas tertentu. Level node teratas pada sebuah decision tree

adalah node akar (root) yang biasanya berupa atribut yang paling memiliki pengaruh terbesar pada suatu kelas tertentu. Pencarian solusi pada

decision tree umumnya dilakukan secara top- down. Proses mengklasifikasi data baru (testing) dilakukan dengan menguji nilai atribut, yaitu dengan cara melacak jalur dari

root sampai leaf, kemudian akan diprediksi kelas yang dimiliki oleh suatu data baru tersebut.

Salah satu metode yang digunakan untuk membuat decision tree adalah algoritme ID3 atau Iterative Dichotomiser 3 (baca: tree). Algoritme pada metode ini menggunakan konsep dari entropi informasi. Secara ringkas, strategi pembentukan decision Tree dengan algoritme ID3 adalah:

1. Penghitungan Information Gain untuk setiap atribut dengan menggunakan

C D, F = G .H D − ID|D| GJI .H DJ

∀ MN O

dengan

G .H D = −PBlog PB− P;log P;

2. Pemilihan atribut yang memiliki nilai

informationgain terbesar,

3. Pembentukan simpul yang berisi atribut tersebut,

4. Proses perhitungan information gain akan terus diulangi sampai semua data telah masuk dalam kelas yang sama. Atribut yang telah dipilih tidak diikutkan lagi dalam perhitungan nilai informationgain.

Algoritme C4.5 adalah pengembangan dari algoritme ID3 yang diperkenalkan oleh

5 Quinlan (Quinlan 1993 dalam Han & Kamber

2006). Pemilihan atribut pada algoritme C4.5 dilakukan dengan menggunakan Gain Ratio

dengan rumus:

C T D, F =D.U V W D, FC D, F

Atribut dengan nilai Gain Ratio tertinggi dipilih sebagai atribut uji untuk simpul. Nilai

gain adalah information gain. SplitInfo

menyatakan entropi atau informasi potensial dengan rumus:

D.U V W D, F = − DD log DD

@ <

Algortime C4.5 memiliki keunggulan dibandingkan dengan ID3. Algoritme C4.5 mampu menangani atribut dengan tipe numerik dan kategori, mampu menangani atribut yang kosong (missing value), dan dapat memangkas cabang.

Telaah pustaka menunjukan bahwa algoritme pohon keputusan telah banyak digunakan untuk pembentukan rule klasifikasi citra SAR. Trisasongko (2009) telah melakukan penelitian pemetaan hutan

mangrove menggunakan data radar fully-

polarimetric. Penelitian tersebut menggunakan tiga algoritme pohon keputusan berbeda, antara lain Classification and Regression Trees

(CART), C4.5, dan Random Forests (RF).

METODE PENELITIAN

Secara umum, penelitian ini terbagi dalam beberapa tahap, yaitu studi pustaka, pengumpulan data, pra-proses data, analisis keterpisahan kelas, pembentukan rule, penerapan rule, dan analisis hasil (Gambar 4).

Data Penelitian

Citra utama yang digunakan pada penelitian ini adalah data satelit TerraSAR-X wilayah Sidoarjo, Jawa Timur. Modus pencitraan yang digunakan adalah Spotlight dan diakuisisi tanggal 22 Desember 2007. Data TerraSAR-X yang digunakan dalam penelitian ini merupakan citra polarisasi linier ganda, yaitu polarisasi HH dan polarisasi VV.

Citra dari Google Earth™ digunakan sebagai citra acuan pada penelitian ini. Citra acuan ini digunakan untuk mengetahui penutupan lahan lebih detail pada daerah pengamatan secara visual.

Gambar 4 Metode penelitian.

Alat Penelitian

Perangkat lunak yang digunakan untuk mengolah data TerraSAR-X pada penelitian ini antara lain: • ENVI 4.5 • Google Earth™ 6.0 • WEKA 3.6 • OpenOffice SpreadSheet 3.3 • Notepad++ 5.8

Perangkat keras yang digunakan dalam penelitian ini adalah notebook dengan spesifikasi:

Processor Intel® Core™2 Duo

Mobile Intel® 965 Express Chipset

• RAM 2 GB

Dokumen terkait